Latest News

Showing posts with label Paus Benediktus XVI. Show all posts
Showing posts with label Paus Benediktus XVI. Show all posts

Saturday, January 25, 2014

Bahaya Menyamakan Konsili Vatikan II Dengan Pembaharuan Liturgi



Oleh : Prof. Peter Kwasniewski
Diterjemahkan bebas oleh : HiFraX

Paus Yohanes Paulus II menunjukkan : �Bagi banyak orang, pesan Konsili Vatikan II dirasakan terutama melalui pembaharuan liturgi� (Vicesimus Quintus Annus, 12)




Itu baru hanya masalah kecil, bukan? Jika pembaharuan liturgi itu sendiri dirusak � dan tidak lagi merupakan suatu kejujuran intelektual untuk menganggap bahwa pembaharuan liturgi tidak dirusak, dalam beberapa hal tertentu yang sangat penting, di saat munculnya kritik-kritik pedas terhadap pembaharuan Liturgi yang buruk dari Gamber, Ratzinger, Nichols, Lang, Mosebach, Robinson, Reid dan kawan-kawan, � dan yang lebih buruk jika pelaksanaannya masih dikompromi lebih jauh lagi dengan memasukkan unsur sekularisme yang berlaku di masyarakat, kita harus bertanya: Versi apa, atau mungkin, karikatur mana dari Vatikan II yang banyak orang terima gagasannya mengenai Konsili itu dan, mungkin secara ekslusif, dari siapa revolusi liturgi itu datang?

Mereka mengambil sedikit atau bahkan tidak sama sekali ajaran Konsili yang otentik � ajaran yang menyegarkan bahwa, berdasarkan intensi Yohanes XXIII dan banyak kata-kata dari Vatikan II itu sendiri, sepenuhnya disesuaikan dengan pengajaran dari konsili-konsili ekumenikal sebelumnya, terutama konsili Trente dan Vatikan I. Tetapi bukannya roti, melainkan umat beriman malah diberikan batu. Bukannya isi yang substantif (sesungguhnya), orang-orang beriman malah diberikan sebuah hermeneutic, yaitu sebuah cara untuk melihat Gereja, pengajarannya, tradisinya, liturginya � yang secara pasti itu adalah salah satu perpecahan dan diskontinuitas. Untuk menjadi seorang Katolik di zaman yang memabukkan ini berarti menjadi berbeda, menjadi yang lain, menjadi up-to-date; hal ini tentunya tidak bermaksud untuk menjadi sama, konsisten dengan masa lalu, bergantung pada tradisi. Gereja tidak lagi merupakan Tubuh Mistik dan Mempelai Tak Bernoda dari Yesus Kristus; Gereja sudah memperbaharui diri, memperbaharui diri tanpa sebuah target, bahkan tanpa banyak rencana, memperbaharui hanya demi memperbaharui. Seperti yang dipertanyakan oleh teolog Protestan yang terkenal, Karl Barth, saat kemunculan Konsili : �Kapan Gereja akan mengetahui bahwa dirinya sudah cukup terupdate?� Saya pikir itu adalah yang Anda sebut sebagai pertanyaan retorik.

Tragisnya, generasi klerus (para kaum tertahbis) telah dilatih dalam hermeneutik akan perpecahan dan diskontinuitas yang sama (hermeneutic of rupture and discontinuity), begitu juga dengan hampir seluruh uskup di dunia. Itulah mengapa kebangkitan yang tidak terduga dari bentuk-bentuk iman dan peribadatan yang tradisional (seperti Misa Tridentin / Misa Latin Tradisional) diantara orang-orang muda Katolik, yang seiring waktu meningkat menjadi komitmen yang bersemangat dalam diri orang-orang muda Katolik tersebut, adalah sumber dari kebingungan, kekhawatiran, dan bahkan kemarahan bagi para klerus tersebut. Berdasarkan latihan dan kebiasaan berpikir mereka, klerus-klerus itu menyamakan liturgi zaman sekarang dan penyimpangannya yang beraneka ragam itu dengan Vatikan II dan kemudian menyamakan kecintaan atau pilihan akan liturgi yang tradisional dan budaya yang melingkupinya sebagai penolakan akan Vatikan II. Hal ini mungkin benar bagi sebagian orang, tetapi hal ini tidak benar secara keseluruhan, dan hal ini tidak perlu untuk menjadi benar sama sekali.

Kelihatannya tidaklah penting bahwa liturgi tradisional dan kehidupan utuh Katolik yang faktanya menopang secara teguh dalam harmoni dengan pengajaran terbaik dan terhebat dari Konsili itu � kita hanya perlu memikirkan Lumen Gentium, Dei Verbum, dan bahkan Sacrosanctum Concilium. Tidaklah penting bahwa Paus Benediktus XVI, teolog terhebat yang duduk di Tahta Petrus setelah berabad-abad, melihat keberlanjutan/kontinuitas antara ajaran dan praksis liturginya sendiri dengan yang berasal dari Konsili yang dulunya ia berikan kontribusi besar di sana. Tidak, itu tidaklah penting, karena itu tidak terlihat demikian penting bagi orang-orang Katolik yang tidak peduli pada dokumen-dokumen Konsili, tidak peduli pada warisan liturgis Gereja dan buruknya umat Katolik ini dibentuk demikian oleh hampir 50 tahun pelecehan Liturgi (liturgical abuse).

Apa yang penting saat ini adalah untuk menunjukkan - secara sabar, secara gigih, dan secara akurat, dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri yang lahir dari pembelajaran yang hati-hati -  bahwa para Bapa Konsili Vatikan II tidak menginginkan atau meminta pembaharuan liturgi yang berasal dari Konsilium Uskup Agung Bugnini, bahwa Misa Novus Ordo tidak dalam kesesuaian penuh dengan Sacrosanctum Concilium (lihat di sinidan di sini), dan bahwa pengajaran dari 16 dokumen resmi Vatican II justru mendukung dan bukannya melucuti teologi dan ulah kesalehan Katolik yang tradisional. Bagaimanapun, hal terakhir yang dapat kita lakukan adalah tidak mengizinkan diri kita untuk terlibat dengan bacaan-bacaan yang memiliki kebenaran setengah-setengah atau bacaan yang bertendesi memperlebar perpecahan, baik bersumber dari para modernis atau tradisionalis [yang berada di luar persatuan dengan Paus].

Benar bahwa ada banyak masalah, kesulitan, dan ambiguitas di dalam dokumen-dokumen konsili. Benar bahwa tidak semua formulasi dalam Konsili Vatikan II adalah kebal terhadap kritik-kritik yang sah � bahkan Ratzinger mengeluh bahwa bagian dari Gaudium et Spes �benar-benar Pelagian�. Dan tidak diragukan lagi bahwa ada Uskup-uskup dan para ahli di dalam Konsili Vatikan II yang meminta untuk memasukkan modernisme ke dalam dokumen-dokumen Konsili dan � sampai pada batas tertentu - sukses dalam mempengaruhi formulasinya. Tapi lebih pasti lagi bahwa dokumen-dokumen final yang direview berkali-kali dan melewati wadah pengawasan dari kepausan dan konsili adalah - dengan sejumlah kecil pengecualian - sehat dalam isi dan formula;  dan inilah yang paling pasti bahwa mereka bebas dari kesalahan dalam iman dan moral, menjadi tindakan resmi dari sebuah konsili ekumenis dan secara agung dipromulgasikan oleh Paus. Kita tidak boleh pernah - seperti dulunya - menelantarkan Konsili kepada para modernis; Konsili ini hanya akan menjadi mainan bagi tangan-tangan iblis.

Bagaimanapun, bukan hanya Konsili yang paling baru ini yang memberikan bagi kita peta dan aturan untuk bergerak, tetapi juga seluruh Tradisi Katolik dan seluruh Magisterium sejak 2000 tahun ini, yang mana Konsili ini hanyalah sebuah bagian kecil dan di dalam Tradisilah dimana kita mengerti Konsili ini secara benar. Kita tahu bahwa di dalam prinsip, tidak ada bacaan dari Vatikan II yang mungkin benar bila menghasilkan pertentangan antara masa lalu dan masa kini. Tetapi kita dibimbing oleh seluruh pengajaran Gereja, tidak hanya dari yang terbaru. Memang, kita beruntung untuk memiliki sebuah �tubuh� yang walaupun ia berkembang seiring waktu tetapi dasarnya tidak dapat berubah secara esensi. Para pendukung dari perubahan abadi bisa saja memiliki liturgi-liturgi aneh mereka dan secara politis mengoreksi katekismus, tetapi mereka bukanlah lagi seorang Katolik.

Monday, April 8, 2013

Iman adalah Warisan dari Benediktus XVI



Oleh: Shirley Hadisandjaja
�Benediktus XVI memiliki devosi yang besar kepada Bunda Maria, terutama kepada Bunda Maria Lourdes, karena penampakannya yang sejernih kristal. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hanya suatu kebetulan dirinya telah memilih tanggal 11 Februari sebagai hari untuk mengumumkan pengunduran dirinya�. Vittorio Messori, penulis asal Italia yang buku-bukunya paling laris diterjemahkan di dunia, telah banyak mempelajari penampakan Maria di Lourdes yang memiliki sintesis pertama dalam bukunya yang terakhir �Bernadette non ci ha ingannati� (Bernadette tidak mengelabui kita). Messori kenal baik dengan Joseph Ratzinger, Paus emeritus BenediktusXVI, persahabatan diantara keduanya itu lahir dalam kesempatan pembuatan buku wawancara dengan mantan Kepala Kongregasi Doktrin Iman itu berjudul �Rapporto sulla Fede� (Ulasan tentang Iman).


Messori dan Ratzinger sering membicarakan tentang Lourdes, dan kebetulan mereka berdua berbagi tanggal kelahiran yang sama: 16 April, dies natalis dari Santa Bernadette.

Menurut Messori, pemilihan tanggal 11 Februari bukanlah sesuatu yang kasual. �Jawaban yang kutemukan terletak pada diri pendahulunya, Beato Yohanes Paulus II. Tanggal 11 Februari sejak dari jaman kepausan Leo XIII sudah masuk ke dalam kalender universal Gereja sebagai Pesta Bunda Maria Lourdes, dan adanya ikatan antara Santuari ini dengan penyakit tubuh, maka Yohanes Paulus II mengabdikan hari itu sebagai Hari Orang Sakit Sedunia. Oleh karena itu Paus Benediktus XVI bermaksud untuk berbicara tentang penyakitnya.�   

Namun, Padre Lombardi, Juru bicara Vatikan tidak mengatakan alasan pengunduran diri Paus Benediktus adalah karena penyakit. Messori menjelaskan, �Senectus ipsa est morbus�, artinya: masa tua itu sendiri juga merupakan suatu penyakit. Pada usia 86 tahun, meskipun nyatanya kau tidak sakit, tetapi ada penyakit yag berkaitan dengan usia. Paus merasakan sakit karena sudah amat lanjut usia, maka aku yakin bahwa ia telah memilih hari itu justru untuk mengakui dirinya yang sakit di antara orang-orang sakit lainnya. Dan juga untuk membaktikan dirinya secara total kepada Bunda Maria: bukan hanya Bunda Maria Lourdes tetapi kepada diri Bunda Maria sendiri.�

Messori melanjutkan, �Tentang Lourdes kita telah membicarakan selama 25 tahun dan pastinya Benediktus XVI telah mengambil kesempatan dalam rangka 150 tahun penampakan Bunda Maria untuk berkunjung ke sana (September 2008). Untuk memberikan ide mengapa Lourdes sangat penting baginya, kita cukup berpikir bahwa pada satu setengah hari itu, diperkirakan ada 3 kotbahnya yang besar. Ternyata, Paus Benedikus telah berbicara sebanyak 15 kali, hampir setiap kali tanpa teks dan sering kali ia tampak terharu. Ia selalu terlihat memiliki devosi yang besar kepada Maria dan kepada sosok Santa Bernadette, kepada penampakan Bunda Maria di Lourdes yng sejernih kristal: di sana tidak ada rahasia, semuanya jelas, jernih.�

Kemudian Messori menjelaskan bahwa kemunduran diri Paus Benediktus yang dipandang oleh banyak pengamat sebagai suatu sikap menyerah di hadapan kesulitan-kesulitan, sebaliknya justru pada kenyataannya merupakan sebuah tanda ketegaran dan kerendahan hati. Kebebasan dalam agama Katolik itu jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dipikirkan orang. Ada bebagai karakter yang berbeda, kisah-kisah berbeda, karisma-karisma yang berbeda dan kesemuanya itu dihormati karena turut mengambil bagian dalam kehendak bebas yang suci dari setiap umat beriman. Pada diri Yohanes Paulus II ada sisi mistik, ia adalah seorang mistik dari Timur. Sementara pada diri Benediktus XVI ada sisi rasional Barat, dari seorang yang modern. Oleh karena itu, ada dua kemungkinan pilihan: yang mistik, dari Paus Wojtyla, yang alot dan bertahan sampai akhir; atau pilihan rasional, seperti Paus Ratzinger: yaitu mengakui tidak lagi memiliki kekuatan fisik dan bahwa Gereja justru memerlukan seorang pemimpin dengan tenaga yang besar. Maka, demi kebaikan Gereja lebih baik mengundurkan diri. Pilihan-pilihan itu keduanya berdasarkan pada Kitab Suci.     

Paus Benediktus telah selalu menakjubkan kita dengan kerendahan hatinya. Dan memang, pilihan yang diambilnya ditandai dengan sikap kerendahan hati yang besar, sebuah bakti yang selalu nyata dalam dirinya. Kata Messori, �Aku ingat kembali akan sebuah episode pada tahun 1985 yang batik sangat menakjubkan: setelah 3 hari keseluruhan melakukan wawancara untuk buku �Rapporto sulla Fede�, sebelum ditutup aku bertanya kepadanya: �Yang Mulia, dengan segala sesuatu yang Anda ceritakan kepada saya tentang situasi Gereja (pada saat itu banyak pertentangan) ijinkan saya bertanya: apakah Anda masih bisa tidur di malam hari?� Dan ia menjawab dengan wajah dan mimiknya yang kekanakan dan mata kerangnya: �Saya tidur nyenyak sekali, karena saya menyadari bahwa Gereja bukan milik kita, tetapi milik Kristus, kita ini hanya pelayan-pelayanNya yang bersahaja: setiap malam saya melakukan latihan kesadaran diri, apabila saya melihat telah melakukan dengan kehendak baik apa saja yang dapat  saya kerjakan, maka saya tidur dengan nyaman�.
Begitulah seorang Ratzinger yang selalu memiliki keyakinan yang jelas bahwa kita bukan dipanggil untuk menyelamatkan Gereja, tetapi untuk melayani Gereja, dan apabila tidak sanggup lagi maka kita melayani Gereja dengan cara lain, yaitu berlutut dan berdoa. Keselamatan adalah perkara Kristus. Maka, dengan kemunduran dirinya ini, kita dipanggil untuk �belajar untuk melakukan tugasmu sebaik mungkin dan ketika kau menyadari tidak mampu lagi mengemban tugas itu, tidak ada lagi tenaga untuk mengemban tugas, maka kau ingat bahwa Gereja bukanlah milikmu dan serahkan tugas itu kepada orang lain dan lakukanlah karya bagi Gereja yang di dalam perspektif iman jauh lebih besar, jauh lebih berharga: karya berdoa dan menyandarkan penderitaanmu kepada Kristus.� Messori melihat ini sebagai suatu sikap dari kerendahan hati yang besar, dari kesadaran diri bahwa menjadi tugas Kristus untuk menyelamatkan Gereja, bukanlah kita manusia-manusia yang hina untuk menyelamatkannya, meskipun engkau seorang Paus sekalipun.

Ketika Paus Benediktus XVI berbicara kepada para seminaris Roma ia berkata bahwa saat orang berpikir bahwa Gereja hampir punah, kenyataannya Gereja justru selalu membaharui dirinya. Messori menjelaskan bahwa orang sering kali melupakan bahwa pada awal masa kepausannya, Benediktus XVI mengatakan: program kerja saya adalah tidak memiliki program-program. Dalam pemahaman menempatkan diri kembali di hadapan kejadian-kejadian yang telah ditempatkan di depan oleh Sang Ilahi. Rancangan strategi yang besar, pada dasarnya, terdapat di sini, mengukuhkan domba-domba di dalam iman.

Messori melanjutkan, �Mengenai ini, aku selalu merasakan keselarasan dengannya, Benediktus XVI selalu telah menjadi seorang Paus yang meyakini perlunya mengangkat kembali Apologetik dan menemukan kembali rasio-rasio dari iman. Ia juga yakin, seperti halnya diriku, bahwa banyak masalah Gereja yang disebut parah pada kenyataannya adalah masalah sekunder: masalah kelembagaan, masalah gerejawi, administrasi, masalah-masalah moral dan liturgi, tentu saja amat penting; tetapi di sekelilingnya ada sebuah pertengkaran klerus yang � seperti yang dikatakannya sendiri di dalam dokumen indikasi Tahun Iman � menerima iman begitu saja, padahal tidak harus begitu. Untuk apa kita saling bertengkar tentang bagaimana mengatur lebih baik lembaga-lembaga vatikan, dan bahkan tentang prinsip-prinsip yang tidak dapat dikompromi, untuk apa kita bertengkar dan juga mengatur pembelaan diri jika kita sendiri tidak lagi percaya bahwa Injil itu benar? Jika kita tidak lagi percaya akan Keilahian Yesus Kristus maka segala sesuatu menjadi omong kosong.

Dan memang bukan kebetulan, karya Benediktus yang terakhir dan besar adalah menetapkan Tahun Iman: tetapi dari iman yang tekun dalam arti apologetik, mencoba menunjukkan bahwa seorang kristen bukan orang yang bodoh, mencoba menunjukkan bahwa kita tidak percaya akan sebuah dongeng, mencoba menunjukkan alasan-alasan apa saja untuk percaya. Jalur-jalur strateginya yang besar hanya terdapat dalam hal ini: menegaskan kembali alasan-alasan untuk bertaruh pada kebenaran Injil. Persoalan-persoalan lainnya dihadapi hari demi hari. Dan ini telah dilakukannya dengan amat baik.�

Dengan penjelasan dari Messori ini maka benarlah mengatakan bahwa Iman adalah warisan sejati dari Paus Benediktus, dan warisan ini harus kita ambil dengan serius. Dalam Gereja, di dalam perspektif masa depan, apologetik harus memiliki sebuah peranan inti, karena jika dasarnya tidak benar, maka segala sesuatunya tidak masuk akal. Benediktus XVI telah meninggalkan kepada kita kesadaran bahwa kita harus menemukan kembali alasan-alasan untuk percaya. 

(Sumber: La Nuova Bussola quotidiana)

Pax et Bonum

Thursday, December 6, 2012

Akun Twitter Palsu Bapa Suci Benediktus XVI



Pontifex_id BUKAN Akun Resmi Paus Benediktus XVI (Tolong Disebarkan dan Di-report juga akun twitter palsu tersebut)

Beberapa waktu lalu, sebagaimana yang diberitakan, Bapa Suci Benediktus XVI melaunching akun resminya di Twitter. Berdasark an info yang diberitakan oleh situs resmi berita Vatikan, news.va http://www.news.va/en/news/pope-benedict-to-launch-new-twitter-account


Bahasa Inggris: Pontifex,
Bahasa Jerman: Pontifex_de,
Bahasa Perancis: Pontifex_fr,
Bahasa Arab: Pontifex_ar,
Bahasa Spanyol: Pontifex_es
Bahasa Polandia: Pontifex_pl
Bahasa Italia: Pontifex_it
Bahasa Portugal: Pontifex_pt,


namun, hari ini admin melihat muncul sebuah akun twitter pontifex_id yang memberi keterangan:
"Benediktus XVI
@pontifex_id
Selamat datang di akun resmi Twitter Yang Mulia Sri Paus Benediktus XVI (Bahasa Indonesia)
Kota Vatican � http://t.co/1xpbRtks"


Perlu ditegaskan bahwa akun pontifex_id BUKAN akun resmi Paus Benediktus XVI dalam bahasa Indonesia. Hal ini sudah dikonfirmasi langsung oleh Indonesian Papist ke official page News.va English. Foto ini adalah screenshot klarifikasi dari News.va English.


Pax et Bonum: Dear News.va English, i want to ask about the legality of twitter account https://twitter.com/pontifex_id. Is it Pope's official account too? This account claims that it is also an official account.
News.va English: The account you mentioned is not an official account of the Pope. The Pope ONLY HAS EIGHT (8) official accounts, which are: @pontifex, @pontifex_es, @pontifex_it, @pontifex_pt, @pontifex_de, @pontifex_pl, @pontifex_ar, @pontifex_fr . Thank you for highlighting this.
Pax et Bonum: Ok, thank you very much for the clarification. Pax et Bonum



SEKADAR ANALISA, ada beberapa kejanggalan mengenai "akun resmi" dalam bahasa Indonesia ini:

1. Bila kita melihat ke semua akun resmi twitter Paus Benediktus XVI dalam ke-8 bahasa tersebut, kita melihat masing-masing akun tersebut memfollow ke-7 akun resmi lainnya. Tetapi dalam 7 akun resmi ini, tidak kita jumpai bahwa setiap akun tersebut juga memfollow "akun" berbahasa Indonesia. Jadi, karena ke-8 akun resmi Paus Benediktus XVI tidak memfollow akun "pontifex_id", maka keabsahan akun "pontifex_id" DIRAGUKAN.

2. Di akun pontifex_id, anda akan melihat bahwa gelar yang digunakan adalah "Yang Mulia" sementara yang benar harusnya adalah "Yang Kudus".
Setiap akun resmi akan menggunakan kata-kata yang bila diterjemahkan menjadi "Yang Kudus".
contohnya:
Bahasa Inggris: His Holiness Pope Benedict XVI
Prancis: Saint P�re Beno�t XV
Jerman: Santidade Papa Bento XVI
"Yang Mulia" dalam Gereja Katolik dipakai untuk menyebut Uskup. Contoh: Yang Mulia Ignatius Suharyo
Tambahan Info: terdapat penyebutan resmi ke pada setiap kaum tertahbis.
Imam = Yang Terhormat
Uskup dan Uskup Agung = Yang Mulia
Kardinal = Yang Utama
Paus = Yang Kudus / Yang Suci

3. Setiap akun resmi Paus Benediktus XVI mencantumkan "news.va", tetapi akun pontifex_id ini malah mencantumkan: " hxxp://t.co/1xpbRtks ". Memang short link ini akan mengarah ke news.va, tetapi jelas sekali formatnya berbeda dari akun resmi yang menggunakan "news.va".

4.akun pontifex_id mencantumkan keterangan bahasa yang digunakan, ditulis dalam kurung: "(Bahasa Indonesia)" tetapi format penulisan bahasa seperti ini tidak ditemukan di 8 akun resmi Paus Benediktus XVI.


Pax et Bonum