Latest News

Showing posts with label Katekese. Show all posts
Showing posts with label Katekese. Show all posts

Friday, February 7, 2014

Haruskah Homili Memberikan Pengajaran yang Sistematis?

oleh Pater Kenneth Baker, SJ

Baru-baru ini seorang rekan imam bertanya kepada saya, �Bagaimana kita bisa mengajarkan iman selama homili pada Misa Minggu?� Dengan pertanyaan itu, ia menunjuk kepada suatu masalah yang telah mengganggu saya selama beberapa waktu: Dalam Liturgi Novus Ordo, bagaimana imam dapat memberikan pengajaran Katolik yang sistematis dan koheren mengenai Aku Percaya (Syahadat), 10 Perintah Allah dan 5 Perintah Gereja, dan Sakramen-sakramen selama perjalanan siklus 3 tahun dari pembacaan Kitab Suci?


Anda sekalian mungkin ingat bahwa sebelum Konsili Vatikan II, banyak uskup memberikan petunjuk rinci tentang masalah khotbah (sermon) untuk setiap hari Minggu. Dengan cara ini, prinsip-prinsip dasar iman dan moral Katolik diungkapkan selama periode tahunan. Sejak Konsili Vatikan II, prosedur ini tampaknya telah ditinggalkan. Mungkin ada beberapa uskup yang masih memberikan petunjuk-petunjuk seperti itu, tetapi saya pribadi belum pernah melihatnya.

Kita memiliki alasan untuk bersukacita atas Misa Novus Ordo yang memberikan bacaan Kitab Suci yang lebih lengkap yang sekarang kita miliki dalam Leksionari selama periode tiga tahun. Ketika Konsili Vatikan II memberikan penekanan besar atas peran Kitab Suci dalam Misa Kudus dan menambah serta memperpanjang bacaan dalam Misa Kudus, kita menyaksikan perpindahan dari �khotbah� (Sermon) tradisional menuju �homili� (Homily). Khotbah cenderung berfokus pada iman, moral, penjelasan atas Syahadat/Credo (Aku Percaya). Sementara itu, Homili sekarang cenderung merupakan �penjelasan� atas bacaan Kitab Suci pada hari itu. Penjelasan itu biasanya dalam bentuk penafsiran yang belum sempurna atau bergerak ke teologi biblis, yaitu sebuah tema dari Kitab Suci yang dikembangkan dan disarankan oleh bacaan-bacaan pada hari itu.

Prosedur tersebut adalah baik. Kita perlu kembali kepada Kitab Suci dan itulah yang kita miliki selama 40-an tahun terakhir. Akan tetapi, dalam pandangan saya, pada saat yang bersamaan telah terjadi pengabaian yang serius terhadap pengajaran iman Katolik fundamental dalam cara sistematis kepada umat beriman di kebanyakan paroki. Juga, hanya ada sedikit atau malah tidak ada sama sekali hubungan atau kesinambungan antara homili-homili pada hari Minggu yang satu ke hari Minggu yang berikutnya. Dan hasilnya adalah lebih banyak dan semakin banyak umat Katolik tidak tahu apa yang Gereja Katolik ajarkan mengenai pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti dosa asal, dosa berat dan dosa ringan, Inkarnasi Firman Allah, Tritunggal Mahakudus, surga, neraka, api penyucian, Kehadiran Nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Ekaristi, kebangkitan badan dan seterusnya.

Jutaan umat Katolik bingung dan kacau pemahamannya dan kebingungan dan kekacauan tersebut membawa kepada perpecahan. Terlihat pada saya bahwa kita sedang menyaksikan Protestantisasi Gereja Katolik yang stabil, dalam artian bahwa setiap orang - berdasarkan prinsip-prinsip Sola Scriptura (Hanya Kitab Suci saja dasar ajaran iman) dan penafsiran pribadi - menentukan dan memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang Kitab Suci dan iman Katolik ajarkan. Sekarang ada sekitar 20.000 bentuk Protestantisme yang berbeda dan kita sekarang terlihat memiliki beberapa bentuk berbeda dari Katolisisme, tidak secara resmi tapi secara de facto.

Tampaknya adalah sebuah ide yang bagus bagi para uskup untuk mengerjakan program pengajaran sistematis yang baru dan komprehensif mengenai Aku Percaya / Credo, 10 Perintah Allah dan 5 Perintah Gereja, Sakramen-sakramen yang akan menjadi kunci untuk Tahun A, B, dan C dari siklus 3 tahun bacaan Kitab Suci. Kami telah menjalankan program seperti itu dalam homili-homili HPR (Homiletic and Pastoral Review) kami sejak tahun 1980. Program sistematis seperti itu direkomendasikan oleh Sinode Para Uskup di Roma pada tahun 2008 tetapi sejauh ini terlihat tidak ada yang dilakukan mengenai hal itu. Homili mengenai Kitab Suci adalah baik, tetapi umat Katolik juga membutuhkan pengajaran yang jelas mengenai hal-hal fundamental dari iman Katolik. 

Pater Kenneth Baker, SJ adalah editor emeritus dari HPR (Homiletic and PastoralReview) yang telah melayani sebagai editor selama lebih dari 30 tahun. Beliau adalah pengarang buku best-selling �Fundamentals of Catholicism� (3 volume) dan buku pengantar Kitab Suci populer, �Inside the Bible�.

Tuesday, January 28, 2014

Download Gratis Buletin Lentera Iman

Pada halaman ini, para pembaca sekalian bisa mendownload gratis ebook buletin Katolik Lentera Iman. Anda sekalian bisa menikmati berbagai katekese, informasi dan lain-lain mengenai Gereja Katolik termasuk tulisan-tulisan dari Indonesian Papist di dalam buletin ini. 


Buletin Lentera Iman ini adalah buletin Katolik non-profit dan para penulisnya secara sukarela menyumbangkan tulisan tanpa dibayar. Buletin Lentera Iman dijual dalam bentuk hardcopy / versi cetak dengan harga Rp 5.000. Keuangan buletin Lentera Iman disokong terutama berkat hasil penjualan versi cetak dan beberapa donatur yang memasang iklan. Buletin Lentera Iman ini sendiri dibagikan secara gratis kepada para katekis atau fasilitator pendalaman iman di  wilayah pedalaman Keuskupan Agung Makassar sebagai referensi atau bahan pengajaran. Bila anda sekalian ingin menyisihkan sebagian uang untuk mendukung karya kerasulan pers ini, anda dapat mengirimkannya ke rekening tujuan yang tertera pada halaman kedua buletin ini. Berikut ini berbagai edisi Buletin Lentera Iman yang dapat anda download dengan gratis dalam bentuk ebook .pdf:

Edisi � Tema

Catatan:
1. Bila ingin menyalin isi artikel ini beserta link download atau me-reupload (upload ulang) ebook Buletin Lentera Iman di situs jejaring sosial, mohon tetap mencantumkan �dikutip dari: www.muntecom.blogspot.com�. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mendapatkan kiriman ebook Buletin Lentera Iman melalui email dari Paroki St. Theresia Rantepao atau dari anggota Redaksi Buletin Lentera Iman.
2. Beberapa edisi yang belum ada akan segera diupload.
3. Tidak ada imbalan apapun yang saya dapat dari mengupload buletin ini di situs saya. Begitu pula, para pembaca sekalian tidak berhak untuk mengomersialisasikan e-book Buletin Lentera Iman dalam bentuk apapun.
pax et bonum

Saturday, January 18, 2014

Imanentisme: Katolisisme dan Pengalaman Religius

"Yang penting hatinya" adalah sebuah klausul seringkali diucapkan oleh kita saat kita dihadapkan pada fakta bahwa kita atau sesama kita sebenarnya sedang melakukan pelanggaran entah itu dalam konteks ajaran iman dan moral atau dalam Liturgi Suci. Tentang hal ini, saya menemukan sebuah artikel yang membahas tentang imanentisme di mana "yang penting hatinya" merupakan salah satu bentuk nyata dari imanentisme ini. Berikut ini terjemahannya:

Bangunan Gereja yang agung, Liturgi yang sakral sebenarnya menunjukkan penghormatan Gereja atas transendensi Allah sekaligus penegasan akan hal tersebut.

Imanentisme: Katolisisme dan Pengalaman Religius


Apa itu imanentisme? Tampaknya tidak salah untuk berkata bahwa banyak umat Katolik yang baik tidak pernah mendengar istilah ini. Teolog Prancis, Romo Louis Bouyer mendefinisikan imanentisme sebagai berikut: �Sebuah kecenderungan untuk memahami imanensi Allah atau tindakan-Nya sedemikian rupa sehingga mengesampingkan realitas transendensi-Nya.� Bagaimana imanensi Allah dipahami dengan benar? Imanensi Allah merujuk pada fakta bahwa Dia hadir dalam sebuah cara yang spesial dalam semua orang yang berada dalam kondisi rahmat pengudusan (state of sanctifying grace). Dalam hal ini, kita mungkin diingatkan tentang Beata Elizabeth dari Trinitas yang berusaha untuk membentuk seluruh hidup religiusnya seturut kebenaran luhur dari �saling mendiami� (indwelling) Tritunggal Mahakudus.  

Imanensi adalah sesuatu yang sangat baik. Di sisi lain, imanentisme bukanlah sesuatu yang baik sama sekali karena dengan menolak transendensi Allah, imanentisme tentu saja telah benar-benar memalsukan kodrat ilahi. Menolak transendensi Allah berarti menolak mengakui fakta bahwa Dia secara absolut berbeda dari dan superior dari ciptaan-Nya dan hasil dari penolakan tersebut berakhir dengan sebuah pemahaman bahwa apapun yang dikatakan tentang hal itu bukanlah merupakan pengetahuan dari Allah yang benar. Lebih jauh lagi, menolak transendensi Allah berarti merendahkan penalaran imanentisme itu sendiri karena �imanensi� menjadi tidak berarti / tanpa makna bila merujuk kepada hal-hal apapun yang lain daripada transendensi Allah yang tinggal di antara kita melalui rahmat-Nya.

Romo John Hardon, dalam menulis mengenai subjek apologetika imanentis, menyebutkan imanentisme sebagai �sebuah metode untuk membangun kredibilitas iman Kristiani dengan mengacu kepada pemuasan subyektif (subjective satisfaction) yang iman berikan kepada orang yang percaya.� Selain dengan penekanan atas sesuatu yang subjektif, ada juga pengerdilan terhadap kriteria objektif dari iman kita, bahkan sampai menolak mujizat dan nubuat. Motif-motif yang murni personal untuk iman, motif-motif yang terutama berkaitan langsung dengan perasaan-perasaan diberikan tempat yang utama. Romo Bouyer menyatakan, �pada akhirnya, agama secara keseluruhan akan tersusun dari perasaan religius itu sendiri.� Akal budi dipinggirkan, dan gagasan iman yang secara esensial merupakan persetujuan yang intelek telah kehilangan nilainya.

Dapat disimpulkan bahwa imanentisme merupakan sikap subjektivisme sembrono berkaitan dengan iman. Imanentisme secara angkuh mengabaikan fondasi-fondasi obyektif agama Katolik sebagaimana yang diwahyukan kepada kita oleh Allah sendiri dan yang digabungkan ke dalam deposit iman. Imanentisme memposisikan hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak penting atau setidaknya hanya merupakan �kepentingan yang kedua�.

Pada tahun 1907, Paus Santo Pius X menerbitkan ensikliknya yang berjudul Pascendi Dominici Gregis yang tujuannya adalah untuk membunyikan alarm melawan Modernisme yang Bapa Suci sebut sebagai �sintesis semua ajaran sesat�. Bapa Suci Santo Pius X menggambarkan kaum modernis sebagai �yang paling merusak dari semua musuh Gereja�. Dalam analisa terhadap fenomena ini, Paus Santo Pius X mengidentifikasikan dua bagian besar dari modernisme; yang pertama adalah agnotisisme dan yang kedua adalah imanentisme. Modernisme Agnostik menolak bahwa manusia memiliki kemampuan akal budi untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah. Dengan demikian, agnostisisme secara efektif menyingkirkan teologi natural yaitu disiplin filosofi yang tugas utamanya adalah menunjukkan bahwa kita dapat sampai kepada pengetahuan tentang keberadaan/eksistensi Allah melalui akal budi alamiah. Sekarang ajaran tentang �kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah� itu secara aktual merupakan materi iman bagi orang Katolik sebagaimana yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama.

Setelah membuang teologi natural, modernisme kemudian mengajukan imanentisme untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pengalaman religius. Modernis berpendapat manusia dibekali dengan �cita rasa religius� (religious sense) yang berasal dari alam bawah sadar dan menciptakan kebutuhan akan yang ilahi dalam diri kita. Dalam respon atas kebutuhan ini, kita secara positif menanggapi gagasan mengenai realitas dan kodrat Allah yang begitu nyaman selaras dengan perasaan-perasaan kita. Dalam istilah praktis, apa yang menjadi maksud dari hal ini adalah bahwa �Allah� yang kepadanya manusia berikan  kesetiaan tidak lain adalah sebuah fiksi dari karangan sendiri, makhluk semu yang tidak lain berasal dari tuntutan emosi yang mendalam. Di sinilah modernisme dapat dikatakan  mencerminkan pemikiran filsuf ateis abad ke-19, Ludwig Feurbach yang berargumen bahwa apa yang kita sebut �Allah� tidak lebih dari produk imajinasi keinginan dan kerinduan manusia.

Jenis sikap yang diwakili oleh imanentisme merupakan bagian yang sangat besar dari kesadaran religius pada zaman kita hidup sekarang ini. Imanentisme, yang dibawa kepada titik ekstrim, merupakan penolakan iman Kristiani secara keseluruhan karena imanentisme menggantikan iman Kristiani dengan sekularisme yang hambar dan anemik dengan mencoba menyamarkan diri sendirinya di bawah lapisan tipis dari agama. Karena imanentisme menempatkan �perasaan� di atas �akal budi�; imanentisme menyangkal realitas obyektif dari iman Katolik yang terwujud dalam ajaran-ajarannya, ajaran yang berasal dari wahyu ilahi. Untuk menyatakan dengan jelas: Bertentangan dengan imanentisme, kita memberikan persetujuan kita atas ajaran iman karena kita percaya ajaran iman tersebut adalah benar bukan karena ajaran iman tersebut selaras atau sejalan dengan perasaan kita.

Secara spesifik, dalam cara apa semangat imanentisme dapat dikatakan muncul dalam Gereja masa sekarang? Secara umum, imanentisme muncul dalam apa yang kita sebut �Katolisisme yang mengambil dan memilih � pick and choose Catholicism� (atau singkatnya disebut Katolik Kafetaria) di mana masing-masing individu memutuskan apa yang mereka terima atau mereka tolak sebagaimana yang ditentukan oleh perasaan-perasaan mereka, bukan oleh akal budi mereka. Perasaan itu selalu berubah-ubah, tetapi penggunaan akal budi yang benar sebagaimana yang diterapkan pada perkara-perkara religius tidak akan mengecewakan kita dan itu terjadi karena kita tahu bahwa tidak  ada konflik antara iman dan akal budi.

Berapa banyak umat Katolik sekarang ini yang memperlakukan ajaran Gereja yang jelas dan tak dapat diubah mengenai kontrasepsi seolah-olah merupakan masalah kecil yang bisa ditepis dengan lambaian tangan? Dan jelas sekali bahwa ada hubungan dekat antara sikap seperti itu dengan cara banyak umat Katolik memandang perkawinan sekarang ini yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana budaya sekular kita memandangnya. Perkawinan Suci (Holy Matrimony) tampaknya telah kehilangan kesuciannya. Selain itu, kebutuhan vital untuk mengakui status perkawinan sebagai sebuah sakramen � yang berarti menerima kesucian dan keutuhannya � seringkali dibuat menjadi sulit oleh dominasi legalisme yang mementingkan diri sendiri dan kabur.

Kita semua adalah imanentis sejauh kita ingin menempatkan kehendak kita di atas kehendak Allah yang dengan jelas telah diberitahukan kepada kita melalui pewahyuan dan yang telah diberikan perwujudan konkretnya dalam Gereja. Tergoda oleh imanentisme pada dasarnya berarti membuat sebuah perjanjian tanpa kenyataan/realita, untuk menyerah kepada subjektivisme, untuk lebih memilih �jalan saya� ketimbang jalan yang benar sekalipun �jalan saya� itu keluar jalur dari jalan yang membawa kita secara pasti lepas dari kekacauan.


Ditulis oleh Dr. Dennis Q. McInerny, Ph.D., dimuat di situs resmi Persaudaraan Imam-imam Santo Petrus (FSSP), diterjemahkan bebas oleh Indonesian Papist.



Definisi tentang imanensi dan transendensi dapat dibaca di bawah ini (dalam bahasa Inggris) mengacu kepada Kamus Istilah Katolikoleh Romo John Hardon, SJ:

IMMANENCE. Presence or operation within someone or something. Total "within-ness." As an operation, an immanent act begins within and remains within the person whom it perfects in the process. Thus acts of reflection and love are immanent acts of a human being. They may, of course, have effects outside the mind and will, but essentially they arise within and stay within the faculties by which they are produced. (Etym. Latin immanere, to remain in, hold to.)


TRANSCENDENCE. Supassing excellence, which may be either relative or absolute. It is relative when the excellence surpasses some objects below it, as human nature transcends the irrational creation. It is absolute when the excellence surpasses in being and activity all other beings. Only God is absolutely transcendent; in being because he alone is infinite and perfect Being who cannot change; in activity because he alone has existence of himself as uncreated First Cause on whom all creatures depend for their least operation.

Saturday, January 4, 2014

Hari Raya Epifani - Penampakan Tuhan (Pelajaran dari Orang Majus)

Kelahiran Yesus Kristus yang menarik perhatian terjadi di bawah bayang-bayang malam yang sunyi, Malam Kudus. Tak ada manusia yang tahu kelahiran-Nya saat itu kecuali Santa Perawan Maria Bunda-Nya, Santo Yosef Pelindung-Nya, dan beberapa gembala yang mengawasi kawanan domba pada malam itu. Tetapi, pada hari ini, Hari Penampakan Tuhan, Orang-orang Majus dipandu oleh sebuah bintang datang dan bersujud menyembah Sang Raja. Mereka mempersembahkan hadiah-hadiah yaitu emas, kemenyan dan mur. Kedatangan Orang Majus menggenapkan apa yang Nabi Yesaya katakan:
Yes 60:5-6 Pada waktu itu engkau akan heran melihat dan berseri-seri, engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan dari seberang laut akan beralih kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu. Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN.

Pada hari ini, Tuhan menampakkan diri-Nya kepada seluruh bangsa dan Dia mengundang mereka datang kepada terang-Nya. Orang-orang Majus datang dari iman pagan mereka, telah  mencari Allah yang benar dan menemukan Dia di pelukan Bunda Maria. Dipandu oleh elemen-elemen alam; mereka telah menemukan Sabda yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia. Karena Orang Majus tidak diberikan Wahyu Ilahi baik oleh para nabi maupun oleh Allah sendiri; mereka meraba-raba dalam gelap mencari-Nya. Namun berkat tanda dari langit, mereka menemukan Terang yang sesungguhnya yang mengusir semua kegelapan dan kebodohan. Orang-orang yang berjalan dalam kegelapan telah melihat Terang yang besar. Demikianlah dikatakan dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik mengenai Penyembahan Orang Majus:
Para Majus adalah buah-buah pertama para bangsa yang dipanggil untuk beriman dan mereka datang kepada Yesus bukan dengan tangan kosong tetapi dengan segala kekayaan dari tanah dan budaya mereka. Santo Leo Agung mengatakan: �Biarkanlah semua manusia, yang diwakili oleh tiga Majus ini, menyembah Pencipta semesta alam dan semoga Allah tidak hanya dikenal di Yudea, tetapi juga di seluruh muka bumi karena agunglah nama-Nya di seluruh tanah Israel (bdk. Mzm 75:2)�

Dengan demikian, kita umat Katolik non-Israel mengikuti jejak Orang Majus (juga non-Israel) untuk meninggalkan kegelapan dan berjalan mendapatkan terang Tuhan yang indah dalam Iman Kristiani kita. Katolisitas adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada kita, sebagaimana Bapa Suci mengatakan, �Iman kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk tiba secara pasti pada keselamatan.�

Sayangnya, Epifani atau Hari Penampakan Tuhan sekarang ini sekadar menjadi penanda berakhir masa liburan yang telah sangat dikomersialisasikan. Bahkan mungkin umat Katolik sendiri sudah kehilangan sense kesakralan akan Perayaan Epifani ini terutama oleh karena kurangnya pengetahuan iman. Epifani ini seharusnya sekali lagi mendapatkan tempat yang tepat karena pesan dari Penampakan Tuhan itu masih sangat relevan pada masa sekarang ini karena kita sedang dikelilingi oleh kegelapan dan saintisme* yang berhubungan langsung dengan ateisme.  Pada masa sekarang, tidak percaya kepada Allah dianggap mendapatkan pencerahan intelektual. Katolisitas dipandang sebagai takhayul sementara saintisme-ateisme dipandang sebagai kebijaksanaan yang baru.  Di sini, Epifani salah satu bukti bagaimana ilmu pengetahuan (sains) dapat digunakan untuk menemukan Allah, Terang sejati. Orang-orang Majus adalah ahli perbintangan yang mengetahui �bahwa adalah mungkin untuk menemukan-Nya dengan mata akal budi dalam pencarian akan makna tertinggi dari realitas dan dengan kerinduan akan Tuhan, dimotivasi oleh iman.� (Paus Benediktus XVI, Homili Epifani 6 Jan 2011). Apa yang kurang pada saintisme-ateisme adalah iman sementara dalam Katolisitas kita memiliki keduanya, iman dan akal budi (rasio).

Pada Epifani ini pun, kita bisa melihat bahwa Orang-orang Majus menggunakan kebebasannya untuk membuka diri kepada kebenaran iman dan tergerak oleh kasih kepada Allah memberikan persembahan emas, kemenyan dan mur. Dalam respon kepada seorang ateis Italia bernama Piergiorgio Odifreddi, Paus Benediktus XVI berkata: �Namun, saya terutama ingin mencatat bahwa dalam agama matematika anda, 3 tema fundamental dari eksistensi manusia tidak dipertimbangkan yaitu: kebebasan, kasih dan kejahatan.� Sementara, di dalam terang dari wahyu ilahi, Katolisitas memberikan penjelasan yang menawan mengenai kebebasan, kasih dan kejahatan melalui para teolog dan filsuf besarnya seperti Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, Paus Benediktus XVI, dan lain-lain.

Menutup tulisan singkat ini, berikut pesan dari Paus Benediktus XVI: �Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau terang dibiarkan tetap tersembunyi. Orang-orang sekarang ini masih merasakan kebutuhan untuk mendengarkan Yesus Kristus yang mengundang kita untuk percaya kepadanya dan menimba dari sumber air kehidupan di dalam-Nya. Pintu iman selalu terbuka untuk kita, mengantarkan kita masuk ke dalam kehidupan persekutuan dengan Allah dan menawarkan kita masuk ke dalam Gereja-Nya. Beriman kepada Trinitas adalah percaya pada satu Allah yang adalah kasih: Bapa yang dalam kepenuhan waktu, mengirim Putera-Nya untuk keselamatan kita, Yesus Kristus, yang dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya menebus dunia; dan Roh Kudus yang membimbing Gereja selama berabad-abad sembari kita menantikan kedatangan kembali yang mulia Tuhan kita.�


*. Saintisme didefinisikan oleh Beato Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Fides et Ratio sebagai �gagasan filosofis yang menolak mengakui keabsahan bentuk-bentuk pengetahuan selain yang berasal dari sains-sains positif; dan saintisme merendahkan pengetahuan agama, teologika, etika dan estetika kepada dunia fantasi belaka.� Pengikut Saintisme menganggap bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang valid adalah yang diverifikasi oleh metode saintifik. Perlu diingat bahwa menolak saintisme tidak berarti menolak sains atau ilmu pengetahuan namun menolak penyempitan ilmu pengetahuan akibat gagasan ini. Saintisme mendorong banyak orang menjadi Ateis karena memandang bahwa Allah tidak dapat diverifikasi secara saintifik. Namun demikian, Saintisme ini berkontradiksi pada dirinya sendiri sebab gagasan bahwa �satu-satunya ilmu pengetahuan yang valid adalah yang diverifikasi oleh metode saintifik� adalah sebuah dogma bagi mereka yang tidak dapat diverifikasi oleh metode saintifik itu sendiri.


pax et bonum

Friday, January 3, 2014

Karya Belas Kasih

Umumnya kita umat Katolik sering mengucapkan kata �kasih� atau �belas kasih� dengan pemahaman yang cenderung sentimental. Memberi sumbangan ke Panti Asuhan kita sebut berbuat kasih, mengampuni yang bersalah kita sebut mengasihi, bersimpati kepada orang menderita kita sebut berbelas kasih. Tetapi saat seseorang menunjukkan kesalahan sesamanya dengan dasar yang jelas, menegur sesamanya yang berbuat dosa; kita seringkali dengan mudah mengatakan bahwa �kamu telah menghakimi.�

14 Karya Belas Kasih

Kesalahpahaman-kesalahpaham belakangan ini mengenai belas kasih Paus Fransiskus, kata-kata Beliau tentang kasih dan sebagainya memunculkan rumor bahwa Gereja akan segera memperbolehkan mereka yang bercerai-dan-menikah kembali serta mereka yang menikah secara non-Katolik untuk menerima Komuni Kudus. Tentu, bila kita memahami kasih semata-mata secara sentimental, kita akan berpikir bahwa hal ini adalah bentuk belas kasih: �mereka sudah lama tidak menerima Komuni Kudus. Mereka pasti sudah sangat rindu. Mengapa kita menghalangi mereka? Bukankah dengan mengizinkan mereka menerima Komuni Kudus, Gereja telah berbuat kasih?�. Sebaliknya, ketika Gereja melarang mereka menerima Komuni Kudus, kita akan berteriak-teriak bahwa Gereja tidak punya belas kasih.

Berbicara tentang belas kasih; ada baiknya kita mengetahui kembali pembagian tradisional karya belas kasih dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik mengajarkan bahwa ada 14 bentuk karya belas kasih (KGK 2447) yang dibagi menjadi 7 karya belas kasih jasmani (yang berhubungan dengan tubuh) dan 7 karya belas kasih rohani (berhubungan dengan jiwa) yaitu:

7 KARYA BELAS KASIH JASMANI

1. Memberi makan pada orang yang lapar
2. Memberi minum pada orang yang haus
3. Memberi pakaian pada yang telanjang
4. Memberi tumpangan pada tunawisma
5. Mengunjungi yang sakit
6. Mengunjungi tawanan
7. Menguburkan yang meninggal

7 KARYA BELAS KASIH ROHANI

1. Menegur orang-orang berdosa
2. Mengajar yang tidak tahu
3. Membimbing yang ragu-ragu
4. Menghibur yang sedih
5. Mengampuni kesalahan dengan rela
6. Menanggung dengan sabar kepahitan hidup
7. Mendoakan yang hidup maupun yang mati

Tentu pembagian ini tidak menyempitkan belas kasih hanya menjadi 14 contoh perbuatan saja, tetapi berbagai macam bentuk perbuatan belas kasih dapat digolongkan ke dalam 14 perbuatan belas kasih di atas.

Dari pembagian di atas, kita bisa mengetahui bahwa saat kita menegur orang lain yang berbuat dosa dan menunjukkan bahwa yang diperbuat adalah dosa, maka kita tidak sedang menghakimi melainkan sedang mengasihi orang lain tersebut. Saat kita memberi tahu dan mengajarkan ajaran Gereja dengan dasar yang jelas dan benar kepada umat Katolik yang lain, kita tidak sedang menggurui atau sok paling paham tetapi kita sedang mengasihi sesama saudara/i Katolik kita. 

Kembali kepada kesalahpahaman umum atas belas kasih dalam kaitan dengan Paus Fransiskus; perlu kita ketahui bahwa saat Gereja melarang seseorang yang bercerai-dan-menikah kembali atau yang menikah secara non-Katolik; Gereja sedang mengasihi orang tersebut, menghindarkan mereka dari perbuatan dosa sakrilegi, dari perbuatan melecehkan Sakramen Ekaristi. Mengapa disebut Sakrilegi? Saat seorang Katolik bercerai lalu menikah lagi, orang tersebut telah melanggar kesucian dan martabat pernikahan dan dengan demikian telah berbuat dosa berat. Orang yang berdosa berat tidak dapat menerima Komuni Kudus. Demikianlah yang diajarkan oleh Santo Paulus �Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.� (1 Kor 11:27). Ketika orang tersebut tetap memaksakan diri menerima Komuni Kudus, bukanlah rahmat pengudusan yang didapat melainkan dosa sakrilegi, melecehkan sesuatu yang kudus. Silahkan klik Sakramen Orang Mati dan Sakramen Orang Hidup untuk mengetahui tentang Sakramen dan Sakrilegi.

Ketika Gereja melarang orang tersebut menerima Komuni Kudus; Gereja sekaligus menyerukan panggilan untuk bertobat, berbalik dari kesalahan dan kembali ke jalan kekudusan. Saat seorang ibu melarang anaknya, �Jangan ke sana, ada jurang!�, maka ibu tersebut memanggil anaknya untuk berbalik dari jalan menuju jurang dan kembali ke jalan yang aman. Bukankah ini perbuatan belas kasih?

Santo Thomas Aquinas, mengikuti Tradisi Gereja, mengajarkan bahwa karya belas kasih rohani superior terhadap karya belas kasih jasmani walau meski tetap mengajarkan untuk tidak mengabaikan keduanya. Karya belas kasih rohani dipandang superior dari karya belas kasih jasmani karena karya belas kasih rohani berhubungan langsung dengan keselamatan abadi. Ambil contoh seturut konteks di atas yaitu menegur sesama yang berbuat dosa. Kitab Suci memberikan pernyataan yang jelas mengenai hubungan antara menegur sesama yang berbuat dosa dengan keselamatan dan penghakiman ilahi.
Yeh 3:18 Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Engkau pasti dihukum mati! --dan engkau tidak memperingatkan dia atau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu dari hidupnya yang jahat, supaya ia tetap hidup, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu.

Yeh 3:19 Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu dan ia tidak berbalik dari kejahatannya dan dari hidupnya yang jahat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu.

Yeh 3:20 Jikalau seorang yang benar berbalik dari kebenarannya dan ia berbuat curang, dan Aku meletakkan batu sandungan di hadapannya, ia akan mati. Oleh karena engkau tidak memperingatkan dia, ia akan mati dalam dosanya dan perbuatan-perbuatan kebenaran yang dikerjakannya tidak akan diingat-ingat, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu.

Yeh 3:21 Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang yang benar itu supaya ia jangan berbuat dosa dan memang tidak berbuat dosa, ia akan tetap hidup, sebab ia mau menerima peringatan, dan engkau telah menyelamatkan nyawamu."
Tentu saja saat seorang Katolik yang berdosa berat (contoh di atas dosa beratnya adalah bercerai-dan-menikah kembali dan menikah secara non-Katolik) dilarang menerima Komuni Kudus, maka ia juga harus diberitahu alasan pelarangan dengan dasar yang jelas dan tidak lupa beritahukan bagaimana caranya ia bertobat atau berbalik dari kesalahannya. Tugas ini bukanlah semata tugas para kaum tertahbis ataupun awam yang menjadi katekis, tetapi semua umat Katolik sebagai bentuk kasih terhadap sesama.

Pax et bonum