Latest News

Showing posts with label Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Liturgi. Show all posts

Saturday, January 25, 2014

Bahaya Menyamakan Konsili Vatikan II Dengan Pembaharuan Liturgi



Oleh : Prof. Peter Kwasniewski
Diterjemahkan bebas oleh : HiFraX

Paus Yohanes Paulus II menunjukkan : �Bagi banyak orang, pesan Konsili Vatikan II dirasakan terutama melalui pembaharuan liturgi� (Vicesimus Quintus Annus, 12)




Itu baru hanya masalah kecil, bukan? Jika pembaharuan liturgi itu sendiri dirusak � dan tidak lagi merupakan suatu kejujuran intelektual untuk menganggap bahwa pembaharuan liturgi tidak dirusak, dalam beberapa hal tertentu yang sangat penting, di saat munculnya kritik-kritik pedas terhadap pembaharuan Liturgi yang buruk dari Gamber, Ratzinger, Nichols, Lang, Mosebach, Robinson, Reid dan kawan-kawan, � dan yang lebih buruk jika pelaksanaannya masih dikompromi lebih jauh lagi dengan memasukkan unsur sekularisme yang berlaku di masyarakat, kita harus bertanya: Versi apa, atau mungkin, karikatur mana dari Vatikan II yang banyak orang terima gagasannya mengenai Konsili itu dan, mungkin secara ekslusif, dari siapa revolusi liturgi itu datang?

Mereka mengambil sedikit atau bahkan tidak sama sekali ajaran Konsili yang otentik � ajaran yang menyegarkan bahwa, berdasarkan intensi Yohanes XXIII dan banyak kata-kata dari Vatikan II itu sendiri, sepenuhnya disesuaikan dengan pengajaran dari konsili-konsili ekumenikal sebelumnya, terutama konsili Trente dan Vatikan I. Tetapi bukannya roti, melainkan umat beriman malah diberikan batu. Bukannya isi yang substantif (sesungguhnya), orang-orang beriman malah diberikan sebuah hermeneutic, yaitu sebuah cara untuk melihat Gereja, pengajarannya, tradisinya, liturginya � yang secara pasti itu adalah salah satu perpecahan dan diskontinuitas. Untuk menjadi seorang Katolik di zaman yang memabukkan ini berarti menjadi berbeda, menjadi yang lain, menjadi up-to-date; hal ini tentunya tidak bermaksud untuk menjadi sama, konsisten dengan masa lalu, bergantung pada tradisi. Gereja tidak lagi merupakan Tubuh Mistik dan Mempelai Tak Bernoda dari Yesus Kristus; Gereja sudah memperbaharui diri, memperbaharui diri tanpa sebuah target, bahkan tanpa banyak rencana, memperbaharui hanya demi memperbaharui. Seperti yang dipertanyakan oleh teolog Protestan yang terkenal, Karl Barth, saat kemunculan Konsili : �Kapan Gereja akan mengetahui bahwa dirinya sudah cukup terupdate?� Saya pikir itu adalah yang Anda sebut sebagai pertanyaan retorik.

Tragisnya, generasi klerus (para kaum tertahbis) telah dilatih dalam hermeneutik akan perpecahan dan diskontinuitas yang sama (hermeneutic of rupture and discontinuity), begitu juga dengan hampir seluruh uskup di dunia. Itulah mengapa kebangkitan yang tidak terduga dari bentuk-bentuk iman dan peribadatan yang tradisional (seperti Misa Tridentin / Misa Latin Tradisional) diantara orang-orang muda Katolik, yang seiring waktu meningkat menjadi komitmen yang bersemangat dalam diri orang-orang muda Katolik tersebut, adalah sumber dari kebingungan, kekhawatiran, dan bahkan kemarahan bagi para klerus tersebut. Berdasarkan latihan dan kebiasaan berpikir mereka, klerus-klerus itu menyamakan liturgi zaman sekarang dan penyimpangannya yang beraneka ragam itu dengan Vatikan II dan kemudian menyamakan kecintaan atau pilihan akan liturgi yang tradisional dan budaya yang melingkupinya sebagai penolakan akan Vatikan II. Hal ini mungkin benar bagi sebagian orang, tetapi hal ini tidak benar secara keseluruhan, dan hal ini tidak perlu untuk menjadi benar sama sekali.

Kelihatannya tidaklah penting bahwa liturgi tradisional dan kehidupan utuh Katolik yang faktanya menopang secara teguh dalam harmoni dengan pengajaran terbaik dan terhebat dari Konsili itu � kita hanya perlu memikirkan Lumen Gentium, Dei Verbum, dan bahkan Sacrosanctum Concilium. Tidaklah penting bahwa Paus Benediktus XVI, teolog terhebat yang duduk di Tahta Petrus setelah berabad-abad, melihat keberlanjutan/kontinuitas antara ajaran dan praksis liturginya sendiri dengan yang berasal dari Konsili yang dulunya ia berikan kontribusi besar di sana. Tidak, itu tidaklah penting, karena itu tidak terlihat demikian penting bagi orang-orang Katolik yang tidak peduli pada dokumen-dokumen Konsili, tidak peduli pada warisan liturgis Gereja dan buruknya umat Katolik ini dibentuk demikian oleh hampir 50 tahun pelecehan Liturgi (liturgical abuse).

Apa yang penting saat ini adalah untuk menunjukkan - secara sabar, secara gigih, dan secara akurat, dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri yang lahir dari pembelajaran yang hati-hati -  bahwa para Bapa Konsili Vatikan II tidak menginginkan atau meminta pembaharuan liturgi yang berasal dari Konsilium Uskup Agung Bugnini, bahwa Misa Novus Ordo tidak dalam kesesuaian penuh dengan Sacrosanctum Concilium (lihat di sinidan di sini), dan bahwa pengajaran dari 16 dokumen resmi Vatican II justru mendukung dan bukannya melucuti teologi dan ulah kesalehan Katolik yang tradisional. Bagaimanapun, hal terakhir yang dapat kita lakukan adalah tidak mengizinkan diri kita untuk terlibat dengan bacaan-bacaan yang memiliki kebenaran setengah-setengah atau bacaan yang bertendesi memperlebar perpecahan, baik bersumber dari para modernis atau tradisionalis [yang berada di luar persatuan dengan Paus].

Benar bahwa ada banyak masalah, kesulitan, dan ambiguitas di dalam dokumen-dokumen konsili. Benar bahwa tidak semua formulasi dalam Konsili Vatikan II adalah kebal terhadap kritik-kritik yang sah � bahkan Ratzinger mengeluh bahwa bagian dari Gaudium et Spes �benar-benar Pelagian�. Dan tidak diragukan lagi bahwa ada Uskup-uskup dan para ahli di dalam Konsili Vatikan II yang meminta untuk memasukkan modernisme ke dalam dokumen-dokumen Konsili dan � sampai pada batas tertentu - sukses dalam mempengaruhi formulasinya. Tapi lebih pasti lagi bahwa dokumen-dokumen final yang direview berkali-kali dan melewati wadah pengawasan dari kepausan dan konsili adalah - dengan sejumlah kecil pengecualian - sehat dalam isi dan formula;  dan inilah yang paling pasti bahwa mereka bebas dari kesalahan dalam iman dan moral, menjadi tindakan resmi dari sebuah konsili ekumenis dan secara agung dipromulgasikan oleh Paus. Kita tidak boleh pernah - seperti dulunya - menelantarkan Konsili kepada para modernis; Konsili ini hanya akan menjadi mainan bagi tangan-tangan iblis.

Bagaimanapun, bukan hanya Konsili yang paling baru ini yang memberikan bagi kita peta dan aturan untuk bergerak, tetapi juga seluruh Tradisi Katolik dan seluruh Magisterium sejak 2000 tahun ini, yang mana Konsili ini hanyalah sebuah bagian kecil dan di dalam Tradisilah dimana kita mengerti Konsili ini secara benar. Kita tahu bahwa di dalam prinsip, tidak ada bacaan dari Vatikan II yang mungkin benar bila menghasilkan pertentangan antara masa lalu dan masa kini. Tetapi kita dibimbing oleh seluruh pengajaran Gereja, tidak hanya dari yang terbaru. Memang, kita beruntung untuk memiliki sebuah �tubuh� yang walaupun ia berkembang seiring waktu tetapi dasarnya tidak dapat berubah secara esensi. Para pendukung dari perubahan abadi bisa saja memiliki liturgi-liturgi aneh mereka dan secara politis mengoreksi katekismus, tetapi mereka bukanlah lagi seorang Katolik.

Saturday, January 11, 2014

Inkulturasi Yang Salah: Imam Merayakan Misa Kudus Tanpa Busana Liturgi Yang Lengkap

Sebagaimana diketahui Indonesia masih dipandang sebagai �negara misi� sehingga Inkulturasi menjadi salah satu hal penting dalam pewartaan Injil. Inkulturasi secara nyata terlihat dalam Liturgi Suci. Yang paling pertama dari bentuk Inkulturasi dalam Liturgi adalah penggunaan bahasa vernakular setempat dalam Misa Kudus sembari tetap mempertahankan bahasa Latin sebagai bahasa resmi dalam Misa Kudus Ritus Roma. Terdapat pula bentuk Inkulturasi lainnya dalam rupa nyanyian, arsitektur gereja dan lain-lain. Namun, tampaknya tidak jarang bentuk inkulturasi yang diperkenalkan atau dimasukkan ke dalam Liturgi Suci berangkat dari pemahaman yang keliru akan Inkulturasi tersebut. Kita terlalu menekankan pada �semangat Inkulturasi� namun melupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Inkulturasi untuk menjamin inkulturasi tersebut berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Gereja Universal. Akibatnya tidak jarang kita berkata �Tindakan X adalah Inkulturasi� padahal yang sebenarnya �Tindakan X adalah Inkulturasi yang keliru� atau �Tindakan X adalah pelanggaran Liturgi Suci�.




Salah satu contohnya adalah Imam merayakan Misa Kudus tanpa busana Liturgi yang lengkap atau yang seharusnya. Seorang teman membuka diskusi di sebuah grup facebook bernafaskan Katolik mengangkat foto-foto Misa Konselebrasi di sebuah paroki yang dirayakan secara inkulturatif berdasarkan kultur Jawa. Dalam foto-foto tersebut terlihat bahwa semua imam yang memimpin Misa Kudus tidak menggunakan kasula, salah satu busana Liturgi yang penting. Terlihat pakaian yang digunakan adalah pakaian adat Jawa (busana beskap) disertai dengan penggunaan stola bermotif batik (ada teman berkata itu bukan stola tapi kalung samir). Foto-foto lengkapnya dapat diakses di blog berikut (ganti �ff� dengan �tt�):
hffp://st-tarsisius.blogspot.com/2013/06/puncak-ziarah-napak-tilas-ada-di.html

Banyak dari kita saya yakin akan berkata bahwa tidak ada yang salah dengan foto-foto Misa Kudus tersebut dan menganggapnya sebagai inkulturasi dalam Liturgi Suci sehingga dapat dibenarkan. Tapi, ternyata Kardinal Francis Arinze dari Nigeria memberikan pengajaran yang berbeda dari anggapan kita.

Kardinal Arinze dari Nigeria saat memberikan Homili dalam Misa Kudus Penutupan Sidang Pleno Federasi Konferensi Para Uskup Asia (FABC) IX di Manila 16 Agustus 2009 menyatakan bahwa penggunaan pakaian lokal menggantikan busana Liturgi merupakan �inkulturasi yang dipahami secara keliru�.
�Tidaklah dibenarkan bahwa imam boleh mengesampingkan busana Liturgi apapun hanya karena iklim panas atau lembab. Bila perlu, uskup dapat mengatur penggunaan busana yang lebih ringan. Juga sama sekali tidak dapat diterima bahwa selebran (selebran: Imam yang memimpin Perayaan Ekaristi) hendak memilih pakaian lokal menggantikan busana Liturgi Misa yang telah diterima secara universal atau penggunaan keranjang-keranjang atau gelas-gelas anggur untuk membagikan Ekaristi Kudus. Ini adalah inkulturasi yang dipahami secara keliru.� � Kardinal Arinze

Sedikit informasi, Kardinal Arinze pernah menjadi Kepala Kongregasi Peribadatan Ilahi dan Disiplin Sakramen sehingga dapat kita ketahui bahwa Beliau adalah orang yang kredibel dalam hal Liturgi Suci. Beliau berasal dari Nigeria, sebuah negara di Afrika yang juga termasuk ke dalam �negara misi� sehingga Beliau pastilah juga mengetahui, mengalami atau bahkan mempromosikan inkulturasi di negaranya namun Beliau tahu mana batasan inkulturasi yang benar, yang otentik sesuai keinginan Konsili Vatikan II. Dalam homili ini, Kardinal Arinze memberi peringatan kepada para uskup Asia tentang buruknya inkulturasi yang keliru.

Di samping pernyataan Kardinal Arinze, dalam Redemptionis Sacramentum juga dijelaskan mengenai perlunya menggunakan kasula. Redemptionis Sacramentum adalah Dokumen Gereja yang diterbitkan 25 Maret 2004 tentang Liturgi yang membahas mengenai materi-materi yang harus dijalankan atau dihindari terkait Perayaan Ekaristi Kudus.

123. Vestimentum (busana Liturgi) yang sesuai untuk imam selebran saat Misa Kudus dan dalam tindakan-tindakan suci lainnya yang berhubungan langsung dengan Misa, kecuali kalau ada peraturan lain, adalah kasula yang dipakai di atas alba dan stola. Demikian pula Imam, dalam menggunakan kasula menurut rubrik, tidak mengabaikan stola. Hendaknya semua ordinaris menjaga supaya segala kebiasaan yang bertentangan dengan itu dihilangkan.

124. Izin diberikan dalam Missale Romanum bagi imam-imam konselebran dalam Misa selain selebran utama (yang harus selalu mengenakan kasula sesuai warna yang ditentukan) � atas dasar alasan yang adil seperti jumlah konselebran yang banyak atau kurangnya vestimentum � untuk tidak memakai kasula dan hanya menggunakan stola di atas alba. Bila kebutuhan kasula tersebut dapat diprediksi, bagaimanapun juga harus disediakan kasula sedapat dan sebanyak mungkin. Dalam keadaan terpaksa, imam-imam konselebran selain imam selebran utama boleh mengenakan kasula putih. Selebihnya, norma-norma yang terdapat dalam buku-buku Liturgi hendaknya dijalankan.

125. Vestimentum yang sesuai untuk Diakon adalah dalmatik yang dikenakan di atas alba dan stola. Supaya tradisi Gereja yang indah dapat dipertahankan, menahan diri dari menggunakan opsi pengabaian dalmatik adalah tindakan yang sungguh terpuji.

126. Adalah pelanggaran yang ditolak di mana pelayan-pelayan suci merayakan Misa Kudus atau ritus lainnya tanpa vestimentum suci atau hanya dengan stola di atas busana rahib atau busana umum biara atau pakaian biasa sekalipun hanya ada satu pelayan saja yang berpartisipasi. Hal ini bertentangan dengan petunjuk dari buku-buku Liturgi. Supaya pelanggaran ini dapat dikoreksi secepat mungkin, para ordinaris hendaknya memperhatikan agar di semua gereja dan kapel yang berada di bawah yurisdiksi mereka tersedia vestimentum Liturgi secara memadai sesuai dengan norma-norma.

Dari kedua referensi ini, sebenarnya kita bisa dengan jelas mengetahui bahwa apa yang tampak pada foto-foto tersebut di mana para imam merayakan Misa Kudus tanpa menggunakan salah satu busana Liturgi yang seharusnya yaitu kasula bukanlah merupakan inkulturasi yang otentik yang diinginkan Gereja, melainkan inkulturasi yang dipahami secara keliru sesuai kata Kardinal Arinze atau sesuai kata Redemptionis Sacramentum pelanggaran (abuse) terhadap Liturgi Suci.

Dalam diskusi di grup tersebut, beberapa orang mengajukan berbagai pembelaan atas kekeliruan yang terjadi dalam Misa Kudus tersebut.

Pertama:
Kita ini benar pintar atau kepinteran?  Sampai-sampai kita berani mengatakan apa yang menjadi kebijakan pastor bahkan uskup salah. Uskup saja tidak melarang. Kebangetan itu namanya.

Respon:
Tentunya memberi kritik bukan berarti sok pintar atau �kepinteran�. Selama ada dasar yang jelas, itu bukan kebangetan. Lagipula, justru karena bodoh makanya saya mengacu pada dokumen Gereja dan pernyataan orang-orang yang kompeten. Kita bisa melihat dengan jelas dari Redemptionis Sacramentum dan Homili Kardinal Arinze di depan para uskup Asia bahwa apa yang tampak pada foto tersebut bukanlah inkulturasi yang benar.
Diamnya uskup tidak berarti bahwa suatu kebiasaan yang salah menjadi benar. Di sisi lain, bukan preferensi pribadi paus, uskup atau imam yang menjadi acuan melainkan prinsip teologis dan liturgis yang tertuang dalam berbagai dokumen resmi Gereja.

Kalaupun Vatikan tidak menegur langsung, itu juga tidak berarti bahwa tindakan tersebut menjadi benar. Sebenarnya dari banyak Dokumen Gereja tentang Liturgi yang beredar salah satunya Redemptionis Sacramentum juga ditujukan kepada uskup-uskup. Di dalam dokumen tersebut dijelaskan tentang hal-hal yang harus dihindari dalam Perayaan Ekaristi. Sayangnya, tidak jarang kita juga temukan uskup-uskup yang belum menjalankan apa yang secara resmi diputuskan oleh Gereja. Peringatan Kardinal Arinze kepada uskup-uskup Asia (Indonesia termasuk benua Asia) tentang inkulturasi sebenarnya juga sudah merupakan teguran yang nyata kepada para uskup Indonesia, tapi apakah diindahkan dan dilaksanakan?



Kedua:
Jadi orang Katolik itu bukan berarti harus mengubah anda menjadi orang Eropa atau bergaya atau berjubah layaknya orang-orang Eropa.

Respon:
Taat pada pedoman Liturgi tidak menjadikan kita orang Eropa atau bergaya Eropa. Jangan terlalu dangkal berpikir. Setiap pernik busana Liturgi itu punya arti teologi dan makna perutusan Kristus. Contohnya Stola merupakan simbol fungsi imamat, Alba merupakan simbol kemurnian hati serta rahmat pengudusan yang diterima dalam sakramen. Kasula merupakan simbol kuk dari Kristus yang diberikan kepada imam. Setiap pernik itu mempunyai doanya sendiri-sendiri. Jadi busana Liturgi itu bukanlah bagian dari penjajahan "budaya Eropa"  kepada budaya lokal. Bukan juga berarti Eropa-sentris karena jubah itu bukan berasal dari Eropa. Situs resmi Tahta Suci memberikan informasi tentang Busana Liturgi dan Doa-doanya.




Ada beberapa poin yang mesti diketahui:
1. Kalau ada Romo berkata X dan Romo lain berkata yang bertentangan dengan X, maka ya dijadikan acuan adalah yang berbicara berdasarkan ajaran dan aturan resmi Gereja Katolik yang tertuang dalam berbagai dokumen.
2. Di sini saya tidak anti inkulturasi. Tapi kalau saya atau rekan yang lain mengkritik atau mempertanyakan Misa Kudus di atas; alasannya karena saya atau rekan yang lain tidak setuju pelanggaran Liturgi yang nyata atas nama atau dilabeli dengan judul "Inkulturasi". �Semangat inkulturasi� yang sehat ditentukan juga oleh pelaksanaan pedoman resmi Gereja mengenai Liturgi dan Inkulturasi dengan setia.
3. Gereja Katolik mengakui prinsip ex opere operato; jadi sekalipun imamnya berdosa berat atau berbuat salah namun konsekrasi yang dilakukan tetap sah sehingga pastilah terjadi transubstansiasi karena terjadinya transubstansiasi ini bukan bergantung pada kekudusan sang imam tapi karena Allah sendiri yang bertindak. Demikian juga, meski ada pelanggaran Liturgi seperti contoh di atas, Misa tetap valid, transubstansiasi tetap terjadi. Hal yang membuat Misa tidak valid adalah forma dan materia Ekaristi tidak sesuai dengan ajaran Gereja, Imam merayakan Misa Kudus tanpa intensi melakukan konsekrasi, atau Misa yang dipimpin oleh mereka yang tidak memiliki tahbisan imamat yang sah. Namun, meski transubstansiasi tetap terjadi, secara sadar melakukan pelanggaran Liturgi dapat membawa kita kepada dosa sakrilegi, melecehkan sesuatu yang sakral.


Dan sebagai penutup:
Gereja memang tidak mengajukan uniformitas yang kaku tetapi unitas. Fakta bahwa dalam Gereja Katolik terdapat ritus Roma, ritus Ambrosian, ritus Mozarabik dan sebagainya menunjukkan bahwa Gereja memang tidak mengajukan uniformitas yang kaku. Meskipun begitu, hal ini juga tidak berarti bahwa kita bisa sewenang-wenang membuat perbedaan dari Liturgi Suci yang universal. Bahkan seorang Paus pun tidak bisa semena-mena mengubah Liturgi Suci. Demikianlah kata Paus Benediktus XVI:  �Bahkan otoritas tertinggi dalam Gereja tidak boleh mengubah Liturgi dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dalam ketaatan pada iman dan dengan penghormatan religius terhadap misteri Liturgi.�Dokumen Liturgi tentang Inkulturasi, Varietates Legitimae, sendiri secara harafiah berarti "Perbedaan-perbedaan yang Legitim" dalam ritus Roma. Pertanyaannya adalah apakah perbedaan seperti dalam foto-foto tersebut adalah legitim? Dan lebih luas lagi, apakah inkulturasi yang selama ini diperkenalkan adalah perbedaan yang legitim? Apa yang terjadi dalam foto-foto di atas tidak mencerminkan unitas yang diharapkan, melainkan disunitas sebab terjadi pelanggaran yang nyata terhadap norma-norma Liturgi Suci.

Tolonglah sadari bahwa Liturgi Suci adalah Doa Resmi Gereja Universal, bukan sekadar doa komunitas umat. Jangan pikir Liturgi sekadar sama seperti doa lain dan merupakan ungkapan iman.  Itu betul, tetapi sebagai doa resmi Gereja, Liturgi adalah Doa Resmi Gereja, bukan doa pribadi / komunitas. Karena itu,  sebuah tindakan dalam Liturgi bisa dikatakan benar atau salah, sah atau tidak sah, dengan mengacu pada pedoman-pedoman Liturgi yang ada. Tolonglah jangan menyepelekan Liturgi Suci apalagi melanggarnya atas nama "kenyamanan umat" atau �kenyamanan komunitas�.

Gereja sangat peduli Liturgi karena Liturgi �melindungi Realitas yang paling suci dalam Gereja Katolik� (Kardinal Ranjith dalam Konvensi Hukum Kanonik di Kenya). Oleh karena itu, Gereja repot-repot mengeluarkan begitu banyak dokumen tentang Liturgi. Mari berinkulturasi dengan benar, bukan asal.

[Cerita Katolik] Pasangan Katolik Tua dan Kalajengking


Suatu hari hiduplah sepasang kakek-nenek yang miskin di Mexico. Kapanpun kau mengunjungi rumah mereka, akan selalu ada ayam-ayam berlarian. Setiap pagi ayam jantan akan membangunkan mereka dan para tetangga juga akan terbangun.

Walaupun ayam-ayam itu bisa bertelur dan juga bisa dibuat kaldu ayam yang enak, mereka juga merepotkan ketika mereka buang kotoran sembarang di jalan. Si nenek harus membersihkan kotoran-kotoran ayam itu setiap pagi. Juga pada saat itu, orang-orang miskin berjalan bertelanjang kaki dan ketika mereka menginjak kotoran ayam, rasanya akan sangat tidak nyaman di antara jari-jari kaki. Suatu waktu, kotoran ayam itu kadang menempel sepanjang perjalanan dan bahkan terbawa hingga pulang.

Walaupun pasutri tua itu seringkali merasa ayam-ayam mereka menyebalkan, mereka menerima ayam-ayam itu sebagai bagian dari hidup mereka seperti para pendahulu mereka sebelumnya selalu memelihara ayam di sekitar mereka. Mereka juga bersyukur bisa memakan telur dan daging ayam, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk mengubah keadaan ini.

Para tetangga seringkali komplain kepada pasutri tua itu karena ayam jago mereka membangunkan para tetangga pagi-pagi sekali. Tetapi pasutri tua itu selalu meminta maaf dan tetap memelihara si ayam jantan. Itu hanya selalu terjadi seperti biasanya.

Akhirnya pasutri tua yang miskin  meninggal dan anak-anak mereka pindah ke rumah mereka. Anak-anak mereka memiliki uang yang lebih banyak, jadi mereka berpikir, �untuk apa  memiliki ayam-ayam ini yang selalu membuat berantakan halaman kita. Kita bisa membeli telur dan daging ayam dari toko.�

Para tetangga sangat senang karena sekarang bisa tidur di pagi hari tanpa mendengar si ayam jantan berkokok. Si istri juga tidak perlu membersihkan jalanan lagi.

Tapi suatu hari, ketika sang suami sedang berjalan di dalam rumah bertelanjang kaki, dia disengat kalajengking. Dia harus dengan segera dibawa ke rumah sakit untuk diberikan penawar racun. Dia hampir mati dan biaya rumah sakit sangat mahal.

Setelah kejadian menakutkan ini, mereka mulai merenung dan mencari tahu mengapa para pendahulu mereka tidak pernah ada yang disengat kalajengking. Bertanya kepada orang-orang tua lain yang bijaksana, mereka menemukan bahwa ayam-ayam merepotkan itulah yang selama ini memakan kalajengking dan menjaga rumah yang miskin  itu aman untuk ditinggali manusia.

            Aku membuat cerita ini untuk menjabarkan apa yang terjadi apabila kita membuang tradisi Katolik hanya karena kita berpikir kita tak memerlukannya lagi. Selama ratusan tahun, Roh Kudus telah menyusun Misa Latin yang luar biasa indah dan semua praktik tradisional Katolik lainnya. Tetapi kemudan datang para �orang Katolik modern� yang melihat semua �ritual yang ketinggalan zaman� ini sebagai rubrik tidak penting yang diulang-ulang. Dan mereka membuangnya.
(rubrik : petunjuk resmi yang mengatur tata laksana liturgi)

Kardinal Burke Merayakan Misa Latin Tradisional / Misa Tridentin
 Mereka menyingkirkan apa yang mereka rasa �[sekadar] tambahan pada bagasi� dan mulai menyederhanakan segala sesuatu sesuai dengan hati/perasaan �orang modern�.

            Para modernis* merasa manusia itu �intelek�, �canggih� dan tidak membutuhkan agama yang muluk ini. Kalau memang butuh, seseorang bisa percaya pada Tuhan, tetapi semua kemegahan dan upacara itu tidak ada gunanya. Agar �orang-orang modern� ini bisa bebas menjadi siapa saja, [mereka berpikir] mereka juga harus bebas dari agama �zaman kegelapan� buatan manusia yang dangkal ini.

            Jadi para modernis membuang apa yang mereka anggap sebagai tambahan, seperti berlutut, bel, pemberkatan, prosesi, altar rails (tempat berlutut untuk menerima Komuni di lidah), patena, patung, dan doa dalam bahasa Latin yang panjang dalam Misa.

Paus Benediktus XVI membagikan Komuni di lidah sambil berlutut di atas rel altar / altar rail

           Mereka melihat kata-kata seperti : penyaliban, berkat, kudus, perdamaian, pengorbanan, penebusan dosa, nafsu birahi, kejahatan sebagai ekspresi sentimental ofensif dan berlebihan. Mereka melihat manusia sebagai makhluk yang terbebas dari mitos, jadi mereka turun memainkan peranan sang supranatural dan sang iblis. Karena iblis tidak berarti, mereka tidak lagi melihat adanya kebutuhan untuk pengusiran setan (eksorsisme). Bila suatu saat mereka percaya akan neraka, mereka akan sangat sulit berkata-kata tentang itu.

            Tetapi kita, umat Katolik sejati, tahu bahwa Roh Kuduslah yang telah memberikan kita semua ini untuk melindungi Yesus yang kudus, yang hidup di antara kita dalam Ekaristi Kudus dan Sakramen Maha Kudus di Gereja Katolik. Perlindungan ini terpenuhi melalui setiap detail dari ritus, sabda, dan praktik-praktik yang berharga ini.**

            Bagi para modernis muda, semua itu terlihat tak berguna. Tetapi untuk mereka yang kudus dan bijaksana, setiap tradisi yang Bunda Gereja teruskan secara hati-hati kepada kita, memiliki  maksud atau tugas yang pasti untuk mempertahankan apa yang kudus dan yang baik untuk semua umat manusia.

Satu contoh dari hal ini adalah tempat suci (sanctuary) yang dibangun tinggi dimana Kurban Kudus dalam Misa biasanya diarahkan di gereja-gereja tua. Tujuan dari sanctuary ini, adalah untuk mengingatkan kita bahwa Allah itu Kudus adanya. Allah memang secara mesra tinggal di antara kita, tetapi di saat yang sama, Dia adalah Allah yang sangat amat KUDUS dan MAHAKUASA. Kita harus mendekatinya dengan cinta, devosi (kesetiaan), dan adorasi (penyembahan).

Ketika kita �Pergi ke Altar Allah�, (Latin: Introibo ad Altare Dei), kita pergi ke tempat dimana Allah berada. Allah lalu mengangkat kita dari pengalaman keduniawian kita sehari-hari untuk memasuki Kemuliaan Surgawi. Dengan kita memberi penghormatan kepada Allah dan para kudus, kita juga menghormati satu sama lain, yang tak lain semuanya adalah anak-anak Allah juga. Ketika kita memperlakukan Allah seperti Barney, teman yang menggemaskan, kita hanya akan menjadi kita yang sama seperti sebelumnya.

Jadi, Rohkudus telah memberikan kita Tradisi Katolik untuk melindungi Sang Kudus dan untuk melindungi diri kita. Bila kita membuang apa yang kita lihat tidak berguna, seperti ayam-ayam pada cerita di atas, maka kita akan membuang juga sesuatu yang amat penting. Dan si iblis, sang kalajengking, dapat dengan mudah menyengat kita dengan racunnya. Itulah mengapa banyak sekali orang-orang sekarang berada di �Rumah Sakit Spiritual� dengan depresi dan kegelisahan. Itu membuat orang-orang bersedih dan obat anti-depresi mahal juga harganya.

Kapan kita akan belajar bahwa tradisi-tradisi tua Katolik tidaklah sebodoh yang kita pikirkan dan Roh Kuduslah yang mengembangkan Misa Latin Kudus melalui berabad-abad lamanya untuk menjaga kita aman secara spiritual (para Santo/a dan para martir pun mengikuti Misa Latin ini walaupun banyak dari mereka bahkan tidak mengerti bahasa Latin). Kita sangat beruntung bila kita menjadi orang Katolik Sejati dan memiliki ayam-ayam (Ritus-ritus Kudus) di sekitar kita untuk melindungi kita dari para kalajengking (iblis dan setan-setannya).



Karangan Romo Peter Carota


(Diterjemahkan dari www.traditionalcatholicpriest.comoleh HiFraX dengan perubahan seperlunya)

Tambahan dari Indonesian Papist:
*. Modernis adalah mereka yang menganut bidaah modernisme yang telah ditolak oleh Paus Santo Pius X dan banyak paus lainnya. Modernisme menganggap bahwa segala Dogma, Doktrin, Tradisi Katolik hanyalah merupakan �sesuatu dari masa lampau� yang �tidak relevan� dengan masa sekarang sehingga harus disingkirkan atau diubah menyesuaikan dengan masa sekarang. Situs Katolisitas menyediakan info menarik tentang modernisme ini.

**. Kardinal Malcolm Ranjith menegaskan kembali hal tersebut saat berbicara di Konvensi Hukum Kanonik di Kenya. �Liturgical law must enjoy the primacy among canonical norms, for it safeguards the most sacred realities in the Church.��Hukum Liturgi harus mendapatkan primasi (kedudukan utama) di antara norma-norma kanonik, karena Hukum Liturgi melindungi realitas-realitas paling suci dalam Gereja.�