Latest News

Showing posts with label Katekese. Show all posts
Showing posts with label Katekese. Show all posts

Thursday, March 28, 2013

Sharing Pengalaman Misa Kamis Putih di Kampung



Sejak tanggal 27 Maret 2013 lalu, saya berada di kampung oppung (kakek) saya di Kampung Ambarita, Tanah Jawa. Daerah ini menjadi bagian dari wilayah Stasi Negeri Asih, Paroki St. Antonius Padua Tigadolok, Keuskupan Agung Medan. Pada tanggal 28 Maret 2013 pukul 20.00 WIB diadakan Misa Kamis Putih di Gereja St. Fransiskus Stasi Negeri Asih ini. Misa dipimpin oleh Pastor Paroki St. Antonius Padua, Pater Laurentius Sihaloho, OFM. Conv.


Saya dan ibu saya datang ke Gereja St. Fransiskus setengah jam sebelum Misa Kamis Putih dimulai. Tidak lama kemudian, pastor paroki datang dan mulai mempersiapkan Misa. Sebelum pukul 20.00 WIB, pastor paroki memanfaatkan waktu untuk melatih umat bernyanyi sejumlah lagu yang akan digunakan dalam Misa Kamis Putih. Pastor Paroki bisa bernyanyi dengan benar sehingga bisa mengarahkan umat untuk bernyanyi dengan benar pula. Di samping itu, sebelum Misa ini pula Pater Laurentius membagikan katekese mengenai liturgi yaitu mengenai pembunyian lonceng. Dikatakan bahwa setelah Kamis Putih, lonceng tidak lagi dibunyikan hingga nanti pada saat menyanyikan Kemuliaan di Malam Paskah.

Masih sebelum Misa dimulai, Buku panduan Liturgi Triduum Paskah Keuskupan Agung Medan dibagikan. Ketika saya membuka buku tersebut, hal yang terlintas di pikiran saya adalah �Say the black, do the red!�. Apakah ini? Ini adalah ungkapan khas Liturgi Gereja Katolik. Dalam buku liturgi terdapat 2 warna tulisan, hitam dan merah. Tulisan berwarna hitam adalah kata-kata yang diucapkan sementara tulisan berwarna merah adalah tindakan yang dilakukan atau arahan yang harus diperhatikan pada saat pengucapan kata-kata liturgi. Saya pribadi selama di Pontianak, Bandung dan Jakarta tidak pernah sekalipun melihat buku liturgi dalam bentuk demikian, terkecuali saat Misa Latin Tradisional di Bandung. Di buku liturgi yang saya pernah gunakan semua tulisan berwarna hitam, dan untuk tindakan liturgisnya dicetak dalam tulisan hitam miring. Mungkin tidak terlalu penting bagi sebagian orang, tetapi bagi saya pribadi ini menunjukkan keunggulan buku liturgi ini yang menggemakan lagi ungkapan �Say the black, do the red!�. Ungkapan ini menegaskan bahwa liturgi hendaknya dirayakan seturut apa yang tertulis, yang harus diucapkan, yang harus diperhatikan dan yang harus dilakukan. Prinsip ini adalah salah satu hal mendasar yang wajib ada untuk merayakan liturgi yang setia dan taat.

Sungguh senang sekali ketika melihat bahwa tulisan-tulisan berwarna merah tersebut juga mengandung katekese liturgi yang harus diperhatikan. Sebagai contoh untuk Misa Kamis Putih ini bisa dibaca pernyataan: �Missale Romanum tidak menyebut jumlah pria yang dibasuh kakinya. Ini bisa dimengerti karena simbol utama adalah pembasuhan kaki dan bukan rekonstruksi sejarah. Tidak juga disebut bisa wanita, anak-anak atau remaja melainkan pria dewasa. Secara implisit, Missale Romanum mengutamakan pria dewasa. Kesimpulan yang bisa dipedomani: pria dan tidak harus dua belas orang.�

Sementara untuk Misa Jumat Agung terdapat katekese: �Dramatisasi Kisah Sengsara seperti dipraktekkan di beberapa tempat untuk menggantikan Kisah Sengsara adalah usaha yang pantas dihargai, namun tindakan ini membuat liturgi sebagai sarana rekonstruksi sejarah. Selain itu, sangat mungkin menjadi tontonan padahal pembaharuan liturgi menandaskan agar tak seorang pun jemaat liturgis hadir sebagai penonton. Kemungkinan dramatisasi dapat menolong meditasi tetapi juga dapat mengganggu kontemplasi. Untuk menghindari kebosanan, liturgi Romawi telah menganjurkan kisah sengsara dibawakan oleh sekelompok orang tanpa melakonkan.�

Masih banyak lagi katekese-katekese liturgi yang bisa ditemukan dalam buku liturgi ini yang berguna untuk merayakan Liturgi Triduum Paskah dengan benar.


Lalu bagaimana dengan Misa Kamis Putih ini sendiri? Ok, saya lanjutkan.
Misa Kamis Putih dimulai tepat pukul 20.00 WIB diawali dengan nyanyian pembukaan. Sungguh menyejukkan ketika suara yang terdengar begitu lantang dan jelas; hampir semua umat bernyanyi. Sepertiga umat yang hadir adalah orang muda, anak-anak dan ibu-ibu dalam jumlah yang banyak sementara bapak-bapak [sayangnya] hanya belasan orang. Misa berjalan dengan khusuk dan �Say the black, do the red!� bisa terlihat dengan jelas. Pakaian umat semuanya sopan dan rapi, menunjukkan penghargaan terhadap Kristus yang hadir dalam Ekaristi. Selain itu, lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu liturgi dari Puji Syukur; tidak menggunakan lagu pop rohani atau lagu non-rohani seperti yang terjadi dalam Misa  sejumlah kelompok kategorial atau kebanyakan Ekaristi Kaum Muda.

Pater Laurentius memimpin Misa dengan baik dan benar, Beliau terlihat begitu berwibawa dan sangat kebapaan. Dalam homilinya (sesuai yang mampu diingat saya), Beliau menjelaskan bahwa setiap orang baik Islam, Protestan, Hindu dll dapat saja menghadiri Ekaristi tetapi mereka tidak bisa menerima Komuni Kudus karena mereka bukan anggota Gereja. Beliau juga menjelaskan bahwa hanya orang Katolik yang sudah menerima Komuni pertama dan telah mengakukan dosa beratnya yang boleh dan berhak menerima Komuni Kudus. Ok, terlihat seperti katekese biasa umumnya tetapi syarat �dan telah mengakukan dosa berat�jarang sekali diberitahukan dalam Perayaan Ekaristi. Seringkali kita sekadar mendengar syarat �yang telah menerima Komuni pertama� saja tetapi syarat �telah mengakukan dosa berat� jarang terdengar atau malah tidak pernah sama sekali (saya pribadi baru pertama kali mendengar seorang imam menyampaikan hal seperti ini). Memang benar bahwa seorang Katolik yang berada dalam keadaan berdosa berat tidak boleh menerima Komuni Kudus sampai ia mengakukan dosanya kepada imam atau uskup. Pater Laurentius melanjutkan homili dengan menyampaikan bahwa saling melayani sebagaimana yang Yesus lakukan dapat dilakukan kembali dalam rupa yang sederhana seperti seorang anak membantu ibunya mempersiapkan makanan atau membantu ayahnya bekerja di ladang. Pater Laurentius mengarahkan teladan pelayanan Yesus untuk diterapkan terlebih dahulu di dalam keluarga melalui hal-hal yang kecil sekalipun. Pater Laurentius menyampaikan homili-homilinya dengan sesekali menggunakan bahasa batak untuk membantu umat lebih mengerti (hampir seluruh umat Katolik di stasi ini adalah orang batak).

Misa berjalan dengan lancar hingga penghujung Misa. Pada bagian pengumuman, setelah mendengarkan seorang umat membacakan pengumuman, Pater Laurentius melanjutkan dengan memberikan katekese liturgi. Senang sekali mendengarkan katekese liturgi dari Beliau. Beliau menyampaikan kembali soal pembunyian lonceng, mengenai tuguran, menjelaskan bahwa sejak Kamis Putih altar tidak boleh ditutupi taplak atau kain hingga Malam Paskah dimulai yang menggambarkan Kristus ditelanjangi karena dosa kita. Beliau juga menjelaskan bahwa Jumat Agung bukan Misa melainkan ibadah karena tidak adanya konsekrasi serta menjelaskan bahwa umat harus berlutut menghadap Tabernakel kala ada Sakramen Ekaristi didalamnya. Semua katekese liturgi ditutupi dengan kalimat �... supaya kita mengenal liturgi kita yang sesungguhnya.�, sebuah tujuan yang indah dari katekese-katekese liturgi yang diberikannya. Beliau betul-betul memanfaatkan bagian pengumuman untuk memberikan katekese. Hal ini kontras sekali dengan sejumlah imam yang justru membiarkan dan mengizinkan bahkan mengusulkan improvisasi dan kreativitas yang melanggar liturgi Gereja Katolik dan mencederai identitasnya. Memang seharusnyalah seorang gembala mengarahkan domba ke arah yang benar meskipun harus dengan �memukul�. Katekese-katekese adalah alat pemukulnya, alat pemukul yang tidak menyakitkan tetapi menyelamatkan.

Inilah sharing pengalaman saya menghadiri Misa Kamis Putih di kampung ini. Semoga sharing ini berguna dan dapat memberikan inspirasi bagi anda para pembacanya. Selamat menjalankan Triduum Paskah.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter

Thursday, March 21, 2013

Mengubah Liturgi dan Mengubah Ajaran Gereja


Dalam berbagai diskusi internal Gereja Katolik yang saya alami, seringkali saat berbicara mengenai Liturgi atau ajaran-ajaran Gereja, orang-orang Katolik dengan mudah memotong: �Ah, itu kan cuma buatan manusia!� �Aturan Gereja itu kan cuma buatan manusia!�. Apa yang hendak mereka sampaikan adalah bahwa  karena itu semua adalah buatan manusia, maka mereka berhak mengubahnya menyesuaikan dengan kebutuhan mereka atau bahkan lebih parah lagi, menyesuaikan dengan selera mereka. Liturgi yang sudah baku telah ditambah dan dikreativisasi sana sini sehingga malah kelihatan sebagai ibadat saudara terpisah Protestan, malah lebih parah lagi seperti konser dalam Gereja. Sedangkan dalam hal hukum atau ajaran-ajaran Gereja, sejumlah poin ditolak karena tidak sesuai dengan yang mereka inginkan dan yang lain direduksi, dikurang-kurangi  sehingga bisa mereka terima.


Tentu saja, gagasan �Liturgi dan ajaran Gereja adalah buatan manusia sehingga boleh diubah sesuka hati kita� adalah gagasan yang salah. Sebagai perbandingan, bolehkah kita seenaknya mempreteli pintu rumah orang lain atau mengganti pintu rumah orang tersebut? Tentu saja kita akan berkata itu tidak boleh. Tapi pertanyaannya muncul: mengapa tidak boleh? Itu kan buatan manusia juga.

Mengenai pintu rumah ini, kita bisa melihat beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Hak Mengubah.Apakah kita memiliki hak untuk mengubah pintu rumah orang sesuai keinginan kita?

2. Estetika.Apakah perubahan pada pintu yang kita lakukan itu matching dengan bentuk rumah? Apakah perubahan tersebut tidak malah menjadikan rumah itu terlihat aneh? Apakah perubahan itu tidak merusak keindahan rumah tersebut?

3. Identitas.Apakah perubahan yang kita lakukan itu tidak merusak identitas rumah tersebut? Bukankah ketika mengganti pintu rumah dengan ukiran salib menjadi pintu rumah dengan ukiran kaligrafi Islam telah mengubah identitas rumah tersebut di mata orang luar?
Poin pertama adalah poin yang paling fundamental. Bila kita tidak memiliki hak, maka kita tidak bisa mempreteli pintu rumah orang lain tersebut. Akan tetapi, sekalipun memiliki hak, kita juga tidak bisa seenaknya mempreteli pintu rumah orang tersebut. Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan dan ada juga batasan-batasan atas hak tersebut.

Kembali ke Liturgi dan Ajaran Gereja, kita dapat menerapkan hal yang sama yaitu:
1. Hak Mengubah. Pada dasarnya, sebagai umat kita tidak memiliki hak-hak apapun untuk mengubah Liturgi selain mengikuti pakemnya. Imam dan Uskup sendiri memiliki wewenang yang terbatas untuk menyesuaikan Liturgi. Sedangkan mengenai ajaran Gereja, seorang Paus dan bahkan sebuah konsili besar pun tidak berhak mengubah ajaran iman dan moral yang sudah dideklarasikan, sementara ajaran sosial Gereja masih mungkin untuk disesuaikan tetapi tetap harus sejalan selaras dengan ajaran iman dan moral Gereja.

2. Estetika. Perubahan, improvisasi dan kreativisasi yang dilakukan justru sering tidak matching dengan Liturgi itu sendiri. Seringkali malah merusak dan melecehkan Liturgi itu sendiri. Pada akhirnya, kita tidak dapat melihat keindahan Liturgi kita yang berasal dari tradisi apostolik karena perubahan, improvisasi dan kreativisasi telah menutupinya. Hal yang sama terjadi terhadap ajaran iman dan moral Gereja yang keindahannya tertutupi oleh modernisme. Modernisme menganggap ajaran iman dan moral Gereja sebagai ajaran usang dan harus diganti mengikuti perkembangan zaman. Modernisme ini menjadi prinsip bagi orang-orang Katolik yang ingin mengubah atau menyesuaikan ajaran iman dan moral Gereja seturut kondisi zaman dan kehendak mereka sendiri.

3. Identitas. Perubahan, improvisasi dan kreativisasi dalam Liturgi seperti menambah drama dan mengganti lagu-lagu liturgis dengan lagu populer, menampilkan tari-tarian non-peribadatan jelas dapat merusak identitas Liturgi. Masuknya band ke dalam Misa menjadikan Misa terlihat sebagai ibadat Protestan Pentakostal.  �Kita sedang berada dalam Ekaristi atau dalam sebuah konser bertajuk �Ekaristi�?� Apa yang terlihat pada akhirnya adalah sebuah konser atau pentas seni rohani dan bukan lagi sebuah Misa. Sementara itu, sikap orang-orang Katolik yang mereduksi ajaran iman dan moral Katolik membuat identitas Katolik itu tergambarkan secara berbeda. Kita lihat Amerika Serikat; wakil Presiden Joe Biden adalah seorang Katolik tetapi ia mendukung aborsi dan kontrasepsi buatan. Tidak sedikit orang Katolik yang menolak ajaran Katolik yang anti-aborsi dan anti-kontrasepsi sehingga menggantikannya dengan pandangan mereka sendiri yang pro-aborsi dan pro-kontrasepsi. Apa yang terlihat akhirnya sebuah kekacauan identitas, sebenarnya Katolik itu anti-aborsi atau pro-aborsi? Katolik itu anti-kontrasepsi atau pro-kontrasepsi? Jelas Gereja anti-aborsi dan anti-kontrasepsi tetapi identitas ini tertutupi oleh pengajaran sejumlah Katolik yang pro-aborsi dan pro-kontrasepsi.
Memang benar bahwa ekspresi lahiriah berupa rumusan ajaran iman dan moral serta peribadatan melibatkan dan memuat unsur-unsur budaya, pola pikir dan harapan manusiawi. Tetapi apakah bisa disimpulkan "Kalau begitu boleh seenaknya diubah"? Jawabannya pasti: �TIDAK� sama seperti kita tidak bisa mempreteli pintu rumah orang seenaknya.

Marilah kita sekarang membentuk pola pikir yang benar mengenai rumusan ajaran iman dan moral serta peribadatan Gereja supaya kita tidak menyesatkan diri sendiri dan tidak menyesatkan orang lain. Ini adalah ajakan pertobatan untuk berpaling dari sebuah pandangan yang salah ke pandangan yang benar untuk kebaikan bersama.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter

Sunday, March 10, 2013

Penjelasan Mengenai Konklaf


TENTANG KONKLAF (PEMILIHAN PAUS)

Persiapan Konklaf 2013

Konklaf, ritual khas untuk memilih Sri Paus, sang Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, diadakan lagi Selasa mendatang, 12 Maret 2013, untuk memilih penerus Tahta Santo Petrus ke-265, setelah Paus Benediktus XVI secara resmi mengundurkan diri Kamis lalu, 28 Pebruari 2013 tepat jam 20.00 waktu Roma oleh karena umur dan kesehatan. Sejak itu Tahta Santo Petrus mengalami �sede vacante� (Latin, artinya Tahta Kosong). Di dalam masa ini para Kardinal di seluruh dunia di bawah 80 tahun sejak sede vacante berkumpul di Vatikan untuk mengadakan konklaf.


Seperti yang telah diputuskan secara bersama-sama oleh para Kardinal pemilih, Selasa mendatang, ke-115 Kardinal pemilih akan memulai dengan konklaf. Jam 10.00 pagi hari itu dirayakan Misa mulia Pembukaan Konklaf di Basilika Santo Petrus, Vatikan, yang disebut dengan istilah �Pro Eligendo Romano Pontifice� (Misa pemilihan Paus Roma) dipimpin oleh Pemimpin Kollegium para Kardinal, yakni Kardinal Angelo Sodano. Perayaan Misa tersebut dihadiri oleh seluruh Kardinal Pemilih dan bukan pemilih, artinya yang sudah berumur di atas 80 tahun sejak sede vacante, dan terbuka untuk seluruh umat Katolik.

Di dalam Misa ini ujud utama yang dikedepankan adalah memohon bantuan Allah Tritunggal agar memberkati upacara konklaf dan memohon bantuanNya melalui penerangan Roh Kudus agar para Kardinal Pemilih dapat memilih seorang Paus yang sungguh-sungguh tepat sesuai kehendak Tuhan sendiri.

Sore hari, tepat pkl. 16.30 para Kardinal pemilih berkumpul di Kapela Paulina di dalam Vatikan, lalu berarak dalam prosesi dan suasana doa menuju Kapela Sistina, di tengah-tengah bangunan Vatikan, tempat konklaf akan berlangsung. Perarakan ini didahului oleh ajuda pemegang Salib dan diikuti oleh rombongan Koor Sistina yang terdiri dari anak laki-laki dan pria dewasa. Para Kardinal pemilih mengenakan pakaian merah dengan segala perlengkapannya sebagai layaknya menghadiri sebuah peristiwa penting.

Selama perarakan, para Serdadu Swiss dan Polisi Italia akan mengawal dan memastikan bahwa tidak ada pihak luar yang berkontak dengan para Kardinal Pemilih atau sebaliknya.

Setibanya di dalam Kapela Sistina, para Kardinal memilih tempat duduk seperti yang sudah disediakan. Setelah acara doa selesai, Master Seremoni Papale, Monsignor Guido Marini, adalah orang pertama yang berbicara dengan kata-kata berikut: Extra Omnes, artinya semua yang bukan Kardinal Pemilih harus meninggalkan Kapela Sistina.

Kapela Sistina sendiri telah disiapkan sebelumnya, termasuk pembangunan cerobong asap, ofen pembakar kertas pilih, pencabutan segala jaringan telepon, internet, pembersihan surat-surat kabar dan perusakan signal handphone untuk menghindari kontak dengan dunia luar. Juga di tempat para Kardinal pemilih, Domus Sanctae Marthae (Rumah Santa Marta) di dalam Vatikan, segala bentuk alat komunikasi, baik cetak maupun elektronik, diamankan. Jendela-jendela kamar mereka disegel dan signal telepon genggam juga diblok. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi para Kardinal untuk bersalaman satu dengan yang lain. Akan tetapi mereka harus mengelakan pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan calon kandidat pilihan mereka atau segala diskusi terkait.

Setelah diadakan pengecekan dan pasti bahwa hanya ada 115 Kardinal pemilih di dalam Kepela Sistina, pintu Kapela Sistina ditutup sebagai tanda penarikan diri mereka dari dunia luar secara sah dan konklaf secara resmi dapat dimulai. Sejak itu hanya ada 115 Kardinal berada di dalam Kapela Sistina dan mengurus segala sesuatu secara sendiri.

Di awal konklaf, Kardinal Kepala Kollegium memilih tiga Kardinal termuda sebagai tenaga-tenaga pelancar selama konklaf. Hari-hari berikutnya bisa dipilih tiga Kardinal muda lainnya.

Pada hari pertama, Selasa malam, pemilihan hanya terjadi satu putaran saja. Sedangkan pada hari-hari selanjutnya sebanyak empat kali, yakni dua putaran di pagi hari, dan dua putaran di sore hari.

Sebelum memulai dengan pemilihan, kepada masing-masing Kardinal dibagikan sebuah kertas pemilih berukuran seperempat dari selembar kertas dina 4, di atasnya tertera sebuah kalimat di dalam bahasa Latin: Eligo in Sumum Pontificem Meum, artinya: Saya memilih Pemimpin Tertinggiku, di bawahnya terdapat ruangan untuk menulis nama orang yang ingin dipilih.

Setelah semua Kardinal memilih, mereka diminta untuk beranjak dari tempat duduknya menuju Altar, di mana sudah disemdiakan sebuah tempayan atau piala, tempat mereka akan memasukan kertas suara mereka. Mereka dipanggil menurut pangkat dan jabatan.

Setiba di depan Altar, setiap Kardinal berdiri dengan posisi menghadap sidang Kardinal, mengangkat kertas pilihannya tinggi-tinggi untuk membuktikan bahwa dia telah memilih secara sah, kembali berdiri menghadap Altar lalu berlutut untuk berdoa. Bunyi doanya adalah: �Testor Christum Dominum, qui me iudicaturus est, me eum eligere, quem secundum Deum iudico eligi debere� (Aku memanggil Kristus Tuhan sebagai hakimku untuk menjadi saksi bahwa saya telah memilih calon ini, yang saya yakin sungguh bahwa dia akan dipilih sesuai kehendak Tuhan).

Setelah berdoa demikian, si Kardinal pemilih bangun berdiri, melipatkan kertas pilihannya dua kali sehingga berukuran kecil sekitar 2x2 cm, lalu meletakkannya ke tempayan atau piala yang telah disediakan. Setelah itu dia kembali ke tempat duduk dan disusul oleh Kardinal lainnya hingga akhir.

Setelah ke-115 kardinal melakukan tahap ini, ketiga Kardinal termuda yang telah dipilih untuk melancarkan upacara pemilihan, menghitung kertas suara dan mengumpulkan suara, lalu mengumumkan hasil pemilihan. Kalau proses pemilihan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka pemilihan dinyatakan sukses. 

Untuk konklaf kali ini, berbasis pada motu proprio Paus Benediktus yang melengkapi peraturan konklaf dari pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II, seandainya seorang calon terpilih dengan mayoritas 77 suara, artinya duapertiga dari jumlah seluruh pemilih, maka dengan itu seorang Paus sudah terpilih.

Jika belum ada minimal mayoritas duapertiga,maka pemilihan akan dilanjutkan ke putaran berikutnya. Akan tetapi jika lebih dari putaran ke-30 dan belum juga terpilih seorang Paus, maka, sesuai motu proprio Paus Benediktus tahun 2007, dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak, akan dipilih oleh para Kardinal, di mana kedua yang terpilih ini otomatis kehilangan hak memilih.

Di akhir sebuah putaran, kertas-kertas yang sudah terbuka akan dilobangkan dengan sebuah jarum lalu dibariskan pada seutas benang lalu dimasukan ke dalam ofen untuk dibakar. Kalau putaran tersebut belum menghasilkan seorang Paus, maka kertas-kertas itu dibakar dengan campuran zat kimia yang menghasilkan asap warna hitam. Hal ini memberikan isyarat kepada umat Katolik seluruh dunia bahwa Paus belum terpilih.

Di berbagai sudut Vatikan sekitar 5000 wartawan cetak dan elektronik sudah siap untuk memantau cerobong asap selama masa konklaf dan sesegera mungkin lenajutkan isyarat ini ke seluruh dunia. Ribuan umat yang menanti sehari.hari di Lapangan Santo Petrus juga akan mengarahkan pandangan hanya ke satu titik, yakni ke cerobong asap.

Seandainya sebuah putaran telah menghasilkan mayoritas yang dibutuhkan, artinya seorang Paus sudah terpilih, maka Kardinal Dekan menanyakan kepada yang bersangkutan dalam keadaan berdiri, apakah dia menerima pemilihan tersebut. Ketika dia menjawab Ya sebagai tanda kesediaanya, maka kepadanya dilontarkan pertanyaan kedua: Apa nama yang digunakan sebagai Paus.

Setelah memberikan jawaban kepada kedua pertanyaan ini dengan jelas, Paus baru dikenakan sebuah tanda khusus berupa sebuah pakaian kebesaran. Dulu, Paus terpilih dikenakan sebuah mahkota, tetapi tradisi ini sudah tidak berlaku lagi.

Setelah mengenakan pakaian khusus ini, Paus terpilih beranjak dari tempatnya menuju ke Altar, di mana di depan Altar tersebut sudah disediakan kursi khusus. Di hadapannya para Kardinal (saat itu berjumlah 114 orang) mengucapkan janji setia dan ketaatan mereka kepadanya. Setelah itu semua bertepuk tangan dan mengucapkan Selamat kepada Paus terpilih.

Pada saat itu pengurus pembakaran kertas pilihan memasukkan kertas-kertas yang sudah dideretkan pada seutas tali dan dibakar dengan campuran kimia yang menghasilkan asap warna putih, sebagai tanda bahwa Gereja Katolik sudah memiliki seorang Paus. Asap putih dari cerobong di atas atap Kapela Sistina akan diiringi dengan bunyi lonceng raksasa dari cupola Basilika Santo Petrus.

Pada saat yang sama, Paus baru dihantar menuju sebuah kamar di samping Altar yang disebut �camera lacrimatoria�, artinya Kamar Air Mata, di mana dia beristirahat, memikirkan apa yang harus dikatakan beberapa saat kemudian ketika diperkenalkan kepada dunia dari balkon Basilika Santo Petrus. Kamar itu dinamakan �Kamar Air Mata� karena berbagai alasan, antara lain sebuah tempat khusus, di mana Paus baru meluapkan segala perasaanya, yang umumnya di dalam sejarah berupa deraian air mata kegembiraan atau keterharuan. Di sini pula Paus baru tersebut dikenakan pakaian lain untuk ditampilkan ke publik.

Dalam selang waktu antara 20 sampai 30 menit, ketika ratusan ribu umat dan peziarah bergegas menuju Lapangan Santo Petrus, Paus baru dihantar oleh rombongan Kardinal menuju Balkon Basilika Santo Paulus yang berbingkai merah dan ditutup dengan kain lebar berwarna merah pula. Dua ajuda mendamping seorang Kardinal Diakon yang akan mengumumkan kepada dunia nama Paus baru sebagai hasil konklaf. Kali ini, Kardinal Diakon yang akan mengumumkan nama Paus baru adalah Jean-Louis Kardinal Tauran, yang adalah juga Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama, tempat Penulis bekerja.

Kardinal Diakon tampil ke Balkon, diiringi dengan tepukan tangan dan teriakan histeris hadirin yang dipenuhi dengan rasa ingin tahu, lalu mengumumkan nama Paus baru dengan rumusan berikut: �Annuntio vobis gaudium magnum: Habemus Papam!�, artinya: �Saya mengumumkan kepada anda kalian sebuah kegembiraan besar: Kita mempunyai seorang Paus!�

Kardinal Diakon dan kedua ajudan mundur, lalu tampillah Paus baru sambil menyalami hadirin dan pemirsan di seluruh dunia dengan gestikulasi tangan khas. Setelah masa redah, beliau menyalami umat dan dunia dan membawakan sebuah wejangan singkat. 

Setelah melakukan perkenalan dan sambutan ini, beliau kembali ke Domus Sanctae Marthae, menghuni sebuah kamar khusus yang sudah disediakan sekitar satu minggu sambil menanti pemberesan dan adaptasi istana kepausan untuk Paus baru. Setelah pengumuman resmi ini, para Kardinal pemilih boleh kembali ke ritme dan model hidup normal.

Beberapa hari kemudian, sebuah Misa instalasi Paus baru akan dilaksanakan dan terbuka untuk umat. Pada saat itu umat dipenuhi kegembiraan sekaligus rasa ingin tahu tentang apa yang akan disampaikan Paus baru di dalam kotbahnya, yang umumnya sudah menyiratkan kiat, visi, misi dan harapannya serta apa yang akan dilakukan di masa-masa mendatang di dalam era kepemimpinannya. ***


Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter

Romo Jacobus Tarigan: Liturgi Bukan Entertainment

Liturgi Bukan Entertainment


Hari ini saya melihat sebuah posting menarik dari page Katolik Memes Indonesia yang menampilkan meme mengenai Liturgi disertai dengan penjelasan yang bagus sekali dari Reverendus Dominus* Jacobus Tarigan. Dalam artikel ini, RD Jacobus Tarigan menjelaskan bahwa liturgi tidak boleh menjadi pentas kesenian atau acara yang meng-entertain umat. Silahkan dibaca lebih lanjut di bawah ini. Penekanan dengan tulisan tebal oleh saya sendiri:

Liturgi yang dirayakan dengan baik, indah, dan sungguh keluar dari hati dapat menumbuhkan, memupuk, dan mengembangkan iman. Oleh karena itu, tanda-tanda dalam liturgi hendaknya sederhana dan mudah dimengerti umat. Doa, nyanyian-nyanyian, dan tanda-tanda/simbol hendaknya mampu mengkomunikasikan iman. Kekuatan liturgi Katolik terletak justru dalam keterpaduan antara pesta, masa liturgi, dan bacaan-bacaan yang telah ditetapkan. �Kekuatan itu juga tergantung pada kesatuan artistik sebagai hasil pilihan yang cermat dan tepat atas bahan-bahan liturgi yang ditawarkan, musik, dan kesenian yang terkait� (Musik dalam Ibadat Katolik, Komisi Liturgi KWI, 2003, No 11).

Sayangnya, begitu antusiasnya beberapa petugas liturgi membuat liturgi menyentuh umat, justru menurunkan mutu liturgi itu sendiri. Dengan mengikuti mode dan selera umat, justru liturgi tidak mampu mengungkapkan iman sejati. Yang terjadi adalah pentas kesenian dan bukan perayaan liturgi.

Nyanyian dan musik populer dimasukkan dalam perayaan liturgi. Orang lupa bahwa musik populer lebih ditujukan untuk mengabdi kegemaran publik. Demikian pula nilai artistiknya memang terasa kurang bermutu dibandingkan dengan lagu Gregorian yang sudah mentradisi dalam sejarah Gereja. Lagu Gregorian mengungkapkan isi kata bahasa Latin tanpa irama tetap (hitungan). Irama Gregorian berpangkal dari aksen dan arti kata dengan irama bebas, sehingga lagunya merupakan ungkapan syair. Dan ketahuilah, syair-syair Gregorian pada umumnya diambil dari Kitab Suci. Sedangkan lagu-lagu populer lebih menekankan birama dan hitungan yang cenderung mekanis.

Paus Benediktus XVI mengingatkan bahwa musik Gereja pada tempat pertama, merupakan umat Allah yang bernyanyi menyatakan identitasnya. Tidak mudah memang mencari keseimbangan musik Gereja di tengah tarikan antara elitisme estetika seni dan arus budaya massa industrial. �Jika pop diartikan sebagai suatu produk dari masyarakat massa, lewat reproduksi dan standarisasi pengalaman sehingga menjadi bagian dari kultur massa, musik pop yang dihasilkan tidak tumbuh dari pengalaman autentik dan pengalaman reflektif mendalam atas kehidupan� (Krispurwana Cahyadi SJ, Benediktus XVI, Kanisius: Yogyakarta, 2010, hal 176).

Jelaslah, liturgi adalah perayaan iman, bukan pementasan dan bukan pula sekadar upacara. Maka, aneh, ketika persiapan persembahan, diadakan tarian mengantar persembahan selama lebih kurang 30 menit. Sementara Doa Syukur Agung hanya sekitar tujuh menit. Dengan tarian yang lama, maka Doa Syukur Agung kehilangan makna puncaknya. Perhatian umat masih terpaku pada penari-penari cantik dengan pakaian dan hiasan gemerlap, serta senyum yang menawan. Aspek keheningan pun terasa menghilang. Liturgi dirayakan secara dangkal. Liturgi tidak lagi merupakan pertumbuhan iman yang hidup, tetapi merupakan produk kerja dari segelintir umat dan hobi dari beberapa pastor yang hanya sekadar mencari popularitas.

Memang tidak mudah mencari keseimbangan antara konservatisme dan kebaruan; antara karakter kebaktian liturgis dan tugas kateketis dan pastoral. Namun, perlu ditegaskan lagi, liturgi bukanlah entertainment. Kalau ingin mencoba sesuatu yang baru, maka laksanakan itu dalam kelompok terbatas dan bukan pada Misa hari Minggu. Setiap eksperimen perlu dinilai secara kritis oleh ahli liturgi dan direstui oleh pimpinan Gereja. Di lain pihak, umat pun terus-menerus dididik agar semakin menghayati perayaan liturgi yang telah berkembang dalam sejarah Gereja. Janganlah liturgi terjebak dalam upaya modernisme dan inkulturasi yang dangkal. Dalam hal ini, penting diperhatikan keheningan, keindahan, kedalaman, dan misteri. Bukan demi kepentingan estetika seni, bukan demi pragmatisme pastoral, tetapi justru demi pujian terhadap Tuhan.

RD. Jacobus Tarigan
disalin dari http://www.hidupkatolik.com/

*. Reverendus Dominus artinya adalah "Tuan Yang Terhormat", merupakan gelar resmi atau sapaan resmi Gereja Katolik untuk imam-imam diosesan. Sedangkan gelar untuk imam-imam dari ordo/tarekat/kongregasi religius adalah Reverendus Pater yang berarti "Bapa Yang Terhormat". 


Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter