Latest News

Showing posts with label Kesaksian. Show all posts
Showing posts with label Kesaksian. Show all posts

Sunday, October 14, 2012

Dari Ateis Menjadi Seorang Katolik - Kisah Joshua Horn

Horn sedang berlutut di hadapan Salib Yesus Kristus. "One man found salvation in a place he never thought he would."
Photo by Stephanie Pellicano


Bayangkan keterkejutan masyarakat bila Hillary Clinton bergabung dengan National Rifle Association, bila anggota Gereja Baptis Westboro ditemukan sedang bermain di sebuah bar gay atau bila Quentin Tarantino mengumumkan rencana untuk membuat film dokumenter Justin Bieber.


Sahabatnya Josh Horn terpukul dengan gelombang kejut dari magnitudo tersebut ketika kemudian Josh Horn, seorang ateis yang bersemangat, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Secular Free Thought Society(Serikat Pemikiran Bebas Sekuler), sebuah klub ASU (Arizona State University) yang terkenal akan skeptisisme terhadap agama. Horn telah melakukan hal tabu yang utama dan menandai pengucilan dirinya sendiri dari klub tersebut dengan satu tindakan: dia memutuskan untuk menjadi seorang Katolik.

Menabur Benih Pengabdian dan Pemberontakan

Joshua Horn
Ini bukan pertama kalinya Horn secara radikal mengubah pandangannya. Horn, seorang junior sejarah, dibesarkan di Tempe oleh orang tua Southern Baptist (sebuah denominasi Protestan di AS) dengan begitu tegas sehingga sebagai seorang anak ia harus menjalankan percakapan �multi-jam� dengan orang tuanya memohon izin untuk dapat menonton Pokemon (Pokemon dilarang �karena mereka berevolusi�, kata Horn). Sejak umur 3 sampai 13 tahun, Horn menghadiri sekolah swasta Kristen yang Horn gambarkan sebagai fundamentalis, dan mengikuti ibadah gereja hingga tiga kali seminggu. Dia adalah anak teladan yang mengesankan guru-gurunya dan pendetanya dengan kecerdasan preternaturalnya, kemampuan logikanya dan pengabdian agamanya yang kuat.

Semangat Horn mulai redup ketika ia mulai masuk sekolah menengah negeri. Untuk pertama kalinya, dia tidak hanya terpaparkan/terekspos dengan orang-orang non-Baptis, tetapi juga spektrum yang luas dari dunia yang sekuler. Keingintahuannya dan rasa hausnya akan pengetahuan terusik dan dia mulai membaca-baca teks-teks akademik � agama, filosofi, matematika, sains � seperti seorang yang kelaparan berdiri di depan prasmanan.

�Orang tua saya berpikir saya akan dicuci otak oleh sekolah saya,� kata Horn. �Semua yang mereka beritahukan kepada saya supaya jangan dilihat, saya putuskan untuk saya lihat sendiri ... Saya mulai memeriksa bukti dan menemukan bahwa tidak ada konspirasi besar (terhadap denominasi Baptis) terjadi.�

Dalam sebulan ia menjadi seorang deis (percaya Tuhan saja, tapi tidak mau beragama) dan tak lama kemudian beralih menjadi seorang ateis.

�Saya memiliki banyak kemarahan dan saya seperti mengambil pola pikir korban,� kata Horn. �Pada umumnya, Saya cukup antagonis terhadap agama ... saya memberikan diri saya sendiri sebuah misi pribadi untuk membuktikan kepada semua orang bahwa setiap agama itu salah.�

Sebuah Pertobatan Yang Kontroversial

Horn mulai berkuliah di ASU (Arizona State University) dan dengan cepat melangkah ke posisi tertinggi dalam Secular Free Thought Society, didorong oleh semangat barunya untuk menyingkap kebenaran dan akal terhadap agama dan spiritualitas yang dimanipulasi. Dia bersiap dengan argumen dan kontra-argumen yang ia dapatkan dari bacaan yang luas; siap untuk secara lisan berdebat dengan siapapun yang cukup bodoh untuk masuk dalam garis api logikanya.

�Dia sungguh terbiasa hidup untuk berdebat dan mengubah pola pikir orang-orang,� kata Ryan Jungbluth, sahabat dekat Horn dan sesama orang yang berpindah ke Katolik. �Dia memiliki ambang yang rendah untuk kebodohan tetapi jarang sekali tidak kenal belas kasihan. Banyak orang yang logis dan retoris berbakat dengan cara yang sama.�

Memang, kecerdasan Horn �dapat hampir membahayakan,� kata Fahad Alam, yang menjadi sahabat Horn sejak sekolah menengah dan telah melihat Horn melalui transformasi ideologinya. Alam dibesarkan sebagai seorang Muslim tetapi juga telah berpindah menjadi seorang Katolik. (Pengaruh Horn memainkan peran yang tidak kecil dalam perjalanan Jungbluth dan Alam, dan para pria ini telah membentuk sebuah grup yang kuat untuk mendukung satu sama lain.)

Tiga bulan memasuki kepresidenannya, pada Maret 2012, Horn � seorang ateis yang gencar dan diakui � merasakan sebuah pengalaman religius ketika sedang membaca Litani Hati Kudus, sebuah doa Katolik.

�Cara terbaik yang saya bisa jelaskan adalah itu bukanlah sesuatu yang hanya mengamati atau mengalami suatu hal. Hal itu adalah mengalami beberapa sesuatu yang khusus dalam cara yang sepenuhnya baru dalam mengalaminya.�,kata Horn. �Dan adalah fakta bahwa hal baru itu aneh, lebih dari sekadar interaksi dengan hal yang baru ... Kata-kata satu-satunya yang bisa saya gunakan untuk hal itu adalah sebuah �mystical sense�.  Saya belum pernah mengalaminya. Saya belum pernah merasakan sesuatu dengan cara itu sebelumnya dan saya akan menegaskan bahwa apa yang saya rasakan secara mistis adalah Yesus Kristus.�

Horn, biasanya demikian mengartikulasikannya, berada dalam keadaan kehilangan kata-kata untuk menggambarkan pengalamannya.

�Dan ya, itu aneh, tapi itu lebih kepada bahwa ini adalah hal mistis yang aneh, bahkan lebih dari apa yang dulu saya rasakan.� Kata Horn. �Ini adalah cara yang sepenuhnya baru dalam mengalami realitas, karena tidak ada analogi dalam hal apapun yang saya pernah alami, dan karena hal ini sulit untuk dijelaskan.�

Bertentangan dengan kebanyakan kisah-kisah perjumpaan ilahi dan peristiwa mistis, peristiwa satu ini tidak memiliki sebuah puncak emosional secara terang-terangan � tidak ada tangan diangkat ke atas dalam kegembiraan, tidak ada memuji Allah dengan paduan suara injili, tidak ada cahaya emas yang muncul dari awan. Sebaliknya, secara rasional benar-benar Horn merasa jengkel.

�Saya sesungguhnya merasa kesal bahwa hal itu terjadi dan merasa takut � setidaknya merasa tidak nyaman,� kata Horn. �Saya tidak menginginkannya, saya tidak berpikir hal itu mungkin terjadi. Hal itu hanya terjadi dan engkau keluar menyadari bahwa hal ini menuntut engkau untuk mengubah hidup dan seluruh hal yang engkau pikirkan dengan segera.�

Horn kemudian mengundurkan diri dari kepresidenannya pada hari berikutnya.

Reaksi dan Kebingungan: �Apa sih hal yang baru saja terjadi?�

�Saya pikir itu adalah sebuah candaan April Mop,� kata Jungbluth, seorang senior yang sedang belajar Jerman.

Beberapa teman dan kenalannya di Secular Free Thought Society mengambil posisi yang berbeda.

�Ada anggapan-anggapan bahwa saya sakit secara mental,�kata Horn. �Saya mengharapkan itu. Saya sedang menggambarkan pengalaman pribadi yang intens ... dan grup tersebut sepenuhnya berdasarkan pada penolakan terhadap hal-hal ( yang dialami oleh Horn) ini. Saya hanya memutuskan untuk melanjutkan hidup saya.�

Averroes Paracha, mantan presiden Secular Free Thought Society lainnya dan teman dekat Horn selama hari-hari ateis Horn, mengenang keterkejutan kolektif grupnya ketika mereka mendengar berita ini.

�Ada banyak pertanyaan dan keraguan,� kata Paracha. �Hal ini terasa seperti, �What the hell just happened?� Cara termudah bagi kebanyakan orang untuk mengatasi keraguan adalah dengan memarahi pribadi Horn. Horn mengalami penganiayaan yang sama, meskipun lebih ringan, sama seperti hal yang kaum ateis rasakan ketika mereka meninggalkan iman mereka.

Juga ada implikasi terhadap klub. �Hal ini menjadi sebuah skandal dalam sense tertentu�, kata Paracha. �Sebagian besar sikap kami telah menjadi anti agama, nyaris melecehkan orang-orang beragama. Klub ini terkenal akan hal itu.� Pertobatan Horn ke Katolik menjadi semacam validasi bagi grup-grup Kristen lainnya di kampus.

Pada Akhirnya Damai

Horn sekarang aktif di Newman Center. Photo by Stephanie Pellicano
Dua setengah tahun kemudian, debu kosmik telah teratasi dan Horn telah sepenuhnya menenggalamkan dirinya dalam Katolisisme. Dia belum kehilangan semangatnya. Dia hanya menyalurkannya ke tempat yang baru dalam cara yang baru, seperti melakukan karya sukarela intensif di ASU�s All Saints Newman Center, sebuah surga bagi orang Katolik di kampus utama dan di masyarakat sekitarnya. Dia membantu mengajar kelas, melayani sebagai seorang mentor/sounding-board bagi orang-orang yang baru berpindah menjadi Katolik atau potensial menjadi Katolik, membaca tulisan-tulisan Para Bapa Gereja (St. Thomas Aquinas adalah favoritnya � Horn mempelajari karya St. Thomas Aquinas setiap hari), dan melanjutkan untuk mengekplorasi dirinya sendiri dan agama yang telah mengubah hidupnya.

�Apapun pandangan saya, saya bergairah dengan itu dan implikasinya, terutama karena saya bukan seorang relativis.� Kata Horn. �Saya tidak pernah menjadi seorang relativis.� (Ket: Relativisme adalah paham/pandangan bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak benar atau definitif atau absolut di dunia ini.)

Horn berkata dia paling bahagia yang pernah dia rasakan dan telah melepaskan kemarahan berkarat yang dia rasakan selama masa kanak-kanak Southern Baptis dan masa dewasa muda ateis. Dia tetap bukan seorang Pollyanna� yaitu seorang yang kering akan rasa humor, tidak sabar terhadap irasionalitas, dan intelektualisme datar yang utuh dan tampaknya akan selalu utuh. Ryan Ponce, seorang teman dekat Horn yang juga terlibat dalam Newman Center berkata, �Setiap semester dia (Horn) mendapatkan lebih banyak dan lebih efektif, memahami bahwa orang-orang berpikir secara berbeda dan bahwa dunia tidak segelap yang dia pikirkan.�

Pada akhirnya, Horn berharap perjalanannya dapat digunakan dalam pelayanan iman Katolik-nya dan digunakan untuk menolong orang-orang lain yang sedang mencari kebenaran dan arti hidup mereka.

�Aristoteles berkata bahwa tujuan dari seruling yang bagus adalah untuk dimainkan dengan baik,� kata Horn. �Saya pikir tujuan dari sebuah kisah yang bagus adalah untuk diceritakan.�

Horn can be reached at joshua.horn@asu.edu

Artikel ini diterjemahkan oleh Indonesian Papistdari situs State Press, sebuah majalah kampus Arizona State University.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter


Kami Mati Karena Mewartakan Injil


Kami Mati Karena Mewartakan Injil
Surat St. Petrus Baptista, OFM menjelang Kemartirannya


Dari antara saudara-saudara yang ada di sini, kami berenam ditangkap dan dipenjarakan beberapa hari lamanya, bersama tiga orang Jepang dari Serikay Yesus, seorang dari antaranya telah mengucapkan profesi, yaitu Paulus Miki, dan umat Kristiani lainnya. Kami semuanya berjumlah dua puluh empat orang. Sekarang kami sedang di dalam perjalanan dalam bulan musim dingin yang hebat. Kami diiring dengan pasukan berkuda dengan pengawalan yang ketat. Selama hari-hari itu ada lebih dari dua ratus orang yang ditugaskan mengawal kami. Kendati demikian, kami amat terhibur dalam Tuhan; dan dengan sukacita kami berjalan terus karena dalam putusan hakim terhadap kami; dinyatakan bahwa kami harus disalibkan karena kami menentang perintah raja dan kami mewartakan hukum Allah; dan yang lainnya karena kami itu orang Kristiani. Yang ingin mati untuk Kristus, kini mendapat kesempatan. Maksud saya, umat Kristiani di wilayah ini diperkokoh imannya, seandainya saudara-saudara se-Ordo hadir di sini. Tetapi mereka harus ingat baik-baik bahwa kami tidak dapat hidup lebih lama lagi di Jepang dalam jubah kami, selama raja ini berkuasa; sebab ia akan memindahkan mereka ke alam baka, ke mana ia akan menghantam kami juga.
Putusan yang dijatuhkan terhadap kami itu tertulis di papan yang dibawa di depan kami. Di situ dikatakan bahwa kami dijatuhi hukuman karena kami telah mewartakan hukum Nauan (yaitu hukum Kristiani) melawan perintah Taycosama (Sang Penguasa); dan sesampai di Nagasaki, kami akan disalibkan. Kami sangat bersuka cita dan merasa terhibur dalam Tuhan sebab kami akan kehilangan nyawa demi mewartakan hukum-Nya.

Di sini kami ada enam Saudara Dina (Fransiskan) dan delapan orang Jepang; semuanya dijatuhi hukuman mati: sebagian sebagai pewarta kabar suka cita, dan sebagian yang lain sebagai umat Kristiani biasa. Dari Serikat Yesus, yang satu adalah frater dan yang lain adalah katekis dan yang lagi adalah awam. Kami dikeluarkan dari penjara dan kami ditaruh di atas gerobak; semua dikerat sebagian telinganya dan demikianlah kami diangkut di jalan-jalan Kyoto diiringi banyak rakyat dan serdadu. Kemudian kami dijebloskan lagi ke dalam penjara. Keesokan harinya tangan kami diikat di belakang punggung dan sambil berjalan kaki, kami diantar ke Osaka, dikawal oleh orang berkuda. Pada hari berikutnya, kami dikeluarkan dari penjara, dinaikkan ke atas kuda, diarak di jalan-jalan kota. Kemudian kami dibawa ke kota Sakai, dan di sana pun kami mendapat perlakukan yang sama. Di ketiga kota itu selalu ada bentara resmi. Kami sudah tahu bahwa kami akan dijatuhi hukuman mati. Tetapi setelah kami berada di Osaka, barulah diberitahukan kepada kami suatu keputusan bahwa untuk itulah kami harus berjalan terus ke Nagasaki.

Saudara-saudara terkasih, demi kasih Allah, hendaknya kamu sungguh-sungguh mendoakan kami kepada Allah agar persembahan hidup kami berkenan kepada-Nya. Sejauh yang saya dengar di sini, saya menduga kami akan disalibkan pada hari Jumat yang akan datang. Sebab pada hari Jumat kami juga telah dikerat sebagian telinga kami di Kyoto. Hal ini kami terima sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu, kami semua mohon dengan hangat kepada kalian, demi kasih Allah, untuk mendoakan kami.

Saudara-saudara terkasih, bantulah kami dengan doa kalian, agar kematian kami berkenan kepada hadirat Ilahi. Di surga, yang kami harapkan akan kami masuki, kami akan mengingat kalian. Tetapi di sini pun saya tidak akan lupa kalian semua yang terkasih; sebab dengan segenap hati saya telah dan masih mencintai kalian. Selamat berbahagia saudara-saudara yang terkasih, sebab tidak ada waktu lagi untuk berbicara. Sampai jumpa lagi di surga. Ingatlah akan saya!

St. Petrus Baptista, OFM adalah salah seorang dari 26 Martir Nagasaki
Artikel ini ditulis ulang dari Proprium Fransiskan
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter

Friday, October 5, 2012

Kisah Fatuma - Aku Ingin Melihat Bunda Allah



Kisah Fatuma - Aku Ingin Melihat Bunda Allah

Oleh Pater Winfried Schneiderhahn, OSB

St. Maria dari Fatima
Fatuma adalah seorang gadis kecil Afrika. Orangtua dan hampir seluruh penduduk sedesanya adalah orang Islam. Meskipun demikian, dia bersama beberapa anak lain pergi ke sekolah misi yang terdapat di Luagala.

Fatuma, disebut juga Fatima, adalah nama yang populer di antara kaum Ismail, karena itu ialah nama puteri Muhammad.

Meskipun Fatuma hanya berumur 5 tahun, dia suka mendengar cerita-cerita yang diberikan oleh para misionaris di kelas agama.

Suatu hari saya bertemu dia di depan gereja. �Apa yang kamu inginkan di sini, Fatuma?� tanya saya.

�Bapa, saya ingin melihat Mama Wa Mungo, Bunda Allah�,  katanya.

�Ya, masuk saja ke gereja!�

�Saya tidak dibolehkan berjalan ke sana, Bapa. Orang tua saya melarang saya. Tetapi saya ingin sekali melihat Mama yang mulia.�

�Kalau kamu tidak boleh jalan ke dalam, saya akan menggendong kamu.�

Gambar yang berada di altar adalah gambar Maria Hitam. Selama dia melihat ke arah gambar Bunda Terberkati, saya bilang bagaimana Mama Wa Mungo mencintai semua orang dan ingin membawa mereka ke surga. �Dan kamu juga, Fatuma,� tambah saya. �Tapi kamu harus selalu sangat mencintai-Nya.�

Beberapa hari kemudian saya mendengar bahwa Fatuma sakit. Saya melihat dia di dalam gubuknya yang kecil yang beralaskan tanah. Saya melihat keadaannya menyedihkan. Dia menderita sakit panas yang berbahaya yang cepat merusak jantung dan ginjal. Maka saya menganjurkan orang tuanya untuk membawa anak yang sakit itu ke rumah sakit misi yang besar di Ndanda.

Suster Tekla, yang adalah dokter misi, menerima dia dengan penuh perhatian dan segera mengasihinya. Fatuma menanyakan suster untuk menceritakan padanya Mama Wa Mungo. Suster itu menceritakan dan juga mengajar tentang kebenaran-kebenaran utama dari iman.

Karena penyakitnya dianggap tak tersembuhkan, maka akhirnya Fatuma meminta dibaptis. Orang tuanya yang Islam, yang seharusnya tidak boleh tahu mengenai Pembaptisan Fatuma itu, membawa dia dalam keadaan parah kembali ke rumah.

Sewaktu saya mendengarnya, saya mengunjungi dia. Dia sangat gembira. Dengan dalih ingin minum air dia mengeluarkan ibunya dari gubuk untuk beberapa saat dan kemudian dia bercerita dengan mata bersinar: �Bapa, saya sudah dibaptis. Nama saya Maria, seperti nama Bunda Allah. Saya sangat berbahagia sebentar lagi saya akan bersama dengannya di surga.�

Hari berikutnya tanggal 15 Agustus, Pesta Maria Diangkat Ke Surga. Mendekati jam 3 sore, terdengarlah suara lonceng tanda kematian, sebagai tanda bahwa Fatuma kecil sudah meninggal. Saya pergi mengunjungi ibunya yang berduka cita dan menyatakan simpati kepadanya.

�Bapa,� katanya, �Kematian Fatuma kecilku adalah luar biasa. Dia berada di pangkuanku dan dia melihat di sudut langit-langit dan berkata: �Ibu, lihat! Apakah bintang terang di atas itu?�

�Itu bukan bintang, melainkan cahaya siang hari. Kamu hanya melihat lubang kecil di atap jerami,� kata ibunya.

�Ya ibu, itu sebuah bintang. Dan bintang itu bertambah besar dan terang. Itu Suster Tekla! Oh, bukan, dia adalah ... !�

�Kemudian wajahnya bergembira dan berseri-seri serta memanggil, �Mama, saya datang!�, mengangguk lalu meninggal. Bapa, saya tidak dapat menerangkan semuanya itu.�

Ibu itu menyelesaikan ceritanya. Saya sendiri menjadi yakin bahwa Bunda Allah telah membawa si kecilnya yang manis ke surga yang semenjak dibaptis menyandang nama tempat penampakan (Fatuma / Fatima) dan kemudian nama Sang Bunda Allah.

Saya sudah sering memanggil nama anak itu di saat perlu dan telah dibantu. Saya meyakini karena perantaraannya, di hari Natal berikutnya, 800 anak menghadiri Misa Kudus, meskipun orang tua yang Islam sangat jarang memperbolehkan anak-anak mereka pergi ke gereja.

Sumber:
P. Winfried Schneiderhahn OSB, Ndunda (Ostafrika � East Africa)
Die sch�nsten Mariengeschichten Heft 2  Seite12 unten bis 14 oben
Hefte Nr. 1 bis 19 erh�ltlich beim Miriam � Verlag 79798 Jestetten

Penerjemah:
Ryanth Atmadja

Lihat juga beberapa artikel mengenai Perpindahan umat non-Katolik ke Katolik

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter