Latest News

Showing posts with label Ekaristi. Show all posts
Showing posts with label Ekaristi. Show all posts

Friday, May 10, 2013

Respon Terhadap Misa Pentakosta 2013 Komunitas Karismatik Katolik Jakarta

Page Keuskupan Agung Jakarta pada tanggal 8 Mei 2013 mempublikasikan undangan Misa Kudus Perayaan Pentakosta 2013 yang diselenggarakan Minggu 19 Mei 2013 di Hall D 1 JIExpo PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat. Info lengkapnya di bawah ini:
Badan Pelayanan Keuskupan � Keuskupan Agung Jakarta akan menyelenggarakan MISA KUDUS Perayaan Pentakosta 2013 Bersama Bapa Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo dengan tema �Roh Kudus mempersatukan Kita dengan Tuhan dan Sesama� pada:
                        Hari/Tgl           : Minggu, 19 Mei 2013
                        Waktu             : 08.30 � 14.00 WIB
                        Tempat            : Hall D 1 JIExpo PRJ Kemayoran,Jakarta Pusat
Perayaan Pentakosta ini akan diawali dengan acara Talk Show bersama Bapa Uskup dan nara sumber antara lain :
1. Bapak Hanny Sutanto, Direktur dari Wings Group.
2. Ibu Dr. Maria Ratnaningsih, SE, MA, Konsultan bidang ekonomi lingkungan dan perencanaan Pembangunan untuk Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, Kedutaan Inggris dan negara donor lainnya


Undangan Misa Kudus Pentakosta Gerakan Karismatik
Acara ini mengundang kritik terutama pada tempat penyelenggaraan serta momennya. Misa Hari Raya Pentakosta ini, bisa dilihat di atas, dirayakan di luar gedung Gereja bukan di dalam gedung Gereja. Bisa dikatakan, di saat Gereja merayakan kelahirannya yaitu pada Hari Raya Pentakosta, Misa Pentakosta malah dirayakan di luar gedung Gereja bukannya di dalam gedung Gereja yang sudah diberkati bahkan sampai diadakan Misa untuk pemberkatan gedung Gereja.

Lalu, apa sih kata Redemptionis Sacramentum dan Kitab Hukum Kanonik mengenai hal ini?
Redemptionis Sacramentum 108 (terjemahannya ada di imankatolik dot org) menyatakan:


"Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus tertentu bila keadaan memaksa lain; dalam hal demikian perayaan harus berlangsung di tempat yang layak". Uskup diosesan akan mengambil keputusan untuk setiap kasus.


Supaya lebih jelas saya paparkan terjemahan bahasa Inggrisnya dari situs resmi Vatikan.


�The celebration of the Eucharist is to be carried out in a sacred place, unless in a particular case necessity requires otherwise. In this case the celebration must be in a decent place.�  The diocesan Bishop shall be the judge for his diocese concerning this necessity, on a case-by-case basis.


Kalimat pertama dari Redemptionis Sacramentum ini merujuk kepada Kitab Hukum Kanonik 932 � 1: �Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus khusus kebutuhan menuntut lain; dalam hal demikian perayaan haruslah di tempat yang pantas.�

Dari kedua dokumen ini, kita bisa lihat bahwa norma baku merayakan Misa Kudus adalah di sacred place, tempat suci (dan tentu saja tempat suci agama Katolik, bukan non-Katolik). Dalam ajaran Gereja, tempat suci ini jelas merujuk kepada gedung Gereja. Namun KHK juga menyatakan bahwa ruang doa (oratorium) dan kapel-kapel pribadi atau umum (misal di Rumah Sakit) juga adalah tempat suci sehingga Misa Kudus dapat dirayakan di dalamnya. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, Misa Kudus wajib diadakan di sacred place .

Namun demikian, baik Redemptionis Sacramentum dan Kitab Hukum Kanonik menambahkan bahwa Misa dapat diadakan di luar sacred place bila terdapat suatu kondisi khusus yang mendesak hal tersebut. Uskup Diosesan menjadi pengambil keputusan apakah kondisi tertentu itu memang mendesak dan harus membuat Misa diadakan di luar tempat suci; atau kondisi tertentu itu dinyatakan tidak mendesak sehingga Misa tidak perlu diadakan di luar tempat suci. Perlu ditekankan juga bahwa tempat di luar sacred place tersebut juga haruslah tempat yang layak.

Bagaimanakah contoh kondisi mendesak ini?  Misalnya, Imam-imam Katolik yang berkarya sebagai Kapelan Militer di medan peperangan di mana Perayaan Ekaristi harus dirayakan di tenda atau di udara terbuka atau di kapal perang di mana tidak ada sacred place terdekat yang bisa dicapai. Contohnya saja, berapa banyak gedung Gereja Katolik di Timur Tengah yang tersedia bagi para prajurit AS beragama Katolik? 

Contoh sederhananya, sekolah Katolik mengadakan kegiatan berkemah seminggu di gunung yang mana tidak ada tempat suci terdekat yang bisa dicapai. Mereka ini bisa meminta Imam Katolik untuk ikut mereka berkemah sekaligus merayakan Misa Kudus di daerah perkemahan. Contoh lain lagi Para Imam Misionaris yang harus berkarya jauh ke desa yang terisolasi dan tidak ada gedung Gereja. Karena ketiadaan gedung Gereja ini, Imam Misionaris bisa merayakan Misa Kudus di salah satu rumah umat. 

Kembali dalam konteks Misa Pentakosta di Hall ini, apa alasan yang sangat mendesak sehingga Misa Hari Raya Pentakosta yang adalah hari kelahiran Gereja harus dirayakan di luar Gereja? Dan mengapa tempat non-suci yang dipilih adalah Hall D1 Jakarta International Expo PRJ Kemayoran yang ternyata diperuntukkan juga untuk pameran ringan hingga pameran alat berat, suatu tempat bisnis dan perdagangan? 

Mungkin, akan ada yang merespon: �Uskup Agung sendiri yang akan merayakan Misa dan mengisi talkshow. Uskup Agung sendiri yang mengizinkan.� Yes, memang panitia bisa berlindung di balik nama Uskup Agung namun hal ini justru menyudutkan Uskup Agung. Pertanyaannya malah harus ditujukan kepada Uskup Agung: Kondisi mendesak apa yang membuat Uskup Agung harus memberi izin perayaan Misa Pentakosta di luar gedung suci? 

Bila seperti ini, maka akan terjadi pelemparan tanggungjawab dan pencatutan nama Uskup Agung sebagai backing justru membuat nama Uskup Agung negatif karena memberi izin untuk Misa Hari Raya Pentakosta di luar tempat suci sementara kondisinya tidak mendesak, tidak menuntut harus diadakan di luar tempat suci. Lagipula, bila alasannya karena jumlah umat yang banyak, apakah lahan parkir Katedral Jakarta tidak dapat digunakan?

Ada sebuah istilah yaitu legalis. Istilah ini adalah sebutan kepada mereka yang mencari celah dari kondisi tertentu dalam suatu aturan untuk melegalkan tindakan mereka. Contohnya, standar �mendesak� ini dijadikan celah. Dalam konteks ini, Hal yang sebenarnya tidak mendesak dipandang sangat mendesak sehingga menuntut Misa Kudus harus dirayakan di luar tempat suci, bahkan di Hall, sementara gedung Gereja berdiri tidak jauh dari situ. 

Masih dalam konteks �legalis�, keputusan Paus Fransiskus untuk merayakan Misa Kamis Putih di penjara dijadikan pembenaran untuk melegalkan perayaan Misa Pentakosta di Hall. Biasanya, mereka akan berkata �Paus Fransiskus saja boleh merayakan Misa Kamis Putih, masa anda melarang kami untuk melakukan hal yang sama?�. Namun, ada yang dilupakan bahwa Paus Fransiskus memiliki otoritas langsung dan penuh atas aturan Perayaan Liturgi Kepausan termasuk untuk merayakan Misa Kamis Putih di penjara dalam kondisi normal sementara kelompok kategorial tidak memilikinya. Juga, bila karena berdasarkan �Paus juga melakukannya�, maka apa itu berarti kelompok kategorial juga boleh melakukan deklarasi ajaran iman dan moral yang mengikat Gereja Universal? Pada akhirnya, tidak semua tindakan Paus Fransiskus berhak untuk dilakukan oleh umat beriman juga oleh Uskup dan Imam.

Misa Kudus Sebagai Komoditas
Tidak bisa disangkal katekese tentang Misa Kudus telah membantu meningkatkan kerinduan terhadap Misa Kudus itu sendiri. Tidak sedikit umat Katolik bahkan menghadiri Misa Kudus setiap hari, dari Senin hingga Minggu. Kondisi seperti ini memang adalah kondisi yang menggembirakan. Akan tetapi, secara sadar atau tidak sadar, Misa Kudus menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai jual. Tentang nilai jual ini maksudnya jangan dipandang semata-mata sebagai hal yang menghasilkan uang.

Misa Kudus sebagai komoditas yang memiliki nilai jual bisa dilihat seperti ini: Seminar, Talkshow, Drama dll seringkali dirasakan kurang afdol (istilah arabnya begitu) dan tidak terlalu menarik banyak umat untuk datang bila tidak disertai dengan Misa Kudus. Misa Kudus memiliki nilai jual lebih tinggi lagi bila dirayakan oleh seorang imam terkenal atau bahkan oleh seorang Uskup Agung. Kerinduan umat akan Ekaristi secara sadar atau tidak sadar telah secara sengaja dimanfaatkan atau secara tidak sengaja termanfaatkanuntuk meningkatkan kuantitas umat yang datang ke acara-acara Katolik non-Misa. 

Well, tidak hanya acara seminar atau talkshow dan semacamnya, sekarang pun tidak jarang kita melihat ibadah devosi digabungkan dengan Misa Kudus. Contohnya; Jalan Salib yang kemudian dilanjutkan dengan Misa Kudus. Pada kondisi ini, Jalan Salib dijadikan pengganti Pembukaan dan Liturgi Sabda lalu dilanjutkan dengan Liturgi Ekaristi dan Penutup. Pengalaman saya di Paroki saya di Pontianak, Jalan Salib setiap hari Jumat pada masa Prapaskah dulunya tidak dilanjutkan dengan Misa. Sekitar 1 atau 2 tahun, Jalan Salib akhirnya digabungkan dengan Misa Kudus. Apa yang terlihat adalah jumlah umat yang datang pada Jalan Salib + Misa Kudus sekarang jauh lebih banyak daripada dulu saat hanya Jalan Salib saja. Tentu saja perlu diketahui bahwa penggabungan devosi dan liturgi seperti ini tidaklah sesuai dengan pedoman resmi Gereja Katolik. 

Tentu saja, saya tidak tahu apa motivasi dari menggabungkan Misa Hari Raya Pentakosta +  Talkshow. Tetapi bila motivasi menggabungkan keduanya adalah sengaja untuk meningkatkan umat yang datang talkshow, tentu saja motivasi seperti ini bukan motivasi yang tulus. Cerdik seperti ular, nggak tulus seperti merpati. Sengaja menyertakan Misa Kudus dalam rangkaian acara seminar, talkshow dan sebagainya dengan tujuan untuk menarik lebih banyak umat untuk datang berarti telah memanfaatkan kerinduan umat akan Ekaristi dan ini bukanlah tindakan yang terpuji.

Penutup
Tentu saja saya tidak berhak juga untuk menghentikan Misa dan Talkshow ini. Kegiatan ini sudah terlanjur direncanakan lama dari jauh hari dan memaksa untuk dihentikan bukanlah tindakan yang charitable. Jerih payah panitia menjadi sia-sia, uang yang sudah dibelanjakan menjadi kurang berguna dan mungkin juga uang untuk pemesanan gedung sudah digunakan. Tetapi, respon ini hendaknya diperhatikan, tidak diabaikan untuk ke depannya.

Dan satu lagi, terkadang tidaklah sulit untuk menekan seorang Uskup, khususnya dalam konteks Misa Kudus ini, untuk memberi izin Misa Kudus dirayakan di gedung profan (tempat non-suci). Contohnya (tetapi bukan dalam Misa ini ya): �Persiapannya sudah sejauh ini, uang sudah terlanjur dipakai banyak, gedung sudah disewa. Jadi tidak mungkin untuk dibatalkan atau dipindahkan Bapa Uskup.� Dan akhirnya izin pun turun dari Uskup. Hal yang sama juga sering terjadi di paroki-paroki di mana Imam tanpa dilibatkan dari awal dalam persiapan Liturgi, ditodong saat menjelang Perayaan Liturgi dengan berbagai lagu-lagu profan untuk dinyanyikan di Misa dan berbagai pelanggaran liturgi lainnya. Sederhananya, tinggal buat semuanya sudah terlanjur dipersiapkan, lalu lapor ke Uskup atau Imam untuk minta izin. Semoga kritik pedas ini tidak menyinggung hati dan perasaan anda. "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." (Amsal 27:5).

Pax et bonum

Thursday, March 28, 2013

Sharing Pengalaman Misa Kamis Putih di Kampung



Sejak tanggal 27 Maret 2013 lalu, saya berada di kampung oppung (kakek) saya di Kampung Ambarita, Tanah Jawa. Daerah ini menjadi bagian dari wilayah Stasi Negeri Asih, Paroki St. Antonius Padua Tigadolok, Keuskupan Agung Medan. Pada tanggal 28 Maret 2013 pukul 20.00 WIB diadakan Misa Kamis Putih di Gereja St. Fransiskus Stasi Negeri Asih ini. Misa dipimpin oleh Pastor Paroki St. Antonius Padua, Pater Laurentius Sihaloho, OFM. Conv.


Saya dan ibu saya datang ke Gereja St. Fransiskus setengah jam sebelum Misa Kamis Putih dimulai. Tidak lama kemudian, pastor paroki datang dan mulai mempersiapkan Misa. Sebelum pukul 20.00 WIB, pastor paroki memanfaatkan waktu untuk melatih umat bernyanyi sejumlah lagu yang akan digunakan dalam Misa Kamis Putih. Pastor Paroki bisa bernyanyi dengan benar sehingga bisa mengarahkan umat untuk bernyanyi dengan benar pula. Di samping itu, sebelum Misa ini pula Pater Laurentius membagikan katekese mengenai liturgi yaitu mengenai pembunyian lonceng. Dikatakan bahwa setelah Kamis Putih, lonceng tidak lagi dibunyikan hingga nanti pada saat menyanyikan Kemuliaan di Malam Paskah.

Masih sebelum Misa dimulai, Buku panduan Liturgi Triduum Paskah Keuskupan Agung Medan dibagikan. Ketika saya membuka buku tersebut, hal yang terlintas di pikiran saya adalah �Say the black, do the red!�. Apakah ini? Ini adalah ungkapan khas Liturgi Gereja Katolik. Dalam buku liturgi terdapat 2 warna tulisan, hitam dan merah. Tulisan berwarna hitam adalah kata-kata yang diucapkan sementara tulisan berwarna merah adalah tindakan yang dilakukan atau arahan yang harus diperhatikan pada saat pengucapan kata-kata liturgi. Saya pribadi selama di Pontianak, Bandung dan Jakarta tidak pernah sekalipun melihat buku liturgi dalam bentuk demikian, terkecuali saat Misa Latin Tradisional di Bandung. Di buku liturgi yang saya pernah gunakan semua tulisan berwarna hitam, dan untuk tindakan liturgisnya dicetak dalam tulisan hitam miring. Mungkin tidak terlalu penting bagi sebagian orang, tetapi bagi saya pribadi ini menunjukkan keunggulan buku liturgi ini yang menggemakan lagi ungkapan �Say the black, do the red!�. Ungkapan ini menegaskan bahwa liturgi hendaknya dirayakan seturut apa yang tertulis, yang harus diucapkan, yang harus diperhatikan dan yang harus dilakukan. Prinsip ini adalah salah satu hal mendasar yang wajib ada untuk merayakan liturgi yang setia dan taat.

Sungguh senang sekali ketika melihat bahwa tulisan-tulisan berwarna merah tersebut juga mengandung katekese liturgi yang harus diperhatikan. Sebagai contoh untuk Misa Kamis Putih ini bisa dibaca pernyataan: �Missale Romanum tidak menyebut jumlah pria yang dibasuh kakinya. Ini bisa dimengerti karena simbol utama adalah pembasuhan kaki dan bukan rekonstruksi sejarah. Tidak juga disebut bisa wanita, anak-anak atau remaja melainkan pria dewasa. Secara implisit, Missale Romanum mengutamakan pria dewasa. Kesimpulan yang bisa dipedomani: pria dan tidak harus dua belas orang.�

Sementara untuk Misa Jumat Agung terdapat katekese: �Dramatisasi Kisah Sengsara seperti dipraktekkan di beberapa tempat untuk menggantikan Kisah Sengsara adalah usaha yang pantas dihargai, namun tindakan ini membuat liturgi sebagai sarana rekonstruksi sejarah. Selain itu, sangat mungkin menjadi tontonan padahal pembaharuan liturgi menandaskan agar tak seorang pun jemaat liturgis hadir sebagai penonton. Kemungkinan dramatisasi dapat menolong meditasi tetapi juga dapat mengganggu kontemplasi. Untuk menghindari kebosanan, liturgi Romawi telah menganjurkan kisah sengsara dibawakan oleh sekelompok orang tanpa melakonkan.�

Masih banyak lagi katekese-katekese liturgi yang bisa ditemukan dalam buku liturgi ini yang berguna untuk merayakan Liturgi Triduum Paskah dengan benar.


Lalu bagaimana dengan Misa Kamis Putih ini sendiri? Ok, saya lanjutkan.
Misa Kamis Putih dimulai tepat pukul 20.00 WIB diawali dengan nyanyian pembukaan. Sungguh menyejukkan ketika suara yang terdengar begitu lantang dan jelas; hampir semua umat bernyanyi. Sepertiga umat yang hadir adalah orang muda, anak-anak dan ibu-ibu dalam jumlah yang banyak sementara bapak-bapak [sayangnya] hanya belasan orang. Misa berjalan dengan khusuk dan �Say the black, do the red!� bisa terlihat dengan jelas. Pakaian umat semuanya sopan dan rapi, menunjukkan penghargaan terhadap Kristus yang hadir dalam Ekaristi. Selain itu, lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu liturgi dari Puji Syukur; tidak menggunakan lagu pop rohani atau lagu non-rohani seperti yang terjadi dalam Misa  sejumlah kelompok kategorial atau kebanyakan Ekaristi Kaum Muda.

Pater Laurentius memimpin Misa dengan baik dan benar, Beliau terlihat begitu berwibawa dan sangat kebapaan. Dalam homilinya (sesuai yang mampu diingat saya), Beliau menjelaskan bahwa setiap orang baik Islam, Protestan, Hindu dll dapat saja menghadiri Ekaristi tetapi mereka tidak bisa menerima Komuni Kudus karena mereka bukan anggota Gereja. Beliau juga menjelaskan bahwa hanya orang Katolik yang sudah menerima Komuni pertama dan telah mengakukan dosa beratnya yang boleh dan berhak menerima Komuni Kudus. Ok, terlihat seperti katekese biasa umumnya tetapi syarat �dan telah mengakukan dosa berat�jarang sekali diberitahukan dalam Perayaan Ekaristi. Seringkali kita sekadar mendengar syarat �yang telah menerima Komuni pertama� saja tetapi syarat �telah mengakukan dosa berat� jarang terdengar atau malah tidak pernah sama sekali (saya pribadi baru pertama kali mendengar seorang imam menyampaikan hal seperti ini). Memang benar bahwa seorang Katolik yang berada dalam keadaan berdosa berat tidak boleh menerima Komuni Kudus sampai ia mengakukan dosanya kepada imam atau uskup. Pater Laurentius melanjutkan homili dengan menyampaikan bahwa saling melayani sebagaimana yang Yesus lakukan dapat dilakukan kembali dalam rupa yang sederhana seperti seorang anak membantu ibunya mempersiapkan makanan atau membantu ayahnya bekerja di ladang. Pater Laurentius mengarahkan teladan pelayanan Yesus untuk diterapkan terlebih dahulu di dalam keluarga melalui hal-hal yang kecil sekalipun. Pater Laurentius menyampaikan homili-homilinya dengan sesekali menggunakan bahasa batak untuk membantu umat lebih mengerti (hampir seluruh umat Katolik di stasi ini adalah orang batak).

Misa berjalan dengan lancar hingga penghujung Misa. Pada bagian pengumuman, setelah mendengarkan seorang umat membacakan pengumuman, Pater Laurentius melanjutkan dengan memberikan katekese liturgi. Senang sekali mendengarkan katekese liturgi dari Beliau. Beliau menyampaikan kembali soal pembunyian lonceng, mengenai tuguran, menjelaskan bahwa sejak Kamis Putih altar tidak boleh ditutupi taplak atau kain hingga Malam Paskah dimulai yang menggambarkan Kristus ditelanjangi karena dosa kita. Beliau juga menjelaskan bahwa Jumat Agung bukan Misa melainkan ibadah karena tidak adanya konsekrasi serta menjelaskan bahwa umat harus berlutut menghadap Tabernakel kala ada Sakramen Ekaristi didalamnya. Semua katekese liturgi ditutupi dengan kalimat �... supaya kita mengenal liturgi kita yang sesungguhnya.�, sebuah tujuan yang indah dari katekese-katekese liturgi yang diberikannya. Beliau betul-betul memanfaatkan bagian pengumuman untuk memberikan katekese. Hal ini kontras sekali dengan sejumlah imam yang justru membiarkan dan mengizinkan bahkan mengusulkan improvisasi dan kreativitas yang melanggar liturgi Gereja Katolik dan mencederai identitasnya. Memang seharusnyalah seorang gembala mengarahkan domba ke arah yang benar meskipun harus dengan �memukul�. Katekese-katekese adalah alat pemukulnya, alat pemukul yang tidak menyakitkan tetapi menyelamatkan.

Inilah sharing pengalaman saya menghadiri Misa Kamis Putih di kampung ini. Semoga sharing ini berguna dan dapat memberikan inspirasi bagi anda para pembacanya. Selamat menjalankan Triduum Paskah.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter

Sunday, December 23, 2012

Tips Mengikuti Misa Hari Raya Natal Dengan Baik



#Berbagi adalah tindakan kasih. Bagikan note ini jika dirasa bermanfaat#

1.      Gereja Katolik (Latin) menyediakan tiga rumusan bacaan Ekaristi untuk Hari Raya Natal, yaitu pada Misa Malam Natal, Misa Fajar, dan Misa Siang (Sore). Ketiga misa ini merupakan MISA HARI RAYA NATAL. Umat dapat memenuhi kewajiban menghadiri Misa Hari Raya pada salah satu misa tersebut, namun adalah sangat baik apabila dapat mengikuti ketiga-tiganya, karena setiap Misa memiliki penekanan yang berbeda-beda.

2.      Demi keamanan, umat dimohon untuk tidak membawa tas berukuran besar, karena biasanya disediakan Buku Misa, yang sudah lengkap berisi teks misa dan lagu. Bawalah barang seperlunya. Karena sekarang musim hujan, ada baiknya Anda membawa payung, sehingga bila hujan, umat tidak menumpuk di pintu keluar menunggu  hujan reda.


3.      Ingat, ketika Misa, yang mau Anda temui itu lebih dari sekadar presiden. Sesuaikan busana Anda. Pakailah pakaian yang sopan dan pantas, tidak perlu bagus, mencolok, ataupun mahal. Ingat kesederhanaan kandang Betlehem.

4.      Jika Anda mengajak anak yang belum menerima komuni (termasuk balita), persiapkan mereka dengan sebaik-baiknya. Karena anak kecil cenderung tidak tahan lapar dan haus, Anda dapat membawa makanan kecil dan minuman untuk dikonsumsi anak Anda tersebut sebelum Misa dimulai jika diperlukan. Seperti halnya Misa biasa, mereka yang sudah dewasa diwajibkan untuk berpuasa minimal satu jam sebelum menerima Komuni. Air dan obat diperbolehkan untuk dikonsumsi apabila sakit.

5.      Bagi Anda yang tinggal di kota besar, mohon perhitungkan kemungkinan macet dan hujan. Pastikan Anda datang lebih awal. Jangan menyusahkan petugas tata tertib dan umat lain dengan sistem �titip tempat duduk�. Gereja adalah rumah Allah, bukan restoran di mana kita bisa seenaknya pesan tempat duduk. Jangan menyisakan bangku di deret depan, penuhilah bangku-bangku di deret depan terlebih dahulu.

6.      Momen Misa Hari Raya dapat kita gunakan untuk menyadari kembali makna ritual-ritual yang kita lakukan dalam Gereja, maka, ambillah air suci, buatlah tanda salib sebagai peringatan akan pembaptisan, dan berlututlah dengan khidmat ke arah Tabernakel sebelum duduk.

7.      Setelah Anda sudah menemukan bangku untuk duduk, JANGAN MENGOBROL. Ada baiknya masuk dalam saat hening atau berdoa rosario.

8.      PASTIKAN alat komunikasi tidak mengganggu kekhidmatan Misa Hari Raya.

9.      Momen Misa Hari Raya, dapat kita gunakan untuk meningkatkan kesadaran akan apa yang terjadi dalam Misa. Misa Kudus adalah PERISTIWA KESELAMATAN YANG DIHADIRKAN KEMBALI di hadapan kita. Sebagai umat, harus BERPARTISIPASI AKTIF, dengan bernyanyi penuh penghayatan, menyimak bacaan, dan melakukan sikap-sikap tubuh dengan khidmat.

10.   Umat BERLUTUT pada saat pada saat misteri inkarnasi diucapkan dalam AKU PERCAYA (baik syahadat panjang maupun syahadat pendek). Jika menggunakan Syahadat Panjang, maka umat BERLUTUT pada saat �Ia dikandung oleh Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia�. Jika menggunakan Syahadat Pendek, umat BERLUTUT pada saat �yang dikandung dari Roh Kudus, lahir dari Perawan Maria�. Sikap berlutut ini kita lakukan hanya dua kali dalam setahun yaitu pada Hari Raya Natal dan Hari Raya Kabar Sukacita. Jika tidak mungkin berlutut, maka umat dapat BERDIRI. (Jika keterangan BERLUTUT tidak terdapat dalam teks Misa pada bagian Aku Percaya, jangan ragu untuk tetap berlutut, karena sikap inilah yang diamanatkan dalam buku Tata Perayaan Ekaristi dan Pedoman Umum Misale Romawi. Masing-masing kita bertanggung jawab untuk mencontohkan sikap yang tepat pada umat lain.)

11.   Anda boleh mengajak teman/saudara non-Katolik untuk menghadiri Misa (malah sesungguhnya Misa Natal adalah kesempatan yang baik untuk mengenalkan iman Katolik). Ada baiknya mereka dapat mengikuti sikap berdiri (karena berdiri merupakan SIKAP HORMAT kepada Tuan Rumah), namun tidak perlu meminta mereka untuk berlutut (karena berlutut merupakan SIKAP MENYEMBAH). Mereka dapat duduk saja bila keberatan untuk berlutut). Umat non-Katolik TIDAK DIPERBOLEHKAN MENGAMBIL KOMUNI (sekalipun ia seorang Protestan). Anda dapat menyarankan mereka untuk menerima berkat saja, dengan menyilangkan tangan di depan dada ketika maju ke depan dalam antrean komuni. (Atau Anda dapat meminta mereka untuk duduk saja).

12.   Mari kita sadarkan kembali diri kita bahwa Hosti yang kita terima adalah sungguh-sungguh Kristus (Tubuh, Darah, dan Seluruh Kristus), maka jangan lupa untuk membuat tanda hormat DENGAN MEMBUNGKUK sebelum menerima komuni, baik jikalau menerima komuni dengan tangan, ataupun langsung di lidah.

13.   Umat yang mengambil tempat duduk di luar gedung gereja dan sulit untuk berlutut, dapat menggantikan sikap berlutut dengan BERDIRI (tanda hormat), DAN BUKAN DUDUK.

14.   Kandang Natal adalah tempat untuk berdoa, dan bukan tempat untuk berfoto. Prioritaskan umat yang ingin berdoa di depan kandang Natal.

15.   Sebelum meninggalkan tempat duduk, pastikan Anda tidak meninggalkan tisu/teks misa/sampah lain dalam dan sekitar gedung gereja. Gereja adalah Rumah Allah.

16.   Bagi Anda yang membawa kendaraan pribadi, Jangan sampai keramaian tempat parkir mengganggu sukacita dan damai Natal Anda. Ingat, Anda baru saja menyantap Tubuh Kristus, sabarkan diri Anda dan jangan mengumpat.


Selamat Merayakan Misa Hari Raya Natal dengan khidmat!

~IOJC (tu scis quia amo te)~

#Berbagi adalah tindakan kasih. Bagikan note ini jika dirasa bermanfaat#

Pax et Bonum

Wednesday, November 21, 2012

Ekaristi Kaum Muda � Marak Pelanggaran Liturgi



Ekaristi Kaum Muda
Beberapa waktu lalu saya membuat status dan membagikannya di wall facebook pribadi saya mengenai sebuah pelanggaran liturgi yang terjadi dalam Ekaristi Kaum Muda di sebuah paroki. Ekaristi Kaum Muda sendiri adalah Perayaan Ekaristi yang kerap disesuaikan dengan selera kaum muda sehingga seringkali terjadi pelanggaran liturgi. Berikut ini isi statusnya:

Sekarang sejumlah orang Katolik berpikir bahwa dengan memasukkan unsur-unsur seperti dangdut, band, lagu-lagu rohani populer, drama dan sebagainya ke dalam Perayaan Ekaristi; mereka telah memuliakan Tuhan, telah memuji Tuhan, dan telah menyenangkan hati Tuhan. Padahal, dengan demikian mereka telah melukai kurban Kristus dan jantung Gereja. Saya orang muda dan saya tidak suka dan tidak setuju Ekaristi diutak-atik seturut selera kaum muda.�
Semua orang di status itu berkomentar menolak masuknya unsur-unsur di atas karena tidak lagi sesuai dengan identitas Misa Kudus Katolik. Salah seorang Imam Katolik yang concern dengan masalah pelanggaran liturgi ini ikut memberikan komentar yang menarik (dengan huruf kapital berarti penekanan).
TITIK TOLAK MASALAHNYA adalah PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN. (1) Kalau Perayaan Ekaristi dipahami dan dihayati sebagai DOA RESMI Gereja Katolik di mana kita menjadi anggotanya, maka kita seharusnya mencari tahu dan melakukan mana yg menjadi jiwa dan rambu-rambu normatifnya.
(2) Kalau Perayaan dipahami dan dihayati sebagai SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita, ya jadilah KREATIVITAS  INDIVIDUAL atau KOMUNAL tanpa mengindahkan lagi apa yang menjadi jiwa dari Ekaristi itu.

SEBAGAI PERBANDINGAN: saudara-saudari orang Muslim memahami dan menghayati SHOLAT sebagai KEWAJIBAN SUCI yang harus dilakukan setepat mungkin dan sebagai WUJUD SIKAP MENYEMBAH-HORMAT-TAAT KEPADA ALLAH, dan bukan sebagai sebuah acara yang harus mereka ciptakan sendiri. Oleh karena itu orang muslim tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan sholat yang sesuai dengan budaya/selera/apa yang sedang populer/ngetrend. Kebanyakan agama seperti itu. Hanya orang-orang Katolik sendiri yang berpikir untuk mengubah doa resmi. Orang Pentakostal memang tidak memiliki norma baku untuk peribadatan; jadi mereka bebas.
Sekarang kita lebih sering melihat Pemahaman dan Penghayatan nomor 2 yaitu Ekaristi dipandang sebagai sebuah acara yang diciptakan untuk menampung selera dan aspirasi kita. Sebagai seorang muda Katolik, saya melihat orang-orang muda Katolik sekarang lebih menyukai hal-hal yang bebas, meriah dan fun dan akhirnya Misa Kudus menjadi objek untuk pemenuhan selera ini. Hal ini terlihat dari brosur-brosur Ekaristi Kaum Muda yang selama ini saya lihat menampilkan informasi bahwa akan ada tari-tarian modern dan pentakostal di dalam Misa Kudus serta akan ada drama sebagai pengganti homili. Ketika membaca brosur-brosur ini, saya dan juga sejumlah orang muda Katolik yang concern dengan pelanggaran liturgi mempertanyakan: �Apakah Ekaristi Kaum Muda itu sungguh Misa yang katolik? Atau sudah menjadi sebuah perayaan ibadah denominasional?�

Uskup Agung Rino Fisichella berkata bahwa Gereja harus mempelajari language of youth � bahasa kaum muda. �Seseorang tidak dapat berbicara kepada orang-orang muda Kristus tanpa berbicara mengenai kebebasan seperti yang kaum muda sekarang telah tempatkan dalam kultur mereka, tetapi kebebasan haruslah selalu dalam hubungan dengan kebenaran karena kebenaranlah yang menghasilkan kebebasan.� Memang benar bahwa kebebasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur orang muda Katolik sekarang ini dan Gereja harus mempelajari ini. Tapi orang muda Katolik sendiri harus tahu bahwa tidak pernah ada kebebasan yang mutlak. Kebebasan itu pasti ada batasnya, termasuk dalam Misa Kudus. Orang Muda Katolik tidak bisa seenaknya memasukkan unsur-unsur tertentu yang tidak sesuai dengan jiwa Ekaristi ke dalam Misa Kudus. Kaum Muda Katolik harus mengetahui bahwa Ekaristi memiliki norma-norma resmi yang harus ditaati, yang harus dipegang setia dan tidak boleh dilanggar. Pertanyaannya, apakah kaum muda Katolik mau mempelajari hal ini juga? Kita kaum muda Katolik hendaknya jangan hanya menuntut �Gereja harus mempelajari kami, mengenal kami dan menyesuaikan dengan kami.�, tapi juga mempertanyakan kepada diri kita sendiri, �Apakah saya sudah mempelajari, mengenal dan taat kepada Gereja dan ajarannya?�.

Lalu, muncul pertanyaan dari saya: Bila mengetahui bahwa Misa Kudus tidak bisa dimasukkan unsur-unsur seperti tari-tarian, drama, aksi teatrikal, band dan lain-lain, mengapa tidak mengadakan acara sesudah Misa untuk mengakomodir unsur-unsur tersebut dan membiarkan Misa tetap apa adanya sesuai norma resmi yang berlaku? Bukankah lebih tepat bila acara itu dilakukan sesudah Misa Kudus? Melihat hal ini, semakin nyatalah Pemahaman dan Penghayatan Nomor 2 di atas:  �Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.�

Pasti ada juga yang memberikan tanggapan: �Romo atau Uskup memperbolehkan unsur-unsur tari-tarian, drama, dll itu ada di Ekaristi Kaum Muda. Jangan ya sah-sah saja dong dimasukkan.� Memang banyak yang berlindung di balik jubah imam dan uskup atas pelanggaran liturgi yang terjadi termasuk pelanggaran liturgi oleh Ekaristi Kaum Muda. Tetapi, saya melihat selama ini unsur-unsur itu diajukan terlebih dahulu oleh petugas yang menyusun liturgi EKM itu, dan atas pertimbangan atau bisa jadi desakan tertentu, kaum tertahbis memperbolehkannya. Saya pikir, seandainya unsur-unsur ini tidak diajukan, maka tidak akan kita jumpai unsur-unsur tersebut dalam Perayaan Ekaristi dan dengan demikian tidak terjadi pelanggaran liturgi. Motivasi pengajuan unsur-unsur ini dapat kita simpulkan yaitu �Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.�

Haruskah kita marah kepada imam atau uskup yang memperbolehkan tari-tarian, drama, band dll dalam Ekaristi Kaum Muda? Lebih tepatnya, kita menyayangkan hal ini terjadi. Kaum tertahbis yang harusnya bisa menjadi penjaga liturgi malah membiarkan �musuh� masuk ke dalam. Seharusnya imam dan uskup harus lebih tegas dan peduli terhadap liturgi, jangan lupakan bahwa Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja masa sekarang. Kita bersyukur bahwa Paus Benediktus XVI peduli pada liturgi Gereja. Imam dan uskup juga harus memulai katekisasi mengenai liturgi di paroki masing-masing terutama kepada kaum muda sehingga kaum muda lebih tahu mengenai liturgi dan menyadari bahwa liturgi adalah doa resmi dan tindakan Gereja yang tidak bisa seenaknya diutak-atik seturut selera kaum muda. Homili Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Uskup Agung Filipazzi, menarik untuk dibaca ulang. Salah kutipan penting: �Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.�

Akhirnya, baik kaum tertahbis (uskup dan imam) maupun kaum muda Katolik haruslah menjalankan Pertobatan Liturgis, sebuah pertobatan yang dimulai dari ketaatan dan penyangkalan terhadap selera pribadi. Pertobatan Liturgis harus dimulai dari sekarang, dimulai dari setiap pribadi Katolik.  Kardinal Canizares mengatakan: �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar� dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� Tentu kita tidak ingin bila Misa Kudus yang harusnya meneguhkan iman kita malah membuat lemah iman kita dikarenakan Misa diadakan untuk memenuhi selera kita sendiri. Mohonkanlah rahmat dari Allah agar kita semua bisa melaksanakan pertobatan liturgis ini demi Bunda Gereja yang kudus, Gereja Katolik.

Pax et Bonum,
Indonesian Papist, Orang Muda Katolik dari Keuskupan Agung Pontianak