Latest News

Showing posts with label Sejarah di dalam Gereja Katolik. Show all posts
Showing posts with label Sejarah di dalam Gereja Katolik. Show all posts

Thursday, April 11, 2013

Realita Posisi Uskup Roma pada 6 Abad Pertama � Respon II Tentang Santo Meletius

St. Meletius dari Antiokia
Artikel ini adalah lanjutan dari artikel pertama, dituliskan khusus untuk menanggapi pernyataan Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia (Diakon ROCOR) mengenai kasus di Antiokia, yaitu terjadinya triple suksesi di sana kala bidaah arianisme menyerang Gereja-gereja Timur.
Lagi pada abad ke-4, para Bapa Konsili Ekumenis Kedua mengesampingkan beberapakeputusan Paus Damasus, membuktikan lagi bahwa Gereja tidaklah memiliki keyakinan atas otoritas ke-universal-an Paus Roma. Kasus ini adalah sebagai berikut: dua uskup mengklaim tahta Keuskupan Agung Antiokhia, yaitu St.Meletius dan Paulinus, Paus Roma mengakui Paulinus, tapi mengesampingkan penilaian Konsili Ekumenis yang telah mengakui Meletius, bahkan membuatnya presiden Dewan Ekumenis. Ketika St Meletius beristirahat dalam kekudusan, tetapi keluar dari persatuan dengan Roma, Paus Damasus  bersikeras kembali untuk mengakui Paulinus, tapi sekali lagi Dewan mengesampingkan keputusannya, Dewan Eukumenis memilih St. Flavianus dan mendesak yang mengikuti Paulinus untuk bergabung dengan St.Flavianus. Sinode Eukumenis menulis surat yang ditujukan kepada Paus Damasus, tertulis demikian:

"Untuk yang terhormat di dalam Tuhansaudara para imam, rekan, dan kolega, Damasus, Ambrose, Britton, Valerian,Ascholius, Anemius, Basilius dan para uskup yang kudus yang berkumpul di kotabesar Roma, Konsili Kudus uskup Orthodox berkumpul di kota besar Konstantinopelmengirimkan ucapan di dalam Tuhan. Sekarang ... untuk administrasi tertentu gereja-gereja lokal, meneladani sebuah Tradisi lebih awal, seperti yang anda tahu, bahkan telah diperoleh, dikonfirmasi oleh pemberlakuan para bapa suci di Nicea, bahwa dalam setiapprovinsi, para uskup dari provinsi, dan dengan persetujuan mereka, para uskupyang  bertetangga dengan mereka, harusmelakukan penahbisan sebagaimana yang diperlukan. Sesuai dengan catatan Tradisi yang demikian, kami telah melakukan penyelenggaran Gereja-gereja lainnya...Dengan demikian... Gereja di Konstantinopel ... Uskup kami yang telah tertahbis... Nectarius, di hadapan Dewan Ekumenis, dengan kesepakatan bersama. Dan ..atas dasar Tradisi Gereja paling awal dan benar-benar rasuliah di Syria, ...para uskup provinsi dan keuskupan Timur telah bertemu bersama-sama dan secarakanonikal menahbiskan menjadi uskup ... Flavianus, dengan persetujuan darisemua gereja ... Ini penahbisan yang sah juga menerima konfirmasi dari KonsiliEkumenis. � Kami sangat meminta dengan hormat untuk bergembira atas apa yang demikiantelah benar dan kanonis diselesaikan oleh kami, menahan nafsu manusia , olehintervensi kasih spiritual dan dengan pengaruh takut akan Tuhan, dan membuatpeneguhan gereja lebih penting daripada mendukung individu. Jadi karena diantara kami ada kesepakatan, dalam Iman dan kasih Kristiani telah ditetapkan,baiklah kita berhenti menggunakan pernyataan yang telah dikutuk oleh paraRasul, "Saya dari golongan Paulus dan saya dari Apolos atau saya dariKefas (Petrus)", dan hendaknya semua menampakkan Kristus, siapa di antarakita tidak terbagi, oleh kasih karunia Allah kita akan menjaga tubuh Gereja takterbagi, dan tanpa takut akan berdiri di kursi pengadilan Tuhan."
Sumber : Synodical Letter of the Council of Constantinople (http://www.fourthcentury.com/synodical-letter-of-the-council-of-constantinople-ad-382/)
Saya akan memberikan konteks yang lebih jelas mengenai kasus yang diangkat oleh Diakon Ortodoks Rusia ini.

Sekalipun Konsili Nicea 325 M telah memberikan keputusan mengutuk ajaran sesat Arianisme (yang menolak keilahian Kristus), tapi ternyata pasca konsili tersebut kelompok Arian semakin bertambah kuat apalagi mendapat dukungan dari kaisar romawi saat itu. Sebagaimana yang dilaporkan oleh St. Hieronimus, lebih dari 80% uskup akhirnya jatuh pada bidaah sesat Arianisme ini. Hampir semua uskup yang jatuh pada bidaah Arianisme berasal dari Timur. Di Antiokia, salah satu tahta keuskupan penting pada masa itu, kelompok Arian saat itu sangat dominan hingga akhirnya mempengaruhi Kaisar Konstantinus untuk menurunkan Uskup Eustathius (Uskup yang Katolik, menolak ajaran Arianisme) dari Tahta Antiokia pada tahun 330.

Semenjak kematian Kaisar Konstantinus pada tahun 337, uskup-uskup yang diasingkan dipanggil pulang. Tetapi nama Eustathius tidak ditemukan dalam daftar uskup yang kembali, tampaknya ia sudah meninggal di pengasingan. Akhirnya Tahta Antiokia kosong. Kelompok Arian, masih cukup dominan di Antiokia, mengangkat Eudoxius (seorang Arian) untuk menggantikan Eustathius. Sementara terdapat komunitas yang mendukung Eustathius sekalipun ia tidak terdapat dalam daftar uskup yang dipanggil pulang dan membentuk Eustathian Party. Segera sesudah kematian Eudoxius, Arian Party mengangkat St. Meletius sebagai Uskup Antiokia. Tetapi St. Meletius mengejutkan Arian Party,  ia tidak menganut ajaran sesat Arianisme tetapi justru memegang teguh ajaran Katolik mengenai keilahian Kristus. Arian Party, didukung oleh Kaisar Constans, mengangkat Euzoius, seorang Arian, sebagai Uskup Antiokia menggantikan St. Meletius yang diasingkan ke Armenia. St. Meletius masih mendapat dukungan dari komunitas Katolik di Antiokia sehingga terbentuklah Meletian Party. Akhirnya timbullah tiga kelompok besar di Antiokia, Eustathian Party, Meletian Party dan Arian Party. Mereka yang tergabung dalam Eustathian Party dan Meletian Party adalah orang-orang Katolik yang memegang teguh ajaran Konsili Nicea 325M namun terpisah oleh perbedaan jalur suksesi, sementara Arian Party adalah orang-orang yang menolak Konsili Nicea.

Beberapa waktu berikutnya pada tahun 361, saat St. Meletius berada dalam pengasingan, Luciferus Uskup Cagliari melihat bahwa komunitas Katolik yang ada di Antiokia tidak memiliki uskup. Oleh karena itu, ia menahbiskan Paulinus sebagai Uskup Antiokia, penerus Eustathius. Karena penahbisan ini, timbullah rivalitas antara Eustathian/Paulinian Party  dengan Meletian Party yang saat itu dipimpin Diodorus dan St. Flavianus. Penahbisan ini sebenarnya melanggar aturan kanonik sebab Luciferus tidak memiliki otoritas di Antiokia. Beberapa bulan kemudian, Kaisar Constans meninggal dan penerusnya, Julian membatalkan keputusan pengasingan Constans terhadap St. Meletius. St. Meletius kembali ke Antiokia namun ia menemukan bahwa Paulinus menjadi Uskup Antiokia. Perseteruan antara Paulinian Party dengan Meletian Party meruncing di mana St. Meletius menyatakan diri sebagai Uskup Antiokia yang sah dan berada dalam persatuan dengan Paus Roma, hal yang sama juga diakukan oleh Paulinus. Masing-masing kelompok mengklaim sebagai yang benar dan sungguh berada dalam persatuan dengan Roma. Baik St. Meletius dan Paulinus sama-sama memandang persatuan dengan Roma sebagai syarat ortodoksi ajaran iman. Konsili Alexandria tahun 362 mencoba untuk mendamaikan kedua kelompok ini tetapi mereka tetap berpegang teguh pada klaim masing-masing.

Masing-masing kelompok juga mendapatkan approval dari luas Antiokia. Paus Roma St. Damasus I, 2 Uskup Alexandria yaitu St. Athanasius Agung dan Petrus mendukung Paulinian/Eustathian Party sementara St. Basilius Agung dari Caesarea dan Gereja Timur secara umum mendukung St. Meletius berkat tulisan-tulisan berpengaruhnya mengenai ajaran iman. St. Athanasius, yang selalu berada dalam persekutuan dengan Eustathian Party namun awalnya tidak mengakui Paulinus, mencoba menjalin persekutuan dengan St. Meletius. Tetapi karena beberapa alasan serta St. Meletius menunda untuk mengambil langkah persekutuan; dan pada waktu tersebut Paulinus telah menerima keputusan Konsili Alexandria, St. Athanasius mengakui Paulinus sebagai Uskup Antiokia.

St. Basilius, pendukung setia dan teguh St. Meletius, menggunakan relasi baiknya dengan St. Athanasius untuk membujuknya mengakui St. Meletius. Tetapi kematian St. Athanasius dan pengasingan kembali St. Meletius mengakhiri berbagai negosiasi untuk kedamaian Gereja Antiokia. Petrus, yang menggantikan Athanasius, adalah seorang yang keras dan tanpa kompromi menolak negosiasi dengan St. Meletius karena ia menganggap St. Meletius masih seorang Arian. St. Basilius mencoba meminta bantuan Paus St. Damasus I di Roma namun tidak berhasil. Paus St. Damasus I lebih dulu mendengar informasi mengenai kasus di Antiokia dari sumber-sumber Alexandria yang saat itu digembalakan oleh Petrus dari Alexandria. Melihat kondisi Paulinus yang berada di Antiokia sementara St. Meletius berada di pengasingan, pada tahun 374 M Paus St. Damasus I akhirnya mengakui Paulinus sebagai Uskup Antiokia tanpa menolak atau mengekskomunikasi St. Meletius. St. Basilius Agung sesungguhnya kecewa dengan posisi St. Damasus I namun St. Basilius tidak pernah menyerang otoritas dan primasi Paus Roma. St. Basilius berpikir bahwa St. Damasus I tidak mendapatkan informasi yang akurat sehingga dia menyesalkan posisi St. Damasus I. St. Epifanius dari Salamis juga akhirnya mendukung Paulinus ketimbang St. Meletius.

Pada akhir tahun 378 M, St. Meletius kembali ke Antiokia dan menduduki posisi Uskup Antiokia sementara Paulinus juga menduduki posisi yang sama namun dari komunitas yang berbeda. Sekali lagi ditekankan keduanya masih berada dalam persatuan dengan Paus roma. St. Meletius masih memenangkan pengaruh yang luas di Timur sementara Paulinus masih mendapatkan dukungan dari Roma dan Alexandria. Pada tahun 381 M, St. Meletius memimpin konsili lokal Konstantinopel yang hanya dekrit mengenai ajaran iman saja yang dianggap ekumenis oleh Konsili Kalsedon 451 M, tidak semua dekritnya termasuk dekrit mengenai St. Meletius. Pada tahun ini pula St. Meletius meninggal dan digantikan oleh St. Flavianus.

Sinode Konstantinopel 382 M(bedakan dengan Konsili Konstantinopel 381 M) mengirimkan surat permohonan konfirmasi, peneguhan atas keputusan sinode tersebut. Menariknya, tampaknya Sang Diakon Ortodoks ROCOR tidak membaca keseluruhan: Sinode Konstantinopel bahkan mengutus tiga orang uskup untuk hadir pada Sinode di Roma tahun 382 di mana Paus St. Damasus I, St. Ambrosius dari Milan, St. Hieronimus, St. Epifanius dari Salamis termasuk Paulinus Uskup Antiokia hadir di situ juga. Bila St. Meletius termasuk Sinode Konstantinopel 382 M tidak berada dalam persatuan dengan Paus Roma, lalu mengapa Sinode tersebut harus mengirimkan surat ini dan mengutus 3 orang untuk hadir di Sinode Roma? Perlu dicatat bahwa dalam Tradisi Latin, Meletius adalah seorang santo yang berarti ia meninggal dalam persatuan dengan Paus Roma. St. Meletius tidak pernah berada di luar persatuan dengan Paus Roma.

Sinode Roma 382 M tidak mengakui St. Flavianus sebagai Uskup Antiokia namun tetap mengakui Paulinus karena memandang pengangkatan St. Flavianus ini sebagai hal yang dipaksakan sementara St. Meletius tidak menginginkan adanya pengganti dirinya di Antiokia selain membiarkan Paulinus sebagai satu-satunya Uskup Antiokia untuk mengakhiri perseteruan.

Soon afterwards S. Meletius died, shortly after the beginning of the Synod, and exceptional honors were showered upon him even in his death; for instance, Gregory of Nyssa, in his funeral oration (of which many were held), spoke of him as a saint. It had already been agreed during the lifetime of Meletius, that when either of the two orthodox Bishops of Antioch, Meletius or Paul, died, no new bishop should be elected in his place, but the survivor should be universally acknowledged. Notwithstanding this, some members of the Council demanded that a successor to Meletius should be elected, while Gregory of Nazianzus, who was now president, did all in his power to procure the carrying out of the agreement. The younger bishops of the Synod, however, violently opposed him, being of opinion that the recognition of Paul would be too great a concession to the Latins; they succeeded in carrying away with them older bishops also, and thus it came to pass that Flavian, hitherto a priest, was chosen as the successor of Meletius by the bishops of the dioceses (=patriarchates) of Antioch and Asia, and was confirmed by the Synod, whereby the Meletian schism was perpetuated.

Pada tahun 388 M, Paulinus meninggal dan digantikan Evagrius yang kemudian meninggal 393 M. Sejak kematian Evagrius, Eustathian Party tidak lagi memiliki uskup. Pada tahun 399, akhirnya St. Flavianus mendapat pengakuan dari Roma dan Alexandria. St. Flavianus meninggal dalam persatuan dengan Roma.

Kesimpulannya dapat dilihat bahwa konteks yang disampaikan oleh Sang Diakon ROCOR tidaklah terlalu tepat dan bahkan penggunaan surat Sinode Konstantinopel 382 M untuk menolak otoritas Paus Roma adalah keliru karena malah menyatakan persekutuan dengan Paus Roma dan meminta konfirmasi dari Paus Roma atas pengangkatan St. Flavianus I. Fakta bahwa St. Damasus I, St. Ambrosius dari Milan, St. Epifanius dari Salamis dan St. Hieronimus dalam Sinode Roma 382 menolak memberi konfirmasi atas pengangkatan St. Flavianus menunjukkan bahwa anggapan Diakon ROCOR ini bahwa Sinode Konstantinopel 382 menolak otoritas Paus adalah salah.

Sumber-sumber:

pax et bonum

Monday, February 11, 2013

Bapa Suci Benediktus XVI Mengundurkan Diri - Respon Indonesian Papist



Bapa Suci Benediktus XVI Mengunjungi Makam Paus St. Selestinus V di Gereja St. Maria di Collemaggo yang rusak parah karena gempa bumi tahun 2009. Makam Paus St. Selestinus V bebas dari kerusakan akibat gempa. source:  catholicweekly.au
Pada tanggal 28 April 2009, Paus Benediktus XVI datang mengunjungi Makam Paus St. Selestinus V di Gereja Santa Maria di Collemaggio yang rusak parah karena gempa bumi tahun 2009 di Italia. Untuk menandai hari ulang tahun ke-800 Paus St. Selestinus V, Paus Benediktus XVI memproklamirkan Tahun Selestinus dari 28 Agustus 2009 hingga 29 Agustus 2010. Siapakah Paus St. Selestinus V? Ia adalah seorang Kudus, seorang biarawan Benediktin pengikut spiritualitas St. Benediktus dari Nursia yang terpilih sebagai Paus namun kemudian mengundurkan diri dari tahta kepausannya.


Hari ini, 11 Februari 2013, Bapa Suci Benediktus XVI yang mengambil nama St. Benediktus dari Nursia sebagai nama kepausannya, mengikuti jejak Paus St. Selestinus V, mengumumkan bahwa Beliau akan mengundurkan diri pada 28 Februari 2013 pukul 20.00.  Alasannya adalah Paus Benediktus XVI menyatakan tidak mampu lagi melaksanakan tugas pelayanannya karena kesehatan yang semakin memburuk. Pengumuman ini bisa dibaca sendiri di situs radio resmi dan situs berita resmi Vatican di mana terdapat rekaman suara Bapa Suci yang mengumumkan pengunduran diri Beliau.
http://en.radiovaticana.va/articolo.asp?c=663815

Bagaimanakah kita menanggapi soal ini? haruskah kita panik dan ketakutan?

Berita pengunduran ini memang mengejutkan banyak pihak dan reaksi terhadap pernyataan Paus ini beragam; dari yang terkejut sekali, mengejek, sedih, marah dan sebagainya.

Secara pribadi, Indonesian Papist merasa sangat sedih sekali dikarenakan Bapa Suci Benediktus XVI adalah seorang Paus yang teguh dan tegas. Banyak tulisan telah Beliau hasilkan sejak ditahbiskan sebagai Imam hingga dipilih Roh Kudus menjadi Paus bagi lebih dari 1 milyar umat Katolik di dunia. Pada masa Beliaulah, saya bisa mengenal iman Katolik lebih dalam dan berani untuk mempertanggungjawabkannya melalui apologetika dan mewartakannya di dunia maya. Pada masa Beliau jugalah, saya bisa merasakan Misa Latin Tradisional, Misa Tridentinum.

Sejak pengunduran diri Beliau nanti, Tahta Suci akan memasuki fase "Sedevacante", Tahta sedang Kosong, di mana Para Kardinal Gereja Katolik akan mempersiapkan konklaf untuk memilih Paus berikutnya.

Paus Benediktus XVI, berdasarkan sejarah, bukanlah Paus pertama yang mengundurkan diri. Seorang Paus, meskipun tidak lazim, dapat mengundurkan diri dari Tahta Suci. Bapa Suci dapat mengundurkan diri jika ia menghendakinya. Kitab Hukum Kanonik menyatakan, �Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, maka untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapa pun� (Kan 332 no 2). Namun demikian, jika seorang paus dipilih sebagai Penerus St Petrus, Gereja mengharapkan bahwa ia tetap mengemban jabatannya hingga akhir hayatnya.

Paus pertama yang mengundurkan diri adalah Paus St Pontianus yang dipilih sebagai Penerus St Petrus pada tanggal 21 Juli 230. Dalam masa penganiayaan umat Kristiani di bawah Kaisar Maximinus Thrax, St Pontianus dibuang ke Sardinia dan dijatuhi hukuman kerja paksa di tambang garam, di mana tak seorang pun diharapkan keluar dalam keadaan hidup dari sana. Sebab itu, ia mengundurkan diri sebagai paus pada tanggal 28 September 235 guna memungkinkan pemilihan seorang paus baru, St. Anterus, yang dapat menggembalakan Gereja. Paus St Pontianus wafat sebagai martir pada tahun 236 (atau 237), karena perlakuan keji terhadapnya atau karena suatu pukulan yang mematikan.

Paus lain yang mengundurkan diri adalah St Selestine V, yang dipilih sebagai paus pada tanggal 5 Juli 1294 dan dinobatkan pada tanggal 29 Agustus. St Selestine adalah seorang biarawan Benediktin yang menikmati hidup sebagai seorang pertapa dan terkenal karena spiritualitasnya. Guna mengakhiri jalan buntu Dewan Kardinal, ia dipilih sebagai paus meskipun usianya telah 84 tahun. Segera saja ia menjadi korban muslihat para kardinal dan kaum bangsawan. Ia mengundurkan diri pada tanggal 13 Desember 1924 dan kembali ke biaranya. Penerusnya, Paus Bonifasius VIII, memerintahkan agar St Selestine dipenjarakan, agar tak memungkinkan adanya usaha untuk menaikkannya ke tahta lagi. Paus St Selestine wafat pada tanggal 19 Mei 1295.

Paus Gregorius XII (1406 - 1415) terpilih sebagai paus yang sah pada masa di mana ada dua paus tandingan: Anti Paus dari Avignon - Benediktus XIII - yang didukung oleh raja Perancis; dan Anti Paus dari Pisa - Yohanes XXIII - yang didukung oleh Konsili Pisa yang diselenggarakan oleh kaum pembelot. (Perlu diingat bahwa kedua nama yang disebut belakangan tersebut bukanlah paus yang sesungguhnya.) Pada akhirnya, dalam Konsili Konstans (yang merupakan konsili resmi), guna memulihkan Gereja, Paus Gregorius XII secara resmi mengundurkan diri, Benediktus XIII mengundurkan diri dan Yohanes XXIII dipaksa turun tahta; lalu dipilihlah Paus Martin V (1417 - 1431) sebagai penerus sah St Petrus, menggantikan Paus Gregorius X.

Oleh karena itu, apa yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendukung dan menghargai keputusan Bapa Suci Benediktus XVI ini dan mendoakan Beliau supaya selalu dilindungi dan diberkati Allah. Marilah kita doakan semoga Roh Kudus memilih pengganti Beliau yang kudus untuk menggembalakan kita.

Oh Santo Petrus, doakanlah Paus Benediktus XVI. Amin

Referensi: Pater William Saunders: Can A Pope Retire?
Pax et Bonum

Monday, September 24, 2012

Penjelasan Mengenai Kesalahpahaman terhadap Deklarasi Anathema dalam Konsili Trente



Konsili Trente berlangsung selama 18 tahun (1545-1563) di bawah lima Paus: Paulus III, Julius III, Marselus II, Paulus IV dan Pius IV. Dalam Konsili ini hadir 5 (7) kardinal utusan Tahta Suci, 3 Patriark, 33 Uskup Agung, 235 Uskup, 7 Kepala Biara, dan 160 Doctor of Divinity. Konsili ini diadakan untuk memeriksa dan menghukum kesalahan-kesalahan ajaran yang diajarkan oleh Luther (mantan Imam Katolik) dan �para reformator� lainnya sekaligus untuk memperbaharui disiplin Gereja. Konsili ini adalah konsili yang paling lama dilakukan oleh Gereja dan paling banyak mengeluarkan pernyataan-pernyataan dogmatis dan reformatoris selama sejarah Gereja. Scott Hahn menyebutkan Konsili Trente sebagai Konsili yang menghasilkan pernyataan yang sistematis untuk menegaskan kebenaran ajaran-ajaran Kristus dan Gereja Katolik terhadap ajaran-ajaran keliru Luther dan �Para Reformator� lainnya.

Dalam pernyataan-pernyataan yang dogmatis dari Konsili Trente, seringkali kita temukan pernyataan let him be anathema� yang diterjemahkan menjadi �Biarkanlah ia menjadi terkutuk� atau dalam Kitab Suci diterjemahkan lebih singkat �Terkutuklah ia�. Pernyataan ini dapat kita temukan dalam Surat St. Paulus ke umat di Galatia. 
Gal 1:9 As we said before, so now I say again: IF ANY ONE preach to you a gospel, besides that which you have received, LET HIM BE ANATHEMA.
Gal 1:9 Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi:
JIKALAU ADA ORANG yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, TERKUTUKLAH DIA.
Konsili Trente seringkali disebut sebagai konsili �yang bertaburan anathema� karena hampir semua kanon dan dekrit Konsili Trente mengandung deklarasi anathema tersebut. Memang bahwa konsili-konsili dogmatis (konsili yang menegaskan dan mendeklarasikan dogma) sebelum Konsili Trente juga mengandung deklarasi anathema ini, tapi dari segi jumlah Konsili Trente adalah konsili yang paling banyak memuat deklarasi anathema. Para pembaca sekalian bisa membaca keseluruhan teks Konsili Trente di situs Hanover College, Indiana (AS).

Mari kita lihat contoh kanon Konsili Trente mengenai Ekaristi, yaitu Sesi 13 Kanon 1 dan 2.
1. IF ANY ONE denieth, that, in the sacrament of the most holy Eucharist, are contained truly, really, and substantially, the body and blood together with the soul and divinity of our Lord Jesus Christ, and consequently the whole Christ; but saith that He is only therein as in a sign, or in figure, or virtue; LET HIM BE ANATHEMA.
2. IF ANY ONE saith, that, in the sacred and holy sacrament of the Eucharist, the substance of the bread and wine remains conjointly with the body and blood of our Lord Jesus Christ, and denieth that wonderful and singular conversion of the whole substance of the bread into the Body, and of the whole substance of the wine into the Blood-the species Only of the bread and wine remaining-which conversion indeed the Catholic Church most aptly calls Transubstantiation; LET HIM BE ANATHEMA.
Terjemahan Bebas:
JIKALAU ADA ORANG yang menyangkal bahwa di dalam Sakraman Ekaristi Mahakudus benar-benar, sungguh-sungguh dan secara substansial terkandung Tubuh dan Darah bersama dengan Jiwa dan Keilahian Tuhan kita Yesus Kristus, dan karenanya Kristus secara keseluruhan; namun sebaliknya berkata bahwa Dia hanya berada di dalamnya [nya = Sakramen Ekaristi] seperti di dalam sebuah simbol, atau dalam gambaran, atau dalam kebajikan; TERKUTUKLAH DIA.�
JIKALAU ADA ORANG berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam Sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal dari keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan dari keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi; TERKUTUKLAH DIA.�
Bila kita lihat, struktur pernyataan Konsili Trente tidak bisa disangkal lagi strukturnya sama dengan pernyataan Santo Paulus: �Jikalau ada orang ... Terkutuklah Dia�. Sederhananya, pernyataan Anathema dari Gereja Katolik dalam Konsili Trente (dan konsili-konsili dogmatis lainnya) mengambil dasar dari Kitab Suci.

Penulis yakin bahwa ada atau bahkan banyak umat Katolik kaget, kecewa, bersungut-sungut, atau mungkin marah bila membaca kanon-kanon Konsili Trente yang bertaburan �Terkutuklah Dia�. Mungkin juga ada yang menganggap Gereja Katolik-lah tidak punya kasih dan mengutuk orang-orang yang mengimani ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran-ajaran yang benar dari Gereja Katolik. Sementara itu, beberapa orang Katolik kerap menggunakan kanon-kanon Konsili Trente secara keliru dengan tendensi untuk menunjukkan bahwa Gereja Katolik meng-anathema orang-orang Protestan.

Oleh karena itu, Indonesian Papist membuat artikel ini untuk mengklarifikasikan kesalahpahaman umum yang terjadi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya mengenai Konsili Trente dan Deklarasi Anathema-nya.

Dalam dua contoh kanon Konsili Trente mengenai Ekaristi yang diikuti dengan deklarasi Anathema, kita bisa menemukan Dogma Gereja bahwa Kristus sendiri hadir secara nyata dalam Sakramen Ekaristi dan bahwa terjadi perubahan substansi secara keseluruhan dari roti dan anggur menjadi keseluruhan Tubuh dan Darah Kristus pada saat konsekrasi. Ini adalah kebenaran Kristus dan Gereja-Nya, kebenaran yang berlaku universal. Dengan demikian, Gereja menolak ajaran Martin Luther yang mengajarkan Konsubstansiasi (substansi roti dan anggur hadir bersamaan dengan substansi Tubuh dan Darah Kristus) dan ajaran John Calvin serta sejumlah �reformator� lainnya yang mengajarkan bahwa Kristus hadir hanya secara simbolis, tidak secara nyata, dalam Roti dan Anggur yang sudah dikonsekrasi. Kedua ajaran ini adalah sesat, dalam artian bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja.

Namun, apakah dalam Konsili Trente yang bertaburan Anathema ini, Gereja mengutuk setiap orang yang mengimani ajaran-ajaran sesat tersebut? Apakah Gereja mengutuk orangnya?

Dalam Konsili Trente, apa yang dikutuk oleh Gereja adalah ajaran-ajaran sesatnya, ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja. Gereja tidak mengutuk orangnya. Bukan Gereja yang mengutuk orang-orang yang mengimani  dan mengajarkan ajaran sesat tersebut melainkan orang itu sendiri yang membuat dirinya menjadi seorang yang terkutuk. Gereja, dengan otoritas dari Kristus Sang Kepala Gereja, mempromulgasikan dogma-dogma secara tak dapat sesat yang wajib diimani oleh setiap umat Katolik. Karenanya, umat yang menolak atau menyangkal dogma-dogma ini atau meyakini ajaran-ajaran yang bertentangan dengan dogma-dogma ini, telah menjadikan dirinya sendiri sebagai seorang yang terkutuk.

Hal ini sama dengan yang diucapkan oleh St. Paulus dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus. 1 Kor 16:22 �Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia.��If any one love not our Lord Jesus Christ, let him be anathema.� Adalah sebuah kebenaran bahwa kita harus mengasih Kristus Tuhan kita. Ada yang berani menyangkal ini? Sama seperti Gereja Katolik, dalam 1 Kor 16:22 ini, St. Paulus tidak mengutuk orang yang menolak Kristus. Tetapi orang yang tidak mengasihi Kristus telah menjadikan dirinya seorang terkutuk. St. Paulus memberitahu kebenaran itu sekaligus memberitahu bahwa bila kita menolak kebenaran itu, kita menjadikan diri kita seorang yang terkutuk. Kembali kepada deklarasi dalam bahasa Inggrisnya: Let Him Be Anathema - Biarkan Dia Menjadi Seorang Terkutuk.

Hal lain yang perlu diketahui, Anathema adalah hukuman/penalti gerejawi yang sekarang masih ada namun upacara atau seremoni penjatuhan anathema oleh Gereja Katolik sudah tidak dirayakan lagi sejak promulgasi Kitab Hukum Kanonik baru tahun 1983. Anathema, hukuman gerejawi terberat tidaklah pernah jatuh secara otomatis. Orang-orang Katolik -atau dulunya pernah Katolik- yang mengimani dan mengajarkan ajaran sesat yang bertentangan dengan ajaran Kristus dan Gereja terlebih dahulu harus dilaporkan, diselidiki dan diadili oleh otoritas gerejawi setempat, dalam hal ini Uskup atau Kepala Biara atau Superior Ordo (bila yang mengajarkan ajaran sesat itu adalah anggota suatu ordo atau biara). Otoritas gerejawi inilah yang berhak mendeklarasikan Anathema.

Namun, Anathema BUKANLAH Vonis Mati, bukanlah deklarasi bahwa orang yang ter-anathema itu adalah orang yang terkutuk selamanya. Jimmy Akin, apologeter katolik senior di catholic.com menjelaskan bahwa: �Anathema merupakan suatu cara resmi untuk memberi sinyal kepada orang itu bahwa dia telah melakukan suatu kesalahan yang sungguh berat yang membahayakan jiwanya sendiri, dan karenanya dia perlu bertobat. Anathema, seperti halnya bentuk ekskomunikasi yang lain, adalah hukuman yang menyembuhkan, yang dirancang untuk mempromosikan kesembuhan rohani dan rekonsiliasi.�

Dua Bapa Gereja Perdana, St. Agustinus dan St. Siprianus, mengajarkan bahwa Allah adalah Bapa dan Gereja adalah Ibu. Gereja adalah Bunda kita yang sungguh mengasihi kita, putra-putrinya. Layaknya seorang ibu yang mengajarkan kita mana yang benar dan mana yang salah, yang memberitahukan mana yang benar dan mana yang salah; Gereja dalam Konsili Trente ini mengajarkan dan memberitahukan pula mana ajaran Kristus dan mana yang bukan.

Gereja dalam deklarasi anathema-nya memberikan sinyal-sinyal peringatan demi keselamatan jiwa kita agar tidak mengalami kebinasaan kekal; sama seperti seorang ibu memperingati anak-anaknya supaya tidak bermain di tepi jurang. Semakin anak-anaknya bermain lebih dekat dengan tepi jurang, semakin keras seorang ibu memperingati bahkan memarahi anak-anaknya tersebut supaya anak-anaknya jangan bermain di tepi jurang yang dapat membahayakan nyawa mereka. Demikian pula, semakin jiwa kita mendekati bahaya kebinasaan kekal, semakin keras sinyal peringatan yang diberikan oleh Gereja agar kita segera tersadar dan bertobat dari jalan kita yang sesat. Karena itu, berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan Gereja kepada kita.

Lalu apakah anathema ini berlaku untuk saudara-saudara terpisah Protestan?

Memang, ada banyak umat Katolik mengutip Konsili Trente tidak tepat sasaran, yaitu dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa semua umat Protestan mendapatkan anathema dalam Konsili Trente. Ini adalah miskonsepsi/kesalahpahaman yang parah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, anathema adalah penalti gerejawi, bentuk ekskomunikasi (pengucilan) yang berat. Anathema juga disebut sebagai Ekskomunikas Mayor.  Karenanya, sebagaimana ekskomunikasi hanya ditujukan kepada orang-orang Katolik, maka demikian pula anathema hanya ditujukan kepada orang-orang Katolik yang meyakini ajaran-ajaran sesat, meski saat ini mereka sudah menyatakan diri bukan Katolik lagi. Anathema TIDAK PERNAH DITUJUKAN kepada mereka yang sejak lahir beragama non-Katolik (entah itu Protestan, Islam, Buddha, Hindu etc) yang belum pernah menerima baptisan Katolik atau yang belum pernah menjadi Katolik. Sehingga sekalipun Gereja melalui Konsili Trente menegaskan ajaran-ajaran Kristus dan Gereja serta menolak ajaran-ajaran Protestanisme melalui dekrit-dekrit dan kanon-kanon anathema-nya, namun hukuman gerejawi berupa anathema ini TIDAK BISA diaplikasikan atau diberikan kepada mereka.

Demikianlah tulisan penjelasan dan klarifikasi mengenai Konsili Trente dan Anathema ini, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita. Semoga kita semakin mengasihi Gereja dan mendengarkan peringatan-peringatannya yang berguna bagi keselamatan jiwa kita. �����

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist, direkonstruksi dari tulisan hasil pemikiran bersama empat orang admin page-page Katolik; In Cruce Salus (page Gereja Katolik dan Katolik Menjawab), Pax et Bonum alias Indonesian Papist (page Gereja Katolik dan Katolik Menjawab), Dominus Meus et Deus Meus (page Katolik Indonesia dan Katolik Menjawab, owner blog Perawan Maria), Pax Christi (page Katolik Indonesia dan Katolik Menjawab).

Referensi:

Pax et Bonum