Latest News

Showing posts with label Sejarah di dalam Gereja Katolik. Show all posts
Showing posts with label Sejarah di dalam Gereja Katolik. Show all posts

Sunday, December 22, 2013

Gencatan Senjata Natal 1914


Perang Dunia Pertama berlangsung pada 28 Juli 1914 � 11 November 1918. Pada awal perang dunia ini, terdapat sebuah kisah menarik yaitu Gencatan Senjata Natal di mana tentara Jerman dan tentara Inggris yang sedang berperang di No-Man�s Land (Tanah Tak Bertuan) melakukan gencatan senjata, berhenti menembak, dan bersama-sama merayakan Natal. Peristiwa ini umum dikenal dengan nama Christmas Truce 1914 (Gencatan Senjata Natal 1914).


Tentara Jerman dan Inggris Berfoto Bersama
Umumnya ciri khas pertempuran dalam Perang Dunia Pertama adalah pertempuran parit di mana baik tentara sekutu maupun tentara sentral saling menyerang dari dan bertahan di parit-parit yang mereka gali. Setelah Pertempuran Ypres Pertama pada bulan November 1914 mereda, pasukan Inggris (British Expeditionary Force � BEF) yang mempertahankan Ypres digantikan oleh pasukan Prancis. Pada Desember 1914, pasukan BEF kemudian berpindah dan mengambil alih sebuah sektor pertempuran di Front Barat yang terletak agak selatan dari St. Eloi, Prancis. Kekuatan Inggris di Perancis saat itu dibangun kembali dari gabungan sisa-sisa unit pasukan yang hancur dan tercerai pada Pertempuran Ypres Pertama ditambah dengan rekrutan-rekrutan baru dan dua divisi Indian Corps dan beberapa unit pasukan teritorial. Di sini, pasukan Inggris tersebut akan menghadapi pasukan Jerman.

Pertempuran parit yang statis dan menjenuhkan serta berada dekat dengan musuh menyebab banyak orang ingin tahu tentang orang-orang yang mereka hadapi dalam perang. Saking dekatnya parit tentara Inggris dan parit tentara Jerman, gerak-gerik masing-masing dapat didengar serta dapat dilihat. Sesekali ada teriakan saling menyahut ataupun menghina antara dua pasukan yang bertempur.

Sekali waktu, pada tanggal 7 Desember 1914, Paus Benediktus XV mengusulkan kepada negara-negara yang berperang melakukan gencatan senjata sementara untuk perayaan Natal yang semakin dekat. Akan tetapi, negara-negara yang berperang menolak untuk mendeklarasikan gencatan senjata secara resmi, beberapa meremehkan seruan tersebut dan hanya Austria-Hongaria yang memandang serius seruan tersebut tapi kemudian tetap tidak melakukannya. Namun, tampaknya seruan Paus Benediktus XV tersebut terdengar sampai ke telinga tentara-tentara yang bertempur di No-Man�s Land.

Pada tanggal 20 Desember 1914, terjadi gencatan senjata lokal di front pertempuran Brigade ke-22 Inggris. Kedua pasukan sama-sama keluar menolong tentara masing-masing yang terluka di tengah Tanah Tak Bertuan. Meskipun begitu, ada beberapa kontak senjata yang menewaskan tentara kedua belah pihak.

Pada tanggal 23 Desember 1914, tentara Jerman, Karl Aldag, melaporkan bahwa kedua pihak saling mendengar nyanyian himne Natal di masing-masing parit. Tentara Jerman datang ke garis depan membawa pohon-pohon Natal dan menempatkannya di sisi parit yang sedang bergejolak. Terjadi gencatan senjata lokal di front pertempuran Brigade ke-23 Inggris.

Pada pagi hari tanggal 24 Desember 1914, cuaca semakin dingin, membuat kondisi parit-parit pertempuran sedikit mereda. Namun, 98 tentara Inggris meninggal pada hari ini akibat tembakan sniper Jerman. Selama sore dan menjelang malam pada hari yang sama ini, pasukan infanteri Inggris heran melihat banyak pohon Natal dengan lilin dan lentera-lentera di parit-parit Jerman. Ada banyak yang menyanyikan lagu dan himne Natal juga lagu-lagu populer. Bahkan terjadi saling komunikasi yang meningkat antara tentara Inggris dan Jerman, bahkan pertemuan di beberapa area pertempuran. Banyak pertemuan ini dibuat untuk mengatur proses pengumpulan jenazah-jenazah. Di bagian lain, tembak menembak masih berlanjut. Perwira-perwira batalyon bingung untuk bereaksi sementara amanat Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien jelas melarang  hal-hal seperti ini terjadi. Malam semakin cerah meskipun udara beku.

Tentara Inggris dan Jerman pada Hari Natal
Pada tanggal 25 Desember 1914, pasukan-pasukan di belakang garis depan menghadiri ibadah Gereja dan di beberapa tempat mengatur acara makan malam Natal di lumbung dan puing-puing bangunan. Di garis depan, persaudaraan tentara Inggris dan Jerman yang terbentuk pada Malam Natal berlanjut sepanjang hari; tidak semua unit tahu akan hal itu dan peristiwa ini tidak terjadi di seluruh wilayah pertempuran namun menyebar luas di lebih dari setengah front pertempuran Inggris. Banyak jenazah yang terbaring di Tanah Tak Bertuan dikuburkan oleh masing-masing pihak. Banyak tentara melaporkan peristiwa yang aneh dan mengagumkan seperti ini; tentara Inggris dan Jerman yang dapat berbahasa Inggris bertemu langsung dan saling bertukar alamat. Kedua tentara juga saling bertukar rokok, coklat dan hadiah-hadiah lainnya. 81 tentara Inggris meninggal pada hari ini; beberapa dari mereka meninggal karena tembakan sniper terutama di daerah yang masih bergejolak. Pada malam hari, suasana menjadi tenang karena tentara-tentara kembali ke parit mereka untuk menikmati makanan Natal yang telah disediakan bagi mereka.

Tentara Jerman dan Inggris Bersama-sama Menguburkan Jenazah
Pada tanggal 26 Desember 1914, di beberapa area semangat persahabatan masih berlanjut. Namun, baik perwira maupun prajurit dari kedua pihak mulai mengambil sikap waspada. Atmosfer secara umum tetap tenang dan santai. Berita tentang gencatan senjata tak resmi ini sampai ke telinga Jenderal Sir Horace Smith-Dorrien yang kemudian memerintahkan penjatuhan sanksi disiplin terhadap perwira dan prajurit yang mengambil bagian dalam gencatan senjata tersebut. Namun, pada peristiwa itu, tidak ada tindakan diambil terhadap perwira atau prajurit tersebut.

Tentara Inggris dan Jerman Berkumpul pada Boxing Day (26 Desember 1914)
Pada selang waktu 27-31 Desember 1914, cuaca kembali dingin dan turun hujan deras. Ada beberapa tentara menghilang akibat banjir yang melanda parit-parit. Tetapi, di beberapa area, suasana persahabatan masih berlangsung beberapa hari dan bahkan hampir tidak terjadi baku tembak meski perlahan-lahan suasana tersebut mulai menghilang.

Beberapa surat yang ditulis oleh tentara-tentara Inggris yang berada pada saat Christmas Truce 1914 didokumentasikan di situs Christmas Truce. Salah satu contoh adalah tulisan Kopral Copper dari unit pasukan 2nd Northamptonshire Brigade ke-22 kepada Nona N. Thody yang menceritakan �Sekarang saya ingin memberitahumu sesuatu yang engkau sulit percayai, tetapi itu sungguh benar. Tidak ada tembakan pada Hari Natal dan orang-orang Jerman sungguh bersahabat dengan kami. Mereka bahkan datang ke parit-parit kami dan memberikan kami tembakau, rokok, dan coklat dan tentu saja kami memberikan mereka sesuatu sebagai balasannya.�

Ada dua video dari gloria.tv yang menggambarkan tentang Christmas Truce 1914, silahkan The Christmas Truce of 1914 dan The Christmas Truce.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Pax et bonum

Ditulis dari berbagai sumber

Sunday, December 15, 2013

Batu Misa Kudus - Saksi Iman Katolik Orang Irlandia


Melihat ke kondisi Irlandia masa sekarang, jelas sekali terlihat bahwa telah terjadi pengikisan iman Katolik yang sangat hebat di antara orang-orang Katolik di Irlandia yang disebabkan oleh banyak faktor. Namun, orang-orang Irlandia masa lampau - saat mereka berada di bawah hukum Inggris � memiliki iman yang begitu mengagumkan bahkan rela mati demi Misa Kudus.


Batu Misa Kudus di Kota Cork, Irlandia
Plakat Memorial di Batu Misa Kudus dalam Bahasa Irlandia dan Inggris. Dalam Bahasa Indonesia "Misa dirayakan di sini pada masa Penal."
Hukum Pidana (Penal Laws) di Irlandia ditetapkan pada tahun 1691 oleh Penguasa Inggris di Irlandia dengan tujuan utama memaksa sebanyak mungkin Orang Katolik Irlandia, khususnya kalangan kelas atas dan tuan tanah, masuk ke dalam agama Anglikan. Tujuan lainnya adalah menghilangkan hak-hak politik, pendidikan, pekerjaan, kepemilikan tanah dan lain-lain dari orang-orang Katolik Irlandia yang masih setia pada imannya. Tahun-tahun antara 1691 hingga 1793 dapat dianggap sebagai era Penal Lawsmeskipun sejak tahun 1778 Penal Laws mulai diringankan.
Dalam Penal Laws ini, Orang-orang Katolik di Irlandia dilarang untuk:
1. Menjalankan ajaran agamanya.
2. Menerima pendidikan atau menjalankan keprofesian selain profesi-profesi medis.
3. Memegang jabatan publik atau terlibat dalam perdagangan.
4. Tinggal di kota besar atau dalam radius 5 mil dari sana.
5. Memiliki seekor kuda yang harganya lebih besar dari 5 pound.
6. Membeli atau menyewakan tanah, atau menerima penggadaian tanah.
7. Mengikuti Perayaan Ekaristi dan ibadat-ibadat Katolik lainnya, tetapi mereka dipaksa untuk mengikuti ibadat-ibadat Anglikan.
8. Mengirim anak-anak belajar kepada guru-guru Katolik atau memperkerjakan guru-guru Katolik untuk mengajar anak-anak. Anak tidak dapat dikirim ke luar negeri untuk menerima pendidikan.
9. Bergabung ke dalam tentara dan memiliki hak suara politik.

Misa saat Masa Penal Days di Carlow, Irlandia
Di atas hanya sebagian dari begitu banyak larangan terhadap umat Katolik Irlandia. Di samping itu juga, semua uskup, imam dan diakon Katolik diperintahkan untuk meninggalkan Irlandia dalam hari yang telah ditentukan. Jika setelah hari yang ditentukan, mereka masih ditemukan di Irlandia, mereka pertama-tama akan dipenjara lalu diasingkan. Bila mereka memaksakan diri kembali dari pengasingan, mereka akan dinyatakan bersalah telah melakukan pengkhianatan tingkat tinggi dan layak untuk dihukum mati baik digantung atau dipenggal. Penal Laws tahun 1709 menawarkan hadiah 50 pound (jumlah yang besar pada saat itu) kepada siapapun yang dapat memberitahu tempat persembunyian atau membantu penangkapan para uskup, imam, dan diakon Katolik.  

Lukisan oleh Michael Burns O'Mahony menggambarkan Perayaan Misa Kudus di atas batu Misa.
Gereja-gereja Katolik pada masa Penal Laws ini sebagian ada yang dirusak dan dihancurkan dan sebagian lagi diubah fungsinya menjadi tempat ibadah Anglikan. Tanah-tanah Gereja disita oleh negara untuk dijadikan milik Anglikan.

Semua itu dilakukan untuk meruntuhkan iman Katolik orang-orang Irlandia dan memaksa mereka untuk menjadi Anglikan. Larangan yang sama pernah terjadi di Norwegia dan Swedia dan hal ini berhasil meruntuhkan iman Katolik putera-puteri Santo Olav (Norwegia) dan Santo Erik (Swedia) di mana sebagian besar dari mereka menjadi Protestan, melupakan santo-santo besar mereka ini. Tetapi, orang-orang Katolik Irlandia sangat teguh. Mereka selalu berusaha untuk bisa menghadiri Misa Kudus yang meneguhkan iman mereka, menguatkan mereka dalam penganiayaan. 

Dimanakah mereka merayakan Misa Kudus ketika Gereja-gereja Katolik disita dan dihancurkan? Ada dua tempat penting yaitu Batu Misa (Mass Rock) dan Misa Stasi (Station Mass). Umat Katolik di perkotaan umumnya merayakan Misa Stasi maksudnya adalah Misa Kudus yang dirayakan rumah-rumah tertentu pada masa penganiayaan. Selebran Misa (Uskup atau Imam) datang ke rumah yang telah ditentukan untuk tempat merayakan Misa Kudus. Karena tidaklah aman bagi para kaum tertahbis membawa busana liturgis dan peralatan Misa Kudus, maka barang-barang tersebut dibawa oleh umat setempat dan dipindahkan dari rumah ke rumah yang ditentukan untuk tempat Misa Kudus.

Lukisan Misa Kudus saat Musim Salju pada Masa Penal Days di Irlandia.
Sementara itu, bagi umat Katolik yang berada di pedesaan, mereka umumnya merayakan Misa Kudus di Batu Misa yaitu batu di daerah terpencil yang menjadi spot untuk altar saat merayakan Misa Kudus. Info tentang Misa Kudus dikabarkan dari mulut ke mulut. Selebran Misa Kudus akan datang ke Batu Misa lalu menunggu umat berdatangan. Sampai dianggap semuanya sudah hadir, Selebran Misa meminta sejumlah umat untuk berdiri di tempat tinggi mengawasi Perayaan Ekaristi dan melihat kemungkinan datangnya pasukan tentara Inggris yang memburu para kaum tertahbis Katolik. Jangan pikir bahwa mereka bisa sering-sering merayakan Misa Kudus. Seringkali mereka baru bisa mengecap Sakramen Ekaristi dalam jangka waktu yang sangat lama, itupun bila imam yang merayakan Misa Kudus masih selamat dari pengejaran.

Gambar hitam putih umat yang mengawasi kemungkinan datangnya Pasukan Inggris.
Tentu saja bahaya mengancam mereka semua. Para kaum tertahbis yang tertangkap akan dihukum mati, sementara kaum awam bisa dipenjara dan bila berulang kali tertangkap akan dihukum mati pula. Setiap Misa Kudus yang dirayakan dapat menjadi Misa terakhir bagi para kaum tertahbis dan awam. Tapi mereka tidak takut akan hal itu. Kerinduan mereka untuk merayakan Misa Kudus jauh lebih besar dari ketakutan-ketakutan tersebut. Mereka ingin menerima Tubuh Kristus dalam rupa Roti yang sudah dikonsekrasi. Mereka tidak mau menyangkal iman Katolik mereka. Mereka tetap berlutut meski di atas tanah dan bebatuan keras yang tak rata demi menyembah Yesus Kristus yang hadir dalam Sakramen Ekaristi. Sukacita dapat merayakan Misa Kudus mengalahkan ketakutan mereka. Bahkan masih banyak orang muda pada masa itu yang tetap ingin menjadi imam sekalipun resikonya sangat besar. Ada puisi yang menarik tentang Orang-orang Katolik Irlandia ini.

Para Orang Irlandia yang Berlutut (The Irish Kneelers)

Kami adalah Santo-santa
Joan dari Arc, Philomena dan Edmund Campion.
Iman dalam keseluruhannya
adalah apa yang kami menangkan.


Kami adalah Santa Margareta,
Mutiara dari York.
Di mana perut-perut iman
mereka coba untuk merobeknya.


Kami adalah Sir More,
Yaitu Thomas [More] Sang Santo,
Yang reputasinya
Tidak dapat mereka nodai.


Kami adalah yang terpanggil,
di Irlandia untuk berlutut.
Kami menyembah kehadiran-Nya.
Kehadiran-Nya [dalam Misa] bukan sekadar perasaan saja.


Kami adalah keturunan-keturunan
dari orang-orang Irlandia dan berusaha
menghentikan semua manusia
yang hendak mengubah kami menjadi kaum pagan.


Kami adalah orang miskin,
yang tidak terdidik.
Tetapi dalam iman sangat berpengetahuan.
Kaum sesat pun menghindar.


Dan ketika kami diperintahkan,
�jangan berlutut lagi!�,
karena kami tidak memegang gelar doktorat,
kami tetap berlutut dan mengabaikannya.

Misa Kudus di batu Misa di kota Newry, Irlandia. Pada masa sekarang tradisi Misa Kudus di atas batu Misa masih bertahan di Irlandia.
Sangat ironis sekali bila kita lihat pada masa sekarang banyak dari kita tidak lagi memiliki kerinduan akan Ekaristi; tidak lagi meyakini bahwa Roti yang kita terima adalah sungguh-sungguh Tubuh Kristus, sungguh Kristus; kita tidak lagi memberikan penghormatan dan penyembahan yang pantas dan benar kepada-Nya dalam Misa Kudus; kita merasa bahwa Misa Kudus membosankan. Sangat ironis sekali juga bila kita melihat bahwa masih banyak dari kita senang �jajan gereja�, beribadah di luar Misa Kudus bahkan malah ada yang lebih menginginkan kebaktian non-Katolik daripada menerima Tubuh Kristus dalam Perayaan Ekaristi Gereja Katolik. Bila dulu orang-orang Katolik ini rela mati demi Roti Ekaristi, tidak ingin beribadah di kebaktian Anglikan, mengapa kita sekarang malah mengkhianati-Nya dengan justru datang ke kebaktian non-Katolik lainnya?

Seharusnya banyak dari kita, saya dan anda umat Katolik di Indonesia merasa malu dengan begitu besarnya iman orang-orang Katolik Irlandia ini. Di tengah kondisi yang lebih baik daripada kondisi orang-orang ini, kita malah tidak bersyukur, kita malah tidak bisa memberikan penghormatan dan penyembahan yang pantas dan benar kepada-Nya, kita malah melecehkan-Nya dalam Misa Kudus dengan ego-ego kita, kita malah menduakan-Nya dengan hadir dalam Misa Kudus tapi berpartisipasi juga dalam kebaktian non-Katolik.

Paus Pius XI mengingatkan saat pembukaan Kongres Ekaristi di Dublin, Irlandia, tahun 1932. �Kita tidak boleh pernah melupakan Batu-batu Misa.� Demikian pula kita umat Katolik Indonesia jangan melupakan Batu-batu Misa Orang Katolik Irlandia karena Batu-batu Misa ini menjadi peneguh kita supaya semakin mencintai Misa Kudus, supaya semakin mengimani Roti Ekaristi yaitu Yesus Kristus sendiri, supaya tidak tergoda oleh dorongan selera pribadi untuk �jajan� ke kebaktian lain, supaya kita dikuduskan dan diselamatkan.

pax et bonum

Referensi:

Tuesday, August 13, 2013

Santo Hippolitus dan Doa Syukur Agung



Setiap tanggal 13 Agustus, Gereja Katolik merayakan Pesta St. Hippolitus dan Paus St. Pontianus. Paus St. Pontianus adalah seorang Roma yang menjadi Paus dari tahun 230 hingga 235 M. St. Pontianus menjadi Paus pada masa penganiayaan Kaisar Romawi. Pada tahun 235 M, St. Pontianus dibuang ke daerah-daerah pertambangan yang berbahaya di Pulau Sardinia, Italia. Bersama dengan Paus St. Pontianus, pada tahun yang sama, St. Hippolitus juga dibuang ke pulau Sardinia dan keduanya bertemu serta sama-sama meninggal sebagai martir Katolik. Gereja Katolik merayakan pesta keduanya pada hari yang sama. Siapakah St. Hippolitus ini?  
 

Tidak banyak yang diketahui tentang awal riwayat hidup St. Hippolitus. Apa yang dapat diketahui adalah bahwa St. Hippolitus adalah seorang Yunani. Ia adalah murid St. Ireneus dari Lyon. Sementara St. Ireneus dari Lyon adalah murid St. Polikarpus dari Smirna dan St. Ignatius dari Antiokia. Kedua orang ini merupakan murid dan pendengar langsung dari St. Yohanes Rasul, Penulis Injil Yohanes. Berdasarkan rantai apostolik ini, dapat diketahui bahwa St. Hippolitus merupakan seorang figur yang penting dalam mengetahui dan memahami Tradisi Apostolik (Pengajaran-pengajaran yang berasal dari Para Rasul) yang diteruskan hingga saat ini di dalam Gereja Katolik. St. Hippolitus menjadi kepala dari sebuah sekolah teologi di sekitar Roma. Ia adalah seorang teolog dan uskup dari sebuah keuskupan yang tidak terkenal (menurut Eusebius dari Caesarea dan St. Hieronimus). Ia menulis karya-karya mengagumkan mengenai teologi.

St. Hippolitus adalah seorang yang keras dan sama sekali tidak mau berkompromi dengan ajaran-ajaran sesat pada masa itu. St. Hippolitus menolak ajaran-ajaran yang sesat yang dibuat oleh Theodotion serta membela ajaran Trinitas di hadapan bidaah Sabellianisme yang dicetuskan oleh Sabellius. Sabellianisme mengajarkan bahwa Bapa dan Putera hanyalah manifestasi (modi) dari satu pribadi Ilahi. Sabellianisme ini disebut juga Modalisme. Kekeliruan modalisme pada awal kemunculannya tidak terlalu jelas sehingga Paus St. Zephyrinus tidak mengambil keputusan atas hal ini serta tidak ingin gegabah dalam menolaknya. Tetapi, St. Hippolitus merasa kecewa dengan sikap Paus St. Zephyrinus yang tidak tegas terhadap kaum Modalist dan memandangnya kurang cepat tanggap dalam mencegah ajaran sesat tersebut. Karena hal ini, St. Hippolitus mencela Paus St. Zephyrinus, menggambarkannya sebagai seorang yang tidak kompeten dan tidak layak menjadi Uskup Roma.

Pada tahun 217 M, Paus St. Zephyrinus wafat sebagai martir pada tahun 217 dan digantikan oleh Paus St. Callistus I. Sebelum menjadi Paus, St. Callistus I sudah lebih dulu dipandang buruk oleh St. Hippolitus. Saat menjadi Paus, St. Callistus I semakin dipandang buruk oleh St. Hippolitus karena sikap St. Callistus I yang terlalu lembut terhadap pendosa dan penganut ajaran sesat yang bertobat. St. Hippolitus juga memandang St. Callistus I sebagai seorang Paus yang tidak kompeten dalam membela ajaran Gereja di hadapan ajaran-ajaran sesat pada masa itu. St. Hippolitus menolak Paus St. Callistus I secara terbuka, memutuskan persatuan dengan Paus St. Callistus I. Para pengikut St. Hippolitus kemudian mengangkatnya sebagai paus tandingan (antipaus) terhadap Paus St. Callistus I. St. Hippolitus tidak menganut ajaran sesat, namun menolak persatuan dengan Paus St. Callistus I sebagai paus yang sah.

Setelah Paus St. Callistus I meninggal pada tahun 222 M, St. Hippolitus bertahan menolak bersatu dengan pengganti Paus St. Callistus I yaitu Paus St. Urbanus I yang menjadi Paus dari tahun 222 M hingga 230 M. Begitu pula ketika Paus St. Urbanus I meninggal dan digantikan oleh Paus St. Pontianus pada tahun 230 M, St. Hippolitus menolak persatuan dengan Paus St. Pontianus sampai akhirnya mereka berdua bersama-sama menjalani pembuangan di pulau Sardinia pada tahun 235 M. St. Hippolitus tersentuh dengan semangat kerendahan hati Paus St. Pontianus. Ia mohon diperbolehkan kembali dalam pelukan Gereja dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai paus tandingan. Paus St. Pontianus mengasihi St. Hippolitus dan tahu bahwa mereka perlu saling membantu serta menguatkan dalam kasih Yesus. 

Kemartiran Santo Hippolitus dari Roma
Sebelum wafat sebagai martir pada tahun 236 M, St. Hippolitus kemudian meminta para pengikutnya untuk bersatu dengan pengganti St. Pontianus, yaitu Paus St. Anterus. Santo Hippolitus menjadi martir dengan cara tangan dan kakinya ditarik oleh 4 kuda yang berlarik berlawanan arah sehingga tubuhnya hancur. Kedua orang kudus ini, St. Hippolitus dan St. Pontianus wafat sebagai martir dan untuk selamanya dikenang sebagai saksi pengampunan dan pengharapan Kristiani.

Kisah St. Pontianus tampaknya sekali lagi menggambarkan sebuah pernyataan yang menarik, �setiap orang kudus punya masa lalu dan setiap pendosa punya masa depan.� St. Hippolitus memiliki semangat dan berjuang agar ajaran Kristus dan Gereja tetap kokoh di tengah banyaknya ajaran-ajaran sesat yang menyerang. Motivasi yang sungguh baik dan sungguh benar. Tetapi sayangnya langkah yang ditempuh terlalu jauh bahkan melepaskan persatuan dengan Paus yang sah dan ini jelas bukan merupakan cara yang Katolik. Meskipun begitu, kisah St. Hippolitus juga menjadi bukti bahwa seorang yang salah selalu mempunyai kesempatan untuk kembali dari kesalahannya dan St. Hippolitus menunjukkannya dengan kembali berdamai dengan Gereja melalui St. Pontianus.

St. Hippolitus dan Doa Syukur Agung

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, St. Hippolitus adalah seorang pembela ajaran iman yang benar. Dalam usahanya tersebut, St. Hippolitus menuliskan dan mendokumentasikan ajaran-ajaran, aturan-aturan dan sebagainya termasuk doa-doa Ekaristis yang telah ada sebelumnya dalam tulisan-tulisannya. Menurut Romo Cassian Folsom, OSB., inspirasi Doa Syukur Agung II dalam Misa Bentuk Baru (Novus Ordo) diambil dari Doa Syukur Agung untuk Misa Penahbisan Uskup Baru yang didokumentasikan oleh St. Hippolitus dalam bukunya yang berjudul Tradisi Apostolik Bab 4. Romo Mike Aquilina menuliskan teks tersebut dalam bukunya berjudul The Mass of the Early Christians hlm. 107-108.  Ini menjadi bukti keapostolikan Misa Kudus Gereja Katolik. Saya menerjemahkan secara kaku seturut teks bahasa Inggris yang tersedia.

Uskup: Tuhan bersamamu.
Umat: Dan bersama rohmu.
Uskup: Angkatlah hatimu.
Umat: Kami mengangkat hati kepada Tuhan.
Uskup: Marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan.
Umat: Hal itu adalah layak dan benar.
Uskup: Kami bersyukur [kepada-Mu], oh Allah, melalui Putra-Mu terkasih Yesus Kristus, yang Engkau telah utus kepada kami pada hari-hari terakhir ini sebagai Juruselamat, Penebus dan Penyampai kehendak-Mu. Dia adalah Sabda-Mu, tak terpisahkan dari Engkau, yang melalui-Nya Engkau menciptakan segala sesuatu dan kepada-Nya Engkau berkenan. Dari surga Engkau mengutus Dia ke dalam rahim Sang Perawan [Maria] dan dikandung di dalam Sang Perawan, Dia menjadi manusia dan menjadi Putera-Mu, dikandung oleh Roh Kudus dan lahir dari Sang Perawan. Menggenapi kehendak-Mu dan memenangkan bagi-Mu orang-orang kudus, Dia merentangkan tangan-Nya saat Ia menderita dan melalui kematian-Nya, Ia dapat membebaskan mereka yang percaya kepada-Mu.
Ketika Dia dikhianati kepada kematian yang Dia kehendaki sehingga Dia dapat mengalahkan maut, mematahkan ikatan-ikatan iblis, menundukkan neraka di bawah kaki-Nya, memberikan terang kepada orang benar, menetapkan penghukuman, dan mewujudkan kebangkitan-Nya; Ia mengambil roti dan mengucap syukur kepada-Mu, [sambil] berkata: �Ambillah, makanlah! Ini adalah Tubuh-Ku yang dipecah-pecah bagimu.� Dengan cara yang sama [untuk] piala, [Ia] berkata: �Ini adalah Darah-Ku, yang ditumpahkan bagimu. Ketika kamu melakukan ini, lakukanlah dalam peringatan akan Aku.�
Oleh karena itu, mengenang kematian dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan kepada-Mu Roti dan Piala, mengucap syukur karena Engkau telah menganggap kami layak untuk berdiri di hadapan-Mu dan untuk melayani-Mu.
Kami berdoa supaya Engkau mengutus Roh Kudus-Mu atas persembahan-persembahan Gereja-Mu yang kudus.  Kumpulkanlah mereka semua bersama-sama, karuniakanlah kepenuhan Roh Kudus kepada semua orang kudus-Mu yang mengambil bagian [dalam Misteri Kudus-Mu], agar iman mereka boleh diteguhkan dalam kebenaran sehingga kami dapat memuji Engkau dan memberikan kepada-Mu kemuliaan dan kehormatan, bersama dengan Roh Kudus dalam Gereja yang kudus, sekarang dan selamanya. Amin. (Ket: Umat yang menghadiri Misa Kudus disebut orang-orang kudus, the saints).

Pax et bonum

Referensi:
Catholic Encyclopedia: St. Hippolytus of Rome

Thursday, June 6, 2013

Surat Dari Biara St. Maron Kepada Paus Hormisdas � Pengakuan Otoritas Uskup Roma


Pada tahun 517 AD, sejumlah besar biarawan meninggalkan biara St. Maron, dan pergi ke Biara St. Simon sang Stylite murid St. Maron dekat Alepo. Dalam perjalanan menuju biara itu mereka diangkap oleh sejumlah tentara pendukung bidaah monofisitisme (Kristus hanya memiliki satu kodrat, bertentangan pengajaran Katolik bahwa Kristus memiliki dua kodrat tak terpisah tak tercamput). Tiga ratus lima puluh biarawan dibunuh. Hanya sedikit yang selamat dan terluka dan berhasil melarikan diri. Kemudian Alexander pemimpin biara St. Maron dan pemimpin biara-biara di sekitarnya menulis kepada Paus Hormisdas dan memberitakan kepada Paus mengenai pembantaian oleh kaum Monofisit ini. Mereka juga mengatakan bahwa banyak biara dibakar dan meyakinkan Paus bahwa para biarawan tetap setia kepada Gereja Katolik dan tidak takut menderita kematian karena iman mereka. Surat Alexander ini sedikit banyak menunjukkan kepada otoritas yang dimiliki Paus dalam Gereja-gereja Timur, di masa ketika Gereja Antiokhia sedang berada dalam krisis besar otoritas Paus sebagai Patriarkh Gereja Universal nampak semakin jelas. Para biarawan dari St. Maron inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu tradisi tersendiri yang kita kenal sebagai Gereja Maronit, satu-satunya Gereja Timur yang tidak memiliki badan Ortodoks yang terpisah dari Roma.

Kepada Yang Tersuci dengan kekudusan yang mendalam, Hormisdas, Patriarkh Universal, yang duduk di Tahta Petrus, Pangeran Para Rasul. Kami menyampaikan permintaan penuh doa dari hamba yang hina pemimpin biara-biara di wilayah Syria II dan semua biarawannya.

Karena rahmat Kristus, Penyelamat kita, mendorong kami berlari kepadamu Yang Terberkati [sapaan khas Gereja-gereja Timur kepada seorang Uskup], seperti orang yang berlindung dari hujan badai di pelabuhan yang aman, kami percaya, bahwa engkau adalah perlindungan kami, walaupun kami menderita kesusahan yang teramat berat, kami menanggungnya dengan sukacita, karena kami percaya, bahwa penderitaan dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kemuliaan abadi yang akan disingkapkan bagi kami.

Karena Kristus, Allah kita, telah menetapkan engkau sebagai Pemimpin dan Gembala dan Tabib bagi jiwa-jiwa, adalah tugas kami untuk menyampaikan kepadamu penganiayaan yang telah kami derita, agar engkau menyadari bahwa ada serigala yang tanpa belas kasih, yang memecah belah kawanan domba Kristus dan kami memohon kepadamu agar engkau dengan tongkatmu mengusir para serigala ini dari kawanan domva, dan untuk menyembuhkan jiwa dengan pengajaran Sabda Tuhan, dan rawatlah mereka dengan doa-doamu� baik Severus [Patriarkh Antiokhia] dan Petrus [Uskup Apamea]�karena mereka berusaha memaksa kami untuk menolak ajaran yang benar dari Konsili Chalcedon.

Saat kami sedang dalam perjalanan menuju Biara St. Simon untuk kepentingan Gereja, kami diserang oleh orang-orang jahat yang membunuh 350 orang dari antara kami dan melukai banyak lainnya. Bahkan ada diantara kami yang melarikan diri ke gereja-gereja untuk berlindung, tetap dibunuh di hadapan Altar. Maka kami memohon kepadamu Bapa Suci bangkitlah dengan kekuatan dan ketekunan dan berbelaskasihlah atas tubuh kami yang terluka ini; karena engkau adalah kepala dari semua�karena engkau adalah gembala sejati dan tabib yang merawat domba-domba dan keselamatan mereka: �Aku mengenal domba-domba-Ku, dan domba-dombaku mengenal Aku..�[Yoh10:14-16]. Jadi janganlah mengabaikan kami Yang Tersuci, karena setiap hari kami berhadapan dengan luka-luka yang mematikan.

Tertanda
Saya, Alexander, karena rahmat Allah, Imam, Pimpinan Biara St. Maron.
[Menyusul tanda tangan semua biarawan di Biara itu dan para Imam lainnya]

Sumber: Dau, B 1984. History of the Maronites- Religious, Cultural and Political. London: Lebanese Maronite Order. p.172-175

Surat ini sedikit banyak mengingatkan kita kepada Konsili Chalcedon sendiri dimana surat Paus Leo dibacakan dan para Bapa Konsili berseru: 
�Inilah iman para bapa, inilah iman Para Rasul. Kami semua mempercayainya, inilah kepercayaan ortodoks. Terkutuklah mereka yang menolaknya. Petrus telah berbicara melalui Leo. Begitulah ajaran Para Rasul. Dengan saleh dan benar Leo mengajarkannya, begitu juga Cyril. Kenangan abadi akan Cyril. Leo dan Cyril mengajarkan hal yang sama, terkutuklah mereka yang tidak mempercayainya. Inilah iman yang benar. Kami yang ortodoks mempercayainya. Inilah iman para bapa.� (Ekstrak dari Akta sesudah pembacaan surat St. Leo) 
disalin ulang dari terjemahan Frater Daniel Pane, CSE.  

Dua artikel terkait yang dapat dibaca:
pax et bonum