Latest News

Showing posts with label Ekaristi. Show all posts
Showing posts with label Ekaristi. Show all posts

Tuesday, September 3, 2013

Liturgi dan Orang Muda


Pada masa sekarang, umat Katolik, khususnya orang muda Katolik, memandang Liturgi sekadar ritual dan rutinitas setiap hari Minggu. Liturgi bagi mereka adalah sesuatu yang kering dan mungkin sudah tidak bermakna lagi. Sementara itu, demi menarik partisipasi orang muda Katolik dalam Liturgi, terutama dalam Misa Kudus, terjadilah sebuah hal yang bernama improvisasi Liturgi. Improvisasi Liturgi ini terdiri dari kreativitas dan inovasi yang dibuat oleh orang muda Katolik dan bersama pastor-pastornya. Perayaan Ekaristi didesain sedemikian rupa sehingga cocok buat orang muda Katolik. Perayaan Ekaristi seperti ini biasa dikenal sebagai Ekaristi Orang muda. Seringkali kreativitas dan inovasi dalam Ekaristi Orang muda ini liar dan, bila kita melihat ke pedoman-pedoman Liturgi yang ada, hal-hal tersebut jelas merupakan pelanggaran Liturgi seperti penggunaan drama, band, lagu-lagu non-liturgis dan berbagai ekspresi budaya populer lainnya.

Gereja menetapkan Pewartaan Baru (New Evangelization) yang secara umum dimaksudkan untuk memperbaharui kembali Iman Kristiani yang sudah pernah umat Katolik terima. Dalam Intruksi Kerja untuk Pewartaan Baru ini, Gereja Katolik menjelaskan bahwa �Iman Kristiani bukanlah sekadar ajaran-ajaran, kata-kata bijak, sebuah kodeks moralitas atau sebuah tradisi. Iman Kristiani adalah sebuah perjumpaan dan relasi yang sejati dengan Yesus Kristus.�[1] Pertanyaan yang muncul adalah �Di mana dan kapan perjumpaan dan relasi dengan Yesus Kristus terjadi?� Jawabannya bisa sangat luas; dalam kehidupan sehari-hari, dalam perjumpaan dengan orang miskin dan sakit, dalam pekerjaan dan studi dan lain-lain. Tapi, ada satu tempat dan waktu perjumpaan yang istimewa, yaitu Liturgi. Paus Beato Yohanes Paulus II menjelaskan Dengan tujuan untuk menghadirkan kembali Misteri Paskah-Nya, Kristus selalu hadir dalam Gereja, terutama dalam Perayaan-perayaan Liturgi. Oleh karena itu, Liturgi adalah tempat istimewa untukpertemuan orang-orang Kristiani dengan Allah dan Seorang yang telah Dia utus, Yesus Kristus.�[2] Mengapa Liturgi begitu istimewa dalam perjumpaan dengan Kristus? Paus Beato Yohanes Paulus II menjelaskan 4 poin yang sepenuhnya hadir dan membuat Liturgi begitu istimewa dalam perjumpaan dengan Kristus [3]:

1. Kristus hadir dalam Gereja yang berkumpul dan berdoa dalam Nama-Nya. Fakta inilah yang memberikan sebuah karakter unik pertemuan-pertemuan Kristiani.
2. Kristus hadir dan bertindak dalam pribadi para pelayan tertahbis yang merayakan Liturgi. Imam oleh keutamaan tahbisannya bertindak dalam pribadi Kristus (in persona Christi).
3. Kristus hadir dalam sabda-Nya yang dibacakan, yang dikomentari dalam homili, yang didengarkan dalam iman dan disatukan dalam doa.
4. Kristus hadir dan bertindak oleh kuasa Roh Kudus dalam Sakramen-sakramen  Gereja dan dalam cara yang spesial, Ia hadir dan bertindak di Kurban Misa (Perayaan Ekaristi) dalam Roti dan Anggur yang sudah dikonsekrasi.

Dan sebagaimana Gereja ajarkan:  Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi,  bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam  Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.�[4] Hal ini berarti, semua karya Gereja bertujuan untuk membawa umat mengalami perjumpaan dengan Kristus dalam Liturgi sehingga dapat menerima rahmat pengudusan dan memuliakan Allah.

Tapi, apakah orang muda Katolik mengetahui dan memahami ini?

Sayangnya, ketimbang mengajarkan bagaimana Liturgi yang benar, mengajarkan makna-makna dari setiap tindakan liturgis, mengajarkan simbol-simbol Liturgi, mengajarkan ajaran iman yang terkandung dalam Liturgi dsb; kita lebih sering melihat Liturgi Suci diimprovisasi, dikreatifkan dan diberi inovasi menyesuaikan dengan budaya Orang muda, dengan selera dan keinginan orang muda Katolik. Memang, lebih mudah mengubah Liturgi daripada membangun sikap cinta dan hormat Orang Muda Katolik pada Liturgi.

�Perlakuan terhadap Liturgi menentukan nasib Iman dan Gereja Katolik�, demikian kata Paus Emeritus Benediktus XVI. Sementara itu Kardinal Koch dari Swiss pada tahun 2011 berkata bahwa krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Katolik pada masa kini. Terlampau berlebihankah pernyataan-pernyataan ini? Tentu saja tidak sama sekali. Paus Benediktus XVI menjelaskan: �Gereja dan umat senantiasa harus belajar dari Liturgi supaya mampu menemukan dan masuk ke dalam makna terdalam realitas serta pengalaman liturgis Gereja, umat Allah. Gereja memang tidak akan ada tanpa Perayaan Liturgi, terlebih Ekaristi sebab dari Ekaristilah Gereja terbangun dan tumbuh. Karenanya, Ekaristi tidak bisa ditempatkan sebagai perayaan pribadi, tanpa pemahaman akan hidup dan misteri Gereja. Krisis Gereja dewasa ini memiliki akar dan kaitan dengan krisis Liturgi; demikian pula sebaliknya, krisis Liturgi adalah pula krisis Gereja. Liturgi dan Gereja adalah dua sisi mata uang.�[5]

Di zaman sekarang, banyak orang muda Katolik mengalami erosi citarasa kekudusan. Banyak Orang Muda Katolik tidak bisa lagi membedakan antara Gereja dan tempat nongkrong. Liturgi tidak lagi dianggap sakral dan kita bisa melihat lagu-lagu profan dan non-liturgis masuk ke dalam Liturgi. Orang muda Katolik tidak bisa lagi membedakan antara yang kudus dengan yang profan. Ketika para mam dan orang muda Katolik memperlakukan Liturgi dengan memberinya improvisasi seturut budaya populer, maka Liturgi semakin kehilangan identitasnya sebagai tempat perjumpaan dan relasi yang sejati dengan Allah. Liturgi menjadi berorientasi pada diri sendiri, pada diri orang muda.  Dampak yang lebih lanjut adalah melemahnya iman seperti kata Kardinal Raymond L. Burke, Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat Liturgi, Misa [yang dirayakan] akan mengakibatkan hilangnya iman.� Ada hubungan intrinsik tak terpisahkan antara iman dan Liturgi yang diungkapkan dalam kalimat �Lex Orandi, Lex Credendi�yang berarti �Hukum Doa adalah Hukum Iman�. Ketika Liturgi yang adalah doa publik dan resmi Gereja dicederai oleh berbagai pelanggaran Liturgi, maka iman Gereja pun ikut dicederai.

Lalu, apa solusinya?

Solusi utama berada pada Kaum Tertahbis sebagai Penjaga dan Pelayan Liturgi yang seharusnya merayakan Liturgi dengan benar. Mengutip pernyataan Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi: �Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.�[6] Bila Para Penjaga dan Pelayan Liturgi membiarkan pelanggaran Liturgi terjadi, maka orang muda Katolik akan membenarkan pelanggaran Liturgi di Misa-misa berikutnya dan kemudian menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan. �Uskup dan imam saja begitu, tidak melarang band masuk dalam Misa. Berarti tidak salah dong.�, kira-kira demikianlah yang dapat terjadi ke depannya.

Tetapi, bukankah merayakan Liturgi dengan kepatuhan pada pedoman-pedoman Liturgi adalah rubrikalisme? Rubrikalisme itu tidak selamanya buruk. Kardinal Raymond L. Burke menyatakan bahwa hukum-hukum Liturgi mendisiplinkan kita sehingga kita memiliki kebebasan untuk menyembah Allah. Sebaliknya, kita bisa terperangkap atau menjadi korban dari gagasan-gagasan individual kita, ide-ide relatif berdasarkan kehendak individu atau kelompok umat, dalam hal ini orang muda Katolik. Hukum-hukum Liturgi melindungi tujuan dari Liturgi dan menghormati Hak-hak Allah untuk disembah sesuai apa yang Ia kehendaki sehingga kita bisa yakin bahwa kita tidak sedang menyembah diri kita sendiri atau, seperti yang St. Thomas Aquinas katakan, menjadi semacam pemalsuan ibadah ilahi.[7]

Namun, orang muda Katolik tidak akan pernah cukup dengan �Ini tidak boleh di Liturgi�, �Itu boleh dalam Liturgi�, �Yang ini jangan dinyanyikan di Liturgi�. Ini adalah rubrikalisme yang negatif. Apa yang orang muda Katolik butuhkan adalah �Mengapa boleh dan tidak boleh?�, �Apa maknanya dari setiap tindakan Liturgi?�, �Mengapa Liturgi kita seperti ini?� dan ini semua adalah rubrikalisme positif yang bisa membantu menumbuhkan cinta dan hormat orang muda Katolik dalam Liturgi.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menjelaskan tentang kodrat, makna, sejarah dan segala sesuatu tentang Liturgi untuk menumbuhkan cinta dan hormat umat terutama Orang muda kepada Liturgi dapat dimulai dengan beberapa langkah konkrit.

1. Dalam Bulan Kitab Suci beberapa paroki membuat tempat pameran khusus yang menjelaskan berbagai hal tentang Kitab Suci baik dari sejarah, ajaran Gereja tentang Kitab Suci, spiritualitas dan lain-lain. Setiap hari Sabtu dan Minggu, stan tersebut dibuka sehingga dapat dikunjungi umat. Hal yang sama dapat digunakan untuk Liturgi. Keuskupan atau paroki bisa memamerkan kasula, stola, alba dan lain-lain baik dari yang kuno hingga yang terbaru. Berbagai perlengkapan Liturgi lain seperti Patena, Sibori, Piala, Purificatorium dan lain-lain juga bisa dipamerkan sekaligus diberikan penjelasan dan pemahaman mengenai segala perlengkapan Liturgi tersebut.
2. Di beberapa kota terdapat koran dinding tempat lembaran-lembaran koran ditempelkan dan bisa dibaca lebih banyak orang secara gratis. Keuskupan dan Paroki dapat merintis hal yang sama. Penjelasan tentang Liturgi dan tentang topik-topik lainnya dapat diberikan melalui koran dinding ini. Di sini, orang muda yang jago desain grafis dan membuat poster dapat menggunakan talentanya untuk membuat koran dinding ini lebih menarik dan jelas dengan penggunaan gambar dan kata-kata yang menggugah keingintahuan.
3. Pertemuan kelompok kategorial Orang muda dapat dijadikan tempat untuk memberikan katekese tentang Liturgi. Pastor pembimbing atau anggota Seksi/Komisi Liturgi dapat hadir memberikan pemahaman tentang Liturgi bagi Orang muda. Momen ini mungkin adalah momen yang paling tepat sasaran dan lebih berdampak bagi Orang muda untuk menjelaskan tentang Liturgi.

Ketiga cara di atas berasal dari pemikiran satu kepala. Tentu pastor paroki dan seksi/komisi Liturgi serta Orang muda dapat bersama-sama berkumpul untuk mendapatkan lebih banyak cara konkrit lainnya. Mengutip Instruksi Kerja untuk Pewartaan Baru �Pewartaan baru harus berusaha mengorientasikan kebebasan manusia dari setiap pria dan wanita kepada Allah yang adalah sumber kebenaran, kebaikan dan keindahan.�[8]

Sebagai penutup, kepada orang muda, kita pun harus memotivasi diri sendiri mencari tahu tentang iman kita, menumbuhkan cinta kita kepada Liturgi terutama Perayaan Ekaristi. Sekarang, internet menjadi salah satu sarana untuk mengetahui iman. Situs-situs Katolik seperti ekaristi.org, katolisitas.org, imankatolik.or.id, yesaya.indocell.net, muntecom.blogspot.com, luxveritatis7.wordpress.com dan lain-lain dapat menjadi sumber pengetahuan iman kita, dan secara khusus mengenai Liturgi dan Ekaristi. Di facebook dan twitter pun tersedia banyak halaman yang menyampaikan pengajaran-pengajaran iman. Internet tidak cuma jadi sarana hiburan namun dapat menjadi salah satu alternatif tempat pencarian iman. Di samping itu, rutin membaca Kitab Suci dan kisah para santo-santa juga dapat dilakukan. Saya, sebagai orang muda Katolik, mengajak teman-teman orang muda Katolik sekalian untuk membaca dan merenungkan kisah para santo-santa terutama para martir. Dari mereka, kita bisa meneladani sikap, tindakan, hormat dan kecintaan mereka kepada Liturgi. Kita bisa mencintai Liturgi ala St. Fransiskus Assisi, ala St. Dominikus Savio, ala St. Tarsisius dan lain-lain. Monsinyur Nicola Bux berkata, �Dalam penganiayaan di negara-negara Komunis, iman dipelihara melalui Liturgi. Liturgi menyelamatkan iman.� Hal yang sama dapat berlaku dalam hidup kita. Di tengah-tengah penganiayaan rohani oleh pornografi, hedonisme, trend modern yang buruk dan lain-lain; Liturgi sebagai tempat perjumpaan dan relasi kita dengan Kristus dapat menjadi tempat pengungsian untuk menyelamatkan iman kita. Mari kita mencintai Liturgi apa adanya. Liturgi tidak membosankan tetapi menguduskan kita.

---------------------
[1]. SYNOD OF BISHOPS XIII ORDINARY GENERAL ASSEMBLY, The New Evangelization For The Transmission Of The Christian Faith (Instrumentum Laboris) 2012 no. 18
[2]. PAUS YOHANES PAULUS II, Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus no. 7
[3]. Ibid.
[4]. KONSILI VATIKAN II, Sacrosanctum Concilium no. 10
[5]. KRISPURWANA CAHYADI, SJ., Biografi Benediktus XVI hlm. 154
[6]. USKUP AGUNG ANTONIO GUIDO FILIPAZZI, Homili pada Misa Pemberkatan Gereja Katedral Tanjung Selor 5 Februari 2012
[7]. KARDINAL RAYMOND LEO BURKE, Wawancara dengan Zenit di Roma 25 Juli 2013
[8].  SYNOD OF BISHOPS XIII ORDINARY GENERAL ASSEMBLY, The New Evangelization For The Transmission Of The Christian Faith (Instrumentum Laboris) 2012 no. 69

pax et bonum

Tuesday, August 13, 2013

Santo Hippolitus dan Doa Syukur Agung



Setiap tanggal 13 Agustus, Gereja Katolik merayakan Pesta St. Hippolitus dan Paus St. Pontianus. Paus St. Pontianus adalah seorang Roma yang menjadi Paus dari tahun 230 hingga 235 M. St. Pontianus menjadi Paus pada masa penganiayaan Kaisar Romawi. Pada tahun 235 M, St. Pontianus dibuang ke daerah-daerah pertambangan yang berbahaya di Pulau Sardinia, Italia. Bersama dengan Paus St. Pontianus, pada tahun yang sama, St. Hippolitus juga dibuang ke pulau Sardinia dan keduanya bertemu serta sama-sama meninggal sebagai martir Katolik. Gereja Katolik merayakan pesta keduanya pada hari yang sama. Siapakah St. Hippolitus ini?  
 

Tidak banyak yang diketahui tentang awal riwayat hidup St. Hippolitus. Apa yang dapat diketahui adalah bahwa St. Hippolitus adalah seorang Yunani. Ia adalah murid St. Ireneus dari Lyon. Sementara St. Ireneus dari Lyon adalah murid St. Polikarpus dari Smirna dan St. Ignatius dari Antiokia. Kedua orang ini merupakan murid dan pendengar langsung dari St. Yohanes Rasul, Penulis Injil Yohanes. Berdasarkan rantai apostolik ini, dapat diketahui bahwa St. Hippolitus merupakan seorang figur yang penting dalam mengetahui dan memahami Tradisi Apostolik (Pengajaran-pengajaran yang berasal dari Para Rasul) yang diteruskan hingga saat ini di dalam Gereja Katolik. St. Hippolitus menjadi kepala dari sebuah sekolah teologi di sekitar Roma. Ia adalah seorang teolog dan uskup dari sebuah keuskupan yang tidak terkenal (menurut Eusebius dari Caesarea dan St. Hieronimus). Ia menulis karya-karya mengagumkan mengenai teologi.

St. Hippolitus adalah seorang yang keras dan sama sekali tidak mau berkompromi dengan ajaran-ajaran sesat pada masa itu. St. Hippolitus menolak ajaran-ajaran yang sesat yang dibuat oleh Theodotion serta membela ajaran Trinitas di hadapan bidaah Sabellianisme yang dicetuskan oleh Sabellius. Sabellianisme mengajarkan bahwa Bapa dan Putera hanyalah manifestasi (modi) dari satu pribadi Ilahi. Sabellianisme ini disebut juga Modalisme. Kekeliruan modalisme pada awal kemunculannya tidak terlalu jelas sehingga Paus St. Zephyrinus tidak mengambil keputusan atas hal ini serta tidak ingin gegabah dalam menolaknya. Tetapi, St. Hippolitus merasa kecewa dengan sikap Paus St. Zephyrinus yang tidak tegas terhadap kaum Modalist dan memandangnya kurang cepat tanggap dalam mencegah ajaran sesat tersebut. Karena hal ini, St. Hippolitus mencela Paus St. Zephyrinus, menggambarkannya sebagai seorang yang tidak kompeten dan tidak layak menjadi Uskup Roma.

Pada tahun 217 M, Paus St. Zephyrinus wafat sebagai martir pada tahun 217 dan digantikan oleh Paus St. Callistus I. Sebelum menjadi Paus, St. Callistus I sudah lebih dulu dipandang buruk oleh St. Hippolitus. Saat menjadi Paus, St. Callistus I semakin dipandang buruk oleh St. Hippolitus karena sikap St. Callistus I yang terlalu lembut terhadap pendosa dan penganut ajaran sesat yang bertobat. St. Hippolitus juga memandang St. Callistus I sebagai seorang Paus yang tidak kompeten dalam membela ajaran Gereja di hadapan ajaran-ajaran sesat pada masa itu. St. Hippolitus menolak Paus St. Callistus I secara terbuka, memutuskan persatuan dengan Paus St. Callistus I. Para pengikut St. Hippolitus kemudian mengangkatnya sebagai paus tandingan (antipaus) terhadap Paus St. Callistus I. St. Hippolitus tidak menganut ajaran sesat, namun menolak persatuan dengan Paus St. Callistus I sebagai paus yang sah.

Setelah Paus St. Callistus I meninggal pada tahun 222 M, St. Hippolitus bertahan menolak bersatu dengan pengganti Paus St. Callistus I yaitu Paus St. Urbanus I yang menjadi Paus dari tahun 222 M hingga 230 M. Begitu pula ketika Paus St. Urbanus I meninggal dan digantikan oleh Paus St. Pontianus pada tahun 230 M, St. Hippolitus menolak persatuan dengan Paus St. Pontianus sampai akhirnya mereka berdua bersama-sama menjalani pembuangan di pulau Sardinia pada tahun 235 M. St. Hippolitus tersentuh dengan semangat kerendahan hati Paus St. Pontianus. Ia mohon diperbolehkan kembali dalam pelukan Gereja dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai paus tandingan. Paus St. Pontianus mengasihi St. Hippolitus dan tahu bahwa mereka perlu saling membantu serta menguatkan dalam kasih Yesus. 

Kemartiran Santo Hippolitus dari Roma
Sebelum wafat sebagai martir pada tahun 236 M, St. Hippolitus kemudian meminta para pengikutnya untuk bersatu dengan pengganti St. Pontianus, yaitu Paus St. Anterus. Santo Hippolitus menjadi martir dengan cara tangan dan kakinya ditarik oleh 4 kuda yang berlarik berlawanan arah sehingga tubuhnya hancur. Kedua orang kudus ini, St. Hippolitus dan St. Pontianus wafat sebagai martir dan untuk selamanya dikenang sebagai saksi pengampunan dan pengharapan Kristiani.

Kisah St. Pontianus tampaknya sekali lagi menggambarkan sebuah pernyataan yang menarik, �setiap orang kudus punya masa lalu dan setiap pendosa punya masa depan.� St. Hippolitus memiliki semangat dan berjuang agar ajaran Kristus dan Gereja tetap kokoh di tengah banyaknya ajaran-ajaran sesat yang menyerang. Motivasi yang sungguh baik dan sungguh benar. Tetapi sayangnya langkah yang ditempuh terlalu jauh bahkan melepaskan persatuan dengan Paus yang sah dan ini jelas bukan merupakan cara yang Katolik. Meskipun begitu, kisah St. Hippolitus juga menjadi bukti bahwa seorang yang salah selalu mempunyai kesempatan untuk kembali dari kesalahannya dan St. Hippolitus menunjukkannya dengan kembali berdamai dengan Gereja melalui St. Pontianus.

St. Hippolitus dan Doa Syukur Agung

Sebagaimana sudah disebutkan di atas, St. Hippolitus adalah seorang pembela ajaran iman yang benar. Dalam usahanya tersebut, St. Hippolitus menuliskan dan mendokumentasikan ajaran-ajaran, aturan-aturan dan sebagainya termasuk doa-doa Ekaristis yang telah ada sebelumnya dalam tulisan-tulisannya. Menurut Romo Cassian Folsom, OSB., inspirasi Doa Syukur Agung II dalam Misa Bentuk Baru (Novus Ordo) diambil dari Doa Syukur Agung untuk Misa Penahbisan Uskup Baru yang didokumentasikan oleh St. Hippolitus dalam bukunya yang berjudul Tradisi Apostolik Bab 4. Romo Mike Aquilina menuliskan teks tersebut dalam bukunya berjudul The Mass of the Early Christians hlm. 107-108.  Ini menjadi bukti keapostolikan Misa Kudus Gereja Katolik. Saya menerjemahkan secara kaku seturut teks bahasa Inggris yang tersedia.

Uskup: Tuhan bersamamu.
Umat: Dan bersama rohmu.
Uskup: Angkatlah hatimu.
Umat: Kami mengangkat hati kepada Tuhan.
Uskup: Marilah kita mengucap syukur kepada Tuhan.
Umat: Hal itu adalah layak dan benar.
Uskup: Kami bersyukur [kepada-Mu], oh Allah, melalui Putra-Mu terkasih Yesus Kristus, yang Engkau telah utus kepada kami pada hari-hari terakhir ini sebagai Juruselamat, Penebus dan Penyampai kehendak-Mu. Dia adalah Sabda-Mu, tak terpisahkan dari Engkau, yang melalui-Nya Engkau menciptakan segala sesuatu dan kepada-Nya Engkau berkenan. Dari surga Engkau mengutus Dia ke dalam rahim Sang Perawan [Maria] dan dikandung di dalam Sang Perawan, Dia menjadi manusia dan menjadi Putera-Mu, dikandung oleh Roh Kudus dan lahir dari Sang Perawan. Menggenapi kehendak-Mu dan memenangkan bagi-Mu orang-orang kudus, Dia merentangkan tangan-Nya saat Ia menderita dan melalui kematian-Nya, Ia dapat membebaskan mereka yang percaya kepada-Mu.
Ketika Dia dikhianati kepada kematian yang Dia kehendaki sehingga Dia dapat mengalahkan maut, mematahkan ikatan-ikatan iblis, menundukkan neraka di bawah kaki-Nya, memberikan terang kepada orang benar, menetapkan penghukuman, dan mewujudkan kebangkitan-Nya; Ia mengambil roti dan mengucap syukur kepada-Mu, [sambil] berkata: �Ambillah, makanlah! Ini adalah Tubuh-Ku yang dipecah-pecah bagimu.� Dengan cara yang sama [untuk] piala, [Ia] berkata: �Ini adalah Darah-Ku, yang ditumpahkan bagimu. Ketika kamu melakukan ini, lakukanlah dalam peringatan akan Aku.�
Oleh karena itu, mengenang kematian dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan kepada-Mu Roti dan Piala, mengucap syukur karena Engkau telah menganggap kami layak untuk berdiri di hadapan-Mu dan untuk melayani-Mu.
Kami berdoa supaya Engkau mengutus Roh Kudus-Mu atas persembahan-persembahan Gereja-Mu yang kudus.  Kumpulkanlah mereka semua bersama-sama, karuniakanlah kepenuhan Roh Kudus kepada semua orang kudus-Mu yang mengambil bagian [dalam Misteri Kudus-Mu], agar iman mereka boleh diteguhkan dalam kebenaran sehingga kami dapat memuji Engkau dan memberikan kepada-Mu kemuliaan dan kehormatan, bersama dengan Roh Kudus dalam Gereja yang kudus, sekarang dan selamanya. Amin. (Ket: Umat yang menghadiri Misa Kudus disebut orang-orang kudus, the saints).

Pax et bonum

Referensi:
Catholic Encyclopedia: St. Hippolytus of Rome

Sunday, July 7, 2013

Bobot Sebuah Misa



Kisah nyata berikut ini diceritakan Sr M. Veronica Murphy yang mendengarnya dari almarhum Romo Stanislaus SS.CC. (Kongregasi Hati Kudus).

Suatu hari bertahun-tahun yang lalu, di sebuah kota kecil di Luksemburg, seorang Kapten Penjaga Hutan sedang bercakap-cakap serius dengan seorang tukang daging ketika seorang wanita tua masuk ke tokonya. Tukang daging lantas memutuskan percakapannya dengan sang Kapten dan bertanya kepada si wanita tua itu apa yang dia inginkan. Ternyata si ibu tua itu datang untuk meminta sedikit daging tapi dia tidak punya uang. Sang Kapten merasa geli mendengar percakapan yang terjadi antara wanita miskin dan tukang daging itu, "Minta sedikit daging, tapi berapa yang akan Anda berikan?"




''Saya minta maaf saya tidak punya uang tapi saya akan mendengar Misa bagi Anda ". Saat itu, hadir di Misa lazim disebut dengan �mendengarkan� Misa.

Si tukang daging dan sang kapten keduanya adalah laki-laki yang baik tetapi sangat tidak peduli tentang agama, sehingga mereka langsung mengejek jawaban wanita tua itu.

"Baiklah," kata tukang daging, "Sekarang Anda pergi dan dengarkan Misa bagi saya. Dan ketika Anda datang kembali, saya akan memberikan daging sebanyak sesuai Misa yang layak."

Wanita itu meninggalkan toko dan kembali beberapa saat kemudian. Dia mendekati meja toko dan tukang daging melihatnya kemudian berkata, "Baiklah kalau begitu mari kita lihat."

Dia mengambil secarik kertas dan menulis di atasnya "Saya mendengar Misa untuk Anda." Dia kemudian meletakkan kertas pada sisi timbangan dan tulang kecil di sisi lain, tapi tidak ada yang terjadi.

Selanjutnya ia menukar tulang tadi dengan sepotong daging, tapi masih saja sehelai kertas tersebut tampak lebih berat. Kedua pria itu (tukang jagal dan kapten) mulai merasa malu atas sikap mengejek mereka, tapi tetap saja meneruskan kejadian tersebut.

Sepotong daging besar ditempatkan pada timbangan, tapi masih saja sehelai kertas bertuliskan �Saya mendengar misa untuk Anda� masih tampak lebih berat. Tukang daging, dengan putus asa, memeriksa timbangannya apakah ada yang salah, tapi semua bagiannya kondisinya masih benar.

"O wanita yang baik, apa yang Anda inginkan? Apakah Anda menginginkan saya memberikan sepotong kaki domba?" Saat mengucapkannya, ia tempatkan bongkahan daging kaki domba itu di timbangan, tetapi lagi-lagi sehelai kertas itu tetap lebih berat bobotnya.

Hal ini sangat mengesankan si tukang daging yang kemudian membuatnya ia bertobat, dan berjanji untuk memberikan jatah harian sejumlah daging bagi wanita miskin itu.

Adapun sang Kapten, dia meninggalkan toko si tukang daging temannya itu sebagai pria yang berbeda. Ia menjadi seseorang yang mencintai Misa harian. Dua putranya kemudian menjadi imam, satu seorang imam Yesuit dan lainnya di Kongregasi Hati Kudus (SS.CC.).

Romo Stanislaus menutup ceritanya dengan berkata"sayalah yang menjadi imam di Kongregasi Hati Kudus, dan Kapten itu adalah Ayah saya."

Sejak kejadian itu sang Kapten senantiasa hadir di Misa harian dan anak-anaknya dilatih untuk mengikuti teladannya. Kemudian, ketika anak-anaknya menjadi imam, ia menyarankan mereka untuk mengucapkan Misa dengan baik setiap hari dan tidak pernah melalaikan merayakan Kurban Misa sebisa mungkin.

sumber: 
bukunya bisa dicek di sini.
diterjemahkan oleh Shevyn Andreas.

Pax et bonum

Wednesday, July 3, 2013

Ringkasan Konferensi Sacra Liturgia 2013 � Seri Kedua


Tulisan ini adalah ringkasan kedua dari Konferensi Sacra Liturgia 2013. Penjelasan tentang Konferensi Sacra Liturgia 2013 dapat dilihat pada ringkasan seri pertama(silahkan klik). Bila pada seri pertama kita membaca topik dari Kardinal Ranjith dan Prof. Steinschulte, kali ini akan membaca topik dari Professor Tracey Rowland.

3. Professor Rowland
Professor Tracey Rowland adalah satu-satunya pembicara wanita dalam Sacra Liturgia 2013. Prof. Rowland adalah Dekan Institut Yohanes Paulus II untuk Pernikahan dan Keluarga di Melbourne. Beliau juga adalah professor di Pusat Iman, Etika, dan Masyarakat Universitas Notre Dame di Sydney. Dalam Sacra Liturgia 2013, Prof. Rowland membawakan topik berjudul �Usus Antiquior dan Evangelisasi Baru�. Sebelum masuk ke inti dari topik tersebut, saya akan menjelaskan secara singkat apa itu �Usus Antiquior�. �Usus Antiquior� dapat diterjemahkan sebagai �bentuk yang lebih tua� atau �penggunaan yang lebih tua�. Usus Antiquior adalah nama lain dari Misa Latin Tradisional yang juga disebut dengan istilah Misa Forma Ekstraordinaria atau Misa Tridentin. Sesuai sebutannya, Misa Tridentin adalah bentuk Misa yang lebih tua daripada bentuk Misa yang umum kita rayakan sekarang yang dikenal dengan sebutan Misa Novus Ordoatau Misa Forma Ordinaria. Kedua bentuk Misa ini adalah valid, sama-sama merupakan kekayaan Gereja dan keduanya diizinkan untuk dirayakan. Namun demikian, paska Konsili Vatikan II timbul pemahaman yang keliru bahwa Misa Novus Ordo menggantikan Misa Tridentin padahal hal ini sama sekali tidak diamanatkan oleh Konsili Vatikan II. Paus Benediktus XVI dengan Motu Proprio Summorum Pontificum menggalakkan kembali Misa Tridentin agar dapat dirayakan secara luas oleh umat beriman. Summorum Pontificum ini selanjutnya diteguhkan dengan dokumen Gereja Universal Ecclesiaeyang berisi instruksi-instruksi perihal Misa Tridentin.

Sebagai tambahan, untuk memahami isi topik Prof. Rowland, perlu juga dibedakan antara konsep generasi modern dan generasi paskamodern yang digunakan. Generasi modern adalah mereka yang menganggap ajaran dan tradisi Gereja yang sudah ada sejak dulu sebagai �sesuatu dari masa lampau� dan dianggap irrelevan dengan masa sekarang sehingga ajaran dan tradisi tersebut diabaikan dan seharusnya diubah. Sementara generasi paskamodern adalah mereka yang timbul sebagai reaksi terhadap modernisme. Mereka ingin mencari tahu lebih dalam tentang asal-usul mereka; mereka menghargai dan ingin mempertahankan ajaran dan tradisi Gereja.

Prof. Rowland berargumen bahwa Usus Antiquior adalah penangkal (antidot) terhadap serangan yang kejam kepada kenangan dan tradisi serta budaya tinggi (high culture); [serangan yang] khas dari budaya modernisme. Usus Antiquior memuaskan dahaga generasi paskamodern untuk dibawa ke dalam tradisi yang koheren, bukan tradisi yang sebagian, yang terbuka terhadap sesuatu yang transenden.

Prof. Rowland menyebutkan bahwa generasi modern paska Konsili Vatikan II, yaitu generasi 1960an telah �mengubah budaya tinggi yang sakral menjadi budaya duniawi yang rendah dengan hasil bahwa sesuatu yang sakral menjadi lebih duniawi dan ketika yang sakral menjadi lebih duniawi, hal yang sakral tersebut menjadi membosankan.�

Dalam mengemas iman di dalam bentuk budaya sezaman dan secara umum menghubungkan liturgi suci dengan norma kebudayaan massal, ahli strategi pastoral generasi 1960an tanpa disadari telah memupuk krisis dalam teori dan praksis liturgis. Generasi 1960an telah menelanjangi budaya tinggi Katolik dengan menghapus batu penjurunya dan meninggalkan generasi Katolik berikutnya dalam kemiskinan kultural, kekacauan dan kebosanan. Prof. Rowland menjelaskan bahwa Paus Benediktus XVI menyamakan strategi pastoral menarik Allah turun ke bawah kepada umat (ketimbang membawa umat mengangkat diri lebih tinggi kepada Allah) dengan penyembahan berhala orang-orang Ibrani kepada lembu emas dan Paus Benediktus XVI menjelaskan praktik ini tidak kurang dari sebuah bentuk penyangkalan iman.[1] Melihat hal ini, Prof. Rowland menunjukkan tentang perlunya Usus Antiquior, sesuatu yang tinggi dan sakral, untuk kehidupan Gereja masa sekarang. Seorang Katolik yang tidak mengetahui Usus Antiquior bagaikan seorang mahasiswa jurusan literatur Inggris tetapi tidak familiar dengan Shakespeare. 

Prof. Rowland menjelaskan bahwa �unsur-unsur Katolik yang hilang pada era generasi 1960an karena perubahan arah pastoral Gereja ditemukan kembali oleh generasi kaum muda Katolik di mana mereka memperlakukannya seperti harta karun yang ditemukan di dalam kotak kuno nenek mereka.� Ketika generasi Katolik paskamodern ingin mengetahui jati diri Katolik mereka, bagaimana Gereja Katolik terbentuk, bagaimana iman Katolik dilaksanakan selama berabad-abad, maka mereka melihat kepada setiap tradisi Gereja Katolik, secara khusus kepada Usus Antiquior. 

Seluruh struktur dari Misa Tridentine mengambil makna yang terdalam dari pengorbanan, bukan hanya sekadar perjamuan. Tidak ada antidot yang lebih besar terhadap sekularisme dan �Kekristenan yang mengacu pada diri sendiri� daripada refleksi terhadap kemartiran dan kurban Kristus di Kalvari di mana dengan merayakan Usus Antiquior, seseorang dapat mengalami refleksi ini secara nyata. Usus Antiquior hendaknya menjadi elemen standar dari modal kultural seluruh Katolik ritus Latin karena Usus Antiquior secara efektif menghambat sekularisme dan memuaskan kelaparan generasi paskamodern akan ketertiban, keindahan, dan pengalaman transendensi (mengangkat diri lebih tinggi kepada Allah). 

Di masa sekarang ketika globalisasi dipandang sebagai sesuatu yang bagus dan para pemerintah rela menghabiskan jutaan dollar untuk menjaga budaya-budaya dan praktik-praktik sosial pra-modern agar tetap hidup, Gereja Katolik seharusnya tidak malu akan harta karun budayanya sendiri. Untuk menginjili kembali orang-orang paskamodern, narasi-narasi Kristiani haruslah muncul sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dari budaya sekuler yang menjadi parasit budaya terhadap tradisi-tradisi Kristiani.

[1]. Kardinal Ratzinger dalam bukunya "Spirit of Liturgy" hlm. 21-23. Terjemahannya dapat dibaca di sini: http://luxveritatis7.wordpress.com/2012/12/29/kardinal-ratzinger-paus-benediktus-xvi-tentang-penyembahan-kepada-allah/.

Ringkasan, Kutipan, dan Foto semuanya berasal dari Sacra Liturgia 2013 (Situs, FB dan Twitter resmi). Semoga bermanfaat. pax et bonum

Sunday, June 30, 2013

Ringkasan Konferensi Sacra Liturgia 2013 - Seri Pertama



Konferensi Sacra Liturgia 2013 adalah sebuah even lanjutan dari Konferensi Adoratio 2011 yang telah dilaksanakan sebelumnya di Salesianum di Roma 2 tahun lalu. Kedua konferensi ini digagas oleh Uskup Dominique Rey dari Frejus-Toulon (Prancis). Konferensi Sacra Liturgia 2013 berlangsung dari tanggal 25 Juni hingga 28 Juni 2013 di Roma. Konferensi ini ditujukan sebagai tempat untuk berbagi refleksi, untuk studi, promosi dan pembaharuan apresiasi terhadap Liturgi Suci. 


Dalam Konferensi Sacra Liturgia 2013 ini, Uskup Rey mengundang para kardinal, uskup, imam dan para ahli liturgi sebagai pembicara untuk menjelaskan bahwa perayaan Liturgi yang benar adalah hal pertama yang sangat penting dalam kehidupan dan misi Gereja. Nama-nama pembicara tersebut antara lain Kardinal Canizares Llovera, Kardinal Burke, Kardinal Brandmuller, Kardinal Ranjith, Uskup Agung Sample, Uskup Aillet, Abbot Nault, Abbot Zielinski, Dom Alcuin Reid, Mgr. Nicola Bux dan lain-lain. Daftar lengkap pembicara beserta judul pembicaraannya dapat dilihat langsung di situs resmi Sacra Liturgia 2013 (silahkan klik).

Berdasarkan info dari Sacra Liturgia 2013, semua topik yang dibicarakan ini akan diterbitkan tahun depan dalam satu buku sehingga dapat dijadikan referensi untuk mempelajari Liturgi Suci dan sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman-kesalahpahaman terhadap Liturgi Suci. Meskipun begitu, baik FB dan Twitter resmi Sacra Liturgi secara kontinu membagikan kutipan-kutipan dan ringkasan dari topik-topik yang sedang dibicarakan serta homili dari Kardinal Llovera dan Kardinal Brandmuller. Saya mencoba untuk mengumpulkan dan mengarsipkan apa yang saya bisa sehingga para pembaca dapat mengetahui poin-poin penting mengenai Liturgi Suci sembari menunggu bukunya keluar tahun depan. Saya akan menyampaikannya secara berseri agar tidak terlalu panjang dan tidak langsung membuat jenuh. 

1. Kardinal Ranjith

Kardinal Albert Malcolm Ranjith saat ini adalah Uskup Agung Colombo (Sri Lanka) dan Sekretaris Emeritus Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Tata Tertib Sakramen. Beliau dengan topik berjudul �Liturgi Suci adalah Puncak dan Sumber Kehidupan dan Misi Gereja� menekankan bahwa keindahan dari Liturgi Suci tidak terletak pada seberapa menarik dan memuaskannya Liturgi Suci terhadap diri kita tetapi pada seberapa jauh kita dibawa masuk ke dalam sesuatu yang sedang terjadi dalam Liturgi Suci, sesuatu yang ilahi dan memerdekakan. Liturgi Suci menentukan keseluruhan proses dari pertumbuhan iman, transformasi dan pengudusan yang sejati dari kehidupan umat beriman. Dalam Liturgi Surgawi di bumi, Gereja membawa kita masuk ke dalam karya penyelamatan Allah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Gereja mutlak perlu bagi penebusan umat manusia. Semakin kita bersatu dengan Gereja, semakin kita bersatu dengan Kristus yang terjadi dalam cara yang paling ampuh di dalam Ekaristi (yaitu kita menyantap Sang Roti Hidup). Pada akhirnya, melalui Liturgi Suci, misi Gereja menjadi berbuah karena pada akhirnya Allah dan pengorbanan abadi-Nya telah menebus dunia. Oleh karena itu, Gereja memiliki tanggung jawab untuk menjaga kehidupan liturgisnya.

Di sini Kardinal Ranjith memberikan penegasan menarik: Sampai kita merayakan Liturgi Suci dengan benar, kita tidak dapat mewartakan kabar gembira. Liturgi Suci memurnikan kita dan memberikan ruang bagi Allah untuk melaksanakan karya-Nya melalui kita; Liturgi Suci yang dirayakan dengan buruk menghalangi hal ini. Mengutak-atik Liturgi berarti anda mengutak-atik misi Gereja.

(Komentar Admin: Di sini Kardinal Ranjith secara tidak langsung menjelaskan tentang hakikat Liturgi  Suci kepada banyak umat Katolik yang mungkin menganggap Liturgi Suci hanya sekadar cara beribadah semata. Liturgi Suci jelas lebih besar dari sekadar cara beribadah. Liturgi Suci adalah karya penyelamatan Allah terhadap manusia. Dalam Liturgi Suci, secara jelas dalam Komuni Kudus, manusia disatukan dengan Allah dan dikuduskan oleh-Nya. Hal ini juga menunjukkan bahwa Gereja penting untuk keselamatan sebab Gereja memberikan Sang Roti Hidup untuk kita santap.)


2. Professor Steinschulte

Professor Gabriel M. Steinschulte adalah Wakil Presiden Konsosiasi Internasional Musik Suci (Consociatio Internationalis Musicae Sacrae) dan direktur Schola Cantorum Coloniensis. Beliau  menyampaikan topik berjudul �Musik Liturgi dan Evangelisasi Baru�. Prof. Steinchulte menjelaskan bahwa musik adalah bagian dari kehidupan manusia sejak awal. Musik selalu bersifat komunikatif antara manusia denga manusia dan antara manusia dengan Allah. Oleh karena itu, merayakan sesuatu tanpa musik adalah sesuatu yang tidak pernah terpikirkan.

Setiap teks dalam suatu musik berhubungan dengan efek dari musik itu sendiri, teks-teks tersebut menyampaikan pesan yang dapat mempengaruhi manusia termasuk soal iman. Dalam konteks Liturgi Suci, Prof. Steinschulte berkata bahwa kita terlalu sering berbicara mengenai �musik di dalam Liturgi� daripada �musik Liturgi� yang disebut sebagai �Sacred Music� (Musik Sakral). Musik Sakral dan Iman saling berhubungan satu sama lain dan diungkapkan dalam pepatah �Hukum Doa adalah Hukum Iman�. Musik Suci menjadi ungkapan iman, diambil dari Kitab Suci dan Tradisi untuk setiap minggu, setiap hari dan setiap jam dari keseluruhan Tahun Liturgi. 

Terkait dengan Evangelisasi Baru, Steinschulte menjelaskan bahwa sejak kemunculan kitsch (istilah Jerman: seni, objek atau desain yang dianggap memiliki citarasa yang buruk yang diapresiasi dalam cara ironis) dan �sacral pop�, kita menghadapi hilangnya pemahaman yang benar terhadap musik. Ekspresi musik modern tampak terkait dengan de-evangelisasi dan relativisme musik. Oleh karena itu, menurut Steinschulte, siapapun yang menginginkan Evangelisasi Baru terjadi hendaknya kembali ke akar Kekristenan awal, secara khusus dalam hal musik. Steinschulte mengajukan pertanyaan retoris: �Siapakah yang kita injil? Orang-orang yang tidak mengetahui iman dan kultur kita. Kita dapat membawanya kepada mereka.� Secara khusus terhadap orang muda Katolik, Steinschulte berkata: �Kita seharusnya membawa orang muda kepada kekayaan Musik Sakral Gereja untuk menciptakan persatuan yang sejati antara mereka dan perjumpaan sosial yang baik.�

(Komentar Admin: Pernyataan Steinschulte dalam konteks orang muda Katolik di atas tampaknya harus diperhatikan oleh para pembina orang muda Katolik. Apakah kita akan membiasakan orang muda Katolik dengan lagu-lagu profan dan dengan band seperti yang umum terjadi pada Ekaristi Kaum Muda atau membawa mereka kepada kekayaan lagu-lagu Gregorian dan Polifoni Suci serta organ pipa Gereja di dalam Misa? Saya, sebagai orang muda Katolik, melihat bahwa kebanyakan orang muda Katolik tidak diakomodasi dalam pengenalan mendalam terhadap kekayaan Musik Sakral Gereja yang begitu banyak. Justru yang ada bahwa orang muda Katolik disuguhi dengan pelanggaran-pelanggaran Liturgi seperti memasukkan lagu-lagu Chrisye, Cokelat dan lagu-lagu profan lainnya serta band di dalam Misa Kudus.)



Ringkasan, Kutipan, dan Foto semuanya berasal dari Sacra Liturgia 2013 (Situs, FB dan Twitter resmi). Semoga bermanfaat. pax et bonum