Latest News

Showing posts with label Sejarah di dalam Gereja Katolik. Show all posts
Showing posts with label Sejarah di dalam Gereja Katolik. Show all posts

Tuesday, February 21, 2012

Gambar Minggu Ini - Pemberian Abu

Gambar Rohani Rabu Abu
Rabu Abu
Gambar di atas mengisahkan momen pada saat umat menerima abu tanda pertobatan dari seorang Uskup pada abad pertengahan. Kalimat �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� (Kej 3:19) diucapkan Sang Uskupp kala ia menandai umat dengan abu. Kalimat di atas aadalah kalimat yang tertua dan ppertama yang digunakan dalam Hari Rabu Abu.

Warna Liturgi: Ungu
Tipe Hari Raya : Hari Berpuasa dan Berpantang
Waktu dalam Tahun Liturgi: Hari Pertama Masa Prapaskah (Kalender Gereja Katolik Roma)
Durasi: Satu Harii
Perayaan/Simbolisasi: Pertobatan, Berkabung, Kerendahan Hati
Nama Lain: Dies Cinerum (Hari Abu)
Referensi Kitab Suci: Matius 4:1-11; Lukas 4:1-13; Ester 4:1-3; Yun 3:5-6; Dan 9:3; Mat 11:21

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan ssesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya ttentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, �Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.� (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.  

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, �Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.� (Mat 11:21)*

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya �De Poenitentia�, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah �hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.� Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya �Sejarah Gereja� bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, �Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?� Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, �Saya puas.� Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan �Rabu Abu� ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, �Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.� Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, �Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,� atau �Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.� Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.

Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Prapaskah tahun 2003 mengatakan, �Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.� Beliau juga menyesali bahwa �abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia � Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka.�            

Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.

Sumber:

Monday, January 9, 2012

22 Calon Kardinal Baru Gereja Katolik


Paus Roma, Benediktus XVI, pada 6 Januari 2012 mengumumkan daftar nama 22 calon kardinal baru bagi Gereja Katolik yang terdiri dari 18 calon kardinal di bawah usia 80 tahun dan 4 kardinal yang berusia di atas 80 tahun. Para calon kardinal ini akan diangkat pada Konsistori (Peristiwa di mana para calon secara resmi masuk ke dalam kolese para kardinal) tanggal 18-19 Februari 2012 di Roma. Nama-nama calon tersebut adalah:

Calon Kardinal di bawah 80 tahun (Kardinal yang berusia di bawah 80 tahun memiliki hak memilih dalam konklaf)

1. Uskup Agung Fernando Filoni (65) dari Italia: Uskup Agung Tituler Volturno, Kepala/Prefek Kongregasi untuk Evangelisasi Orang Banyak dan Kanselir Tertinggi Universitas Kepausan Urbaniana.
2. Uskup Agung Manuel Monteiro de Castro (73) dari Portugal: Uskup Agung Tituler Beneventum, Penitensiaris Utama dari Penitensiariat Apostolik (sebuah badan dalam Kuria Roma)
3. Uskup Agung Santos Abril y Castell� (76) dari Spanyol: Uskup Agung Tituler Tamada, Imam Agung Basilika St. Maria Mayor.
4. Uskup Agung Antonio Maria Vegli� (73) dari Italia: Uskup Agung Eclano, Presiden Komisi Kepausan untuk Reksa Pastoral Para Migran dan Para Pelancong.
5. Uskup Agung Giuseppe Bertello (69) dari Italia: Uskup Agung Urbisaglia, Presiden Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan, Presiden Pemerintahan Negara Kota Vatikan.
6. Uskup Agung Francesco Coccopalmerio (73) dari Italia: Uskup Agung Tituler C�liana, Presiden Komisi Kepausan untuk Teks-teks Legislatif.
7. Uskup Agung Jo�o Br�z de Aviz (64) dari Brazil: Kepala/Prefek untuk urusan Hidup Bakti dan Serikat Kehidupan Apostolik, Uskup Agung Metropolitan Emeritus Brasilia.
8. Uskup Agung Edwin Frederick O�Brien (72) dari Amerika Serikat:  Pro-Grand Master Ordo Equestrian dari Makam Suci Yerusalem, Adminstrator Apostolik Keuskupan Agung Baltimore, Uskup Agung Metropolitan Emeritus Baltimore.
9. Uskup Agung Domenico Calcagno (68) dari Italia: Presiden Administrasi Kerasulan Tahta Apostolik, Uskup Agung ad personam, Uskup Agung Emeritus Savona-Noli.
10. Uskup Agung Giuseppe Versaldi (68) dari Italia: Presiden Prefektur untuk urusan ekonomi Tahta Suci, Administrator Apostolik dari Alessandria (Italia), Uskup Agung ad personam, Uskup Emeritus Alessandria (Italia).
11. Uskup Agung Utama George Alencherry (66) dari India: Uskup Agung Utama Ernakulam-Angamaly dari Gereja Katolik Syro-Malabar (India)*, Presiden Sinode Gereja Syro-Malabar.
12. Uskup Agung Thomas Christopher Collins (64) dari Kanada: Uskup Agung Metropolitan Toronto (Kanada).
13. Uskup Agung Dominik Duka, O.P. (68) dari Republik Ceska: Uskup Agung Metropolitan Praha, Presiden Konferensi Para Uskup Republik Ceska.
14. Uskup Agung Willem Jacobus Eijk (58) dari Belanda: Uskup Agung Metropolitan Utrecht, Presiden Konferensi Para Uskup Belanda.
15. Uskup Agung Giuseppe Betori (64) dari Italia: Uskup Agung Metropolitan Firenze
16. Uskup Agung Timothy Michael Dolan (61) dari Amerika Serikat: Uskup Agung Metropolitan New York, Presiden Konferensi Para Uskup Amerika Serikat.
17. Uskup Agung Rainer Maria Woelki (55) dari Jerman: Uskup Agung Metropolitan Berlin.
18. Uskup John Tong Hon (??) (72) dari Hongkong: Uskup Hongkon.

Calon Kardinal di atas 80 tahun (Kardinal yang berusia di atas 80 tahun tidak memiliki hak memilih dalam konklaf. Para calon dalam konsistori 18-19 Februari 2012 ini diangkat menjadi kardinal sebagai penghormatan dari Gereja Katolik terhadap kontribusi mereka yang besar bagi Gereja Katolik)

19. Uskup Agung Utama Lucian Muresan (80) dari Rumania: Uskup Agung Utama Fagaras si Alba Iulia dari Gereja Katolik Yunani-Rumania**, Presiden Konferensi Para Uskup Rumania, Presiden Sinode Gereja Rumania.
20. Monsinyur Julien Ries (91) dari Belgia (non-Uskup): Imam Keuskupan Namur (Belgia), Professor Emeritus Sejarah Agama-agama Universitas Katolik, Louvain (Belgia).
21. Pater Prosper Grech, O.S.A. (86) dari Malta (non-Uskup): Professor Emeritus berbagai universitas di Roma, Konsultan bagi Kongregasi Doktrin Iman.
22. Pater Karl Josef Becker, S.J. (83) dari Jerman (non-Uskup): Professor Emeritus Universitas Kepausan Gregoriana, Konsultan bagi Kongregasi Doktrin Iman.

* Gereja Katolik Syro-Malabar adalah salah satu dari 22 Gereja Timur yang bersatu dengan Paus Roma.
** Gereja Katolik Yunani-Rumania adalah salah satu dari 22 Gereja Timur yang bersatu dengan Paus Roma.

Ulasan singkat:
Paus Benediktus XVI terlihat sangat mengandalkan Para Uskup dari Italia sebagai penasihat Beliau. Hal ini bisa dilihat dari 22 daftar calon kardinal di atas, 7 di antaranya berasal dari Italia dan sebagian besar calon kardinal dari Italia ini juga menjadi bagian dalam Kuria Roma.

Cukup menarik untuk dilihat juga bahwa calon kardinal di atas sebagian besar berasal dari negara-negara maju di barat, hanya 5 calon saja dari negara-negara berkembang yaitu dari Brazil, Rumania, India, Malta dan Hongkong. Tidak ada calon kardinal untuk konsistori tahun ini dari benua Afrika meskipun Uskup-uskup Afrika terkenal sangat konservatif dan tegas dalam hal ajaran iman dan moral Katolik.

Menyoroti Hongkong, saya melihat bahwa �tradisi kardinal� masih berlanjut di Hongkong. Keuskupan Hongkong, sekalipun merupakan keuskupan kecil, akan memiliki dua kardinal nantinya yaitu Joseph Kardinal Zen Ze-Kiun (79) yang baru genap berusia 80 tahun pada tanggal 13 Januari 2012 nanti dan calon kardinal selanjutnya, Uskup John Tong Hon (72). Sebelum keduanya, kardinal pertama dari Keuskupan Hongkong adalah alm. John Baptist  Kardinal Wu Cheng-Chung yang diangkat menjadi kardinal oleh Beato Yohanes Paulus II pada tahun 1988. Apa maksud Bapa Suci dengan hal ini, saya tidak berani menduga.

Calon termuda untuk konsistori 18-19 Februari 2012 nanti adalah Uskup Agung Rainer Maria Woelki (55) dari Jerman sedangkan calon tertua adalah Monsinyur Julien Ries (91) dari Belgia.

Secara pribadi, saya sangat senang bahwa Uskup Agung Timothy Michael Dolan (Uskup Agung New York) diangkat menjadi kardinal. Beliau adalah seorang Uskup yang tidak pernah kompromi dalam ajaran iman dan moral Katolik. Ia begitu tegas menentang pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat serta ia sering membela Paus Benediktus XVI dari serangan-serangan media sekuler. Sekalipun demikian, ia termasuk uskup yang ramah.

Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris (Uskup Agung Westminster) sekali lagi tidak terpilih sebagai calon penerima �topi merah� (Mitra Para Kardinal). Tahun lalu Beliau disebut-sebut akan menjadi salah satu dari 24 Kardinal baru Gereja Katolik, tetapi akhirnya tidak terpilih. Meskipun demikian saya berharap pada konsistori berikutnya, Beliau diangkat menjadi kardinal. Calon lain yang saya harapkan untuk konsistori berikutnya adalah Uskup Agung Charles Chaput OFM. Cap. dari Amerika Serikat (Uskup Agung Philadelphia) dan Uskup Agung Jose Gomez dari Amerika Serikat (Uskup Agung Los Angeles), keduanya adalah uskup-uskup yang setipe dengan Uskup Agung Dolan. Calon lain dari Asia yaitu Uskup Agung Luis Antonio Tagle dari Filipina (Uskup Agung Manila) juga diharapkan untuk diangkat menjadi kardinal dalam konsistori berikutnya. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Saya belum yakin bahwa akan ada uskup dari Indonesia yang akan diangkat sebagai kardinal pada konsistori berikutnya.

Entah apa tujuan, maksud atau harapan Paus Benediktus XVI dalam memilih nama-nama di atas sebagai kardinal; kita harus yakin bahwa Bapa Suci telah mempertimbangkan banyak hal dan tidak asal pilih. Bapa Suci memiliki visi dan misinya sendiri dan marilah kita berdoa untuk pelayanan Beliau dalam menggembalakan umat Katolik sedunia. Pax et bonum

Sumber:

Saturday, December 31, 2011

Apologetika atas Yudit 1:1

Ydt 1:1  Dalam tahun kedua belas pemerintahan Nebukadnezar yang menjadi raja orang-orang Asyur di Niniwe, kota yang besar. Pada zaman itu Arfaksad menjadi raja orang-orang Media di Ekbatana.
Kaum Protestan yang mempermasalahkan atau menolak Deuterokanonika menggunakan Yudit 1:1 ini untuk membuktikan kesalahan historis ( historical fallacy ) pada Kitab Yudit. Kitab Yudit sama seperti Kitab-kitab Deuterokanonika lainnya dianggap oleh Kaum Protestan sebagai kitab-kitab Apokrif sehingga mereka menolak kehadiran Kitab-kitab Deuterokanonika dalam kanon Kitab Suci.

Yudit 1:1 mengatakan bahwa Nebukadnezar menjadi raja-raja orang-orang Asyur dan Protestan mempermasalahkan hal ini sebab Kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain mengatakan bahwa Nebukadnezar adalah Raja Babel bukan Asyur.

2 Raja-raja 24:10 Pada waktu itu majulah orang-orang Nebukadnezar, raja Babel, menyerang Yerusalem dan kota itu dikepung.
Ezra 2:1 Inilah orang-orang propinsi Yehuda yang berangkat pulang dari pembuangan, yakni para tawanan, yang dahulu diangkut ke Babel oleh Nebukadnezar, raja Babel, dan yang kembali ke Yerusalem dan ke Yehuda, masing-masing ke kotanya.
Yeremia 24:1 Lihatlah, TUHAN memperlihatkan kepadaku dua keranjang buah ara berdiri di hadapan bait TUHAN. Hal itu terjadi sesudah Nebukadnezar, raja Babel, mengangkut ke dalam pembuangan Yekhonya bin Yoyakim, raja Yehuda, beserta para pemuka Yehuda, tukang dan pandai besi dari Yerusalem dan membawa mereka ke Babel.
Yehezkiel 26:7 Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH: Sungguh, Aku membawa dari utara raja Nebukadnezar, raja Babel, raja segala raja untuk melawan Tirus dengan memakai kuda, kereta, pasukan berkuda, dan sekumpulan tentara yang banyak.
Dengan ini mereka menyatakan bahwa Kitab Yudit tidak dapat dipercaya telah diilhami oleh Roh Kudus sebab mengandung kesalahan historis. Tapi apakah benar demikian? Apa Yudit 1:1 memberikan pernyataan yang salah mengenai Nebukadnezar?

The Jewish Virtual Library adalah situs dari American-Israeli Cooperative Enterprise yang berisi artikel-artikel sejarah terutama berkaitan dengan semitisme. Dalam suatu artikel sejarah mengenai kaum Kaldea yang terdapat dalam situs ini, kita mendapatkan suatu pernyataan demikian:
--------------------------------------
After the fall of Assyrian power in Mesopotamia, the last great group of Semitic peoples dominated the area. Suffering mightily under the Assyrians, the city of Babylon finally rose up against its hated enemy, the city of Nineveh, the capital of the Assyrian empire, and burned it to the ground. The chief of the Babylonians was Nabopolassar; the Semites living in the northern part of Mesopotamia would never gain their independence again. 

Nabopolassar was succeeded by his son, Nebuchadnezzar II (605-562 BC). Nebuchadnezzar was the equal of all the great Mesopotamian conquerors, from Sargon onwards; he not only prevented major powers such as Egypt and Syria from making inroads on his territory, he also conquered the Phoenicians and the state of Judah (586 BC), the southern Jewish kingdom that remained after the subjugation of Israel, the northern kingdom, by the Assyrians. In order to secure the territory of Judah, Nebuchadnezzar brought Jehoiachin and Zedekiah, the two kings of Judah (in succession) and held them in Babylon. In keeping with Assyrian practice, the "New Babylonians," or Chaldeans forced a large part of the Jewish population to relocate. Numbering possibly up to 10,000, these Jewish deportees were largely upper class people and craftspeople; this deportation marks the beginning of the Exile in Jewish history. 
-----------------------------------
Yudit 1:1 tidak pernah mengatakan bahwa Nebukadnezar bukan Raja Babel. Yudit mengatakan bahwa Nebukadnezar adalah [juga] Raja orang-orang Asyur sebab sejak Nabopolassar, orang-orang Asyur telah ditaklukan dan berada di bawah Babel. 

Yudit juga tidak memandang perbedaan antara Kerajaan Babel atau Kerajaan Asyur sebab keduanya berasal dari wilayah yang sama di mana pada awalnya Babel berada di bawah Asyur. Yehezkiel 26:7 yang telah dikutip di atas menyatakan �Aku (Allah) membawa dari utara raja Nebukadnezar, raja Babel,..�. Raja Babel datang dari utara Israel dan menurut sejarah di atas, Northern Kingdom (Kerajaan Utara) adalah Asyur.

Hal lain yang membuat Yudit menganggap Nebukadnezar adalah Raja orang-orang Asyur adalah karena ia masih mempertahankan praktik pembuangan orang Israel yang dilakukan oleh orang-orang Asyur sebelumnya. Kerajaan di utara Israel yang dari sana Nebukadnezar datang dianggap oleh Yudit sama dengan Asyur karena Kerajaan Asyur telah lebih dahulu menaklukannya dan mengubah sebagian kultur budaya di wilayah utara tersebut.

Contoh lain terkait gelar kerajaan adalah Ratu Elizabeth I. Ia bergelar Ratu Inggris, Ratu Prancis, dan Ratu Irlandia etc. Kala itu Irlandia menjadi bagian dari Inggris. Bila orang Irlandia pada masa Elizabeth I menulis �Lalu datanglah Elizabeth I, Ratu Irlandia. ...�, maka kita tidak bisa menganggapnya bertentangan atau kontradiksi dengan gelarnya sebagai Ratu Inggris. Hal ini karena ia juga menjadi ratu bagi Irlandia sebab Irlandia kala itu masih berada di wilayahnya. Nebukadnezar dapat kita anggap sebagai Raja Asyur juga dalam konteks yang sama di mana Asyur menjadi bagian dari wilayahnya, malah wilayah Kerajaan Babel itu sendiri adalah wilayah Kerajaan Asyur yang ditaklukannya.

Sunday, December 25, 2011

Konversi Anglikan ke Katolik - Gereja Katolik Sedang Memanen Buah Hasil Gerakan Ekumenis Yang Benar


Kardinal Levada, Prefek Kongregrasi Doktrin Iman Gereja Katolik
Kardinal Levada, Prefek Kongregrasi Doktrin Iman, salah satu badan dari Kuria Roma yang mengurusi berbagai hal terkait ajaran-ajaran Iman Gereja Katolik, pada 9 Maret 2010 yang lalu menjelaskan bahwa tujuan dari Ekumenisme adalah Persatuan dengan Gereja Katolik. Beliau menggambarkan persatuan penuh dengan Gereja Katolik itu sebagai sebuah ansambel orkestra.
  
�Persatuan yang kelihatan dengan Gereja Katolik dapat dibandingkan dengan sebuah ansambel orkestra. Beberapa instrument dapat memainkan seluruh nada, seperti sebuah piano. Tidak ada satu pun nada yang piano miliki yang biola, harpa, flute atau tuba tidak miliki. Tetapi ketika seluruh instrumen ini memainkan nada-nada yang piano itu miliki, nada-nada tersebut diperkaya dan diperbesar. Hasilnya adalah simfonis, persekutuan penuh. Seseorang mungkin dapat berkata bahwa gerakan ekumenis menginginkan berpindah dari kakofoni menjadi simfoni, dengan semuanya memainkan nada-nada kejelasan doktrinal yang sama, paduan nada eufonis yang sama dari aktivitas pengudusan, menjalankan ritme perilaku Kristiani dalam tindakan kasih dan mengisi dunia dengan suara yang indah dan mengundang dari Sabda Allah.

Sementara itu instrumen-instrumen lain dapat menyetel diri mereka sendiri berdasarkan piano, sehingga ketika bermain di konser  tidak ada kesalahan [yang dibuat] mereka untuk [mengiringi] piano. Adalah kehendak Allah bahwa mereka yang kepadanya Sabda Allah ditujukan, yaitu dunia, seharusnya mendengar sebuah melodi menyenangkan yang dibuat indah oleh kontribusi-kontribusi dari berbagai banyak instrumen yang berbeda.�
Uskup Agung John Hepworth dari Australia, Primat Traditional Anglican Communion (TAC)
Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut, Gereja Katolik mengadakan berbagai dialog ekumenis dengan sejumlah Gereja dan persekutuan gerejawi . Dan sekarang kita sedang melihat Gereja Katolik memanen hasil dialog-dialog ekumenis ini. Traditional Anglican Communion, sebuah persekutuan Anglikan Tradisional dengan primat/keutamaannya berada pada Uskup Agung John Hepworth di Australia mengajukan permohonan bersatu dengan Gereja Katolik. Sebelumnya anda jangan heran bila terminologi "Uskup", "Paroki" dan sebagainya yang digunakan dalam Gereja Katolik juga digunakan di Anglikan. Hal ini karena sekalipun berpisah dari Katolik, Anglikan tetap memelihara struktur hierarki dan sejumlah tradisi Katolik lainnya. 

Traditional Anglican Communion (TAC) ini berbeda dengan Gereja Anglikan Primat Canterbury yang dipimpin oleh Uskup Agung Rowan Williams. TAC ini secara ajaran iman dan tradisi, lebih dekat dengan Gereja Katolik dari pada Gereja Anglikan Canterbury. TAC ini menolak menahbiskan imam dan uskup perempuan maupun homoseksual yang dilakukan Gereja Anglikan Primat Canterbury di Inggris tersebut. Pada tahun 1991, TAC ini memisahkan diri dari Gereja Anglikan Primat Canterbury dan sejak tahun 2007 menyatakan keinginan untuk bersatu dengan Gereja Katolik. TAC ini memiliki umat sekitar 400.000-500.000 orang yang akan menjadi Katolik kelak. Anda bisa melihat sejumlah pernyataan dari Uskup Agung John Hepworth di situs berita Katolik ZENIT, di berita INI, INI dan INI.

Uskup Agung Rowan Williams, Primat Gereja Anglikan dan Uskup Canterbury (Inggris)
Merespon permohonan kelompok-kelompok Anglikan ini, terutama TAC, Gereja Katolik mengeluarkan sebuah dokumen bernama Anglicanorum Coetibus pada tanggal 4 November 2009 yang secara umum berisi pendirian Ordinariat Personal (Personal Ordinariate) bagi kelompok Anglikan yang hendak bersatu dengan Gereja Katolik. Ordinariat Personal ini merupakan suatu yurisdiksi gerejawi yang berbeda dengan yurisdiksi gerejawi berupa Keuskupan pada umumnya. Umat-umat yang berada di bawah Ordinariat Personal ini akan berada di bawah otoritas Ordinaris Personal bukan berada di bawah otoritas Uskup dari Keuskupan tempat mereka berdomisili. Misalnya anda umat Personal Ordinariate of Indonesia dan anda berada di wilayah Keuskupan Bandung. Nama anda akan terdaftar sebagai umat Personal Ordinariate of Indonesia tersebut dan sakramen-sakramen anda akan dilayani oleh kaum tertahbis dari Personal Ordinariate of Indonesia tersebut, bukan oleh kaum tertahbis dari Keuskupan Bandung.

Ritus Misa yang diadakan juga seturut tradisi Anglikan mereka, tidak seturut ritus Roma. Hal ini mirip dengan yang berada di Keuskupan Agung Milan di mana Ritus yang digunakan adalah Ritus Ambrosian, bukan Ritus Roma. Tetapi sekalipun menggunakan ritus yang berbeda, Anglicanorum Coetibus  mensyaratkan juga bahwa Katekismus Gereja Katolik  menjadi ekspresi Iman Katolik yang otoritatif bagi Ordinariat Personal ini. Dengan demikian, persatuan penuh secara kelihatan dan juga dalam ajaran iman terpenuhi. Hal ini juga menjamin setiap umat Katolik dari Gereja dengan Misa ritus Roma dapat menerima Komuni Kudus di Misa ritus Anglikan ini begitu juga sebaliknya.

Sejak keluarnya Anglicanorum Coetibus ini, pada tahun 2010, sejumlah Gereja Anglikan yang berada dalam persekutuan dengan TAC di Australia , Amerika Serikat dan Kanada (klik nama negara untuk mengetahui berita lebih lanjut) mengajukan permohonan resmi supaya Gereja Katolik mendirikan Ordinariat Personal ini bagi mereka.
Mgr. Keith Newton, Ordinaris Our Lady of Walsingham, Eks Uskup Anglikan
Di Inggris, tempat asal lahirnya Gereja Anglikan, menjelang dan sesudah kunjungan bersejarah Paus Benediktus XVI ke Inggris (16-19 September 2010), sejumlah Uskup, Uskup Emeritus (Uskup yang pensiun), Imam, Biarawan-biarawati dan umat awam meninggalkan Gereja Anglikan Primat Canterbury  dan masuk ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Akhirnya pada tanggal 15 Januari 2011, Gereja Katolik mendirikan Ordinariat Personal Our Lady of Walsingham dengan Mgr. Keith Newton, mantan Uskup Anglikan, sebagai Ordinaris-nya. Our Lady of Walsingham ini adalah Ordinariat Personal pertama yang didirikan oleh Gereja Katolik bagi umat Anglikan yang menjadi Katolik. Paskah tahun 2011 yang lalu adalah salah satu Masa Panen Gereja Katolik yang sangat bersejarah dan indah, hampir 1000 umat eks Anglikan di Inggris menjadi Katolik dan bergabung dalam Ordinariat Personal di bawah penggembalaan Bapa Keith Newton ini. Anda bisa melihat beritanya di situs Catholic Herald. Hingga sekarang, perpindahan umat Anglikan menjadi Katolik masih berlanjut di Inggris.

Pater Jeffrey Steenson, eks Uskup Episkopalian di Rio Grande, Calon Ordinaris Personal Ordinariate di Amerika Serikat
Di Amerika, sebelum Anglicanorum Coetibus ini dikeluarkan, Gereja Katolik telah menerima banyak perpindahan umat Episkopalian (American Anglican) dan Anglikan yang menjadi Katolik hingga kemudian didirikanlah Paroki Our Lady of Atonement pada tahun 1983 yang berada di Texas untuk umat Episkopalian yang menjadi Katolik. Paroki ini adalah sebuah Paroki Katolik yang tetap mempertahankan Misa seturut tradisi Anglikan mereka. Paroki lain yang setipe dengan Paroki Our Lady of Atonement ini juga telah didirikan seperti Paroki St. Mary the Virgin dan Paroki Our Lady of Walsingham. Paska keluarnya Anglicanorum Coetibus, sama seperti yang terjadi di Inggris, sejumlah Uskup, Imam, Biarawan-biarawati dan umat awam Episkopalian dan Anglikan berpindah menjadi Katolik. Pada tanggal 1 Januari 2012 nanti, Gereja Katolik secara resmi akan mendirikan Ordinariat Personal bagi umat Katolik eks-Anglikan di Amerika Serikat . Rumor yang beredar, eks Uskup Episkopalian, Jeffrey Steenson, akan diangkat sebagai Ordinaris pertamanya. Jeffrey Steenson adalah mantan Uskup Rio Grande yang meninggalkan Gereja Episkopalian kala ia menjadi Uskup selama dua tahun pada tahun 2007 lalu dan sekarang menjadi Imam Gereja Katolik.

Berdasarkan info dari situs berita Virtue Online, sejumlah Paroki Episkopalian seperti Paroki St. Timotius di Texas dan Paroki St. Lukas di Bladensburg, Maryland telah berpindah menjadi Katolik sebagai antisipasi berdirinya Ordinariat Personal Anglikan bagi Amerika Serikat. Sebuah Kongregrasi Biarawati Episkopalian, All Saints Sisters of the Poor di Maryland, juga telah berpindah menjadi Katolik sebelum berdirinya Ordinariat Personal Anglikan bagi Amerika Serikat. Situs ini juga melaporkan bahwa di Rio Grande kemungkinan besar akan ada 67 Imam dan seorang atau dua orang Uskup Episkopalian yang akan menjadi Katolik dan bergabung sebagai barisan pertama dari Ordinariat ini. Sedangkan di seluruh Amerika, sejumlah kongregrasi biarawan/ti TAC juga bersiap untuk convert en masse (berpindah secara massal) menjadi Katolik dan bergabung dalam Ordinariat Personal ini.

Sekarang kita menunggu konversi besar-besaran yang sama di Kanada dan Australia dan mungkin juga di negara-negara lain yang memiliki umat Anglikan. Di Kanada sendiri,  Dua orang Imam Anglikan, Pater Lee Kenyon dan Pater John Wright, beserta 50 umat  yang mereka gembalakan dari Paroki  Anglikan St. Yohanes Penginjil di Calgary, Kanada, pindah secara massal menjadi Katolik pada tanggal 18 Desember 2011. Pater Lee Kenyon di situs The Anglo-Catholic menyatakan bahwa 90% umat parokinya setuju menjadi Katolik.  Informasi pers yang dirilis bersama oleh Keuskupan Katolik Calgary dan Keuskupan Anglikan Calgary menyatakan bahwa kelompok Anglikan yang menjadi Katolik ini akan menjadi sebuah Paroki Katolik ritus Anglikan (setipe dengan Paroki Our Lady of Atonement di atas) yang pertama di Kanada. 

Doa Yesus supaya �mereka menjadi satu� semakin terlihat nyata dengan usaha Bapa Suci Benediktus XVI membawa pulang umat Anglikan ke pangkuan Bunda Gereja Katolik. Inilah ekumenisme yang sejati, membawa umat Kristen non-Katolik kembali bersatu dengan Gereja Katolik dalam satu ajaran iman dan dalam satu persatuan yang kelihatan. Gereja Katolik sedang memanen buah hasil gerakan ekumenis yang benar. Setiap satu domba tersesat yang diselamatkan saja membawa kesukaan yang begitu besar di Surga dan di Bumi, apa lagi sampai ribuan seperti ini. Sekadar pertanyaan reflektif, apakah di Indonesia,  Gerakan Ekumenis yang dilakukan oleh banyak umat Katolik sudah sesuai dengan tujuan Gereja Katolik atau malah mengkompromikan iman Katolik kita sendiri?

Lihat juga Artikel :

Pax et Bonum

Friday, December 23, 2011

St. Nikolaus Meninju Wajah Si Penyesat

Ikonografi ini menggambarkan St. Nikolaus yang sedang meninju Si Sesat Arius pada Konsili Nicea 325 M
Santo Nikolaus dari Myra (sekarang masuk wilayah Turki), yang kita rayakan pada tanggal 6 Desember, dikenal sebagai seorang Uskup yang baik hati.  Ia dikenal salah satunya karena kebaikannya menolong tiga orang putri yang hendak dijual ayah mereka karena keluarga mereka kekurangan uang. Juga dilaporkan bahwa St. Nikolaus ini berusaha mengatasi kelaparan di wilayah keuskupannya dengan bersusah payah mendatangkan makanan dari luar keuskupannya. Dari kisah hidup dan segala kebaikan St. Nikolaus ini, dibuatlah sebuah tokoh kakek tua yang gemar berbagi hadiah kepada anak-anak kecil setiap Natal yang kita kenal dengan nama Santa Claus atau Sinter Klaas. Kisah tentang Santo Nikolaus dari Myra ini dapat anda sekalian baca lebih lanjut di situs Yesaya dan Iman Katolik. Tapi tahukah anda bahwa seorang Uskup yang baik hati ini pernah meninju seorang Imam?
Konsili Ekumenis Pertama, Konsili Nicea (325 M), dipanggil oleh Kaisar Constantine untuk membahas sebuah pengajaran sesat dari seorang Imam di Keuskupan Alexandria bernama Arius sekaligus menegaskan ajaran iman yang benar mengenai Ke-Allah-an Yesus Kristus (Banyak orang terpengaruh mitos bahwa Konsili Nicea 325 M mengangkat Yesus sebagai Allah padahal Yesus itu sejak awal mula adalah Allah. Konsili Nicea ini adalah Konsili yang diadakan untuk menegaskan ajaran iman yang benar yang sudah ada sebelumnya). Pengajaran Arius ini kita kenal dengan sebutan Arianisme. Arius mengajarkan bahwa Yesus Kristus, Sang Allah yang menjadi manusia, bukanlah Allah sepenuhnya melainkan hanya sebuah ciptaan pertama dari Allah Bapa.
Konsili Nicea ini, yang dipimpin oleh Uskup Hosius dari Cordova selaku wakil Paus St. Silvester, memanggil Arius ke tengah Konsili dan meminta ia untuk menjelaskan seluk beluk pengajarannya yang sesat itu. St. Nikolaus, Uskup Myra, tidak dapat menerima semua pengajaran sesat Arius yang tidak masuk akal itu dan tidak dapat menerima Yesus direndahkan dalam pengajaran sesat tersebut. Lalu, ia berdiri, berjalan ke arah Arius dan meninju wajah Arius. 
Hosius dari Cordova, Kaisar Constantine dan Para Uskup yang hadir di Konsili mengecam tindakan kekerasan Nikolaus melawan Arius. Mereka segera menurunkan St. Nikolaus dari tahta keuskupannya dengan menyita dua simbol yang menandai seseorang sebagai Uskup: Salinan Injil milik St. Nikolaus dan Pallium (vestment/jubah yang digunakan oleh Para Uskup di Timur) miliknya. St. Nikolaus kemudian dimasukkan ke dalam penjara.

Sekarang, bila demikian kisah akhir dari St. Nikolaus, kita mungkin tidak akan mengenal orang kudus ini dan tentu juga tidak akan mengenal tokoh yang dibangun dari St. Nikolaus, Santa Claus. Kemudian setelah St. Nikolaus diturunkan lalu dipenjarakan, Tuhan Yesus Kristus dan Santa Perawan Maria mengunjungi Nikolaus di dalam penjara karena tindakannya menampar sang penyesat, Arius. Tuhan Yesus Kristus bertanya kepada St. Nikolaus, �Mengapa kamu berada di sini?� Nikolaus menjawab �Karena saya mencintai Engkau, Tuhanku dan Allahku.� Kristus kemudian menyerahkan salinan Injil kepada St. Nikolaus. Kemudian, Perawan Maria memakaikan Pallium Uskup kepada St. Nikolaus. Dengan kedua tindakan ini, St. Nikolaus dikembalikan martabat dan posisinya sebagai seorang Uskup Gereja Katolik. Penggambaran mujizat terhadap St. Nikolaus ini digambarkan dengan ikon tradisional berikut:

Perhatikan Tuhan Yesus Kristus di kiri memegang salinan Injil dan Santa Perawan Maria di kanan memegang Pallium. Sementara di tengah, St. Nikolaus yang telah menggunakan Pallium dan memegang salinan Injil.
  
Ketika Para Uskup dan Kaisar Konstantinus di Konsili mendengar mujizat ini, Konsili segera memerintahkan supaya Nikolaus dikembalikan posisinya sebagai Uskup dengan reputasi baik di dalam Konsili Nicea ini. Syahadat Panjang / Syahadat Nicea Konstantinopel yang kita daraskan merupakan salah satu hasil Konsili Nicea ini (bersama Konsili Konstantinopel I). Para Uskup di Nicea berada di pihak St. Athanasius Agung dan St. Nikolaus mengutuk ajaran sesat Arianisme oleh Arius dan menegaskan ajaran yang benar mengenai Yesus Kristus seperti yang tercantum dalam kutipan Syahadat Panjang / Kredo Nicea-Konstantinopel berikut ini:
�Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang mahakuasa,
pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan;
dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad,
Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan,
sehakikat dengan Bapa;
segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. ...�

Sebuah gambar yang menggambarkan kejadian legendaris tersebut menutup artikel ini: St. Nikolaus di kiri sedang mempersiapkan tinjuannya berjalan menuju ke arah Arius dengan tangan di atas. Orang yang berada di tahta tersebut adalah Kaisar Konstantinus. Santo Nikolaus dari Myra, doakanlah kami.
Catatan: Artikel ini ditulis bukan untuk membenarkan tindakan pemukulan terhadap mereka yang menyesatkan tetapi untuk menceritakan salah satu bagian dari kisah hidup St. Nikolaus yang jarang atau mungkin belum pernah kita dengar.

Sumber gambar:  Cantebury Tales, sebuah blog milik Dr. Taylor Marshall, Katolik eks Imam Anglikan. 
Lihat juga mengenai Kaisar Konstantinus dan Konsili Nicea pada Artikel Ini.

Pax et Bonum



Tuesday, December 20, 2011

Sejarah Hari Natal

Ikon Kelahiran
Banyak yang berpikir bahwa Natal adalah adopsi atas tradisi pagan, namun fakta sejarah Natal tidak berbicara demikian. Asal-usul Hari Natal itu berasal dari tradisi historis dalam Gereja Katolik sendiri.

Gereja menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Hari Raya Natal untuk merayakan Hari Kelahiran Yesus Kristus. Gereja Katolik telah merayakan Natal sejak abad-abad pertama Gereja Katolik hadir. Daniel Rops, seorang sejarawan dari Prancis, mengatakan bahwa pada masa penganiayaan Gereja Katolik sampai keluarnya Edict Milan (313) yang memberikan kebebasan beragama kepada Gereja Katolik, umat Katolik telah merayakan Natal secara sembunyi-sembunyi di Katakombe-katakombe (makam bawah tanah) yang ada di Kekaisaran Romawi.  [Daniel Rops, Pri�res des Premiers Chr�tiens, Paris: Fayard, 1952, pp. 125-127, 228-229].

Mendukung pernyataan Daniel Rops ini, saya tampilkan sebuah lukisan fresco abad ke-2 dari Gereja Katakombe St. Priscilla di Roma yang menggambarkan Nativity of Christ atau Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus. 

Lukisan Fresco Kelahiran Yesus Kristus dari abad ke-2 di Katakombe St. Priscilla di Roma
Sebagaimana bukti sejarah yang dikutip oleh Hospinian; Bapa Gereja Teofilus, Uskup Caesarea di Palestina (115-181 M), yang hidup dalam masa pemerintahan Kaisar Commodus mungkin adalah orang pertama yang secara eksplisit memberikan pernyataan mengenai Natal: 
�Kita harus merayakan hari kelahiran Tuhan kita pada tanggal 25 Desember yang akan berlangsung.� [Magdeurgenses, Cent. 2.c.6. Hospinian, de Origin Festorum Christianorum]
Sextus Julius Africanus (220 AD), walau tidak berbicara mengenai adanya perayaan Natal, ia secara implisit menyatakan bahwa 25 Desember sebagai tanggal kelahiran Kristus. Dalam bukunya Chronographia, ia mengatakan bahwa dunia diciptakan pada tanggal 25  Maret berdasarkan kronologi Yahudi dan sejarah Kristen Perdana. Ia mengatakan bahwa pada tanggal 25 Maret ini, Sang Firman Allah menjelma menjadi manusia; hal ini membuat sense simbolis yang sempurna karena pada saat Penjelmaan ini, penciptaan yang baru dimulai. Berdasarkan Julius Africanus, karena Sang Firman Allah menjelma menjadi manusia sejak masa Dia dikandung oleh Perawan Maria, hal ini berarti setelah 9 bulan, Sang Firman Allah yang telah menjadi manusia itu lahir pada tanggal 25 Desember.

St. Hipolitus dari Roma, pentobat yang dulunya seorang anti-Paus pada masa penggembalaan Paus St. Zephyrinus, Paus St. Kallistus I, Paus St. Urbanus I dan Paus St. Pontianus, secara eksplisit juga menyatakan bahwa Yesus Kristus lahir pada tanggal 25 Desember:
Untuk kedatangan pertama Tuhan kita dalam daging, [terjadi] ketika Ia lahir di Betlehem, eight days before the kalends of January (25 Desember), hari keempat (Rabu) dalam minggu ketika Augustus (kaisar Romawi) dalam 42 tahun [pemerintahannya] tetapi dari Adam 5500 tahun. Ia (Yesus) menderita pada [usia] 33 tahun, eight days before the kalends of April (25 Maret), tahun kelimabelas Kaisar Tiberius ketika Rufus dan Roubellion dan Gaius Caesar, untuk keempat kalinya, dan Gaius Cestius Saturninus menjadi konsul [di Roma]. (St. Hippolytus of Rome (c. 225 AD), Commentary on Daniel 4.23.3)

Sedangkan, Bapa Gereja Yohanes, Uskup Nicea, memberitahu kita bahwa Paus St. Julius I (336-352) dengan bantuan tulisan-tulisan dari sejarawan Yahudi, Josephus, telah memastikan bahwa Kristus lahir pada tanggal 25 Desember.

Pada akhir abad keempat, Uskup Epifanius dari Salamis (salah satu sejarahwan Gereja) memberikan kronologi kehidupan Tuhan Yesus Kristus di mana menurut Kalender Julian (saat ini Gereja Katolik Roma menggunakan Kalender Gregorian) tanggal 6 Januari adalah hari kelahiran Tuhan dan 8 November adalah hari pembaptisan Tuhan di Sungai Yordan.

Pada permulaan abad kelima, biarawan terpelajar, St. Yohanes Kassianus dari Konstantinopel, pergi ke Mesir untuk mempelajari peraturan-peraturan biara di sana. Antara tahun 418 hingga 425, St. Yohanes Kassianus menulis laporan pengamatannya. Dia memberitahukan kita bahwa uskup-uskup di wilayah itu, pada masa tersebut, menganggap Pesta Epifani (Penampakan Tuhan) sebagai hari kelahiran Tuhan dan tidak ada perayaan terpisah dalam menghormati kelahiran Tuhan. Dia menyebut hal ini �tradisi kuno�. Kebiasaan lama ini segera memberi jalan bagi tradisi baru. Sementara mengunjungi St. Sirillus, Patriark Alexandria; Uskup Paulus dari Emesa berkhotbah pada perayaan kelahiran Tuhan Yesus pada 25 Desember tahun 432 M. Natal telah diperkenalkan kepada Mesir sebelum waktu kunjungan ini, dapat dikatakan sekitar 418 dan 432 M dan peristiwa ini menjadi bukti kuat berdasarkan kalender yang telah ada.

St. Gregorius dari Nazianzus, Bapa Gereja dan Uskup, selama tinggal di daerah Seleucia di Isauria (Turki sekarang) merayakan Natal untuk pertama kalinya di Konstantinopel pada tanggal 25 Desember 379.
St. Yohanes Krisostomos

St. Yohanes Krisostomos, Bapa Gereja dan Uskup, berkhotbah di Antiokia pada tanggal 20 Desember 386 dan karena kefasihan pewartaannya, ia berhasil mengajak umat beriman untuk menghadiri Natal 25 Desember 386. Sejumlah besar umat beriman hadir di Gereja ketika Natal dirayakan. Kita memiliki salinan khotbah St. Yohanes Krisostomos. Pada Pengantar khotbah, ia berkata bahwa ia berharap dapat berbicara kepada mereka mengenai perayaan Natal yang telah menjadi kontroversi besar di Antiokia. Dia mengusulkan kepada para pendengarnya untuk menghormati dan merayakan Natal dengan tiga dasar: Pertama, karena Natal telah menyebar dengan cepat dan pesat dan telah diterima dengan baik di berbagai daerah. Kedua, karena waktu pelaksanaan sensus pada tahun kelahiran Yesus dapat ditentukan dari berbagai dokumen kuno yang tersimpan di Roma; Ketiga, waktu kelahiran Tuhan Yesus dapat dihitung dari peristiwa penampakan malaikat kepada Zakarias, ayah Yohanes Pembaptis, di Bait Allah. Zakarias, sebagai Imam Agung, masuk ke dalam Tempat Mahakudus pada Hari Penebusan Dosa Yahudi (The Jewish Day of Atonement). Hari tersebut jatuh pada bulan September menurut kalender Gregorian. Enam bulan sesudah peristiwa ini, malaikat Gabriel datang kepada Maria dan sembilan bulan kemudian Yesus Kristus lahir, yaitu pada bulan Desember. St. Yohanes Krisostomos menyimpulkan khotbahnya dengan sanggahan telak terhadap orang-orang yang menolak bahwa Sang Allah telah menjadi manusia dan tinggal di dunia. St. Yohanes Krisostomos, dengan mengacu pada khotbah di atas, mengatakan dengan jelas bahwa pada masa tersebut, ketika perayaan Natal diperkenalkan di Timur, Natal telah dirayakan di Roma lebih dulu.

Melihat pemaparan di atas, saya sangat yakin bahwa Tuhan Yesus sungguh lahir pada tanggal 25 Desember. Tetapi saya juga sangat sadar bahwa Natal bukan sekadar soal tanggal lahir Tuhan Yesus.

Banyak orang-orang yang menolak dan skeptis terhadap Natal berusaha untuk mendiskreditkan Natal bahkan membuat mitos bahwa Natal adalah hasil adopsi dari perayaan pagan bernama Dies Natalis Solis Invicti yang sebenarnya ditetapkan Kaisar Aurelianus pada 25 Desember 274 untuk menandingi Natal Gereja Katolik. Bagaimanapun juga, pendiskreditan ini menunjukkan kesalahpahaman mengenai tentang apa itu Natal. Dalam Gereja, Natal adalah sebuah Hari Raya yang ditetapkan oleh Gereja untuk merayakan dan mengenang bahwa Allah  yang menjadi manusia tanpa kehilangan ke-Allah-anNya kini telah lahir untuk menyelamatkan kita dari dosa dan menebus dunia. Allah yang mahakasih itu menjadi seorang bayi kecil, lahir dari rahim seorang Perawan untuk membebaskan kita dari kematian dan dosa, inilah yang dinubuatkan Para Nabi di Perjanjian Lama.

Mereka yang menolak  atau skeptis terhadap Natal berpikir terlalu banyak mengenai istilah teknis dan angka-angka sedangkan mereka kehilangan makna dari Natal itu sendiri. Makna Natal bukanlah mengenai akte kelahiran lengkap dengan isinya, tetapi mengenai cinta kasih dari Allah yang telah menjadi manusia bagi kita.

Demikianlah secara singkat asal-usul Perayaan Natal yang kita rayakan 25 Desember setiap tahunnya. Perayaan Natal memang memiliki asal usul yang sangat tua dan telah dirayakan sejak zaman Gereja Perdana. Natal bukanlah perayaan pagan yang diadopsi masuk ke dalam Kekristenan, tetapi Natal adalah Perayaan Misteri Iman yang berasal dari dalam Kekristenan itu sendiri.


dikembangkan dari Newsletter of Pope John Paul II Society of Evangelists December 2007, Christmas Was Never a Pagan Holiday by Marian T. Horvath, dan berbagai sumber-sumber minor lainnya.