Latest News

Showing posts with label Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Liturgi. Show all posts

Wednesday, November 21, 2012

Ekaristi Kaum Muda � Marak Pelanggaran Liturgi



Ekaristi Kaum Muda
Beberapa waktu lalu saya membuat status dan membagikannya di wall facebook pribadi saya mengenai sebuah pelanggaran liturgi yang terjadi dalam Ekaristi Kaum Muda di sebuah paroki. Ekaristi Kaum Muda sendiri adalah Perayaan Ekaristi yang kerap disesuaikan dengan selera kaum muda sehingga seringkali terjadi pelanggaran liturgi. Berikut ini isi statusnya:

Sekarang sejumlah orang Katolik berpikir bahwa dengan memasukkan unsur-unsur seperti dangdut, band, lagu-lagu rohani populer, drama dan sebagainya ke dalam Perayaan Ekaristi; mereka telah memuliakan Tuhan, telah memuji Tuhan, dan telah menyenangkan hati Tuhan. Padahal, dengan demikian mereka telah melukai kurban Kristus dan jantung Gereja. Saya orang muda dan saya tidak suka dan tidak setuju Ekaristi diutak-atik seturut selera kaum muda.�
Semua orang di status itu berkomentar menolak masuknya unsur-unsur di atas karena tidak lagi sesuai dengan identitas Misa Kudus Katolik. Salah seorang Imam Katolik yang concern dengan masalah pelanggaran liturgi ini ikut memberikan komentar yang menarik (dengan huruf kapital berarti penekanan).
TITIK TOLAK MASALAHNYA adalah PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN. (1) Kalau Perayaan Ekaristi dipahami dan dihayati sebagai DOA RESMI Gereja Katolik di mana kita menjadi anggotanya, maka kita seharusnya mencari tahu dan melakukan mana yg menjadi jiwa dan rambu-rambu normatifnya.
(2) Kalau Perayaan dipahami dan dihayati sebagai SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita, ya jadilah KREATIVITAS  INDIVIDUAL atau KOMUNAL tanpa mengindahkan lagi apa yang menjadi jiwa dari Ekaristi itu.

SEBAGAI PERBANDINGAN: saudara-saudari orang Muslim memahami dan menghayati SHOLAT sebagai KEWAJIBAN SUCI yang harus dilakukan setepat mungkin dan sebagai WUJUD SIKAP MENYEMBAH-HORMAT-TAAT KEPADA ALLAH, dan bukan sebagai sebuah acara yang harus mereka ciptakan sendiri. Oleh karena itu orang muslim tidak pernah berpikir bagaimana menciptakan sholat yang sesuai dengan budaya/selera/apa yang sedang populer/ngetrend. Kebanyakan agama seperti itu. Hanya orang-orang Katolik sendiri yang berpikir untuk mengubah doa resmi. Orang Pentakostal memang tidak memiliki norma baku untuk peribadatan; jadi mereka bebas.
Sekarang kita lebih sering melihat Pemahaman dan Penghayatan nomor 2 yaitu Ekaristi dipandang sebagai sebuah acara yang diciptakan untuk menampung selera dan aspirasi kita. Sebagai seorang muda Katolik, saya melihat orang-orang muda Katolik sekarang lebih menyukai hal-hal yang bebas, meriah dan fun dan akhirnya Misa Kudus menjadi objek untuk pemenuhan selera ini. Hal ini terlihat dari brosur-brosur Ekaristi Kaum Muda yang selama ini saya lihat menampilkan informasi bahwa akan ada tari-tarian modern dan pentakostal di dalam Misa Kudus serta akan ada drama sebagai pengganti homili. Ketika membaca brosur-brosur ini, saya dan juga sejumlah orang muda Katolik yang concern dengan pelanggaran liturgi mempertanyakan: �Apakah Ekaristi Kaum Muda itu sungguh Misa yang katolik? Atau sudah menjadi sebuah perayaan ibadah denominasional?�

Uskup Agung Rino Fisichella berkata bahwa Gereja harus mempelajari language of youth � bahasa kaum muda. �Seseorang tidak dapat berbicara kepada orang-orang muda Kristus tanpa berbicara mengenai kebebasan seperti yang kaum muda sekarang telah tempatkan dalam kultur mereka, tetapi kebebasan haruslah selalu dalam hubungan dengan kebenaran karena kebenaranlah yang menghasilkan kebebasan.� Memang benar bahwa kebebasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur orang muda Katolik sekarang ini dan Gereja harus mempelajari ini. Tapi orang muda Katolik sendiri harus tahu bahwa tidak pernah ada kebebasan yang mutlak. Kebebasan itu pasti ada batasnya, termasuk dalam Misa Kudus. Orang Muda Katolik tidak bisa seenaknya memasukkan unsur-unsur tertentu yang tidak sesuai dengan jiwa Ekaristi ke dalam Misa Kudus. Kaum Muda Katolik harus mengetahui bahwa Ekaristi memiliki norma-norma resmi yang harus ditaati, yang harus dipegang setia dan tidak boleh dilanggar. Pertanyaannya, apakah kaum muda Katolik mau mempelajari hal ini juga? Kita kaum muda Katolik hendaknya jangan hanya menuntut �Gereja harus mempelajari kami, mengenal kami dan menyesuaikan dengan kami.�, tapi juga mempertanyakan kepada diri kita sendiri, �Apakah saya sudah mempelajari, mengenal dan taat kepada Gereja dan ajarannya?�.

Lalu, muncul pertanyaan dari saya: Bila mengetahui bahwa Misa Kudus tidak bisa dimasukkan unsur-unsur seperti tari-tarian, drama, aksi teatrikal, band dan lain-lain, mengapa tidak mengadakan acara sesudah Misa untuk mengakomodir unsur-unsur tersebut dan membiarkan Misa tetap apa adanya sesuai norma resmi yang berlaku? Bukankah lebih tepat bila acara itu dilakukan sesudah Misa Kudus? Melihat hal ini, semakin nyatalah Pemahaman dan Penghayatan Nomor 2 di atas:  �Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.�

Pasti ada juga yang memberikan tanggapan: �Romo atau Uskup memperbolehkan unsur-unsur tari-tarian, drama, dll itu ada di Ekaristi Kaum Muda. Jangan ya sah-sah saja dong dimasukkan.� Memang banyak yang berlindung di balik jubah imam dan uskup atas pelanggaran liturgi yang terjadi termasuk pelanggaran liturgi oleh Ekaristi Kaum Muda. Tetapi, saya melihat selama ini unsur-unsur itu diajukan terlebih dahulu oleh petugas yang menyusun liturgi EKM itu, dan atas pertimbangan atau bisa jadi desakan tertentu, kaum tertahbis memperbolehkannya. Saya pikir, seandainya unsur-unsur ini tidak diajukan, maka tidak akan kita jumpai unsur-unsur tersebut dalam Perayaan Ekaristi dan dengan demikian tidak terjadi pelanggaran liturgi. Motivasi pengajuan unsur-unsur ini dapat kita simpulkan yaitu �Misa adalah SEBUAH ACARA YG HARUS KITA CIPTAKAN untuk menampung selera dan aspirasi kita.�

Haruskah kita marah kepada imam atau uskup yang memperbolehkan tari-tarian, drama, band dll dalam Ekaristi Kaum Muda? Lebih tepatnya, kita menyayangkan hal ini terjadi. Kaum tertahbis yang harusnya bisa menjadi penjaga liturgi malah membiarkan �musuh� masuk ke dalam. Seharusnya imam dan uskup harus lebih tegas dan peduli terhadap liturgi, jangan lupakan bahwa Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja masa sekarang. Kita bersyukur bahwa Paus Benediktus XVI peduli pada liturgi Gereja. Imam dan uskup juga harus memulai katekisasi mengenai liturgi di paroki masing-masing terutama kepada kaum muda sehingga kaum muda lebih tahu mengenai liturgi dan menyadari bahwa liturgi adalah doa resmi dan tindakan Gereja yang tidak bisa seenaknya diutak-atik seturut selera kaum muda. Homili Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Uskup Agung Filipazzi, menarik untuk dibaca ulang. Salah kutipan penting: �Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.�

Akhirnya, baik kaum tertahbis (uskup dan imam) maupun kaum muda Katolik haruslah menjalankan Pertobatan Liturgis, sebuah pertobatan yang dimulai dari ketaatan dan penyangkalan terhadap selera pribadi. Pertobatan Liturgis harus dimulai dari sekarang, dimulai dari setiap pribadi Katolik.  Kardinal Canizares mengatakan: �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar� dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� Tentu kita tidak ingin bila Misa Kudus yang harusnya meneguhkan iman kita malah membuat lemah iman kita dikarenakan Misa diadakan untuk memenuhi selera kita sendiri. Mohonkanlah rahmat dari Allah agar kita semua bisa melaksanakan pertobatan liturgis ini demi Bunda Gereja yang kudus, Gereja Katolik.

Pax et Bonum,
Indonesian Papist, Orang Muda Katolik dari Keuskupan Agung Pontianak


Friday, March 2, 2012

Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja Saat Ini


His Holiness Benedict XVI
Sejak 2 tahun lalu terjun dalam bidang apologetika dan katekese dunia maya, saya kerapkali melihat laporan terjadinya Pelecehan Liturgi dalam Ekaristi dari teman-teman atau dari para anggota fanspage Katolik berbahasa Indonesia yang ada di facebook. Tidak jarang akhirnya muncul perdebatan-perdebatan antara yang menghendaki Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja dengan yang tidak terlalu mempedulikan Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja. Di samping itu, sejumlah blog dan situs luar yang concern terhadap Pelecehan Liturgi seperti Rorate Caeli, New Liturgical Movement, dan What Do The Prayer Really Says juga sering mempublikasikan Pelecehan-Pelecehan Liturgi yang terjadi di luar Indonesia, mulai dari pelecehan ringan hingga pelecehan berat.

Ironisnya, sejumlah denominasi-denominasi Protestan yang liturginya berakar pada Katolisitas justru ternyata lebih setia dan taat pada aturan liturgi mereka, sebut saja denominasi Grace Lutheran Church, denominasi Anglican Church dan Episcopalian Church. Akhirnya muncullah kalimat-kalimat dari sejumlah orang Katolik yang peduli Liturgi bahwa denominasi-denominasi ini �lebih Katolik daripada Gereja Katolik sendiri.�


Apakah terlalu jauh mengatakan bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja saat ini? Tidak sama sekali. Paus Benediktus XVI, para kardinal dan uskup justru mengamini pernyataan ini. Mari kita lihat:
A young priest recently told me: "Today we need a new liturgical movement". He was expressing a desire, these days, only deliberately superficial souls would ignore. What matters to that priest is not the conquest of new, bolder liberties. For, where is the liberty that we have yet to arrogate ourselves? That priest understood that we need a new beginning born from deep within the liturgy, as liturgical movement intended. In its practical materialization, liturgical reform has moved further away from this origin. The result was not re-animation but devastation. [1]
Di sini Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa pembaharuan Liturgi di era modern ini berjalan terlalu jauh dari yang aslinya. Akibatnya adalah sebuah penghancuran.
A renewal of liturgical awareness, a liturgical reconciliation that again recognises the unity of the history of the liturgy and that understands Vatican II, not as a breach, but as a stage of development: these things are urgently needed for the life of the Church. I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council. [2]
Di sini Kardinal Ratzinger (Bapa Suci Benediktus XVI) menyatakan bahwa krisis di dalam Gereja yang dialami sekarang sebagian besar disebabkan oleh disintegrasi Liturgi.

Selain pernyataan Bapa Suci Benediktus XVI di atas, Msgr. Georg Ratzinger, saudara tua Paus Benediktus XVI juga melihat bahwa fokus dari Bapa Suci Benediktus XVI yang paling utama adalah Liturgi. Dalam wawancaranya dengan Catholic News Service, Beliau memaparkan:
Tapi dia (Benediktus XVI), tentu saja, sangat peduli bahwa Liturgi harus dirayakan dengan layak dan dirayakan dengan benar. Memang, itu adalah masalah sejati. Music director keuskupan kami baru-baru ini mengatakan bahwa tidak mudah saat ini untuk menemukan sebuah gereja di mana sang imam merayakan Misa-nya sesuai dengan peraturan gereja. Ada begitu banyak imam yang berpikir mereka harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana. Jadi saudara saya (Benediktus XVI) menginginkan keteraturan, Liturgi yang baik yang menggugah orang-orang secara batiniah dan dipahami sebagai panggilan dari Allah. [3]
Selanjutnya, Kardinal Koch, Presiden Komisi Pontifikal untuk Promosi Persatuan Kristen menyatakan demikian:
Present day liturgical practice does not always have any real basis in the Council. For example, celebration versus populum was never mandated by the Council, says the Cardinal. A renewal of the form of divine worship is necessary for the interior renewal of the Church: Since the crisis of the Church today is above all a crisis of the liturgy, it is necessary to begin the renewal of the Church today with a renewal of the Liturgy. [4]
Kardinal Koch malah memberikan pernyataan yang eksplisit bahwa krisis Gereja sekarang di atas semuanya adalah Krisis Liturgi dan pembaharuan Gereja sekarang perlu dimulai dari pembaharuan Liturgi. Kardinal Koch mengatakan hal ini di fakultas teologi Universitas Freiburg, sebuah universitas dengan teologi yang �progresif�.

Di samping Paus Benediktus XVI dan Kardinal Koch, pejabat tinggi Vatikan lainnya, Kongregasi untuk Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen mengeluarkan instruksi Redemptionis Sacramentum pada 25 Maret 2004 yang dilatarbelakangi oleh maraknya Pelecehan Liturgi. Hal ini menegaskan bahwa Gereja memang mengalami Krisis Liturgi:
�Dalam hal ini tidaklah mungkin untuk diam mengenai pelecehan-pelecehan [liturgi], bahkan [pelecehan] yang sungguh serius, terhadap kodrat liturgi dan sakramen-sakramen serta tradisi dan otoritas Gereja, yang di masa kita tak jarang mengganggu perayaan liturgi di satu lingkungan gerejani atau yang lainnya. Di beberapa tempat perbuatan Pelecehan Liturgis hampir telah menjadi kebiasaan, suatu fakta yang jelas tidak dapat dibiarkan dan harus berhenti.� (Redemptionis Sacramentum 4)
Sungguh tepat bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Universal saat ini. Krisis Liturgi ini dimanifestasikan dalam bentuk Pelecehan Liturgi selama Perayaan Ekaristi. Sebenarnya mengapa Liturgi ini begitu penting dan suci sehingga pelecehan terhadapnya menjadi sebuah krisis utama Gereja?  Mari kita melihat hal ini berdasarkan pengajaran Gereja:

Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama. (Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium 7).

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Liturgi pertama-tama merupakan karya imamat Yesus Kristus serta tindakan Gereja. Sacrosanctum Concilium 6 juga mengatakan bahwa karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja dilaksanakan dalam Liturgi. Nah, dengan demikian pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan terhadap karya imamat Kristus dan tindakan Gereja. Di samping itu, karena Liturgi tidak bisa terpisahkan dari Ekaristi, maka setiap pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan juga terhadap jantung Gereja Katolik, yaitu Kurban Ilahi Ekaristi (Divine Sacrifice of Eucharist). [5] Apa yang seringkali tidak disadari oleh umat Katolik sekarang ini adalah Kurban Kristus dan Kurban Ilahi Ekaristi adalah satu kurban. Ekaristi itu satu kurban Kudus dan Ilahi yang menghadirkan kembali kurban Kristus di salib (bdk. KGK 1330 dan KGK 1366). Oleh karena itu, sungguh sangat tepat mengatakan bahwa Krisis Liturgi merupakan krisis utama dan terbesar Gereja karena Krisis Liturgi ini juga menyerang kurban Kristus di salib.

Adalah sesuatu yang menyedihkan dan memprihatinkan melihat kondisi Perayaan Ekaristi dengan Pelecehan Liturgi yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia.  Pelecehan Liturgi telah menjadi hal umum yang dijumpai hampir setiap Minggu dan begitu banyak orang tidak terlalu peduli akan hal ini. Lebih tragisnya, pelecehan yang terus-menerus ini kemudian dianggap sebuah kebiasaan dan dibenarkan. Apa yang terjadi di masa sekarang adalah Liturgi menjadi milik Para Imam dan Umat. Liturgi yang sudah dipromulgasikan oleh Gereja Katolik dengan berdasar pada Kitab Suci dan Tradisi Apostolik kemudian dinodai oleh berbagai bentuk Pelecehan Liturgi baik yang dilakukan oleh kaum tertahbis maupun oleh awam.

Apa saja penyebab terjadi begitu banyak Pelecehan Liturgi? Ada banyak penyebabnya dan bisa jadi begitu kompleks. Berdasarkan pengalaman saya, penyebab-penyebabnya antara lain:

1. Selebran Perayaan Ekaristi (Uskup atau Imam) melupakan tugas mereka sebagai Pelayan Liturgi bukan Pemilik Liturgi. Seperti kata Monsinyur Georg Ratzinger di atas, mereka merasa harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang terjadi tidak lain adalah improvisasi dan inkulturasi Liturgi yang seringkali sangat parah dan kebablasan. Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Monsinyur Antonio Guido Filipazzi mengatakan:
�Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.� [6]
Sang Uskup dan Imam pun harus berani menegur dan bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi di sekitar mereka. Membiarkan Pelecehan Liturgi terjadi tanpa ada teguran dan koreksi akan menjerumuskan umat. �Romo gak marah, gak ngelarang tuh, Romo juga gak bilang ini salah, lalu mengapa kamu sok tahu bilang ini salah itu salah?� Kalimat seperti ini akan sering terdengar dari umat atau tim liturgi kala ditegur akibat kekeliruan mereka bila Uskup atau Imam tidak bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi. Ingat, menjadi pelayan Liturgi berarti juga melindungi Liturgi dari pelecehan.

2. Kurangnya Katekese mengenai Liturgi. Ini merupakan problem mendasar yang dialami umat. Ketidaktahuan akan Liturgi serta terjadi pembenaran kebiasaan yang keliru membuat umat tidak menyadari batasan-batasan dalam Liturgi. Tim Liturgi Paroki yang terkadang kurang kompeten juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Pelecehan Liturgi. Sebenarnya, melalui homili, imam atau uskup pun bisa menyisipkan berbagai materi katekese mengenai Liturgi yang dapat menambah wawasan umat. Tidak hanya umat yang mengalami minimnya katekese mengenai Liturgi, sejumlah imam pun mengakui bahwa mereka baru mengetahui Pedoman Umum Missale Romanum (Pedoman Gereja Katolik untuk Perayaan Ekaristi, red) setelah beberapa tahun menjadi imam. Kualitas pendidikan mengenai Liturgi di seminari pun harus ditingkatkan kualitasnya bila tidak mau Liturgi terus-menerus dilecehkan.

3. Prinsip �Yang Penting Hati�. Banyak Kaum Tertahbis dan awam senang sekali membenarkan Pelecehan Liturgi dengan kata-kata �yang penting hatinya�. �Gak apa-apa toh, yang penting hatinya.� �Ya sudah, gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.� Prinsip �yang penting hatinya� ini tidak pernah menjadi prinsip Gereja apalagi diajarkan oleh Gereja dan Kitab Suci. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah �Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (emosional) dan dengan segenap jiwamu (spiritual) dan dengan segenap akal budimu (rasional) dan dengan segenap kekuatanmu (fisikal).� (Mrk 12:30). Inilah empat pilar pondasi kasih sejati dalam mengasihi Allah: emosional, rasional, spiritual, fisikal. Prinsip �Yang penting hati� mereduksi cinta yang seharusnya utuh diberikan kepada Allah dalam Liturgi. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang menghindari prinsip �yang penting hati� dan berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah karena Allah telah lebih dulu memberikan yang terbaik buat kita.

4. Ego manusia. �Misa itu membosankan.� �Lagunya gitu-gitu aja, gak berubah.�  �Gimana kalau Homili diganti drama aja biar gak ngantuk?� Banyak tim Liturgi akhirnya menyerah pada ego manusia dan kemudian memasukkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Liturgi. Atau malah Imamnya sendiri ditodong menjelang Perayaan Ekaristi, �Mo, ntar lagunya pop rohani begini-begini begitu ya, Mo. Ntar ada tambahan ini dan itu.�, dll. Akhirnya, Perayaan Ekaristi pun berjalan sesuai keinginan umat, bukan seturut kehendak Gereja. Akhirnya, Perayaan Ekaristi diadakan sesuai dengan selera umat, bukan seturut aturan Gereja. Pelecehan Liturgi pun terjadi. Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris berkata:
�Liturgi adalah tidak pernah menjadi milik saya sendiri, atau ciptaan saya. Ini adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita dari Allah Bapa. Maka dari itu, selera saya sendiri, kecondongan saya sendiri, kepribadian saya, pandangan saya sendiri mengenai eklesiologi, [perlu] dikesampingkan dan tidak penting. ... [Liturgi] tidak pernah digunakan sebagai bentuk ekspresi diri.Yang benar adalah sebaliknya, � Misa adalah tindakan Gereja. Itu yang penting, [dan] bukan pendapat saya.� [7]
Dalam pernyataan ini, Uskup Agung Nichols menekankan bahwa siapapun, baik kaum tertahbis maupun awam, harus meninggalkan  ke-aku-an mereka di dalam Perayaan Ekaristi. Ego-ego seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Ingatlah bahwa ego pribadi bisa menjadi berhala yang menjauhkan kita dari Allah. Contohnya: Karena merasa bosan ikut Perayaan Ekaristi, banyak orang Katolik �jajan� ke kebaktian Protestan yang lebih meriah dan asyik. Tanpa disadari, karena ego mereka ini, mereka telah menjauh dari Allah. Mereka lebih memilih hadir di kebaktian Protestan ketimbang menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri dalam Perayaan Ekaristi.

Pelecehan Liturgi di samping merupakan pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus, juga menyebabkan melemahnya iman. Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat liturgi, Misa [yang dilaksanakan] akan mengakibatkan hilangnya iman,� demikian kata Kardinal asal AS Raymond L. Burke, Ketua Mahkamah Agung Vatikan. Kardinal Canizares, Kepala Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen Gereja Katolik, mengatakan hal senada dengan Kardinal Burke, �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� [8]

Bagaimana bisa Pelecehan Liturgi menyebabkan melemahnya iman? Saya pernah membahasnya di artikel ini. Berikut pemaparannya:
Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan Pelecehan Liturgi akan membenarkan pelecehan tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera umat" perlahan tapi pasti semakin membuat umat merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Umat akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika umat merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat.

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat umat lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, umat yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas. Misa yang buruk jelas melemahkan iman umat, baik yang taat maupun yang tidak taat.
Kesimpulannya, Krisis Liturgi sungguh merupakan krisis utama Gereja Katolik saat ini. Krisis ini mempengaruhi Gereja secara luas dan perlu dihentikan. Peran serta kaum tertahbis maupun awam sangat diperlukan untuk meredakan Krisis Liturgi ini. Di samping itu, baik kaum tertahbis maupun awam memanglah harus kaku, taat, disiplin dan setia terhadap aturan-aturan Liturgi itu sendiri. Hendaklah kekakuan, ketaatan, kedisiplinan dan kesetiaan ini dipandang sebagai bentuk kasih kepada Allah dalam Ekaristi dan juga kasih kepada Gereja. Tanamkanlah dalam pikiran kita bahwa Ekaristi adalah Kurban untuk pereda kemarahan Allah dan pendamai hubungan kita dengan Allah yang rusak karena dosa-dosa kita. Dengan melecehkan Liturgi dan Ekaristi yang adalah anugerah Allah, bukankah kita justru telah menyakiti hati Allah?

Sementara kita harus memaklumi sulitnya menerapkan Liturgi yang baik dan benar di daerah pedalaman Indonesia karena sulitnya akses informasi, kita tetap harus mendorong pembaharuan Liturgi di daerah-daerah kota yang sudah memiliki akses informasi yang jauh lebih baik. Dengan begini, akan tercapai sebuah Perayaan Ekaristi yang indah dan berkenan di hati Allah. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.� (Luk 16:10)


Referensi dan Sumber:
[1]. Cardinal Ratzinger (kemudian Paus Benediktus XVI), Condensed from the 30 Days printing of Cardinal Ratzinger's preface to La Reforme liturgique en question, by Klaus Gamber, Editions Sainte-Madeleine.
[2]. Cardinal Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927 � 1977 The Regensburg Years
[5]. Istilah �Kurban Ilahi Ekaristi� diambil berdasarkan Sacrosanctum Concilium 2.

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap Paus Benediktus XVI, Paus Liturgi. Pax et Bonum

Tuesday, February 21, 2012

Gambar Minggu Ini - Pemberian Abu

Gambar Rohani Rabu Abu
Rabu Abu
Gambar di atas mengisahkan momen pada saat umat menerima abu tanda pertobatan dari seorang Uskup pada abad pertengahan. Kalimat �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� (Kej 3:19) diucapkan Sang Uskupp kala ia menandai umat dengan abu. Kalimat di atas aadalah kalimat yang tertua dan ppertama yang digunakan dalam Hari Rabu Abu.

Warna Liturgi: Ungu
Tipe Hari Raya : Hari Berpuasa dan Berpantang
Waktu dalam Tahun Liturgi: Hari Pertama Masa Prapaskah (Kalender Gereja Katolik Roma)
Durasi: Satu Harii
Perayaan/Simbolisasi: Pertobatan, Berkabung, Kerendahan Hati
Nama Lain: Dies Cinerum (Hari Abu)
Referensi Kitab Suci: Matius 4:1-11; Lukas 4:1-13; Ester 4:1-3; Yun 3:5-6; Dan 9:3; Mat 11:21

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan ssesal / tobat. Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1). Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM) menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam nubuatnya ttentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550 SM) menulis, �Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.� (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.  

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira, Kristus berkata, �Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.� (Mat 11:21)*

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya �De Poenitentia�, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah �hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.� Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya �Sejarah Gereja� bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Dalam abad pertengahan (setidak-tidaknya abad kedelapan), mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan �Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.� Setelah memercikkan air suci, imam bertanya, �Puaskah engkau dengan kain kabung dan abu sebagai pernyataan tobatmu di hadapan Tuhan pada hari penghakiman?� Yang mana akan dijawab orang tersebut dengan, �Saya puas.� Dalam contoh-contoh di atas, tampak jelas makna abu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian dan tobat.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan �Rabu Abu� ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya, �Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah.� Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam liturgi kita sekarang, dalam perayaan Rabu Abu, kita mempergunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat beriman dengan membuat tanda salib dan berkata, �Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,� atau �Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.� Sementara kita memasuki Masa Prapaskah yang kudus ini guna menyambut Paskah, patutlah kita ingat akan makna abu yang telah kita terima: kita menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa kita. Kita mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Kita memperbaharui janji-janji yang kita ucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika kita mati atas hidup kita yang lama dan bangkit kembali dalam hidup yang baru bersama Kristus. Dan yang terakhir, kita menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, kita berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Pada intinya, kita mati bagi diri kita sendiri, dan bangkit kembali dalam hidup yang baru dalam Kristus.

Sementara kita mencamkan makna abu ini dan berjuang untuk menghayatinya terutama sepanjang Masa Prapaskah, patutlah kita mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan kita dalam karya dan amal belas kasihan terhadap sesama. Bapa Suci dalam pesan Masa Prapaskah tahun 2003 mengatakan, �Merupakan harapan saya yang terdalam bahwa umat beriman akan mendapati Masa Prapaskah ini sebagai masa yang menyenangkan untuk menjadi saksi belas kasih Injil di segala tempat, karena panggilan untuk berbelas kasihan merupakan inti dari segala pewartaan Injil yang sejati.� Beliau juga menyesali bahwa �abad kita, sungguh sangat disayangkan, terutama rentan terhadap godaan akan kepentingan diri sendiri yang senantiasa berkeriapan dalam hati manusia � Suatu hasrat berlebihan untuk memiliki akan menghambat manusia dalam membuka diri terhadap Pencipta mereka dan terhadap saudara-saudari mereka.�            

Dalam Masa Prapaskah ini, tindakan belas kasihan yang tulus, yang dinyatakan kepada mereka yang berkekurangan, haruslah menjadi bagian dari silih kita, tobat kita, dan pembaharuan hidup kita, karena tindakan-tindakan belas kasihan semacam itu mencerminkan kesetiakawanan dan keadilan yang teramat penting bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini.

Sumber: