Latest News

Showing posts with label Katolik di Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Katolik di Indonesia. Show all posts

Tuesday, January 28, 2014

Download Gratis Buletin Lentera Iman

Pada halaman ini, para pembaca sekalian bisa mendownload gratis ebook buletin Katolik Lentera Iman. Anda sekalian bisa menikmati berbagai katekese, informasi dan lain-lain mengenai Gereja Katolik termasuk tulisan-tulisan dari Indonesian Papist di dalam buletin ini. 


Buletin Lentera Iman ini adalah buletin Katolik non-profit dan para penulisnya secara sukarela menyumbangkan tulisan tanpa dibayar. Buletin Lentera Iman dijual dalam bentuk hardcopy / versi cetak dengan harga Rp 5.000. Keuangan buletin Lentera Iman disokong terutama berkat hasil penjualan versi cetak dan beberapa donatur yang memasang iklan. Buletin Lentera Iman ini sendiri dibagikan secara gratis kepada para katekis atau fasilitator pendalaman iman di  wilayah pedalaman Keuskupan Agung Makassar sebagai referensi atau bahan pengajaran. Bila anda sekalian ingin menyisihkan sebagian uang untuk mendukung karya kerasulan pers ini, anda dapat mengirimkannya ke rekening tujuan yang tertera pada halaman kedua buletin ini. Berikut ini berbagai edisi Buletin Lentera Iman yang dapat anda download dengan gratis dalam bentuk ebook .pdf:

Edisi � Tema

Catatan:
1. Bila ingin menyalin isi artikel ini beserta link download atau me-reupload (upload ulang) ebook Buletin Lentera Iman di situs jejaring sosial, mohon tetap mencantumkan �dikutip dari: www.muntecom.blogspot.com�. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mendapatkan kiriman ebook Buletin Lentera Iman melalui email dari Paroki St. Theresia Rantepao atau dari anggota Redaksi Buletin Lentera Iman.
2. Beberapa edisi yang belum ada akan segera diupload.
3. Tidak ada imbalan apapun yang saya dapat dari mengupload buletin ini di situs saya. Begitu pula, para pembaca sekalian tidak berhak untuk mengomersialisasikan e-book Buletin Lentera Iman dalam bentuk apapun.
pax et bonum

Saturday, January 18, 2014

Imanentisme: Katolisisme dan Pengalaman Religius

"Yang penting hatinya" adalah sebuah klausul seringkali diucapkan oleh kita saat kita dihadapkan pada fakta bahwa kita atau sesama kita sebenarnya sedang melakukan pelanggaran entah itu dalam konteks ajaran iman dan moral atau dalam Liturgi Suci. Tentang hal ini, saya menemukan sebuah artikel yang membahas tentang imanentisme di mana "yang penting hatinya" merupakan salah satu bentuk nyata dari imanentisme ini. Berikut ini terjemahannya:

Bangunan Gereja yang agung, Liturgi yang sakral sebenarnya menunjukkan penghormatan Gereja atas transendensi Allah sekaligus penegasan akan hal tersebut.

Imanentisme: Katolisisme dan Pengalaman Religius


Apa itu imanentisme? Tampaknya tidak salah untuk berkata bahwa banyak umat Katolik yang baik tidak pernah mendengar istilah ini. Teolog Prancis, Romo Louis Bouyer mendefinisikan imanentisme sebagai berikut: �Sebuah kecenderungan untuk memahami imanensi Allah atau tindakan-Nya sedemikian rupa sehingga mengesampingkan realitas transendensi-Nya.� Bagaimana imanensi Allah dipahami dengan benar? Imanensi Allah merujuk pada fakta bahwa Dia hadir dalam sebuah cara yang spesial dalam semua orang yang berada dalam kondisi rahmat pengudusan (state of sanctifying grace). Dalam hal ini, kita mungkin diingatkan tentang Beata Elizabeth dari Trinitas yang berusaha untuk membentuk seluruh hidup religiusnya seturut kebenaran luhur dari �saling mendiami� (indwelling) Tritunggal Mahakudus.  

Imanensi adalah sesuatu yang sangat baik. Di sisi lain, imanentisme bukanlah sesuatu yang baik sama sekali karena dengan menolak transendensi Allah, imanentisme tentu saja telah benar-benar memalsukan kodrat ilahi. Menolak transendensi Allah berarti menolak mengakui fakta bahwa Dia secara absolut berbeda dari dan superior dari ciptaan-Nya dan hasil dari penolakan tersebut berakhir dengan sebuah pemahaman bahwa apapun yang dikatakan tentang hal itu bukanlah merupakan pengetahuan dari Allah yang benar. Lebih jauh lagi, menolak transendensi Allah berarti merendahkan penalaran imanentisme itu sendiri karena �imanensi� menjadi tidak berarti / tanpa makna bila merujuk kepada hal-hal apapun yang lain daripada transendensi Allah yang tinggal di antara kita melalui rahmat-Nya.

Romo John Hardon, dalam menulis mengenai subjek apologetika imanentis, menyebutkan imanentisme sebagai �sebuah metode untuk membangun kredibilitas iman Kristiani dengan mengacu kepada pemuasan subyektif (subjective satisfaction) yang iman berikan kepada orang yang percaya.� Selain dengan penekanan atas sesuatu yang subjektif, ada juga pengerdilan terhadap kriteria objektif dari iman kita, bahkan sampai menolak mujizat dan nubuat. Motif-motif yang murni personal untuk iman, motif-motif yang terutama berkaitan langsung dengan perasaan-perasaan diberikan tempat yang utama. Romo Bouyer menyatakan, �pada akhirnya, agama secara keseluruhan akan tersusun dari perasaan religius itu sendiri.� Akal budi dipinggirkan, dan gagasan iman yang secara esensial merupakan persetujuan yang intelek telah kehilangan nilainya.

Dapat disimpulkan bahwa imanentisme merupakan sikap subjektivisme sembrono berkaitan dengan iman. Imanentisme secara angkuh mengabaikan fondasi-fondasi obyektif agama Katolik sebagaimana yang diwahyukan kepada kita oleh Allah sendiri dan yang digabungkan ke dalam deposit iman. Imanentisme memposisikan hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak penting atau setidaknya hanya merupakan �kepentingan yang kedua�.

Pada tahun 1907, Paus Santo Pius X menerbitkan ensikliknya yang berjudul Pascendi Dominici Gregis yang tujuannya adalah untuk membunyikan alarm melawan Modernisme yang Bapa Suci sebut sebagai �sintesis semua ajaran sesat�. Bapa Suci Santo Pius X menggambarkan kaum modernis sebagai �yang paling merusak dari semua musuh Gereja�. Dalam analisa terhadap fenomena ini, Paus Santo Pius X mengidentifikasikan dua bagian besar dari modernisme; yang pertama adalah agnotisisme dan yang kedua adalah imanentisme. Modernisme Agnostik menolak bahwa manusia memiliki kemampuan akal budi untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah. Dengan demikian, agnostisisme secara efektif menyingkirkan teologi natural yaitu disiplin filosofi yang tugas utamanya adalah menunjukkan bahwa kita dapat sampai kepada pengetahuan tentang keberadaan/eksistensi Allah melalui akal budi alamiah. Sekarang ajaran tentang �kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan akan Allah� itu secara aktual merupakan materi iman bagi orang Katolik sebagaimana yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama.

Setelah membuang teologi natural, modernisme kemudian mengajukan imanentisme untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pengalaman religius. Modernis berpendapat manusia dibekali dengan �cita rasa religius� (religious sense) yang berasal dari alam bawah sadar dan menciptakan kebutuhan akan yang ilahi dalam diri kita. Dalam respon atas kebutuhan ini, kita secara positif menanggapi gagasan mengenai realitas dan kodrat Allah yang begitu nyaman selaras dengan perasaan-perasaan kita. Dalam istilah praktis, apa yang menjadi maksud dari hal ini adalah bahwa �Allah� yang kepadanya manusia berikan  kesetiaan tidak lain adalah sebuah fiksi dari karangan sendiri, makhluk semu yang tidak lain berasal dari tuntutan emosi yang mendalam. Di sinilah modernisme dapat dikatakan  mencerminkan pemikiran filsuf ateis abad ke-19, Ludwig Feurbach yang berargumen bahwa apa yang kita sebut �Allah� tidak lebih dari produk imajinasi keinginan dan kerinduan manusia.

Jenis sikap yang diwakili oleh imanentisme merupakan bagian yang sangat besar dari kesadaran religius pada zaman kita hidup sekarang ini. Imanentisme, yang dibawa kepada titik ekstrim, merupakan penolakan iman Kristiani secara keseluruhan karena imanentisme menggantikan iman Kristiani dengan sekularisme yang hambar dan anemik dengan mencoba menyamarkan diri sendirinya di bawah lapisan tipis dari agama. Karena imanentisme menempatkan �perasaan� di atas �akal budi�; imanentisme menyangkal realitas obyektif dari iman Katolik yang terwujud dalam ajaran-ajarannya, ajaran yang berasal dari wahyu ilahi. Untuk menyatakan dengan jelas: Bertentangan dengan imanentisme, kita memberikan persetujuan kita atas ajaran iman karena kita percaya ajaran iman tersebut adalah benar bukan karena ajaran iman tersebut selaras atau sejalan dengan perasaan kita.

Secara spesifik, dalam cara apa semangat imanentisme dapat dikatakan muncul dalam Gereja masa sekarang? Secara umum, imanentisme muncul dalam apa yang kita sebut �Katolisisme yang mengambil dan memilih � pick and choose Catholicism� (atau singkatnya disebut Katolik Kafetaria) di mana masing-masing individu memutuskan apa yang mereka terima atau mereka tolak sebagaimana yang ditentukan oleh perasaan-perasaan mereka, bukan oleh akal budi mereka. Perasaan itu selalu berubah-ubah, tetapi penggunaan akal budi yang benar sebagaimana yang diterapkan pada perkara-perkara religius tidak akan mengecewakan kita dan itu terjadi karena kita tahu bahwa tidak  ada konflik antara iman dan akal budi.

Berapa banyak umat Katolik sekarang ini yang memperlakukan ajaran Gereja yang jelas dan tak dapat diubah mengenai kontrasepsi seolah-olah merupakan masalah kecil yang bisa ditepis dengan lambaian tangan? Dan jelas sekali bahwa ada hubungan dekat antara sikap seperti itu dengan cara banyak umat Katolik memandang perkawinan sekarang ini yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana budaya sekular kita memandangnya. Perkawinan Suci (Holy Matrimony) tampaknya telah kehilangan kesuciannya. Selain itu, kebutuhan vital untuk mengakui status perkawinan sebagai sebuah sakramen � yang berarti menerima kesucian dan keutuhannya � seringkali dibuat menjadi sulit oleh dominasi legalisme yang mementingkan diri sendiri dan kabur.

Kita semua adalah imanentis sejauh kita ingin menempatkan kehendak kita di atas kehendak Allah yang dengan jelas telah diberitahukan kepada kita melalui pewahyuan dan yang telah diberikan perwujudan konkretnya dalam Gereja. Tergoda oleh imanentisme pada dasarnya berarti membuat sebuah perjanjian tanpa kenyataan/realita, untuk menyerah kepada subjektivisme, untuk lebih memilih �jalan saya� ketimbang jalan yang benar sekalipun �jalan saya� itu keluar jalur dari jalan yang membawa kita secara pasti lepas dari kekacauan.


Ditulis oleh Dr. Dennis Q. McInerny, Ph.D., dimuat di situs resmi Persaudaraan Imam-imam Santo Petrus (FSSP), diterjemahkan bebas oleh Indonesian Papist.



Definisi tentang imanensi dan transendensi dapat dibaca di bawah ini (dalam bahasa Inggris) mengacu kepada Kamus Istilah Katolikoleh Romo John Hardon, SJ:

IMMANENCE. Presence or operation within someone or something. Total "within-ness." As an operation, an immanent act begins within and remains within the person whom it perfects in the process. Thus acts of reflection and love are immanent acts of a human being. They may, of course, have effects outside the mind and will, but essentially they arise within and stay within the faculties by which they are produced. (Etym. Latin immanere, to remain in, hold to.)


TRANSCENDENCE. Supassing excellence, which may be either relative or absolute. It is relative when the excellence surpasses some objects below it, as human nature transcends the irrational creation. It is absolute when the excellence surpasses in being and activity all other beings. Only God is absolutely transcendent; in being because he alone is infinite and perfect Being who cannot change; in activity because he alone has existence of himself as uncreated First Cause on whom all creatures depend for their least operation.

Saturday, January 11, 2014

Inkulturasi Yang Salah: Imam Merayakan Misa Kudus Tanpa Busana Liturgi Yang Lengkap

Sebagaimana diketahui Indonesia masih dipandang sebagai �negara misi� sehingga Inkulturasi menjadi salah satu hal penting dalam pewartaan Injil. Inkulturasi secara nyata terlihat dalam Liturgi Suci. Yang paling pertama dari bentuk Inkulturasi dalam Liturgi adalah penggunaan bahasa vernakular setempat dalam Misa Kudus sembari tetap mempertahankan bahasa Latin sebagai bahasa resmi dalam Misa Kudus Ritus Roma. Terdapat pula bentuk Inkulturasi lainnya dalam rupa nyanyian, arsitektur gereja dan lain-lain. Namun, tampaknya tidak jarang bentuk inkulturasi yang diperkenalkan atau dimasukkan ke dalam Liturgi Suci berangkat dari pemahaman yang keliru akan Inkulturasi tersebut. Kita terlalu menekankan pada �semangat Inkulturasi� namun melupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Inkulturasi untuk menjamin inkulturasi tersebut berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Gereja Universal. Akibatnya tidak jarang kita berkata �Tindakan X adalah Inkulturasi� padahal yang sebenarnya �Tindakan X adalah Inkulturasi yang keliru� atau �Tindakan X adalah pelanggaran Liturgi Suci�.




Salah satu contohnya adalah Imam merayakan Misa Kudus tanpa busana Liturgi yang lengkap atau yang seharusnya. Seorang teman membuka diskusi di sebuah grup facebook bernafaskan Katolik mengangkat foto-foto Misa Konselebrasi di sebuah paroki yang dirayakan secara inkulturatif berdasarkan kultur Jawa. Dalam foto-foto tersebut terlihat bahwa semua imam yang memimpin Misa Kudus tidak menggunakan kasula, salah satu busana Liturgi yang penting. Terlihat pakaian yang digunakan adalah pakaian adat Jawa (busana beskap) disertai dengan penggunaan stola bermotif batik (ada teman berkata itu bukan stola tapi kalung samir). Foto-foto lengkapnya dapat diakses di blog berikut (ganti �ff� dengan �tt�):
hffp://st-tarsisius.blogspot.com/2013/06/puncak-ziarah-napak-tilas-ada-di.html

Banyak dari kita saya yakin akan berkata bahwa tidak ada yang salah dengan foto-foto Misa Kudus tersebut dan menganggapnya sebagai inkulturasi dalam Liturgi Suci sehingga dapat dibenarkan. Tapi, ternyata Kardinal Francis Arinze dari Nigeria memberikan pengajaran yang berbeda dari anggapan kita.

Kardinal Arinze dari Nigeria saat memberikan Homili dalam Misa Kudus Penutupan Sidang Pleno Federasi Konferensi Para Uskup Asia (FABC) IX di Manila 16 Agustus 2009 menyatakan bahwa penggunaan pakaian lokal menggantikan busana Liturgi merupakan �inkulturasi yang dipahami secara keliru�.
�Tidaklah dibenarkan bahwa imam boleh mengesampingkan busana Liturgi apapun hanya karena iklim panas atau lembab. Bila perlu, uskup dapat mengatur penggunaan busana yang lebih ringan. Juga sama sekali tidak dapat diterima bahwa selebran (selebran: Imam yang memimpin Perayaan Ekaristi) hendak memilih pakaian lokal menggantikan busana Liturgi Misa yang telah diterima secara universal atau penggunaan keranjang-keranjang atau gelas-gelas anggur untuk membagikan Ekaristi Kudus. Ini adalah inkulturasi yang dipahami secara keliru.� � Kardinal Arinze

Sedikit informasi, Kardinal Arinze pernah menjadi Kepala Kongregasi Peribadatan Ilahi dan Disiplin Sakramen sehingga dapat kita ketahui bahwa Beliau adalah orang yang kredibel dalam hal Liturgi Suci. Beliau berasal dari Nigeria, sebuah negara di Afrika yang juga termasuk ke dalam �negara misi� sehingga Beliau pastilah juga mengetahui, mengalami atau bahkan mempromosikan inkulturasi di negaranya namun Beliau tahu mana batasan inkulturasi yang benar, yang otentik sesuai keinginan Konsili Vatikan II. Dalam homili ini, Kardinal Arinze memberi peringatan kepada para uskup Asia tentang buruknya inkulturasi yang keliru.

Di samping pernyataan Kardinal Arinze, dalam Redemptionis Sacramentum juga dijelaskan mengenai perlunya menggunakan kasula. Redemptionis Sacramentum adalah Dokumen Gereja yang diterbitkan 25 Maret 2004 tentang Liturgi yang membahas mengenai materi-materi yang harus dijalankan atau dihindari terkait Perayaan Ekaristi Kudus.

123. Vestimentum (busana Liturgi) yang sesuai untuk imam selebran saat Misa Kudus dan dalam tindakan-tindakan suci lainnya yang berhubungan langsung dengan Misa, kecuali kalau ada peraturan lain, adalah kasula yang dipakai di atas alba dan stola. Demikian pula Imam, dalam menggunakan kasula menurut rubrik, tidak mengabaikan stola. Hendaknya semua ordinaris menjaga supaya segala kebiasaan yang bertentangan dengan itu dihilangkan.

124. Izin diberikan dalam Missale Romanum bagi imam-imam konselebran dalam Misa selain selebran utama (yang harus selalu mengenakan kasula sesuai warna yang ditentukan) � atas dasar alasan yang adil seperti jumlah konselebran yang banyak atau kurangnya vestimentum � untuk tidak memakai kasula dan hanya menggunakan stola di atas alba. Bila kebutuhan kasula tersebut dapat diprediksi, bagaimanapun juga harus disediakan kasula sedapat dan sebanyak mungkin. Dalam keadaan terpaksa, imam-imam konselebran selain imam selebran utama boleh mengenakan kasula putih. Selebihnya, norma-norma yang terdapat dalam buku-buku Liturgi hendaknya dijalankan.

125. Vestimentum yang sesuai untuk Diakon adalah dalmatik yang dikenakan di atas alba dan stola. Supaya tradisi Gereja yang indah dapat dipertahankan, menahan diri dari menggunakan opsi pengabaian dalmatik adalah tindakan yang sungguh terpuji.

126. Adalah pelanggaran yang ditolak di mana pelayan-pelayan suci merayakan Misa Kudus atau ritus lainnya tanpa vestimentum suci atau hanya dengan stola di atas busana rahib atau busana umum biara atau pakaian biasa sekalipun hanya ada satu pelayan saja yang berpartisipasi. Hal ini bertentangan dengan petunjuk dari buku-buku Liturgi. Supaya pelanggaran ini dapat dikoreksi secepat mungkin, para ordinaris hendaknya memperhatikan agar di semua gereja dan kapel yang berada di bawah yurisdiksi mereka tersedia vestimentum Liturgi secara memadai sesuai dengan norma-norma.

Dari kedua referensi ini, sebenarnya kita bisa dengan jelas mengetahui bahwa apa yang tampak pada foto-foto tersebut di mana para imam merayakan Misa Kudus tanpa menggunakan salah satu busana Liturgi yang seharusnya yaitu kasula bukanlah merupakan inkulturasi yang otentik yang diinginkan Gereja, melainkan inkulturasi yang dipahami secara keliru sesuai kata Kardinal Arinze atau sesuai kata Redemptionis Sacramentum pelanggaran (abuse) terhadap Liturgi Suci.

Dalam diskusi di grup tersebut, beberapa orang mengajukan berbagai pembelaan atas kekeliruan yang terjadi dalam Misa Kudus tersebut.

Pertama:
Kita ini benar pintar atau kepinteran?  Sampai-sampai kita berani mengatakan apa yang menjadi kebijakan pastor bahkan uskup salah. Uskup saja tidak melarang. Kebangetan itu namanya.

Respon:
Tentunya memberi kritik bukan berarti sok pintar atau �kepinteran�. Selama ada dasar yang jelas, itu bukan kebangetan. Lagipula, justru karena bodoh makanya saya mengacu pada dokumen Gereja dan pernyataan orang-orang yang kompeten. Kita bisa melihat dengan jelas dari Redemptionis Sacramentum dan Homili Kardinal Arinze di depan para uskup Asia bahwa apa yang tampak pada foto tersebut bukanlah inkulturasi yang benar.
Diamnya uskup tidak berarti bahwa suatu kebiasaan yang salah menjadi benar. Di sisi lain, bukan preferensi pribadi paus, uskup atau imam yang menjadi acuan melainkan prinsip teologis dan liturgis yang tertuang dalam berbagai dokumen resmi Gereja.

Kalaupun Vatikan tidak menegur langsung, itu juga tidak berarti bahwa tindakan tersebut menjadi benar. Sebenarnya dari banyak Dokumen Gereja tentang Liturgi yang beredar salah satunya Redemptionis Sacramentum juga ditujukan kepada uskup-uskup. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan tentang hal-hal yang harus dihindari dalam Perayaan Ekaristi. Sayangnya, tidak jarang kita juga temukan uskup-uskup yang belum menjalankan apa yang secara resmi diputuskan oleh Gereja. Peringatan Kardinal Arinze kepada uskup-uskup Asia (Indonesia termasuk benua Asia) tentang inkulturasi sebenarnya juga sudah merupakan teguran yang nyata kepada para uskup Indonesia, tapi apakah diindahkan dan dilaksanakan?



Kedua:
Jadi orang Katolik itu bukan berarti harus mengubah anda menjadi orang Eropa atau bergaya atau berjubah layaknya orang-orang Eropa.

Respon:
Taat pada pedoman Liturgi tidak menjadikan kita orang Eropa atau bergaya Eropa. Jangan terlalu dangkal berpikir. Setiap pernik busana Liturgi itu punya arti teologi dan makna perutusan Kristus. Contohnya Stola merupakan simbol fungsi imamat, Alba merupakan simbol kemurnian hati serta rahmat pengudusan yang diterima dalam sakramen. Kasula merupakan simbol kuk dari Kristus yang diberikan kepada imam. Setiap pernik itu mempunyai doanya sendiri-sendiri. Jadi busana Liturgi itu bukanlah bagian dari penjajahan "budaya Eropa"  kepada budaya lokal. Bukan juga berarti Eropa-sentris karena jubah itu bukan berasal dari Eropa. Situs resmi Tahta Suci memberikan informasi tentang Busana Liturgi dan Doa-doanya.




Ada beberapa poin yang mesti diketahui:
1. Kalau ada Romo berkata X dan Romo lain berkata yang bertentangan dengan X, maka ya dijadikan acuan adalah yang berbicara berdasarkan ajaran dan aturan resmi Gereja Katolik yang tertuang dalam berbagai dokumen.
2. Di sini saya tidak anti inkulturasi. Tapi kalau saya atau rekan yang lain mengkritik atau mempertanyakan Misa Kudus di atas; alasannya karena saya atau rekan yang lain tidak setuju pelanggaran Liturgi yang nyata atas nama atau dilabeli dengan judul "Inkulturasi". �Semangat inkulturasi� yang sehat ditentukan juga oleh pelaksanaan pedoman resmi Gereja mengenai Liturgi dan Inkulturasi dengan setia.
3. Gereja Katolik mengakui prinsip ex opere operato; jadi sekalipun imamnya berdosa berat atau berbuat salah namun konsekrasi yang dilakukan tetap sah sehingga pastilah terjadi transubstansiasi karena terjadinya transubstansiasi ini bukan bergantung pada kekudusan sang imam tapi karena Allah sendiri yang bertindak. Demikian juga, meski ada pelanggaran Liturgi seperti contoh di atas, Misa tetap valid, transubstansiasi tetap terjadi. Hal yang membuat Misa tidak valid adalah forma dan materia Ekaristi tidak sesuai dengan ajaran Gereja, Imam merayakan Misa Kudus tanpa intensi melakukan konsekrasi, atau Misa yang dipimpin oleh mereka yang tidak memiliki tahbisan imamat yang sah. Namun, meski transubstansiasi tetap terjadi, secara sadar melakukan pelanggaran Liturgi dapat membawa kita kepada dosa sakrilegi, melecehkan sesuatu yang sakral.


Dan sebagai penutup:
Gereja memang tidak mengajukan uniformitas yang kaku tetapi unitas. Fakta bahwa dalam Gereja Katolik terdapat ritus Roma, ritus Ambrosian, ritus Mozarabik dan sebagainya menunjukkan bahwa Gereja memang tidak mengajukan uniformitas yang kaku. Meskipun begitu, hal ini juga tidak berarti bahwa kita bisa sewenang-wenang membuat perbedaan dari Liturgi Suci yang universal. Bahkan seorang Paus pun tidak bisa semena-mena mengubah Liturgi Suci. Demikianlah kata Paus Benediktus XVI:  �Bahkan otoritas tertinggi dalam Gereja tidak boleh mengubah Liturgi dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dalam ketaatan pada iman dan dengan penghormatan religius terhadap misteri Liturgi.�Dokumen Liturgi tentang Inkulturasi, Varietates Legitimae, sendiri secara harafiah berarti "Perbedaan-perbedaan yang Legitim" dalam ritus Roma. Pertanyaannya adalah apakah perbedaan seperti dalam foto-foto tersebut adalah legitim? Dan lebih luas lagi, apakah inkulturasi yang selama ini diperkenalkan adalah perbedaan yang legitim? Apa yang terjadi dalam foto-foto di atas tidak mencerminkan unitas yang diharapkan, melainkan disunitas sebab terjadi pelanggaran yang nyata terhadap norma-norma Liturgi Suci.

Tolonglah sadari bahwa Liturgi Suci adalah Doa Resmi Gereja Universal, bukan sekadar doa komunitas umat. Jangan pikir Liturgi sekadar sama seperti doa lain dan merupakan ungkapan iman.  Itu betul, tetapi sebagai doa resmi Gereja, Liturgi adalah Doa Resmi Gereja, bukan doa pribadi / komunitas. Karena itu,  sebuah tindakan dalam Liturgi bisa dikatakan benar atau salah, sah atau tidak sah, dengan mengacu pada pedoman-pedoman Liturgi yang ada. Tolonglah jangan menyepelekan Liturgi Suci apalagi melanggarnya atas nama "kenyamanan umat" atau �kenyamanan komunitas�.

Gereja sangat peduli Liturgi karena Liturgi �melindungi Realitas yang paling suci dalam Gereja Katolik� (Kardinal Ranjith dalam Konvensi Hukum Kanonik di Kenya). Oleh karena itu, Gereja repot-repot mengeluarkan begitu banyak dokumen tentang Liturgi. Mari berinkulturasi dengan benar, bukan asal.

Wednesday, August 28, 2013

Kelesuan Para Penjaga Iman

Indonesian Papist kali ini membagikan terjemahan tulisan Dietrich von Hildebrand dari bukunya berjudul �The Devastated Vineyard� bab 1 yang ia beri judul �Kelesuan Para Penjaga�. Bab ini berisi keprihatinan besar Hildebrand mengenai kondisi Gereja setelah Konsili Vatikan II dan kekurangan yang nyata dari kepemimpinan gerejawi para uskup yang memiliki kewajiban untuk mendukung dan membela iman yang benar. Indonesian Papist turut mengambil keprihatinan yang sama dengan menerjemahkan tulisan Hildebrand. Dietrich von Hildebrand adalah seorang awam, baru menjadi Katolik pada usia 25 tahun, penulis banyak buku mengenai filosofi dan kekristenan. Ia dijuluki �Doktor Gereja era modern� oleh Paus Ven. Pius XII dan disebut sebagai seorang filsuf utama abad ke-20 oleh Paus Benediktus XVI. Pemikiran Hildebrand memberikan pengaruh dari beberapa karya terbaik Konsili Vatikan II termasuk mengenai apresiasi yang mendalam akan misteri perkawinan dan seksualitas. Paus Beato Yohanes Paulus II juga adalah salah seorang yang dipengaruhi oleh pemikiran Hildebrand mengenai perkawinan dan seksualitas. Dietrich von Hildebrand memiliki seorang istri bernama Alice von Hildebrand yang juga adalah teolog, professor dan filsuf terkemuka. Dietrich von Hildebrand meninggal pada 26 Januari 1977. Berikut ini terjemahannya:

Dietrich dan Alice von Hildebrand
Salah satu dari penyakit yang paling mengerikan dan menyebar luas dalam Gereja saat ini adalah kelesuan para penjaga Iman Gereja (lethargy of the guardians of the Faith of the Church). Di sini saya sedang tidak berpikir tentang para uskup yang adalah anggota �kolom kelima� yang ingin menghancurkan Gereja dari dalam, atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Saya sedang berpikir mengenai lebih banyak para uskup yang tidak punya niat seperti itu (niat seperti itu = menghancurkan Gereja atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda), tapi tidak menggunakan apapun dari otoritas mereka ketika datang untuk melakukan intervensi melawan para imam atau teolog sesat (heretical theologians or priests) atau melawan penampilan-penampilan menghujat dalam ibadah publik (liturgi). Mereka juga menutup mata dan mencoba ostrich-style (gaya burung unta) untuk mengabaikan pelanggaran-pelanggaran pedih yang meminta kewajiban mereka untuk campur tangan; dan mereka takut diserang oleh pers atau media massa dan [takut] difitnah sebagai reaksioner, berpikiran sempit atau orang abad pertengahan. Mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah. Kata-kata St. Yohanes Bosco diterapkan kepada mereka: �Kekuatan yang jahat dari manusia berada pada kepengecutan (cowardice) akan yang baik.�

Memang benar bahwa kelesuan mereka yang berada pada posisi berwenang (position of authority) adalah penyakit zaman kita yang menyebar luas di luar Gereja. Penyakit itu ditemukan di antara para orang tua, rektor-rektor perguruan tinggi dan universitas, kepala-kepala berbagai organisasi lainnya, para hakim, para kepala negara, dan lain-lain. Tetapi fakta bahwa penyakit ini bahkan telah masuk ke dalam Gereja adalah sebuah indikasi jelas bahwa perjuangan melawan semangat duniawi telah digantikan dengan berenang bersama semangat zaman dalam nama �aggiornamento�. Seseorang akan terpaksa untuk berpikir mengenai orang-orang upahan yang meninggalkan domba-dombanya kepada serigala-serigala ketika berefleksi mengenai kelesuan dari begitu banyak uskup dan superior yang, meskipun mereka sendiri masih ortodoks {1}, [tetapi] tidak memiliki keberanian untuk campur tangan melawan ajaran-ajaran sesat yang paling mencolok dan segala macam pelanggaran-pelanggaran dalam keuskupan mereka atau tarekat (ordo) mereka.

Tetapi hal yang terutama paling menyebalkan adalah ketika uskup-uskup tertentu, yang diri mereka sendiri menunjukkan kelesuan terhadap kaum sesat (bidat), [tetapi] mengambil sikap otoriter yang keras kepada kaum beriman yang berjuang untuk ortodoksi (kelurusan ajaran) dan mereka yang sedang melakukan apa yang seharusnya uskup-uskup itu sendiri lakukan. Saya pernah diizinkan membaca sebuah surat yang ditulis oleh seorang pria di posisi yang tinggi dalam Gereja, [surat itu] ditujukan kepada sebuah kelompok yang telah secara heroik berjuang untuk iman yang benar, iman yang murni, ajaran Gereja yang sejati dan Paus. Kelompok ini telah mengatasi �kepengecutan dari orang baik� (cowardice of good men) yang St. Yohanes Bosco katakan, dan dengan demikan seharusnya menjadi sukacita terbesar para uskup. [Tetapi] surat itu berkata: �Sebagai Katolik yang baik, kalian hanya perlu melakukan satu hal; cukuplah menjadi taat kepada semua ketetapan uskup kalian.�

Konsepsi mengenai Katolik �yang baik� secara khusus mengejutkan pada masa di mana kedatangan era orang-orang awam modern secara terus-menerus ditekankan. Tetapi [konsepsi Katolik �yang baik�] adalah sepenuhnya salah untuk alasan ini:  apa yang sesuai dengan masa di mana tidak ada ajaran-ajaran sesat terjadi dalam Gereja yang tidak secara langsung dikutuk oleh Roma, menjadi tidak sesuai dan tidak terjadi pada masa ketika ajaran-ajaran sesat yang belum dikutuk menjadi malapetaka dalam Gereja, bahkan menginfeksi beberapa uskup tertentu yang tetap berada pada jabatannya [sebagai uskup]. Sebagai contoh, haruskah kaum beriman pada masa ajaran sesat Arianisme - di mana mayoritas uskup adalah penganut Arianisme � membatasi diri mereka untuk menjadi baik dan taat kepada ketetapan-ketetapan para uskup [arian] ini ketimbang melawan ajaran sesat tersebut? Bukankah kesetiaan kepada ajaran Gereja yang benar diberikan prioritas di atas ketaatan kepada uskup? Bukankah justru berdasarkan kebajikan ketaatan mereka kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan yang mereka terima dari Magisterium Gereja sehingga kaum beriman memberikan perlawanan? Apakah kaum beriman tidak seharusnya khawatir ketika hal-hal yang diwartakan dari mimbar adalah sepenuhnya tidak sesuai dengan ajaran Gereja? Atau ketika teolog-teolog tetap sebagai guru yang mengklaim bahwa Gereja harus menerima pluralisme dalam filosofi dan teologi {2}, atau bahwa tidak ada kehidupan seseorang setelah kematian, atau mereka yang menolak percabulan sebagai sebuah dosa, atau bahkan menoleransi tampilan-tampilan immoralitas di publik, sehingga menyingkapkan kekurangpahaman yang menyedihkan akan dalamnya kebajikan Kristiani mengenai kemurnian.

Omong kosong dari para kaum sesat, baik para imam maupun awam, ditoleransi; [dengan demikian] para uskup dengan diam-diam menyetujui pemberian racun kepada kaum beriman. Tetapi para uskup ingin membungkam kaum beriman yang berjuang demi ortodoksi, orang-orang yang seharusnya dengan segala hak menjadi sukacita hati para uskup, penghiburan mereka, sumber kekuatan untuk mengatasi kelesuan mereka sendiri. Sebaliknya, orang-orang ini dianggap sebagai pengganggu perdamaian. Dan kemudian terjadi bahwa kaum beriman yang terbawa dalam semangat mereka dan mengekspresikan diri mereka sendiri bahkan ditangguhkan [oleh para uskupnya] dengan cara yang kurang bijaksana atau dibesar-besarkan. Hal ini dengan jelas menunjukkan kepengecutan yang tersembunyi di balik kegagalan para uskup untuk menggunakan otoritas mereka. Oleh karena mereka (para uskup) tidak memiliki apapun untuk ditakutkan dari orang-orang yang ortodoks; oleh karena orang-orang ortodoks tidak mengontrol media massa atau pers; maka orang-orang ortodoks ini bukan representasi opini publik. Dan karena ketaatan mereka kepada otoritas gerejawi, para pejuang untuk ortodoksi ini tidak akan pernah seagresif orang-orang yang disebut progresif. Oleh karena itulah, bila mereka (para pejuang ortodoksi ini) yang diperingatkan atau didisiplinkan, maka para uskup mereka tidak diserang oleh pers liberal dan difitnah sebagai reaksioner.

Kegagalan para uskup untuk menggunakan otoritas mereka yang diberikan Allah mungkin adalah, dalam konsekuensi praktis, kekacauan terburuk dalam Gereja saat ini. Karena kegagalan ini tidak hanya tidak menghentikan penyakit-penyakit spiritual, ajaran-ajaran sesat dan kehancuran kebun anggur Tuhan yang nyata dan berbahaya; kegagalan ini bahkan memberikan kendali kebebasan bagi kejahatan-kejahatan ini. Kegagalan menggunakan otoritas suci untuk melindungi iman yang kudus secara jelas membawa kepada disintegrasi Gereja.

Di sini, sebagaimana dengan kemunculan seluruh bahaya, kita harus berkata. �principiis obsta� (�hentikan kejahatan pada sumbernya�). Semakin lama seseorang membiarkan sebuah kejahatan berkembang, akan semakin sulit kejahatan itu dicabut lagi. Hal ini berlaku untuk membesarkan anak-anak, untuk kehidupan bernegara dan dalam sebuah cara yang spesial untuk kehidupan moral individu. Tapi adalah sungguh benar dalam cara yang sama sekali baru untuk intervensi dari otoritas gerejawi demi kebaikan umat beriman. Sebagaimana Plato katakan, �ketika kejahatan telah maju jauh, ... tidak pernah menyenangkan untuk menghilangkannya.�{3}

Tidak ada yang lebih salah daripada membayangkan bahwa banyak hal harus dibiarkan membabi buta dan melakukan yang paling buruk, dan bahwa seseorang harus menunggu dengan sabar sampai hal-hal itu mereda dengan sendirinya.  Teori ini terkadang mungkin benar berkaitan dengan pemuda yang sedang melalui masa pubertas, tetapi teori ini sepenuhnya salah dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai bonum commune (kebaikan bersama). Teori palsu ini terutama berbahaya ketika diterapkan kepada bonum commune Gereja yang kudus, melibatkan hujatan-hujatan dalam ibadah umum (Liturgi) dan ajaran-ajaran sesat yang bila tidak dikutuk akan meracuni jiwa-jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Di sini,  adalah keliru untuk menerapkan perumpamaan tentang gandum dan ilalang.

Catatan:

1. Istilah �ortodoks� berarti keyakinan pada ajaran resmi Gereja Katolik yang kudus yang menyatakan kebenaran yang otentik dan diwahyukan serta dijamin dan dibimbing oleh Roh Kudus. Ekspresi �ortodoks� tidak merujuk kepada keanggotaan dalam Gereja Ortodoks yang belum bersatu dengan Katolik.

2. Istilah �pluralisme� adalah paham bahwa seseorang dapat memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda terkait dengan kebenaran iman yang sudah didefinisikan dan dideklarasikan secara tak dapat salah atau bahwa setiap filosofi memiliki tempat dalam Gereja yang kudus � menjadi sebuah relativisme yang absolut. Tentu saja selama tidak ada pendefinisian dan pendeklarasian ajaran yang diberikan mengenai pertanyaan akan iman, pendapat berbeda boleh diajukan oleh umat yang ortodoks. Sebagai contoh, mengenai Dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, Santo Thomas Aquinas dan Beato Duns Scotus memiliki pandangan yang berbeda. Ini terjadi pada abad pertengahan. Tetapi setelah pendeklarasian dogma ini secara definitif pada tahun 1854, umat Katolik tidak lagi dapat memegang pandangan yang berbeda atau kontra dogma ini.

3. Plato, Laws, no. 660.

pax et bonum

Thursday, August 15, 2013

Orang Katolik Harus Cinta Tanah Air



Di Indonesia ini, ada yang menyebut kecintaan terhadap tanah air sebagai Patriotisme, ada juga yang menyebutnya Nasionalisme. Ada juga yang menyebutkan perasaan cinta yang timbul dari perasaan satu keturunan, senasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah airnya sebagai Nasionalisme. Sementara itu, jiwa dan semangat cinta tanah air berupa sikap rela berkorban bagi bangsa dan tanah air disebut Patriotisme.


Kemudian muncul juga pembedaan dalam istilah Nasionalisme itu, yaitu Nasionalisme dalam arti sempit dan Nasionalisme dalam arti luas. Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sedangkan dalam arti luas, Nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Menurut Gereja Katolik, terdapat perbedaan yang tegas antara Patriotisme dengan Nasionalisme. Tahun lalu, sehari sesudah 17 Agustus 2012, saya membuat artikel tentang Patriotisme dan Nasionalisme Menurut Gereja Katolik. Saya kutipkan 5 pernyataan mengenai Patriotisme dan Nasionalisme.

�Cintai negaramu sendiri: adalah kebajikan Kristiani untuk menjadi patriotik. Tetapi bila patriotisme menjadi nasionalisme yang membawamu melihat kepada orang lain, kepada negara lain dengan acuh tak acuh, cemoohan tanpa kemurahan hati dan keadilan Kristiani, maka itu adalah dosa.� � St. Josemaria Escriva

�Negara kita, salah atau benar! Ketika [negara kita] benar, jagalah agar tetap benar; ketika[negara kita] salah, jadikanlah supayabenar! Itu adalah suara patriotisme yang merupakan sebuah kebajikan Kristiani. Nasionalisme, yang adalah kesombongan dalam skala publik, adalah tidak sesuai dengan iman Katolik.� � Romo John Jay Hughes

�Sebagai seorang Katolik, kita dipanggil untuk menjadi patriot sejati, bukan nasionalis. Gereja Katolik adalah universal, dan dengan demikian meliputi semua negara. Demikian, orang Katolik mencintai negaranya tetapi tahu bahwa warga negara lain juga adalah anak-anak terkasih dari satu Allah kita.� � Our Sunday Visitor, Majalah Katolik

�Patriotisme, sebagai salah satu jenis cinta, adalah sesuatu yang baik. Patriotisme harus dikontraskan dengan nasionalisme yang timbul bukan dari cinta melainkan dari kesombongan. Seorang patriotik mencintai negara apa adanya negara itu, sementara nasionalis berpikir bahwa negaranya adalah "yang terbaik" dari pada yang lain. Sebagai seorang Katolik, kita hendaknya mengembangkan patriotisme dan menghindari nasionalisme sama seperti kita mengembangkan cinta kasih dan menghindari kesombongan.� � Karl Keating, apologet Katolik dan penulis buku �Katolik dan Fundamentalisme�.

�Nasionalisme melibatkan pengakuan dan pengejaran kebaikan bangsa sendiri saja tanpa menghormati hak-hak orang lain; patriotisme di sisi lain adalah cinta terhadap tanah airnya yang memberikan hak-hak yang sama dengan hak-hak yang diklaim bagi dirinya sendiri kepada bangsa lain.� � Paus Beato Yohanes Paulus II

Terlihat bahwa Gereja Katolik memandang patriotisme sebagai kecintaan terhadap tanah air yang sehat sementara memandang nasionalisme sebagai sikap cinta tanah air yang salah.

Terlepas adanya perbedaan pemaknaan kata dan penggunaan istilah �Patriotisme� dan �Nasionalisme� antara menurut Gereja Katolik dengan pandangan umum di Indonesia, ada satu poin penting yang harus dilihat yaitu: Sebagai seorang Katolik dan sebagai seorang Indonesia, kita harus mencintai bangsa dan tanah air Indonesia kita ini dengan tetap menghormati dan menghargai bangsa lain.

Alm. Uskup Agung Soegijapranata berkata demikian:
Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati. - Soegijapranatadikutip dalam Subanar (2005, p. 82)

Perhatikan, ada satu hal penting lagi yang harus ditekankan. Cinta kepada tanah air merupakan kebajikan Kristiani, suatu kewajiban bagi seorang Katolik.

�Kewajiban warga negara ialah bersama para pejabat mengembangkan kesejahteraan umum masyarakat dalam semangat kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Cinta kepada tanah air dan pengabdian untuk tanah air adalah kewajiban terima kasih (duty of gratitude) dan sesuai dengan tata cinta kasih. Ketaatan kepada wewenang yang sah dan kesiagaan untuk kesejahteraan umum menghendaki agar para warga negara memenuhi tugasnya dalam kehidupan persekutuan negara.� � Katekismus Gereja Katolik 2239

Dengan kata lain, mencintai tanah air bukanlah sebuah pilihan, bukan sesuatu yang opsional. Mencintai tanah air adalah kewajiban, sebuah kewajiban yang mengalir berasal dari syukur dan terima kasih. Gereja Katolik mengajarkan bahwa mencintai tanah air merupakan salah satu wujud dari perintah ke-4 dari 10 Perintah Allah. Umat Katolik memiliki kewajiban untuk melayani dan mencintai orang tuanya, yang telah memberikannya kehidupan dan membesarkannya. Demikian juga, sebagai �rahim� peradaban dan masyarakat tempat di mana kita dibesarkan, tanah air kita layak untuk mendapatkan pelayanan dan cinta kita. Sebagai seorang Katolik, kita terikat oleh cinta kasih untuk melayani dan berkarya bagi kebaikan tanah air Indonesia kita.


Merenungkan Para Pahlawan

Bagaimana cara untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air? Tentu umat sekalian bisa memikirkan cara masing-masing untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air selama cara-cara tersebut tidak bertentangan dengan iman dan moral Gereja Katolik. Saya coba mengajukan satu cara, merenungkan para pahlawan, secara khusus para pahlawan Katolik. Sebagaimana cinta terhadap Kristus dan Gereja dapat ditumbuhkan melalui membaca, mengenang, merenungkan para martir Katolik serta dengan menjadikannya teladan dalam mencintai Kristus dan Gereja; maka cinta terhadap tanah air dapat ditumbuhkan dengan cara yang sama tetapi objek yang berbeda yaitu para pahlawan.

Kita memiliki Brigadir Jendral (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dari Angkatan Darat, Laksamana Madya (Anumerta) Yosaphat Soedarso dari Angkatan Laut, dan Marsekal Muda (Anumerta) Agustinus Adisutjipto dari Angkatan Udara. Kita juga memiliki Mgr. Soegijapranata dan Ignatius Joseph Kasimo yang perjuangan tanpa senjata mereka telah berdampak besar bagi NKRI. Kita juga memiliki Wage Rudolf Supratman yang menciptakan Lagu Indonesia Raya dan Cornel Simanjuntak yang menciptakan lagu �Maju Tak Gentar� yang membakar semangat para Tentara Pelajar Yogyakarta. Semuanya ini menggambarkan bahwa setiap umat Katolik dapat mencintai tanah airnya dengan cara khas mereka masing-masing, seturut talenta dan profesi mereka masing-masing. Seorang dokter mencintai tanah air dengan melayani orang-orang miskin di Indonesia, seorang Katolik mencintai tanah air dengan mencerdaskan para muridnya, seorang pemain bola timnas mencintai tanah air dengan bermain sebaik mungkin untuk mengharumkan nama Indonesia. Seorang seniman mencintai tanah air dengan melestarikan seni khas Indonesia. Secara khusus, jangan remehkan para pencipta lagu-lagu perjuangan. Kontribusi mereka sangat besar, moral para pejuang teguh karena pesan, semangat, keyakinan dan sebagainya yang disampaikan dalam lagu-lagu perjuangan tersebut. Pertanyaan menariknya: Apakah kita sudah menempatkan porsi waktu khusus untuk mendengarkan lagu-lagu perjuangan? Jangan-jangan saking seringnya kita mendengarkan musik-musik modern, kita sudah lupa lagu-lagu perjuangan yang dulu pernah kita nyanyikan atau bahkan kita sudah tidak tahu lagi apa saja lagu-lagu perjuangan itu. Silahkan berkontemplasi masing-masing. 

Ada langkah konkrit yang bisa diambil Gereja untuk menumbuhkan cinta tanah air kepada Orang-orang muda Katolik. Mengapa paroki setempat atau keuskupan setempat tidak menjamu para veteran perang yang masih hidup dalam acara kumpul bersama dengan Orang-orang muda Katolik? Sederhananya, mengapa tidak membuat sebuah acara yang mempertemukan Orang muda Katolik dengan para veteran perang yang tersisa? Sungguh disayangkan di mana para veteran perang semakin menghilang; semangat mereka, kisah perjuangan mereka, pesan-pesan mereka tidak diteruskan kepada Orang-orang muda Katolik. Orang-orang muda Katolik bisa menarik inspirasi, pesan, saran dan koreksi yang begitu banyak dari para veteran perang ini. Tentu saja pertemuan-pertemuan tidak harus terbatas pada para veteran perang. Pertemuan dengan para veteran, para pahlawan di bidang-bidang lain pun akan menjadi sangat bermanfaat, sangat berbuah dan inspiratif. Mengulang pernyataan Bung Karno pada Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961: �Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.� Menjaga cinta, semangat, dan segala yang baik dari para pahlawan kepada tanah air supaya tetap hidup di dalam umat Katolik masa sekarang (secara khusus kepada orang muda Katolik) adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap para pahlawan.

Penutup

Pesan inti yang saya sampaikan adalah bahwa seorang Katolik harus mencintai tanah airnya tanpa memandang rendah bangsa lain. Gereja Katolik pun mengajarkan demikian. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan cinta kepada tanah air di dalam diri umat Katolik. Merenungkan Para Pahlawan adalah salah satunya. Semoga artikel sederhana ini bermanfaat bagi umat Katolik sekalian. Selamat Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia. MERDEKA!
pax et bonum