Latest News

Showing posts with label Dokumen-dokumen Gereja. Show all posts
Showing posts with label Dokumen-dokumen Gereja. Show all posts

Thursday, March 15, 2012

Klarifikasi dari Uskup Agats-Asmat Tentang Berita "Kepala Suku Asmat Masuk Islam"


Beberapa waktu lalu tersebar sebuah berita berjudul �Kepala Suku Asmat Masuk Islam�. Berita ini dipublikasikan dan disebarkan oleh situs-situs Islam seperti VOA-Islam dan situs koran Republika. Dalam berita tersebut, dipaparkan bahwa Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) adalah seorang Kepala Suku Besar Asmat yang berpindah menjadi Islam. Tapi, benarkah seluruh info yang dipublikasikan dan disebarkan oleh situs-situs tersebut? Well, tidak semua informasi yang dipaparkan oleh situs-situs tersebut benar melainkan dilebih-lebihkan secara tendensius dan provokatif. Oleh karena pemberitaan ini ternyata memberi dampak yang cukup signifikan, Uskup Agats-Asmat, Mgr. Aloysius Murwito, OFM., memberikan klarifikasi sekaligus mengkoreksi pemberitaan tersebut. Selain meneruskan isi surat ini ke milis-milis Katolik, Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr (Ketua Komkep KWI) juga meneruskan isi surat ini kepada Indonesian Papist. Syukur kepada Allah atas informasi ini:

Screenshoot Email dari Romo Santo

========================================

Nomor : 49.020.00.05
Lamp.  : -
Hal       : Klarifikasi dan Himbauan Pemberitaan :
              �Kepala Suku Besar Asmat Masuk Islam�


Kepada Yth.

Pimpinan Majelis Ulama Islam Asmat
Kepala Penyelenggara Islam Kantor Kementrian Agama Kab. Asmat
Di Agats � Asmat.
 
Dengan hormat,
 
Menyimak pemberitaan yang dibuat oleh saudara-saudari muslim lewat media maya (dakwatuna.com; Arrahmah.com) mau pun media cetak (Bantenpost; Republika)  dan elektronik (TVRI) tentang �Kepala Suku Besar Asmat Masuk Islam� sungguh disayangkan karena  tidak benar. Mungkin ada benarnya bahwa ada orang Asmat dari Kampung Per bersama keluarganya sebagaimana diberitakan masuk Islam, tetapi bahwa dia adalah seorang kepala suku besar Asmat sungguh suatu kekeliruan atau kesalahan. Pemberitaan sensasional yang keliru atau salah ini langsung mau pun tidak langsung memiliki dampak religius, social dan kultural dalam kehidupan bersama di Asmat.
 
Menyadari semua itu maka kami sebagai Uskup Keuskupan Agats yang adalah Pemimpin Tertinggi Gereja Keuskupan Agats � Asmat ingin menyampaikan beberapa klarifikasi dan harapan atau himbauan kepada kita semua khususnya MUI Asmat dan Kepala Penyelenggara Islam Kantor Kementrian Agama Kab. Asmat, demi terciptanya kerukunan, toleransi dan persaudaraan sejati dalam hidup bersama di tanah Asmat ini. Semoga klarifikasi dan himbauan ini menjadi masukan dan pertimbangan yang membantu kita semua dalam membangun komunikasi yang lebih benar dan objektif.  
 
1.        Klarifikasi : �Kepala Suku Besar Asmat�
 
-          Pengakuan atau gelar Kepala Suku Besar Asmat yang diberikan kepada Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) tidak benar. Pernyataan atau pemberitaan itu adalah sebuah kebohongan publik karena tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada dalam kebudayaan suku Asmat sampai dengan saat ini. Gelar kepala suku hanya diberikan, berlaku dan terbatas dalam satu rumpun saja. Kepala suku ini pun bersifat warisan � diturunkan dari leluhur � ayah pada garis lurus dan langsung. Secara structural adat / budaya Asmat, yang ada dan diakui adalah Kepala Perang dan bukan Kepala Suku apalagi Kepala Suku Besar Asmat. Kepala suku itu ada tetapi bersifat lokal dan terbatas; artinya tidak diakui dan berlaku untuk seluruh Asmat. Untuk saudara Sinansius, ia adalah warga biasa seperti saudara dan saudari lain yang ditinggal di kampung Peer, Distrik Agats. Dalam struktur social dan budaya/adat, dia tidak memiliki posisi, kedudukan atau pun jabatan (kekuasaan) apa pun. Bahwa media kemudian memberitakan dia sebagai Kepala Suku Besar Asmat, adalah bentuk kebohongan belaka.
 
-          Setelah dicermati dengan saksama dan berdasarkan document resmi gereja Katolik Keuskupan Agats � Asmat, saudara Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) adalah warga biasa yang lahir di Per tanggal 13 Desember 1962 dan dibaptis dalam Gereja Katolik pada tanggal 31 Januari 1963 di Per oleh Pastor Miller, OSC. Sebagai saksi pembaptisan waktu itu adalah bapak Mikael Apakci. Data kelahiran dan baptisan ini tercatat dalam buku Baptis Paroki Ewer No. LB. IV. 5988, tahun 1963.
 
-          Perlu diketahui pula bahwa dewasa ini masyarakat mengenal yang namanya ketua LMAA (Lembaga Masyarkat Adat Asmat). LMAA ini diakui bersama baik oleh masyarakat adat maupun pemerintah  yang diketuai oleh Bapak Yuvensius Alvons Biakai, BA. SH. Jabatan ini ia emban sebelum menjadi bupati sampai sekarang ketika ia dipilih dan menjabat sebagai Bupati Asmat dalam periode kedua berjalan.
 
-          Kami sangat menyesal dan menyayangkan berita yang sensasional itu. Berita ini hemat kami sangat tendensius dan provokatif, dimana dengan mengatakan bahwa Kepala Suku Besar Asmat masuk Islam seolah-olah semua orang Asmat telah masuk atau menjadi islam. Kami mau mengatakan bahwa berita soal Sinansius dan keluarganya menjadi Islam mungkin benar tetapi bahwa dia seorang Kepala Suku Besar Asmat adalah suatu yang tidak benar, tidak objektif dan merupakan suatu kebohongan publik yang direkayasa oleh orang tertentu, kelompok tertentu dan media yang memberitakannya.
 
-          Tanpa kita sadari bahwa dampak dari pemberitaan yang tidak objektif ini dapat menciptakan keresahan dan konflik internal � konflik saudara � konflik keluarga antara masyarakat di kampung Per maupun kampung lain yang ada di Asmat ini.
 
2.      Himbauan Bersama
 
-          Kami mengharapkan agar pimpinan MUI dan Ketua Penyelenggara Agama Islam di Kantor Kementrian Agama Islam Kab. Asmat bisa meneruskan dan mengklarifikasi berita ini kepada sumber-sumber media on line sebagaimana beberapa Website dan Koran yang telah membuat pemberitaan yang tidak benar itu. Intinya bahwa Sinansius Kayimter (Umar Abdullah Kayimter) yang telah menjadi islam setelah melalui upacara pengukuhan pada tanggal 19 Pebruari 2012 di Masjid Darussalam, Jati Bening � Bekasi, Jawa Barat dengan didampingi oleh ustadz Fadhlan Garamatan dan Imam Masjid Istiqlal � Ali Hanayiah, sesungguhnya bukan Kepala Suku Besar Asmat. Yang bersangkutan hanyalah masyarakat biasa di kampung Per distrik Agats, Kabupaten Asmat.
 
-          Kami meminta kepada saudara-saudari muslimin dan muslimah agar tetap menjaga toleransi, kerukunan dan persaudaraan antara umat beragama dan masyarakat di Asmat dengan menyampaikan, menyiarkan, mengajarkan, memberitakan segala sesuatu dan khususnya berkaitan dengan agama atau iman kepercayaan yang bersentuhan dengan agama atau kepercayaan lain secara objektif dan akurat. Jangan kita hanya menyebarkan berita bersifat isapan jempol, sensasional dan tendensius yang bisa berdampak pada disharmonitas dan konflik sosial di kalangan masyarakat Asmat dan Papua pada umumnya.
 
-          Perlu diketahui dan disadari bersama bahwa semua masyarakat di Asmat telah memiliki iman dan menganut agama atau kepercayaan tertentu (tidak ada yang khafir). Untuk itu mari kita saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam ranah hidup bersama dengan  semangat persaudaraan dan toleransi.
 
Demikian klarifikasi dan himbauan dari kami Uskup Keuskupan Agats (Pemimpin Gereja Katolik Agats-Asmat) semoga dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi kita semua. Atas perhatian dan tanggapan baik dari semua pihak saya sampaikan banyak terima kasih.
 
Agats, 9 Maret 2012
 
Hormat kami,
 
 
� Mgr. Aloysius Murwito, OFM
Uskup Keuskupan Agats

Tembusan kepada Yth.
 
1.       Bupati Kab. Asmat di Agats
2.       Sekda Kab. Asmat di Agats
3.       Ketua DPRD Kab. Asmat di Agats 
4.       Kepala Kantor Kementerian Agama Asmat di Agats
5.       Kepala Kantor Kesbang Asmat di Agats
6.       Ketua  LMAA di Agats
7.       Kapolres Asmat di Agats
8.       Periwira Penghubung Kodim Asmat di Agats
9.       Umat Paroki Ewer (Ewer, Yepem, Peer, Uwus)
10.     Gereja-gereja Kristen di Asmat
11.     Para Pastor se-Keuskupan Agats-Asmat di Agats
12.     File



pax et bonum

Tuesday, March 6, 2012

Katekese Ringan Mengenai St. Yosef

Kunjungi juga berbagai lukisan stained glass (kaca patri) di artikel ini. <<< Silahkan klik.


St. Yosef dan Kanak-kanak Yesus (sumber: Latin Mass Community of Kankakee)
Dalam Tradisi Katolik, Bulan Maret didedikasikan kepada St. Yosef, Pelindung Gereja Universal yang pestanya dirayakan pada tanggal 19 Maret.

St. Yosef, suami Bunda Maria dan bapa asuh Tuhan kita Yesus Kristus, adalah keturunan dari Raja Daud. Ia adalah seorang pria tukang kayu yang di antara para pria dipilih Allah menjadi suami dan pelindung Santa Perawan Maria. Setelah Bunda Maria, St. Yosef adalah seorang penyembah Tuhan kita yang pertama dan sempurna. Miskin dan tak dikenal oleh dunia, tetapi ia seorang yang sangat kaya dalam kasih karunia dan kebajikan serta kekudusan. Melalui cinta kasih, iman, kerendahan hati, kemurnian, kelembutan diri dan kebapaannya, St. Yosef menunjukkan kepada kita teladan dan model seorang Kristen sejati.

Santo Yosef dideklarasikan sebagai Santo Pelindung Gereja Universal pada tanggal 8 Desember 1870 oleh Wakil Kristus, bBeato Paus Pius IX. Dari tempatnya yang mulia di surga, St. Yosef mengawasi dan melindungi Gereja Mengembara, Gereja Militan, yaitu kita semua Para Pengikut Kristus di dalam Gereja Katolik. St. Yosef juga adalah seorang teladan dan pelindung bagi kita yang mengharapkan kematian yang membahagiakan. Perlindungannya sekarang meliputi atas Tubuh Mistik Kristus (Gereja Katolik), keluarga Katolik, sekolah-sekolah Katolik dan semua orang yang membutuhkan pengantaraan doa dan bantuannya yang besar dan ia berikan dengan penuh kasih, terutama pada jam-jam kematian mereka. St. Yosef adalah representasi dari kebapaan Allah Bapa di bumi. St. Yosef-lah yang menjadi Kepala dari Keluarga Kudus Nazareth yang merupakan permulaan dari keluarga Allah yang lebih besar lagi yaitu Gereja Katolik, satu-satunya Gereja yang direncanakan Bapa, yang didirikan ooleh Putera, dan dibimbing oleh Roh Kudus. 
"Kini rumah ilahi yang dikepalai oleh Yosef dengan wewenang seorang ayah mengandung buah-buah pertama dari Gereja yang masih bayi. Sama seperti Perawan yang tersuci adalah Bunda Yesus Kristus, demikianlah juga Gereja adalah Bunda semua orang kristiani yang ia lahirkan di Gunung Kalvari di tengah penderitaan termulia dari Sang Penebus. Sungguh Yesus Kristus adalah si sulung dari antara orang-orang kristiani yang, lewat adopsi dan penebusan menjadi saudara-saudara-Nya. Inilah alasannya mengapa Yosef, Bapa yang kudus itu, merasa kepadanya telah dipercayakan secara istimewa, himpunan besar orang kristiani yang menjadi anggota-anggota Gereja, yang dapat dikatakan juga sebagai keluarga raksasa yang tersebar di seluruh dunia. Karena ia adalah suami Maria dann bapa Kristus, maka ia sungguh memiliki wewenang bapawi atas Gereja. Oleh karena itu, adalah wajar dan sangat tepat bahwa sekarang St. Yosef melindungi Gereja Kristus (Gereja Katolik) dan membelanya dengan perlindungan surgawinya, sama seperti dulu ia melengkapi segala kebutuhan Keluarga Kudus Nazaret dan menjaganya dengan perlindungan kudusnya." (Paus Leo XIII, Ensiklik Quamquam Pluries)
St. Yosef juga digelari oleh Gereja Katolik sebagai Redemptoris Custos, Pelindung Sang Penebus. Beato Yohanes Paulus II menggelari St. Yosef demikian karena memang ialah orang pertama pelindung Misteri dan Karya Keselamatan Allah di dunia. Dokumen Anjuran Apostolik Redemptoris Custos nomor 5 mengatakan: 
Yosef menjadi seorang pelindung yang unik dari misteri �yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah� (Ef 3:9), seperti juga Maria, pada saat yang menentukan itu yang disebut St Paulus sebagai �kegenapan waktu,� ketika �Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan � uuntuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak� (Gal 4:4-5). Dalam kata-kata Konsili �Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan DiriNya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4).� Bersama Maria, Yosef adalah pelindung pertama dari misteri Allah ini. Bersama Maria, dan dalam hubungannya dengan Maria, ia ambil bagian dalam fase terakhir dari pernyataan diri Allah dalam Kristus dan ia melakukannya sejak dari awal mula. Melihat teks-teks Injil, baik Matius maupun Lukas, orang dapat juga mengatakan bahwa Yosef adalah yang pertama ikut ambil bagian dalam iman Bunda Allah dan bahwa dengan melakukannya ia mendukung mempelainya dalam iman akan Kabar Sukacita Allah. Ia adalah juga yang pertama ditempatkan oleh Tuhan di jalan �ziarah iman� Maria. Jalan di sepanjang mmana - teristimewa pada saat Kalvari dan Pentakosta - Maria melangkah maju dengan sempurna.
Menyadari akan cinta kasih, iman, dan kekudusan St. Yosef, sungguh tepatlah Gereja memberikan penghormatan yang begitu besar kepadanya. Bersama-sama dengan Gereja, kita umat Katolik mendaraskan permohonan perlindungan kepada Santo Yosef Sang Redemptoris Custos. Kiranya juga ia memperolehkan bagi kita rahmat dan berkat dari Allah Tritunggal; Bapa, Putera dan Roh Kudus. Amin

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist untuk menghormati Santo Yosef, Pelindung Sang Penebus dan Gereja Universal. Pax et Bonum 

Gambar Minggu Ini - Galeri Stained Glass St. Yosef dan Penjelasan dari Redemptoris Custos

Artikel ini saya putuskan untuk dipisahkan dari artikel Katekese Ringan Mengenai Santo Yosef. <<< Silahkan klik tersebut untuk membacanya.

Berikut ini berbagai Stained Glass (kaca patri) mengenai Santo Yosef serta isi Dokumen Anjuran Apostolik Redemptoris Custos yang relevan dengan semua lukisan ini. Sumber stained glass St. Joseph (Christ from birth to adulthood) Stained Glass

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHxrQgemjibPAQyQWAsq0gq-mN6oAScrhKjLwVlNjzP8HzUu1rMnKDG5QldoCz_KTRaSKU9Qo69rMEbMTkgGoooXv6V90fwTbSze90JR-LF7E6Pz0U3RnF58AP_Bo3z_c7-ppIlvnQmDw/s1600/IMG_4354_0463-WEB.jpg
Kelahiran Kristus

Sebagai pelindung dari misteri �yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah,� yang mulai disingkapkan di hadapan matanya �dalam kegenapan waktu,� Yosef, bersama Maria, merupakan saksi istimewa akan kelahiran Putra Allah ke dalam dunia pada malam Natal di bBetlehem. Lukas menulis, �Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan� (Luk 2:6-7). Yosef adalah seorang saksi mata dari kelahiran ini, yang terjadi dalam kondisi, menurut pandangan manusia, memalukan - suatu pemakluman pertama akan �pengosongan diri� (bdk Fil 2:5-8) yang dengan sukarela diterima Kristus demi pengampunan dosa manusia. Yosef juga menjadi saksi dari sembah sujud para gembala yang datang di tempat Yesus dilahirkan setelah para malaikat menyampaikan kepada mereka berita sukacita nan agung (bdk Luk 2:15-16). Di kemudian hari ia juga menjadi saksi dari sembah sujud para majus yang datang dari Timur (bdk Mat 2:11). - Redemptoris Custos 10


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvE4itvEo_RT2-01piB3PH1WiAc6pROgVeUyv97L8iqw_zZJu2Q1Be_-NvUhHM0R8Sf5nOAiuf3k8kAILCIoPl4ZTJv7R-yUaOCbhTm5sjO2c6ccwbNMBFOIQGzhd0pXj3dF-gqlQHqZk/s1600/IMG_4352_0461-WEB.jpg
Yesus dipersembahkan di Bait Allah

Ritus yang disebut Lukas ini (2:22dst), meliputi menebus anak sulung dan menerangkan tinggalnya Yesus di Bait Allah di kemudian hari pada usia duabelas tahun. Menebus anak sulung merupakan kewajiban lain dari seorang ayah, dan kewajiban ini ditunaikan oleh Yosef. Yang dilambangkan dengan anak sulung ialah umat perjanjian, yang ditebus dari perbudakan agar dapat menjadi milik Allah. Di sini juga, Yesus - yang adalah �harga� tebusan yang sejati (bdk 1 Kor 6:20; 7:23; 1Ptr 1:19) - tidak hanya �menggenapi� ritus Perjanjian Lama, melainkan pada saat yang sama melampauinya, sebab Ia bukanlah subyek yang harus ditebus, melainkan pencipta penebusan itu sendiri. Penulis Injil mencatat bahwa �bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia� (Luk 2:33), teristimewa akan apa yang dikatakan Simeon dalam madahnya kepada Tuhan, ketika ia menyebut Yesus sebagai �keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel� dan sebagai suatu �tanda yang menimbulkan perbantahan� (bdk Luk 2:30-34). - Redemptoris Custos 13 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuXrutNcgdb7rJYCA8yhYAuvbq39zT-Dk6CRqKIJmWjnmvXLs7lYax0r8xiMEfA4auSfPEG597iUBa_WLgqqCTAedYOMugkIK7XTYuxtUPOAH0J5dN5QaYdreUmMBMn1GrC1wKvfal5wE/s1600/IMG_4351_0460-WEB.jpg
Pengungsian ke Mesir
Setelah kisah Yesus Dipersembahkan di Bait Allah, Penginjil Lukas mencatat, �Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya� (Luk 2:39-40). Tetapi menurut teks Matius, suatu peristiwa yang amat penting terjadi sebelum mereka kembali ke Galilea, suatu peristiwa di mana penyelenggaraan ilahi sekali lagi membutuhkan bantuan Yosef. Kita baca �Setelah oorang-orang majus itu berangkat, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yosef dalam mimpi dan berkata: `Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia'� (Mat 2:13). Herodes mengetahui dari para majus yang datang dari Timur mengenai kelahiran �raja orang Yahudi� (Mat 2:2). Dann ketika para majus telah berangkat, ia �menyuruh membunuh semua anak laki-laki di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah� (Mat 2:16). Dengan membunuh mereka semua, ia berharap dapat membunuh �raja orang Yahudi� yang ia dengar baru dilahirkan. Maka, Yosef, setelah diperingatkan dalam mimpi, �mengambil Anak itu serta ibu-Nya pada waktu malam, dan lari ke Mesir, dan tinggal di sana sampai Herodes mangkat. Hal ituu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan melalui nabi, `Dari Mesir Ku-panggil PutraKu'� (bdk Mat 2:14-15; bdk Hos 11:1). Dan maka, perjalanan Yesus kembali ke Nazaret dari Betlehem adalah melalui Mesir. Sama seperti bangsa Israel telah mengikuti jalan keluar �dari kondisi perbudakan� agar dapat memulai Perjanjian Lama, demikian pula Yosef, pelindung dan partisipan dalam misteri penyelenggaraan ilahi, bahkan di pembuangan menjaga Dia yang mmendatangkan Perjanjian Baru. - Redemptoris Custos 14

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhho9mZOijUwLzDCvGyLfnUGRg_0KKk0kHrGnLaDEjPJ_OCAH-YZMudeSWmHZv7cfJRjZZwq0D4DYPtP-Xxx5LO9IAdMI7p43wNBH3kSLC_su7OhQM1h97x_ucE9W1tR3q-0zj3fX9C4hs/s1600/IMG_4357_0466-WEB.jpg
Yesus ditemukan di Bait Allah
Sejak dari saat Kabar Sukacita, baik Yosef maupun Maria mendapati diri mereka, dalam arti tertentu, pada pusat misteri yang telah berabad-abad tersembunyi dalam Allah, misteri yang telah menjadi daging, �Sabda itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita,� (Yoh 1:14). Ia tinggal di antara manusia, dalam lingkungan Keluarga Kudus dari Nazaret -satu dari sekian banyak keluarga di kota kecil ini di Galilea, satu dari sekian banyak keluarga di tanah Israel. Di sanalah Yesus �bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya� (Luk 2:40). Injil meringkas hanya dalam beberapa patah kata, periode panjang dari kehidupan �yang tersembunyi�, masa di mana Yesus mempersiapkan DiriNya untuk misi mesianik-Nya. Hanya satu episode dari �masa yang tersembunyi� ini dikisahkan dalam Injil Lukas: Paskah di Yerusalem ketika Yesus berusia duabelas tahun. Bersama Maria dan Yosef, Yesus ikut ambil bagian dalam perayaan sebagai seorang peziarah muda. �Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya� (Luk 2:43). Setelah sehari perjalanan jauhnya, orangtua-Nya menyadari ketidakhadiran-Nya dan mulai mencari �di antara kaum keluarga dan kenalan mereka.� �Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya� (Luk 2:46-47). Maria bertanya, �Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau� (Luk 2:48). Jawaban yang diberikan Yesus sedemikian rupa hingga �mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka.� Ia mengatakan, �Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?� (Luk 2:49-50). Yosef, yang baru saja disebut Maria sebagai �bapa-Mu,� mendengar jawaban ini. Bagaimanapun, itulah yang dikatakan dan dipikirkan semua orang: Yesus adalah (dianggap sebagai) Putra Yosef� (Luk 3:23). Namun demikian, jawaban Yesus di Bait Allah sekali lagi membangkitkan dalam benak dia �yang dianggap bapa-Nya� apa yang telah ia dengar pada malam itu duabelas tahun silam, �Yosef, � janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.� Sejak dari saat itu, ia tahu bahwa ia adalah pelindung dari misteri Allah, dan tepat misteri inilah yang oleh Yesus yang berumur duabelas tahun dibangkitkan kembali dalam benaknya, �Aku harus berada di dalam rumah BapaKu.� - Redemptoris Custos 15


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfpbtPawzUndyqWwlucTKgM1aQ1GFE4vgb7Syec7v-kBcwRjtSyOvClFQ0_MRrP2JZIzHmRDsMsbZnSEUGgUvQXimkeyFzSU_EpJs2NF5F2dOnbMtUhjm321XSMuoKz_rLcJSN12TyvnQ/s1600/IMG_4361_0470-WEB.jpg
Yesus kala remaja. Terlihat Ia sedang membuat salib mini. Gambar ini menyiratkan bahwa sejak muda Yesus telah mengetahui bahwa Ia akan menderita dan wafat di kayu salib.


Bertumbuhnya Yesus dalam �hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia� (Luk 2:52) terjadi dalam Keluarga Kudus di bawah pengawasan Yosef, yang mempunyai tugas penting �membesarkan� Yesus, yaitu memberinya makanan, pakaian serta pendidikan dalam Hukum dan dalam ketrampilan, sehubungan dengan kewajibannya sebagai seorang ayah. Dalam Kurban Ekaristi, Gereja menghormati kenangan akan Maria, Bunda Allah yang tetap Perawan selamanya, dan kenangan akan St Yosef, (29) sebab �ia memberi makan Dia yang harus disantap umat beriman sebagai roti hidup yang kekal.� (30) Dari pihak-Nya, Yesus �taat kepada mereka� (bdk Luk 2:51), membalas dengan penuh hormat kasih sayang �orangtua�-Nya. Dengan cara ini Ia bermaksud menguduskan kewajiban keluarga dan kerja, yang Ia lakukan di sisi Yosef. - Redemptoris Custos 16

Pax et Bonum

Friday, March 2, 2012

Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja Saat Ini


His Holiness Benedict XVI
Sejak 2 tahun lalu terjun dalam bidang apologetika dan katekese dunia maya, saya kerapkali melihat laporan terjadinya Pelecehan Liturgi dalam Ekaristi dari teman-teman atau dari para anggota fanspage Katolik berbahasa Indonesia yang ada di facebook. Tidak jarang akhirnya muncul perdebatan-perdebatan antara yang menghendaki Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja dengan yang tidak terlalu mempedulikan Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja. Di samping itu, sejumlah blog dan situs luar yang concern terhadap Pelecehan Liturgi seperti Rorate Caeli, New Liturgical Movement, dan What Do The Prayer Really Says juga sering mempublikasikan Pelecehan-Pelecehan Liturgi yang terjadi di luar Indonesia, mulai dari pelecehan ringan hingga pelecehan berat.

Ironisnya, sejumlah denominasi-denominasi Protestan yang liturginya berakar pada Katolisitas justru ternyata lebih setia dan taat pada aturan liturgi mereka, sebut saja denominasi Grace Lutheran Church, denominasi Anglican Church dan Episcopalian Church. Akhirnya muncullah kalimat-kalimat dari sejumlah orang Katolik yang peduli Liturgi bahwa denominasi-denominasi ini �lebih Katolik daripada Gereja Katolik sendiri.�


Apakah terlalu jauh mengatakan bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja saat ini? Tidak sama sekali. Paus Benediktus XVI, para kardinal dan uskup justru mengamini pernyataan ini. Mari kita lihat:
A young priest recently told me: "Today we need a new liturgical movement". He was expressing a desire, these days, only deliberately superficial souls would ignore. What matters to that priest is not the conquest of new, bolder liberties. For, where is the liberty that we have yet to arrogate ourselves? That priest understood that we need a new beginning born from deep within the liturgy, as liturgical movement intended. In its practical materialization, liturgical reform has moved further away from this origin. The result was not re-animation but devastation. [1]
Di sini Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa pembaharuan Liturgi di era modern ini berjalan terlalu jauh dari yang aslinya. Akibatnya adalah sebuah penghancuran.
A renewal of liturgical awareness, a liturgical reconciliation that again recognises the unity of the history of the liturgy and that understands Vatican II, not as a breach, but as a stage of development: these things are urgently needed for the life of the Church. I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council. [2]
Di sini Kardinal Ratzinger (Bapa Suci Benediktus XVI) menyatakan bahwa krisis di dalam Gereja yang dialami sekarang sebagian besar disebabkan oleh disintegrasi Liturgi.

Selain pernyataan Bapa Suci Benediktus XVI di atas, Msgr. Georg Ratzinger, saudara tua Paus Benediktus XVI juga melihat bahwa fokus dari Bapa Suci Benediktus XVI yang paling utama adalah Liturgi. Dalam wawancaranya dengan Catholic News Service, Beliau memaparkan:
Tapi dia (Benediktus XVI), tentu saja, sangat peduli bahwa Liturgi harus dirayakan dengan layak dan dirayakan dengan benar. Memang, itu adalah masalah sejati. Music director keuskupan kami baru-baru ini mengatakan bahwa tidak mudah saat ini untuk menemukan sebuah gereja di mana sang imam merayakan Misa-nya sesuai dengan peraturan gereja. Ada begitu banyak imam yang berpikir mereka harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana. Jadi saudara saya (Benediktus XVI) menginginkan keteraturan, Liturgi yang baik yang menggugah orang-orang secara batiniah dan dipahami sebagai panggilan dari Allah. [3]
Selanjutnya, Kardinal Koch, Presiden Komisi Pontifikal untuk Promosi Persatuan Kristen menyatakan demikian:
Present day liturgical practice does not always have any real basis in the Council. For example, celebration versus populum was never mandated by the Council, says the Cardinal. A renewal of the form of divine worship is necessary for the interior renewal of the Church: Since the crisis of the Church today is above all a crisis of the liturgy, it is necessary to begin the renewal of the Church today with a renewal of the Liturgy. [4]
Kardinal Koch malah memberikan pernyataan yang eksplisit bahwa krisis Gereja sekarang di atas semuanya adalah Krisis Liturgi dan pembaharuan Gereja sekarang perlu dimulai dari pembaharuan Liturgi. Kardinal Koch mengatakan hal ini di fakultas teologi Universitas Freiburg, sebuah universitas dengan teologi yang �progresif�.

Di samping Paus Benediktus XVI dan Kardinal Koch, pejabat tinggi Vatikan lainnya, Kongregasi untuk Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen mengeluarkan instruksi Redemptionis Sacramentum pada 25 Maret 2004 yang dilatarbelakangi oleh maraknya Pelecehan Liturgi. Hal ini menegaskan bahwa Gereja memang mengalami Krisis Liturgi:
�Dalam hal ini tidaklah mungkin untuk diam mengenai pelecehan-pelecehan [liturgi], bahkan [pelecehan] yang sungguh serius, terhadap kodrat liturgi dan sakramen-sakramen serta tradisi dan otoritas Gereja, yang di masa kita tak jarang mengganggu perayaan liturgi di satu lingkungan gerejani atau yang lainnya. Di beberapa tempat perbuatan Pelecehan Liturgis hampir telah menjadi kebiasaan, suatu fakta yang jelas tidak dapat dibiarkan dan harus berhenti.� (Redemptionis Sacramentum 4)
Sungguh tepat bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Universal saat ini. Krisis Liturgi ini dimanifestasikan dalam bentuk Pelecehan Liturgi selama Perayaan Ekaristi. Sebenarnya mengapa Liturgi ini begitu penting dan suci sehingga pelecehan terhadapnya menjadi sebuah krisis utama Gereja?  Mari kita melihat hal ini berdasarkan pengajaran Gereja:

Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama. (Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium 7).

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Liturgi pertama-tama merupakan karya imamat Yesus Kristus serta tindakan Gereja. Sacrosanctum Concilium 6 juga mengatakan bahwa karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja dilaksanakan dalam Liturgi. Nah, dengan demikian pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan terhadap karya imamat Kristus dan tindakan Gereja. Di samping itu, karena Liturgi tidak bisa terpisahkan dari Ekaristi, maka setiap pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan juga terhadap jantung Gereja Katolik, yaitu Kurban Ilahi Ekaristi (Divine Sacrifice of Eucharist). [5] Apa yang seringkali tidak disadari oleh umat Katolik sekarang ini adalah Kurban Kristus dan Kurban Ilahi Ekaristi adalah satu kurban. Ekaristi itu satu kurban Kudus dan Ilahi yang menghadirkan kembali kurban Kristus di salib (bdk. KGK 1330 dan KGK 1366). Oleh karena itu, sungguh sangat tepat mengatakan bahwa Krisis Liturgi merupakan krisis utama dan terbesar Gereja karena Krisis Liturgi ini juga menyerang kurban Kristus di salib.

Adalah sesuatu yang menyedihkan dan memprihatinkan melihat kondisi Perayaan Ekaristi dengan Pelecehan Liturgi yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia.  Pelecehan Liturgi telah menjadi hal umum yang dijumpai hampir setiap Minggu dan begitu banyak orang tidak terlalu peduli akan hal ini. Lebih tragisnya, pelecehan yang terus-menerus ini kemudian dianggap sebuah kebiasaan dan dibenarkan. Apa yang terjadi di masa sekarang adalah Liturgi menjadi milik Para Imam dan Umat. Liturgi yang sudah dipromulgasikan oleh Gereja Katolik dengan berdasar pada Kitab Suci dan Tradisi Apostolik kemudian dinodai oleh berbagai bentuk Pelecehan Liturgi baik yang dilakukan oleh kaum tertahbis maupun oleh awam.

Apa saja penyebab terjadi begitu banyak Pelecehan Liturgi? Ada banyak penyebabnya dan bisa jadi begitu kompleks. Berdasarkan pengalaman saya, penyebab-penyebabnya antara lain:

1. Selebran Perayaan Ekaristi (Uskup atau Imam) melupakan tugas mereka sebagai Pelayan Liturgi bukan Pemilik Liturgi. Seperti kata Monsinyur Georg Ratzinger di atas, mereka merasa harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang terjadi tidak lain adalah improvisasi dan inkulturasi Liturgi yang seringkali sangat parah dan kebablasan. Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Monsinyur Antonio Guido Filipazzi mengatakan:
�Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.� [6]
Sang Uskup dan Imam pun harus berani menegur dan bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi di sekitar mereka. Membiarkan Pelecehan Liturgi terjadi tanpa ada teguran dan koreksi akan menjerumuskan umat. �Romo gak marah, gak ngelarang tuh, Romo juga gak bilang ini salah, lalu mengapa kamu sok tahu bilang ini salah itu salah?� Kalimat seperti ini akan sering terdengar dari umat atau tim liturgi kala ditegur akibat kekeliruan mereka bila Uskup atau Imam tidak bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi. Ingat, menjadi pelayan Liturgi berarti juga melindungi Liturgi dari pelecehan.

2. Kurangnya Katekese mengenai Liturgi. Ini merupakan problem mendasar yang dialami umat. Ketidaktahuan akan Liturgi serta terjadi pembenaran kebiasaan yang keliru membuat umat tidak menyadari batasan-batasan dalam Liturgi. Tim Liturgi Paroki yang terkadang kurang kompeten juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Pelecehan Liturgi. Sebenarnya, melalui homili, imam atau uskup pun bisa menyisipkan berbagai materi katekese mengenai Liturgi yang dapat menambah wawasan umat. Tidak hanya umat yang mengalami minimnya katekese mengenai Liturgi, sejumlah imam pun mengakui bahwa mereka baru mengetahui Pedoman Umum Missale Romanum (Pedoman Gereja Katolik untuk Perayaan Ekaristi, red) setelah beberapa tahun menjadi imam. Kualitas pendidikan mengenai Liturgi di seminari pun harus ditingkatkan kualitasnya bila tidak mau Liturgi terus-menerus dilecehkan.

3. Prinsip �Yang Penting Hati�. Banyak Kaum Tertahbis dan awam senang sekali membenarkan Pelecehan Liturgi dengan kata-kata �yang penting hatinya�. �Gak apa-apa toh, yang penting hatinya.� �Ya sudah, gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.� Prinsip �yang penting hatinya� ini tidak pernah menjadi prinsip Gereja apalagi diajarkan oleh Gereja dan Kitab Suci. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah �Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (emosional) dan dengan segenap jiwamu (spiritual) dan dengan segenap akal budimu (rasional) dan dengan segenap kekuatanmu (fisikal).� (Mrk 12:30). Inilah empat pilar pondasi kasih sejati dalam mengasihi Allah: emosional, rasional, spiritual, fisikal. Prinsip �Yang penting hati� mereduksi cinta yang seharusnya utuh diberikan kepada Allah dalam Liturgi. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang menghindari prinsip �yang penting hati� dan berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah karena Allah telah lebih dulu memberikan yang terbaik buat kita.

4. Ego manusia. �Misa itu membosankan.� �Lagunya gitu-gitu aja, gak berubah.�  �Gimana kalau Homili diganti drama aja biar gak ngantuk?� Banyak tim Liturgi akhirnya menyerah pada ego manusia dan kemudian memasukkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Liturgi. Atau malah Imamnya sendiri ditodong menjelang Perayaan Ekaristi, �Mo, ntar lagunya pop rohani begini-begini begitu ya, Mo. Ntar ada tambahan ini dan itu.�, dll. Akhirnya, Perayaan Ekaristi pun berjalan sesuai keinginan umat, bukan seturut kehendak Gereja. Akhirnya, Perayaan Ekaristi diadakan sesuai dengan selera umat, bukan seturut aturan Gereja. Pelecehan Liturgi pun terjadi. Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris berkata:
�Liturgi adalah tidak pernah menjadi milik saya sendiri, atau ciptaan saya. Ini adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita dari Allah Bapa. Maka dari itu, selera saya sendiri, kecondongan saya sendiri, kepribadian saya, pandangan saya sendiri mengenai eklesiologi, [perlu] dikesampingkan dan tidak penting. ... [Liturgi] tidak pernah digunakan sebagai bentuk ekspresi diri.Yang benar adalah sebaliknya, � Misa adalah tindakan Gereja. Itu yang penting, [dan] bukan pendapat saya.� [7]
Dalam pernyataan ini, Uskup Agung Nichols menekankan bahwa siapapun, baik kaum tertahbis maupun awam, harus meninggalkan  ke-aku-an mereka di dalam Perayaan Ekaristi. Ego-ego seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Ingatlah bahwa ego pribadi bisa menjadi berhala yang menjauhkan kita dari Allah. Contohnya: Karena merasa bosan ikut Perayaan Ekaristi, banyak orang Katolik �jajan� ke kebaktian Protestan yang lebih meriah dan asyik. Tanpa disadari, karena ego mereka ini, mereka telah menjauh dari Allah. Mereka lebih memilih hadir di kebaktian Protestan ketimbang menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri dalam Perayaan Ekaristi.

Pelecehan Liturgi di samping merupakan pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus, juga menyebabkan melemahnya iman. Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat liturgi, Misa [yang dilaksanakan] akan mengakibatkan hilangnya iman,� demikian kata Kardinal asal AS Raymond L. Burke, Ketua Mahkamah Agung Vatikan. Kardinal Canizares, Kepala Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen Gereja Katolik, mengatakan hal senada dengan Kardinal Burke, �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� [8]

Bagaimana bisa Pelecehan Liturgi menyebabkan melemahnya iman? Saya pernah membahasnya di artikel ini. Berikut pemaparannya:
Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan Pelecehan Liturgi akan membenarkan pelecehan tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera umat" perlahan tapi pasti semakin membuat umat merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Umat akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika umat merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat.

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat umat lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, umat yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas. Misa yang buruk jelas melemahkan iman umat, baik yang taat maupun yang tidak taat.
Kesimpulannya, Krisis Liturgi sungguh merupakan krisis utama Gereja Katolik saat ini. Krisis ini mempengaruhi Gereja secara luas dan perlu dihentikan. Peran serta kaum tertahbis maupun awam sangat diperlukan untuk meredakan Krisis Liturgi ini. Di samping itu, baik kaum tertahbis maupun awam memanglah harus kaku, taat, disiplin dan setia terhadap aturan-aturan Liturgi itu sendiri. Hendaklah kekakuan, ketaatan, kedisiplinan dan kesetiaan ini dipandang sebagai bentuk kasih kepada Allah dalam Ekaristi dan juga kasih kepada Gereja. Tanamkanlah dalam pikiran kita bahwa Ekaristi adalah Kurban untuk pereda kemarahan Allah dan pendamai hubungan kita dengan Allah yang rusak karena dosa-dosa kita. Dengan melecehkan Liturgi dan Ekaristi yang adalah anugerah Allah, bukankah kita justru telah menyakiti hati Allah?

Sementara kita harus memaklumi sulitnya menerapkan Liturgi yang baik dan benar di daerah pedalaman Indonesia karena sulitnya akses informasi, kita tetap harus mendorong pembaharuan Liturgi di daerah-daerah kota yang sudah memiliki akses informasi yang jauh lebih baik. Dengan begini, akan tercapai sebuah Perayaan Ekaristi yang indah dan berkenan di hati Allah. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.� (Luk 16:10)


Referensi dan Sumber:
[1]. Cardinal Ratzinger (kemudian Paus Benediktus XVI), Condensed from the 30 Days printing of Cardinal Ratzinger's preface to La Reforme liturgique en question, by Klaus Gamber, Editions Sainte-Madeleine.
[2]. Cardinal Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927 � 1977 The Regensburg Years
[5]. Istilah �Kurban Ilahi Ekaristi� diambil berdasarkan Sacrosanctum Concilium 2.

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap Paus Benediktus XVI, Paus Liturgi. Pax et Bonum

Thursday, March 1, 2012

Formula Paus Santo Hormisdas


Pope St. Hormisdas (sumber: flickr.com)
Pengakuan dan penerimaan akan Tome (Buku) Paus St. Leo Agung pada Konsili Kalsedon tahun 451 M tidak serta merta mengakhiri pengaruh bidaah Eutychianisme dan Monofisitisme. Pada tahun 484, Patriark Konstantinopel bernama Acacius diekskomunikasi oleh Paus St. Feliks III karena mendukung Henotikon karya Kaisar Bizantium bernama Zeno. Henotikon adalah hukum yang dibuat dan disusun oleh Kaisar Zeno untuk merekonsiliasikan Katolik dengan kaum Monofisit. Henoticon ini sama sekali tidak berhasil memenuhi tujuannya, cenderung sesat dan akhirnya menyebabkan skisma timur oleh Konstantinopel yang lebih dikenal dengan nama Skisma Acacian. Konstantinopel meninggalkan persatuannya dengan Gereja Katolik.

Skisma ini berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya dipulihkan dalam masa Paus St. Hormisdas (20 Juli 514- 6 Agustus 523) melalui Formula St. Hormisdas yang ditetapkan pada tahun 519 M di Konstantinopel. Dalam dokumen ini, ia menegaskan mengenai penerimaan penuh para uskup terhadap teologi dogmatis dalam Tome Paus St. Leo Agung. Dia juga menegaskan mengenai pengakuan akan Tahta St. Petrus di Roma sebagai tempat di mana �perlindungan yang menyeluruh, benar dan sempurna dari agama Kristen berada.� Formula ini secara resmi ditandatangani Kaisar Romawi Timur, Patriark Konstantinopel (yang memberi sebuah komentar tetapi tidak menolak formula itu sendiri) dan 250 uskup timur. Berdasarkan formula ini juga, keutamaan Paus Roma tidaklah berdasarkan pada situasi dan kondisi politik (faktanya, Kekaisaran Romawi Barat telah berakhir lebih dari 40 tahun sebelum formula ini) tetapi berdasarkan pada janji Kristus kepada St. Petrus. �Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.� (Mat 16:18)

Berikut ini terjemahan Formula St. Hormisdas:
Syarat pertama keselamatan adalah menjaga norma dari iman yang benar dan tidak ada jalan untuk menyimpang dari ajaran yang ditetapkan oleh para Bapa (Bapa Gereja, red).

Karena adalah tidak mungkin bahwa kata-kata dari Tuhan kita Yesus Kristus yang berkata, �Engkau adalah Petrus dan di atas Batu Karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku,� (Mat 16:18) tidak dapat dibuktikan. Dan kebenarannya (kata-kata Kristus, red) telah dibuktikan oleh peristiwa sejarah, karena di dalam Tahta Apostolik (Tahta Suci Roma, red) , agama Katolik telah selalu dijaga tak bercela.

Dari harapan dan iman ini kami (para uskup yang menerima formula ini, red) dengan tidak bermaksud ingin terpisah, dan mengikuti doktrin dari para Bapa (Bapa Gereja); kami mengumumkan anathema kepada semua ajaran sesat, dan terutama Si Sesat Nestorius, mantan Uskup Konstantinopel, yang telah dihukum oleh Konsili Efesus, oleh Yang Terberkati Selestinus, Uskup Roma, dan oleh yang terhormat Sirillus, Uskup Alexandria.

Kami demikian juga menghukum dan mengumumkan anathema kepada Eutyches dan Dioscoros dari Alexandria, yang telah dihukum dalam Konsili Suci Kalsedon, yang mana kami ikuti dan kami pimpin. Konsili ini mengikuti Konsili Suci Nicea dan mewartakan iman apostolik. Dan kami menghukum Si Pembunuh Timotius, yang dijuluki Aelurus [�The Cat�] dan juga Petrus [Mongos] dari Alexandria, para murid dan pengikutnya dalam segala hal. Kami juga mengumumkan anathema kepada pembantu dan pengikut mereka, Acacius dari Konstantinopel, seorang Uskup yang pernah dihukum oleh Tahta Apostolik, dan semua orang yang tetap berada dalam hubungan dan persekutuan dengan mereka. Karena Acacius ini menggabungkan dirinya sendiri ke persekutuan mereka, dia layak untuk menerima penghakiman hukuman yang sama dengan mereka. Lebih jauh lagi, kami menghukum Petrus [�The Fuller�] dari Antiokia beserta seluruh pengikutnya bersama-sama dengan pengikut-pengikut dari semua orang yang disebutkan di atas.

Berdasarkan pada - sesuai yang kami sampaikan sebelumnya - Tahta Apostolik dalam semua hal dan memproklamirkan semua keputusannya, kami menyetujui dan menerima semua surat yang Paus St. Leo tulis mengenai agama Kristen. Dan begitu juga saya berharap saya boleh layak untuk bersatu denganmu dalam satu persekutuan yang Tahta Suci proklamirkan, yang di dalamnya perlindungan menyeluruh, benar dan sempurna agama Kristen berdiam. Saya berjanji bahwa dari sekarang terhadap mereka-mereka yang berpisah dari persekutuan Gereja Katolik, yaitu mereka yang tidak berada dalam persetujuan dengan Tahta Apostolik, nama mereka tidak akan dibacakan selama misteri-misteri suci. Tapi, bila saya mengusahakan bahkan penyimpangan paling kecil dari pengakuan saya, saya mengakui bahwa berdasarkan deklarasi milik saya, saya adalah seorang kaki tangan bagi mereka yang telah saya hukum. Saya telah menandatangani ini, pengakuan saya, dengan tangan saya sendiri, dan saya telah mengarahkannya kepadamu, Hormisdas, Paus Roma yang Kudus dan Terhormat.

Teks Asli:
Diterjemahkan oleh Indonesian Papist. Pax et bonum

Friday, November 18, 2011

Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese

mirifica.net


"Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja,
merupakan identitasnya yang terdalam" 
(Evangelii Nuntiandi, a.14)


Pendahuluan

�1.    Gereja mempunyai tugas utama untuk mewartakan, sesuai perintah Kristus: "....pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu" (Mat 28:19-20). Perintah Kristus ini menjadi dasar perutusan Gereja dalam karya katekese. Ulang Tahun ke-50 Hierarki Gereja Katolik Indonesia yang kita rayakan pada tahun ini, kita syukuri sebagai peristiwa iman dan anugerah Tuhan. Peristiwa ini kita gunakan sebagai kesempatan untuk menyadari bersama-sama betapa pentingnya memastikan bahwa tugas pewartaan dijalankan dengan sebaik-baiknya di bumi Nusantara.
�2.    Sadar akan pentingnya tugas tersebut, pada Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2011, para Uskup menyelenggarakan hari studi tentang katekese, dengan tema: "Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam" (EN 14). Hari studi yang diselenggarakan pada 7-9 November 2011 itu dihadiri oleh para Uskup, perwakilan Koptari, perwakilan Unio Indonesia, koordinator komisi kateketik tiap-tiap regio, wakil lembaga pendidikan kateketik, wakil lembaga pendidikan calon imam, serta para nara sumber yang terdiri dari para katekis lapangan dan ahli teologi serta ahli katekese. Selama tiga hari para peserta mengadakan tukar pengalaman dan perenungan atas karya katekese  dalam Gereja kita. Para peserta juga mendalami keadaan karya katekese di Indonesia melalui penuturan para nara-sumber serta pemaparan hasil penjajakan sederhana dalam konteks ajaran Gereja tentang katekese ("Petunjuk Umum Katekese", dari Kongregasi untuk Imam). Sebagai rangkuman dari hari studi katekese, para peserta mengajukan saran untuk merumuskan beberapa langkah nyata sebagai tindak-lanjut pastoral katekese di masa depan.


Mencermati Karya katekese di Indonesia
�3.    Setelah mencermati karya katekese di Indonesia pertama-tama pantaslah disyukuri adanya arah yang jelas, yang dirumuskan dan dikembangkan dalam Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI) I-IX, yaitu Katekese Umat. Rumusan mengenai Katekese Umat setiap kali diperdalam dan disesuaikan dengan konteks zaman, sehingga menjawab kebutuhan umat. Selain arah yang jelas, karya katekese di Indonesia juga ditandai dengan kehadiran para pastor yang sungguh-sungguh menggerakkan karya katekese di paroki-paroki mereka. Sementara itu, keterlibatan umat untuk menjalankan pastoral katekese baik sebagai katekis purna waktu, maupun sebagai pelaksana karya katekese paruh waktu merupakan kekuatan bagi gerak pastoral katekese di Indonesia. Harus diakui bahwa karya katekese sangat tergantung dari keterlibatan saudara-saudari kita itu. Menggembirakan pula adanya Program Studi Kateketik di sejumlah Perguruan Tinggi yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia untuk mempersiapkan, mendidik dan membina tenaga-tenaga yang cerdas, terampil serta berkomitmen dalam bidang katekese.
�4.    Namun para peserta hari Studi Katekese juga menyadari bahwa karya katekese di Indonesia berjumpa dengan pelbagai tantangan dan keprihatinan, sehingga hasil perumusan katekese umat dalam PKKI tidak seutuhnya dapat dilaksanakan.
�4.1.    Para pastor sebagai penanggungjawab katekese tingkat paroki tidak jarang dirasakan kurang memberikan perhatian pada karya katekese. Sementara itu, tidak sedikit pula para petugas katekese yang tidak mempunyai kemampuan yang memadai dalam menjalankan katekese karena kurangnya pembinaan yang berkelanjutan. Disadari pula kenyataan  bahwa beberapa keuskupan tidak  mengangkat katekis purna waktu karena berbagai alasan. Ada juga gejala  para guru agama katolik PNS yang  tidak bersedia melibatkan diri dalam karya katekese di tengah umat. Keprihatinan-keprihatinan itu perlu ditanggapi dengan pembinaan dan pengembangan kesadaran akan pentingnya katekese dan spiritualitas yang mendukung dalam diri semua penanggungjawab dan pelaku katekese bahkan dalam diri seluruh umat.
�4.2.    Isi katekese seringkali dirasakan kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat seringkali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alas an yang mendorong  sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik cara doa dan pembinaan Gereja-gereja lain yang dirasakan lebih menarik. Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan.

Refleksi Iman
�5.    Gereja dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira kepada dunia. Tugas ini adalah "rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam" (EN 14). Gereja mewartakan Injil, karena Injil itu "ragi yang menimbulkan perombakan di dunia ini" (FABC V, 8.1.4). Katekese merupakan bagian integral dari pelaksanaan tugas pewartaan Gereja. Komunitas Basis Gerejawi merupakan salah satu medan yang amat penting dalam pelaksanaan tugas ini.  Gereja bertugas untuk "memajukan dan mematangkan pertobatan awal, mendidik orang yang bertobat dalam iman dan menggabungkannya dalam komunitas Kristiani" (Pedoman Umum Katekese no. 61). Maka katekese menyangkut pembinaan iman anggota-anggota Gereja, sejak mereka berniat masuk menjadi anggota Gereja sampai mencapai kedewasaan rohani. Termasuk juga dalam proses katekese ini ialah pelajaran agama di sekolah.
�6.    Sebagai proses pendewasaan iman, tugas fundamental katekese ialah mengantar orang masuk ke dalam kehidupan umat dan perutusannya serta membantu umat beriman untuk mengetahui, merenungkan dan merayakan misteri Kristus. Katekese juga membantu orang untuk mengembangkan sikap misioner dan dialog (Pedoman Umum Katekese no 85-86). Oleh karena itu, katekese perlu dilihat sebagai suatu proses yang terencana dan sistematis, yang meliputi pengembangan pengetahuan dan sikap serta penghayatan iman pribadi maupun kelompok, yang dilaksanakan untuk membantu umat sehingga semakin dewasa dalam iman.
�7.    Katekese merupakan tanggungjawab seluruh Gereja. Dalam Gereja partikular, Uskup adalah penanggungjawab utama karya katekese, karena "di antara tugas-tugas mendasar para Uskup, pelayanan Injil menduduki tempat utama" (LG 25). Tentu saja, pelaksanaan tugas ini dibantu oleh para imam, kaum religius dan kaum awam yang terlibat dalam karya katekese.

Langkah Tindakan Pastoral
�8.    Untuk membangkitkan dan menggairahkan karya katekese di Indonesia diperlukan langkah-langkah pastoral sebagai berikut:
8.1.   Katekese Umat sebagai arah karya katekese di Indonesia perlu ditumbuh-kembangkan dalam lingkungan hidup umat, khususnya melalui komunitas-komunitas basis atau pun kategorial. Katekese umat perlu diperkaya dengan Injil, Tradisi dan ajaran Gereja.
8.2.   Katekese sekolah tidak jarang merupakan satu-satunya kesempatan bagi banyak orang muda untuk menerima pengajaran dan pendidikan agama. Kerjasama antara penanggungjawab pastoral setempat dengan sekolah dan khususnya guru agama sekolah, perlu dikembangkan.
8.3.   Perlu dikembangkan  program katekese yang menyeluruh dan berkesinambungan sejak usia dini sampai usia lanjut. Untuk itu perlu kerjasama antara Komisi Kateketik KWI maupun Komisi Kateketik Keuskupan-keuskupan, dengan komisi-komisi lain yang terkait dengan pembinaan iman.
8.4.   Berjalannya karya katekese sangat tergantung pada para petugas pastoral yang menjalankan katekese di tengah umat. Maka, perlulah pembinaan terus-menerus bagi para pelaksana atau fasilitator katekese umat tersebut.
8.5.   Demi kemajuan karya katekese di Indonesia diperlukan orang-orang yang sungguh ahli dalam bidang katekese, yang harus disiapkan dengan sungguh-sungguh.
8.6.   Karya katekese di tingkat paroki seringkali tergantung pada para imam pemimpin paroki. Maka pembinaan katekese bagi para imam dan calon imam mutlak diperlukan.
8.7.   Salah satu tanda bahwa karya katekese merupakan prioritas utama dalam Gereja ditampakkan dalam dukungan finansial bagi program-program katekese maupun bagi pembinaan dan penghidupan para petugas pastoral yang berkarya di bidang katekese.
8.8.   Perlu ditingkatkan mutu dan peranan lembaga pendidikan pastoral katekese dan kerjasamanya dengan lembaga pendidikan calon imam.
8.9.   Dengan menyadari betapa pentingnya katekese dalam hidup dan perkembangan Gereja, kerjasama dengan pelbagai pihak, misalnya Bimas Katolik, perlu diusahakan dan dikembangkan.
Pemikiran-pemikiran penting tersebut mendesak untuk dituangkan dalam kebijakan-kebijakan praktis, baik di tingkat KWI, Regio atau Provinsi Gerejawi, keuskupan maupun di paroki-paroki.

Penutup
�9.    Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Anda semua yang sungguh terlibat dalam karya katekese, pertama-tama kepada para katekis baik purna waktu maupun paruh waktu, para guru agama di sekolah maupun di lingkungan, para pelaksana karya katekese di komunitas-komunitas basis, para imam dan religius yang setia mengabdikan diri untuk pengembangan karya katekese. Berkat ketekunan Anda, banyak umat beriman diantar menuju iman katolik dan dibimbing kepada kedewasaan iman. Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh umat yang dengan aneka cara mendukung karya katekese ini. Hanya dengan dukungan seluruh umatlah, karya katekese dapat terlaksana dan dikembangkan.
�10. Akhirnya, kita percaya bahwa Allahlah Sang Penabur, yang menaburkan benih Injil dalam kehidupan kita. Melalui karya katekese, kita semua dipanggil untuk bersama Allah menumbuhkan dan memelihara benih yang tumbuh itu hingga berbuah. Kita serahkan segala upaya pastoral katekese kita dalam penyelenggaraan dan tuntunan Allah. Semoga Ia yang telah memulai karya yang baik ini di antara kita, berkenan menyelesaikannya juga (Flp 1:6).  
Berkat Tuhan selalu menyertai kita semua.
Jakarta, 17 November 2011

Konferensi Waligereja Indonesia,

Mgr. Martinus D. Situmorang, OFM.Cap
K e t u a
Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal