Latest News

Showing posts with label Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Liturgi. Show all posts

Sunday, June 30, 2013

Ringkasan Konferensi Sacra Liturgia 2013 - Seri Pertama



Konferensi Sacra Liturgia 2013 adalah sebuah even lanjutan dari Konferensi Adoratio 2011 yang telah dilaksanakan sebelumnya di Salesianum di Roma 2 tahun lalu. Kedua konferensi ini digagas oleh Uskup Dominique Rey dari Frejus-Toulon (Prancis). Konferensi Sacra Liturgia 2013 berlangsung dari tanggal 25 Juni hingga 28 Juni 2013 di Roma. Konferensi ini ditujukan sebagai tempat untuk berbagi refleksi, untuk studi, promosi dan pembaharuan apresiasi terhadap Liturgi Suci. 


Dalam Konferensi Sacra Liturgia 2013 ini, Uskup Rey mengundang para kardinal, uskup, imam dan para ahli liturgi sebagai pembicara untuk menjelaskan bahwa perayaan Liturgi yang benar adalah hal pertama yang sangat penting dalam kehidupan dan misi Gereja. Nama-nama pembicara tersebut antara lain Kardinal Canizares Llovera, Kardinal Burke, Kardinal Brandmuller, Kardinal Ranjith, Uskup Agung Sample, Uskup Aillet, Abbot Nault, Abbot Zielinski, Dom Alcuin Reid, Mgr. Nicola Bux dan lain-lain. Daftar lengkap pembicara beserta judul pembicaraannya dapat dilihat langsung di situs resmi Sacra Liturgia 2013 (silahkan klik).

Berdasarkan info dari Sacra Liturgia 2013, semua topik yang dibicarakan ini akan diterbitkan tahun depan dalam satu buku sehingga dapat dijadikan referensi untuk mempelajari Liturgi Suci dan sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman-kesalahpahaman terhadap Liturgi Suci. Meskipun begitu, baik FB dan Twitter resmi Sacra Liturgi secara kontinu membagikan kutipan-kutipan dan ringkasan dari topik-topik yang sedang dibicarakan serta homili dari Kardinal Llovera dan Kardinal Brandmuller. Saya mencoba untuk mengumpulkan dan mengarsipkan apa yang saya bisa sehingga para pembaca dapat mengetahui poin-poin penting mengenai Liturgi Suci sembari menunggu bukunya keluar tahun depan. Saya akan menyampaikannya secara berseri agar tidak terlalu panjang dan tidak langsung membuat jenuh. 

1. Kardinal Ranjith

Kardinal Albert Malcolm Ranjith saat ini adalah Uskup Agung Colombo (Sri Lanka) dan Sekretaris Emeritus Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Tata Tertib Sakramen. Beliau dengan topik berjudul �Liturgi Suci adalah Puncak dan Sumber Kehidupan dan Misi Gereja� menekankan bahwa keindahan dari Liturgi Suci tidak terletak pada seberapa menarik dan memuaskannya Liturgi Suci terhadap diri kita tetapi pada seberapa jauh kita dibawa masuk ke dalam sesuatu yang sedang terjadi dalam Liturgi Suci, sesuatu yang ilahi dan memerdekakan. Liturgi Suci menentukan keseluruhan proses dari pertumbuhan iman, transformasi dan pengudusan yang sejati dari kehidupan umat beriman. Dalam Liturgi Surgawi di bumi, Gereja membawa kita masuk ke dalam karya penyelamatan Allah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Gereja mutlak perlu bagi penebusan umat manusia. Semakin kita bersatu dengan Gereja, semakin kita bersatu dengan Kristus yang terjadi dalam cara yang paling ampuh di dalam Ekaristi (yaitu kita menyantap Sang Roti Hidup). Pada akhirnya, melalui Liturgi Suci, misi Gereja menjadi berbuah karena pada akhirnya Allah dan pengorbanan abadi-Nya telah menebus dunia. Oleh karena itu, Gereja memiliki tanggung jawab untuk menjaga kehidupan liturgisnya.

Di sini Kardinal Ranjith memberikan penegasan menarik: Sampai kita merayakan Liturgi Suci dengan benar, kita tidak dapat mewartakan kabar gembira. Liturgi Suci memurnikan kita dan memberikan ruang bagi Allah untuk melaksanakan karya-Nya melalui kita; Liturgi Suci yang dirayakan dengan buruk menghalangi hal ini. Mengutak-atik Liturgi berarti anda mengutak-atik misi Gereja.

(Komentar Admin: Di sini Kardinal Ranjith secara tidak langsung menjelaskan tentang hakikat Liturgi  Suci kepada banyak umat Katolik yang mungkin menganggap Liturgi Suci hanya sekadar cara beribadah semata. Liturgi Suci jelas lebih besar dari sekadar cara beribadah. Liturgi Suci adalah karya penyelamatan Allah terhadap manusia. Dalam Liturgi Suci, secara jelas dalam Komuni Kudus, manusia disatukan dengan Allah dan dikuduskan oleh-Nya. Hal ini juga menunjukkan bahwa Gereja penting untuk keselamatan sebab Gereja memberikan Sang Roti Hidup untuk kita santap.)


2. Professor Steinschulte

Professor Gabriel M. Steinschulte adalah Wakil Presiden Konsosiasi Internasional Musik Suci (Consociatio Internationalis Musicae Sacrae) dan direktur Schola Cantorum Coloniensis. Beliau  menyampaikan topik berjudul �Musik Liturgi dan Evangelisasi Baru�. Prof. Steinchulte menjelaskan bahwa musik adalah bagian dari kehidupan manusia sejak awal. Musik selalu bersifat komunikatif antara manusia denga manusia dan antara manusia dengan Allah. Oleh karena itu, merayakan sesuatu tanpa musik adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.

Setiap teks dalam suatu musik berhubungan dengan efek dari musik itu sendiri, teks-teks tersebut menyampaikan pesan yang dapat mempengaruhi manusia termasuk soal iman. Dalam konteks Liturgi Suci, Prof. Steinschulte berkata bahwa kita terlalu sering berbicara mengenai �musik di dalam Liturgi� daripada �musik Liturgi� yang disebut sebagai �Sacred Music� (Musik Sakral). Musik Sakral dan Iman saling berhubungan satu sama lain dan diungkapkan dalam pepatah �Hukum Doa adalah Hukum Iman�. Musik Suci menjadi ungkapan iman, diambil dari Kitab Suci dan Tradisi untuk setiap minggu, setiap hari dan setiap jam dari keseluruhan Tahun Liturgi. 

Terkait dengan Evangelisasi Baru, Steinschulte menjelaskan bahwa sejak kemunculan kitsch (istilah Jerman: seni, objek atau desain yang dianggap memiliki citarasa yang buruk yang diapresiasi dalam cara ironis) dan �sacral pop�, kita menghadapi hilangnya pemahaman yang benar terhadap musik. Ekspresi musik modern tampak terkait dengan de-evangelisasi dan relativisme musik. Oleh karena itu, menurut Steinschulte, siapapun yang menginginkan Evangelisasi Baru terjadi hendaknya kembali ke akar Kekristenan awal, secara khusus dalam hal musik. Steinschulte mengajukan pertanyaan retoris: �Siapakah yang kita injil? Orang-orang yang tidak mengetahui iman dan kultur kita. Kita dapat membawanya kepada mereka.� Secara khusus terhadap orang muda Katolik, Steinschulte berkata: �Kita seharusnya membawa orang muda kepada kekayaan Musik Sakral Gereja untuk menciptakan persatuan yang sejati antara mereka dan perjumpaan sosial yang baik.�

(Komentar Admin: Pernyataan Steinschulte dalam konteks orang muda Katolik di atas tampaknya harus diperhatikan oleh para pembina orang muda Katolik. Apakah kita akan membiasakan orang muda Katolik dengan lagu-lagu profan dan dengan band seperti yang umum terjadi pada Ekaristi Kaum Muda atau membawa mereka kepada kekayaan lagu-lagu Gregorian dan Polifoni Suci serta organ pipa Gereja di dalam Misa? Saya, sebagai orang muda Katolik, melihat bahwa kebanyakan orang muda Katolik tidak diakomodasi dalam pengenalan mendalam terhadap kekayaan Musik Sakral Gereja yang begitu banyak. Justru yang ada bahwa orang muda Katolik disuguhi dengan pelanggaran-pelanggaran Liturgi seperti memasukkan lagu-lagu Chrisye, Cokelat dan lagu-lagu profan lainnya serta band di dalam Misa Kudus.)



Ringkasan, Kutipan, dan Foto semuanya berasal dari Sacra Liturgia 2013 (Situs, FB dan Twitter resmi). Semoga bermanfaat. pax et bonum

Saturday, June 1, 2013

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus 2013 - Menghayati Ekaristi


Hari ini kita merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Dalam Injil, Yesus berkata: �Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal.� Saya hendak bertanya: Bila Ekaristi adalah sungguh Tubuh dan Darah Kristus, mengapa kita mengikuti Misa dengan kasual dan biasa saja? Tampaknya bagi banyak umat Katolik, Ekaristi sekadar menjadi kebiasaan, bukan hal yang besar. Mengenai hal ini, Paus Emeritus Benediktus XVI pernah menanggapinya. Dalam bukan Light of the World, jurnalis Peter Seewald bertanya kepada Paus mengapa pada Misa Kepausannya, Paus menetapkan bahwa orang-orang harus berlutut dan menerima Komuni Kudus di lidah. Ini jawabannya:
�Saya tidak menentang dalam prinsip terhadap Komuni di tangan; Saya sendiri pernah baik membagikan atau menerima Komuni dengan cara ini. Gagasan di balik praktik saya menetapkan umat berlutut untuk menerima Komuni di lidah adalah untuk mengirimkan sinyal dan untuk menggarisbawahi Kehadiran Nyata [Yesus Kristus dalam Ekaristi] dengan sebuah seruan. Satu alasan penting adalah adanya bahaya besar kedangkalan iman terutama dalam berbagai Misa yang kami rayakan di Santo Petrus, baik di basilika dan di lapangan. Saya pernah mendengar orang-orang yang setelah mengambil Komuni Kudus lalu menyimpan-Nya di dalam dompet mereka untuk dibawa pulang sebagai suvenir. Dalam konteks ini,ketika umat berpikir bahwa semua orang secara otomatis diharuskan menerima Komuni, saya ingin mengirimkan sinyal yang jelas. Saya ingin ini menjadi jelas: Sesuatu yang sungguh spesial sedang berlangsung di sini! Dia ada di sini, Seseorang yang di depannya kita jatuh berlutut! Perhatikan! Ini bukan sekadar ritual sosial yang mana kita dapat ambil bagian sesuka kita.�

Di sini saya tidak fokus membahas Komuni di lidah sambil berlutut, tetapi menyoroti banyak umat Katolik yang sekarang menganggap Ekaristi secara biasa bahkan kadang tidak dihormati sama sekali. Contoh kasus seperti ribut berfoto-foto sementara lampu (lilin) Tabernakel sedang menyala menandakan ada Tubuh Kristus di Tabernakel. Kita umat Katolik kehilangan citarasa kekudusan kita.


Di sisi lain, penghormatan kudus terhadap Ekaristi yang adalah sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus seringkali dilawankan atau dipertentangkan dengan �menemukan Kristus pada orang lain� atau �menemukan Kristus pada alam�. Masalahnya adalah pada praktik ini, pemikiran tersebut akan menghasilkan semacam panteisme. Perlulah diketahui, sebagaimana St. Agustinus nyatakan, bahwa memang benar citra Allah hadir di setiap orang tetapi citra tersebut telah terdistorsi dan dinaungi oleh dosa. Dengan demikian, setiap dari kita memiliki kebutuhan yang absolut akan rahmat Allah untuk mengembalikan citra kita seperti semula. Kita harus datang kepada Sesuatu yang kelihatan di dunia ini untuk kita sembah � Tubuh dan Darah Kristus dalam rupa Roti dan Anggur yang sudah dikonsekrasi.

Bacaan Kitab Suci mengenai Yesus memberikan makan 5000 orang pada dasarnya merupakan pre-figur dari Ekaristi namun banyak dari kita memandangnya sekadar sebagai mujizat yang �wah�. Kisah Yesus memberi makan 5000 orang dapat dibandingkan dengan umat Israel yang sedang berada di gurun. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat bahwa orang-orang Israel mengalami kelaparan dan Allah memberi mereka makan dengan roti Manna. Hal yang sama terjadi pada saat 5000 orang ini juga mengalami kelaparan dan Yesus memberi mereka makan. Roti-roti ini menjadi makanan jasmani bagi orang-orang ini, tetapi Ekaristi lebih dari sekadar makanan jasmani. Ia juga adalah makanan rohani untuk memberikan kekuatan bagi jiwa kita. Orang-orang banyak dipuaskan dengan roti, tetapi kita umat Katolik dipuaskan dengan Allah sendiri saat kita mengalami kelaparan rohani. Dalam suatu kisah [di Ensiklopedia Orang Kudus] secara ajaib Tuhan dari salib pernah menyapa St. Thomas Aquinas: �Thomas, sungguh bagus engkau menulis tentang Aku. Hadiah apa yang kau inginkan?�. Thomas menjawab: �Jangan memberikan yang lain kecuali Dirimu O Tuhan.� Thomas menerima sapaan ini karena ia menuliskan beberapa himne dan doa tentang Sakramen Mahakudus seperti Tantum Ergo, Adoro Te Devote, Verbum Supernum dan lain-lain. 

Untuk meningkatkan penghormatan kita kepada Ekaristi, kita dapat melakukan beberapa hal. Yang pertama adalah memperbaiki dulu pemahaman kita terhadap Ekaristi. Roti dan Anggur yang sudah dikonsekrasi tidak lagi memiliki substansi roti dan anggur tapi sudah berubah substansi menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dalam Sakramen Mahakudus tercakuplah "dengan sesungguhnya, secara real dan substansial tubuh dan darah bersama dengan jiwa dan ke-Allahan Tuhan kita Yesus Kristus dan dengan demikian seluruh Kristus" (Konsili Trente: DS 1651). Oleh karena itu, Ekaristi bukan sekadar simbol, tetapi sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus. Bila kita menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan Kristus, bukankah kita harus memberikan penghormatan dan penyembahan mendalam kepada-Nya?  Sesungguhnya ketika kita mengatakan bahwa Ekaristi hanya lambang, kita telah menyangkal iman Katolik kita dan selanjutnya wajar sekali bahwa penghormatan kita berkurang terhadap Ekaristi.

Yang kedua adalah berpuasa sebelum menerima Sakramen Ekaristi. Gereja sendiri sudah memberikan norma bahwa kita hendaknya berpuasa 1 jam sebelum menerima Ekaristi. Norma dulu bahkan 12 jam sebelum menerima Ekaristi. Di sini kita mengambil bagian layaknya orang Israel yang mengalami kelaparan di gurun lalu Allah memuaskan mereka dengan roti Manna. Roti Manna itu sederhana tapi menjadi begitu lezat karena laparnya mereka. Puasa 1 jam ini agar kita bisa membangun sense kerinduan akan Allah dan saat menerima-Nya, kita bisa merasakan kegembiraan yang begitu besar. Kita juga dapat melakukan pantang sebelum menerima Sakramen Ekaristi. Bentuknya seperti pantang rokok, pantang berjejaring sosial, dan sebagainya. Seringkali spiritual junk food (makanan sampah spiritual) seperti acara televisi, internet dan godaan-godaan lainnya mengurangi ketertarikan kita terhadap Ekaristi. Dan jangan salah, saat kita dalam Misa pun, karena keseringan makan junk food ini, fokus kita pada Ekaristi terganggu dan kita malah memikirkan hal-hal tersebut. Tubuh di dalam gereja tetapi pikiran di luar gereja sehingga ketika Imam berkata �Marilah mengarahkan hati kita kepada Tuhan�, kita memang menjawab �Sudah kami arahkan� tetapi itu hanya di mulut saja sementara pikiran kita sudah jauh meninggalkan Misa. Kita perlu berpantang dari makanan sampah tsb misalnya sehari atau beberapa jam sebelum Ekaristi. Kita isi dengan doa dan mulai mengarahkan hati kita pada Ekaristi. 

Yang ketiga adalah menghayati penerimaan Komuni Kudus. Saya diajari agar berjalan menuju Sakramen Ekaristi dengan tangan terkatup di dada dan sambil menunduk. Tindakan menunduk ini adalah tanda kesadaran bahwa saya itu sungguh kecil di hadapan Dia yang begitu besar. Pada saat saya akan menerima-Nya, saya lebih memilih berlutut dan menyambut-Nya di lidah sebagai tanda ketidakpantasan saya menyentuh Tubuh Kristus yang suci dengan tangan saya yang tak tertahbis. Menjawab �Amin� ketika Imam berkata �Tubuh Kristus� haruslah dengan penuh kesadaran dan keyakinan. �Amin� di sini berarti: �Ya, saya percaya.� Jangan berkata �Amin� secara asal tanpa makna. Bagi umat Katolik yang menerima Komuni Kudus di tangan, cara ini pun harus dilakukan dengan penuh penghormatan dan kehati-hatian agar tidak ada partikel suci terjatuh atau tertinggal di tangan. Sebagai tambahan juga, saat anda berjalan menuju Sakramen Ekaristi, anda bisa mendaraskan atau menyanyikan pelan (bisa juga dalam hati) himne dan doa Ekaristi seperti Tantum Ergo, Adoro Te Devote dan sebagainya. Kata-kata dalam himne dan doa Ekaristi itu begitu mendalam maknanya dan secara jelas menunjukkan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Salah satu favorit saya adalah Adoro Te Devote. Kalimat pertamanya �Adoro Te Devote Latens Deitas� secara literal berarti �Aku menyembah-Mu dengan taat ya Allah yang tersembunyi� menyatakan misteri dari Sakramen Mahakudus di mana Allah hadir tersembunyi dalam rupa yang kelihatan yaitu roti dan anggur. 

Cara-cara di atas dapat anda gunakan. Anda sekalian juga bisa merefleksikan sendiri cara-cara supaya anda bisa lebih menghormati Sakramen Ekaristi. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberkati kita semua. Selamat Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. 

Pax et bonum

Silahkan baca juga artikel-artikel berikut:

Friday, May 10, 2013

Respon Terhadap Misa Pentakosta 2013 Komunitas Karismatik Katolik Jakarta

Page Keuskupan Agung Jakarta pada tanggal 8 Mei 2013 mempublikasikan undangan Misa Kudus Perayaan Pentakosta 2013 yang diselenggarakan Minggu 19 Mei 2013 di Hall D 1 JIExpo PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat. Info lengkapnya di bawah ini:
Badan Pelayanan Keuskupan � Keuskupan Agung Jakarta akan menyelenggarakan MISA KUDUS Perayaan Pentakosta 2013 Bersama Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo dengan tema �Roh Kudus mempersatukan Kita dengan Tuhan dan Sesama� pada:
                        Hari/Tgl           : Minggu, 19 Mei 2013
                        Waktu             : 08.30 � 14.00 WIB
                        Tempat            : Hall D 1 JIExpo PRJ Kemayoran,Jakarta Pusat
Perayaan Pentakosta ini akan diawali dengan acara Talk Show bersama Bapa Uskup dan nara sumber antara lain :
1. Bapak Hanny Sutanto, Direktur dari Wings Group.
2. Ibu Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA, Konsultan bidang ekonomi lingkungan dan perencanaan Pembangunan untuk Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, Kedutaan Inggris dan negara donor lainnya


Undangan Misa Kudus Pentakosta Gerakan Karismatik
Acara ini mengundang kritik terutama pada tempat penyelenggaraan serta momennya. Misa Hari Raya Pentakosta ini, bisa dilihat di atas, dirayakan di luar gedung Gereja bukan di dalam gedung Gereja. Bisa dikatakan, di saat Gereja merayakan kelahirannya yaitu pada Hari Raya Pentakosta, Misa Pentakosta malah dirayakan di luar gedung Gereja bukannya di dalam gedung Gereja yang sudah diberkati bahkan sampai diadakan Misa untuk pemberkatan gedung Gereja.

Lalu, apa sih kata Redemptionis Sacramentum dan Kitab Hukum Kanonik mengenai hal ini?
Redemptionis Sacramentum 108 (terjemahannya ada di imankatolik dot org) menyatakan:


"Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus tertentu bila keadaan memaksa lain; dalam hal demikian perayaan harus berlangsung di tempat yang layak". Uskup diosesan akan mengambil keputusan untuk setiap kasus.


Supaya lebih jelas saya paparkan terjemahan bahasa Inggrisnya dari situs resmi Vatikan.


�The celebration of the Eucharist is to be carried out in a sacred place, unless in a particular case necessity requires otherwise. In this case the celebration must be in a decent place.�  The diocesan Bishop shall be the judge for his diocese concerning this necessity, on a case-by-case basis.


Kalimat pertama dari Redemptionis Sacramentum ini merujuk kepada Kitab Hukum Kanonik 932 � 1: �Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus khusus kebutuhan menuntut lain; dalam hal demikian perayaan haruslah di tempat yang pantas.�

Dari kedua dokumen ini, kita bisa lihat bahwa norma baku merayakan Misa Kudus adalah di sacred place, tempat suci (dan tentu saja tempat suci agama Katolik, bukan non-Katolik). Dalam ajaran Gereja, tempat suci ini jelas merujuk kepada gedung Gereja. Namun KHK juga menyatakan bahwa ruang doa (oratorium) dan kapel-kapel pribadi atau umum (misal di Rumah Sakit) juga adalah tempat suci sehingga Misa Kudus dapat dirayakan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, Misa Kudus wajib diadakan di sacred place .

Namun demikian, baik Redemptionis Sacramentum dan Kitab Hukum Kanonik menambahkan bahwa Misa dapat diadakan di luar sacred place bila terdapat suatu kondisi khusus yang mendesak hal tersebut. Uskup Diosesan menjadi pengambil keputusan apakah kondisi tertentu itu memang mendesak dan harus membuat Misa diadakan di luar tempat suci; atau kondisi tertentu itu dinyatakan tidak mendesak sehingga Misa tidak perlu diadakan di luar tempat suci. Perlu ditekankan juga bahwa tempat di luar sacred place tersebut juga haruslah tempat yang layak.

Bagaimanakah contoh kondisi mendesak ini?  Misalnya, Imam-imam Katolik yang berkarya sebagai Kapelan Militer di medan peperangan di mana Perayaan Ekaristi harus dirayakan di tenda atau di udara terbuka atau di kapal perang di mana tidak ada sacred place terdekat yang bisa dicapai. Contohnya saja, berapa banyak gedung Gereja Katolik di Timur Tengah yang tersedia bagi para prajurit AS beragama Katolik? 

Contoh sederhananya, sekolah Katolik mengadakan kegiatan berkemah seminggu di gunung yang mana tidak ada tempat suci terdekat yang bisa dicapai. Mereka ini bisa meminta Imam Katolik untuk ikut mereka berkemah sekaligus merayakan Misa Kudus di daerah perkemahan. Contoh lain lagi Para Imam Misionaris yang harus berkarya jauh ke desa yang terisolasi dan tidak ada gedung Gereja. Karena ketiadaan gedung Gereja ini, Imam Misionaris bisa merayakan Misa Kudus di salah satu rumah umat. 

Kembali dalam konteks Misa Pentakosta di Hall ini, apa alasan yang sangat mendesak sehingga Misa Hari Raya Pentakosta yang adalah hari kelahiran Gereja harus dirayakan di luar Gereja? Dan mengapa tempat non-suci yang dipilih adalah Hall D1 Jakarta International Expo PRJ Kemayoran yang ternyata diperuntukkan juga untuk pameran ringan hingga pameran alat berat, suatu tempat bisnis dan perdagangan? 

Mungkin, akan ada yang merespon: �Uskup Agung sendiri yang akan merayakan Misa dan mengisi talkshow. Uskup Agung sendiri yang mengizinkan.� Yes, memang panitia bisa berlindung di balik nama Uskup Agung namun hal ini justru menyudutkan Uskup Agung. Pertanyaannya malah harus ditujukan kepada Uskup Agung: Kondisi mendesak apa yang membuat Uskup Agung harus memberi izin perayaan Misa Pentakosta di luar gedung suci? 

Bila seperti ini, maka akan terjadi pelemparan tanggungjawab dan pencatutan nama Uskup Agung sebagai backing justru membuat nama Uskup Agung negatif karena memberi izin untuk Misa Hari Raya Pentakosta di luar tempat suci sementara kondisinya tidak mendesak, tidak menuntut harus diadakan di luar tempat suci. Lagipula, bila alasannya karena jumlah umat yang banyak, apakah lahan parkir Katedral Jakarta tidak dapat digunakan?

Ada sebuah istilah yaitu legalis. Istilah ini adalah sebutan kepada mereka yang mencari celah dari kondisi tertentu dalam suatu aturan untuk melegalkan tindakan mereka. Contohnya, standar �mendesak� ini dijadikan celah. Dalam konteks ini, Hal yang sebenarnya tidak mendesak dipandang sangat mendesak sehingga menuntut Misa Kudus harus dirayakan di luar tempat suci, bahkan di Hall, sementara gedung Gereja berdiri tidak jauh dari situ. 

Masih dalam konteks �legalis�, keputusan Paus Fransiskus untuk merayakan Misa Kamis Putih di penjara dijadikan pembenaran untuk melegalkan perayaan Misa Pentakosta di Hall. Biasanya, mereka akan berkata �Paus Fransiskus saja boleh merayakan Misa Kamis Putih, masa anda melarang kami untuk melakukan hal yang sama?�. Namun, ada yang dilupakan bahwa Paus Fransiskus memiliki otoritas langsung dan penuh atas aturan Perayaan Liturgi Kepausan termasuk untuk merayakan Misa Kamis Putih di penjara dalam kondisi normal sementara kelompok kategorial tidak memilikinya. Juga, bila karena berdasarkan �Paus juga melakukannya�, maka apa itu berarti kelompok kategorial juga boleh melakukan deklarasi ajaran iman dan moral yang mengikat Gereja Universal? Pada akhirnya, tidak semua tindakan Paus Fransiskus berhak untuk dilakukan oleh umat beriman juga oleh Uskup dan Imam.

Misa Kudus Sebagai Komoditas
Tidak bisa disangkal katekese tentang Misa Kudus telah membantu meningkatkan kerinduan terhadap Misa Kudus itu sendiri. Tidak sedikit umat Katolik bahkan menghadiri Misa Kudus setiap hari, dari Senin hingga Minggu. Kondisi seperti ini memang adalah kondisi yang menggembirakan. Akan tetapi, secara sadar atau tidak sadar, Misa Kudus menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai jual. Tentang nilai jual ini maksudnya jangan dipandang semata-mata sebagai hal yang menghasilkan uang.

Misa Kudus sebagai komoditas yang memiliki nilai jual bisa dilihat seperti ini: Seminar, Talkshow, Drama dll seringkali dirasakan kurang afdol (istilah arabnya begitu) dan tidak terlalu menarik banyak umat untuk datang bila tidak disertai dengan Misa Kudus. Misa Kudus memiliki nilai jual lebih tinggi lagi bila dirayakan oleh seorang imam terkenal atau bahkan oleh seorang Uskup Agung. Kerinduan umat akan Ekaristi secara sadar atau tidak sadar telah secara sengaja dimanfaatkan atau secara tidak sengaja termanfaatkanuntuk meningkatkan kuantitas umat yang datang ke acara-acara Katolik non-Misa. 

Well, tidak hanya acara seminar atau talkshow dan semacamnya, sekarang pun tidak jarang kita melihat ibadah devosi digabungkan dengan Misa Kudus. Contohnya; Jalan Salib yang kemudian dilanjutkan dengan Misa Kudus. Pada kondisi ini, Jalan Salib dijadikan pengganti Pembukaan dan Liturgi Sabda lalu dilanjutkan dengan Liturgi Ekaristi dan Penutup. Pengalaman saya di Paroki saya di Pontianak, Jalan Salib setiap hari Jumat pada masa Prapaskah dulunya tidak dilanjutkan dengan Misa. Sekitar 1 atau 2 tahun, Jalan Salib akhirnya digabungkan dengan Misa Kudus. Apa yang terlihat adalah jumlah umat yang datang pada Jalan Salib + Misa Kudus sekarang jauh lebih banyak daripada dulu saat hanya Jalan Salib saja. Tentu saja perlu diketahui bahwa penggabungan devosi dan liturgi seperti ini tidaklah sesuai dengan pedoman resmi Gereja Katolik. 

Tentu saja, saya tidak tahu apa motivasi dari menggabungkan Misa Hari Raya Pentakosta +  Talkshow. Tetapi bila motivasi menggabungkan keduanya adalah sengaja untuk meningkatkan umat yang datang talkshow, tentu saja motivasi seperti ini bukan motivasi yang tulus. Cerdik seperti ular, nggak tulus seperti merpati. Sengaja menyertakan Misa Kudus dalam rangkaian acara seminar, talkshow dan sebagainya dengan tujuan untuk menarik lebih banyak umat untuk datang berarti telah memanfaatkan kerinduan umat akan Ekaristi dan ini bukanlah tindakan yang terpuji.

Penutup
Tentu saja saya tidak berhak juga untuk menghentikan Misa dan Talkshow ini. Kegiatan ini sudah terlanjur direncanakan lama dari jauh hari dan memaksa untuk dihentikan bukanlah tindakan yang charitable. Jerih payah panitia menjadi sia-sia, uang yang sudah dibelanjakan menjadi kurang berguna dan mungkin juga uang untuk pemesanan gedung sudah digunakan. Tetapi, respon ini hendaknya diperhatikan, tidak diabaikan untuk ke depannya.

Dan satu lagi, terkadang tidaklah sulit untuk menekan seorang Uskup, khususnya dalam konteks Misa Kudus ini, untuk memberi izin Misa Kudus dirayakan di gedung profan (tempat non-suci). Contohnya (tetapi bukan dalam Misa ini ya): �Persiapannya sudah sejauh ini, uang sudah terlanjur dipakai banyak, gedung sudah disewa. Jadi tidak mungkin untuk dibatalkan atau dipindahkan Bapa Uskup.� Dan akhirnya izin pun turun dari Uskup. Hal yang sama juga sering terjadi di paroki-paroki di mana Imam tanpa dilibatkan dari awal dalam persiapan Liturgi, ditodong saat menjelang Perayaan Liturgi dengan berbagai lagu-lagu profan untuk dinyanyikan di Misa dan berbagai pelanggaran liturgi lainnya. Sederhananya, tinggal buat semuanya sudah terlanjur dipersiapkan, lalu lapor ke Uskup atau Imam untuk minta izin. Semoga kritik pedas ini tidak menyinggung hati dan perasaan anda. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5).

Pax et bonum