Latest News

Showing posts with label Ekaristi. Show all posts
Showing posts with label Ekaristi. Show all posts

Saturday, August 25, 2012

Homili Minggu Biasa Ke-21 (26 Agustus 2012) oleh Pater Phil Bloom


Yesus Memberikan Komuni Kudus di Lidah Para Rasul - Luca Signorelli (1512)
Yesus menawarkan keselamatan baik material maupun spiritual. Ia mengundang kita kepada perjamuan-Nya � Perjamuan Anak Domba. Seperti yang akan kita lihat, perjamuan ini memiliki dimensi fisik dan spiritual.

Kita telah mempelajari Yohanes, Pasal 6 � Yesus Sang Roti Kehidupan. Lebih jauh kita telah melihat: 1) bahwa Yesus sendiri Roti yang dapat memuaskan rasa lapar kita, 2) bahwa Yesus adalah �Roti yang turun dari Surga� untuk penebusan � sehingga kita dapat memasuki hubungan dengan Bapa dan 3) bahwa menerima Yesus dalam Kurban Kudus Ekaristi adalah perlu untuk kehidupan kekal. �... jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.� (Yoh 6:53)


Terdapat pengajaran-pengajaran yang sangat keras, bahkan mengejutkan, seperti yang Yesus tunjukkan kali ini. Kita dapat memahami mengapa banyak orang mengundurkan diri dari Dia. Perhatikan bahwa Kristus tidak berkata, �Kembalilah. Saya hanya bermaksud simbolis saja.� Tidak, Kristus justru bertanya kepada para rasul-Nya, �Apakah kamu tidak mau pergi juga?�

Itulah pertanyaan yang Yesus berikan di hadapan kita sekarang: Apakah kita siap untuk menerima Yesus � tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara fisikal?

Selama berabad-abad, orang-orang menghendaki untuk menspiritualisasikan Yesus � untuk membuang jauh-jauh aspek fisik-Nya. St. Yohanes mengingatkan kita mengenai mereka: �Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia.� (2 Yoh 1:7 ; bdk 1 Yoh 4:1-6). Kita dapat melihat bahwa hal ini terlalu menspiritualkan Yesus terutama dalam Gnostisisme � ajaran sesat kuno yang masih berlangsung sampai sekarang. Gnostik berpikir bahwa mereka memilik sebuah pengetahuan rahasia (dalam bhs Yunani �gnosis�) yang membuat mereka lebih tinggi dibanding sesamanya. Mereka tidak memerlukan pembaptisan. Mereka tidak memerlukan Ekaristi. Mereka memiliki sebuah rahasia, pengetahuan superior. Gnostik berpikir bahwa pengetahuan itu � pencerahan itu, adalah semua yang ia butuhkan.

Umat Kristiani selalu menolak pendekatan spiritual berlebihan ini. Bagi kita, keselamatan membutuhkan baik spirit maupun materi. Di sinilah bagaimana C.S. Lewis mengekspresikan hal itu: �Ada tiga hal yang mewartakan kehidupan Kristus kepada kita: pembaptisan, keyakinan dan tindakan-tindakan misteri yang umat Kristiani sebut dengan nama-nama yang berbeda � Komuni Kudus, Misa Kudus, Perjamuan Anak Domba.� Keyakinan adalah spiritual tetapi Pembaptisan dan Komuni adalah peristiwa fisik � sakramen-sakramen (tanda kehadiran Allah yang kelihatan). Kita membutuhkan materi (hal-hal fisik) untuk keselamatan. Seperti yang Lewis tunjukkan, �Allah menyukai materi. Ia menemukannya.�

Untuk menerima realitas Kristus secara fisik dan materi berarti bahwa keselamatan memerlukan kerendahan hati. Saya tidak memiliki pengetahuan yang superior. Saya diselamatkan sama seperti orang-orang biasa � dengan dibersihkan dalam pembaptisan dan dengan makan Roti dan Anggur. Tindakan-tindakan ini adalah tindakan rendah hati seseorang, tetapi dalam kata-kata himne yang indah, �Ini adalah karunia untuk menjadi sederhana, ini adalah karunia untuk menjadi bebas, ini adalah karunia yang turun di mana kita seharusnya berada.�

Menerima material-material berarti bahwa keselamatan melibatkan sesuatu sebagai tambahan terhadap kerendahan hati. Keselamatan membutuhkan disiplin. Menerima sakramen-sakramen membuat kita menjadi bagian dari komunitas manusia. Hal itu memerlukan disiplin dan kerja keras. Tanyakan saja pada pasangan-pasangan yang sudah menikah.

Dalam bacaan kedua, St. Paulus berbicara mengenai komunitas perkawinan. Dia memberitahu istri untuk mempraktikan kerendahan hati. Sekali waktu seorang ibu memberitahu saya, �Bapa, Saya mencoba untuk menjadi istri yang rendah hati, tapi masalahnya adalah saya selalu benar dan suami saya selalu salah.� Saya tahu itu, tapi bagaimanapun juga tetaplah mempraktikkan kerendahan hati. Dan St. Paulus memberitahu suami untuk mencintai istrinya seperti Kristus mencintai Gereja. Kristus mencintai mempelai-Nya, yaitu Gereja, dengan memberikan hidup-Nya bagi Gereja sampai pada titik darah penghabisan. Dan Darah-Nya membawakan pengampunan dan membuat kita mampu memaafkan satu sama lain.

Adalah mudah untuk melihat mengapa orang-orang lebih mementingkan sebuah pendekatan spiritual secara murni [dan mengabaikan fisik]. Pendekatan seperti ini menghindarkan mereka dari berbagai pekerjaan rumit untuk membentuk sebuah komunitas.

Untuk menerima Yesus secara fisik � untuk memakan daging-Nya dan meminum darah-Nya dalam kehadiran Misa setiap minggu atau setiap hari � memerlukan usaha (kerja keras), sebuah upaya yang membutuhkan infusi (pemasukan) rahmat. Tetapi, saya memohon kepada anda, saudara-saudari, janganlah menyerah. Usaha ini akan membawakan sebuah hadiah, sebuah reward yang berada di luar bayangan kita.

Ketika saya menyampaikan seri homili ini, saya berbicara kepada anda mengenai bagaimana kita semua menginginkan surga dan bagaimana iblis mencoba untuk mengecoh kita dengan menawarkan surga duniawi kepada kita � sebagai contoh melalui obat-obatan, alkohol, hal-hal porno, perjudian dan lain-lain. Iblis tidak ingin membawakan kita kebahagiaan, melainkan kesengsaraan.

Yesus di sisi lain memanggil kita untuk rendah hati dan bekerja keras, tetapi ia memberikan kita damai yang membuat kita bertahan. Dan Ia menawarkan kita sekarang mencicipi surga [dalam Misa Kudus].

Dr. Scott Hahn telah menulis sebuah buku yang berguna berjudul �Perjamuan Anak Domba: Misa sebagai Surga di bumi.� Dia menunjukkan kepada kita bagaimana Kitab Wahyu dapat memperdalam pemahaman kita mengenai apa yang terjadi saat Misa dan bahwa Misa memberikan kita sebuah kunci untuk membuka Kitab Wahyu. Seperti yang dikatakan Dr. Hahn, �Menghadiri Misa adalah untuk memperbaharui perjanjian kita dengan Allah, seperti saat pesta perkawinan � karena Misa adalah Perjamuan Kawin Anak Domba.�

Misa adalah puncak dari seluruh kehidupan Kristiani. Di sini kita menerima Yesus tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara fisik � Daging dan Darah-Nya. Terberkatilah mereka yang dipanggil hadir ke dalam Perjamuan Anak Domba. Amin.

Pater Phil Bloom adalah Pastor Paroki St. Mary of the Valley, Monroe
Homili di atas diterjemahkan dari situs resmiparoki tersebut.

Pax et Bonum

Wednesday, March 21, 2012

Gambar Minggu Ini - Illustration from the Tetraevangelo


Jacob Copista, Illustration from the Tetraevangelo, Library of the Mechitarist Fathers, Vienna.
Ilustrasi ini menggambarkan Perjamuan Malam Terakhir dengan penetapan Ekaristi dalam sebuah ruang besar dengan permadani menutup lantai (bdk. Mrk 14:15).

�Ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: �Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku�. Sesudah itu, Ia mengambil cawan, mengucap syukur, lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: �Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa�.� (Mat 26:26-28).


Dalam lukisan ini, Yesus duduk bersama para Rasul di sekitar meja yang berbentuk piala. Di meja, terletak roti dan anggur. Ruangan yang digambarkan dengan latar belakang arsitektur yang dikerjakan dengan teliti, bangunan dan tabernakel bundar dengan tujuh tiang melambangkan Gereja, tempat tinggal Kristus Ekaristi. Ada detail yang cukup berarti, Rasul Yohanes menyandarkan kepalanya ke dada Yesus (bdk. Yoh 13:25). Yohanes menampakkan persatuan cinta yang dihasilkan Ekaristi dalam diri umat beriman. Ini merupakan jawaban murid terhadap undangan Sang Guru.

�Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak. ... Tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku� (Yoh 15:5.9-10).

Ekaristi adalah persekutuan dengan Yesus dan makanan rohani untuk menunjang umat beriman dalam perjuangan hidupnya untuk menaati perintah-perintah-Nya.

�Juru Selamat ... selalu dan sepenuhnya hadir bagi mereka yang hidup dalam Dia. Dia mencukupi setiap kebutuhan mereka. Dia adalah segalanya bagi mereka dan tidak akan membiarkan mereka memalingkan muka mereka kepada hal-hal lain atau mencari sesuatu yang terpisah dari-Nya. Bagi para kudus, betul-betul tak ada sesuatu pun yang lain yang mereka butuhkan kecuali hanya Dia; Dia memberi mereka kehidupan dan perkembangan; Dia memberi mereka makan; Dia merupakan cahaya dan napas mereka; Dia membentuk gambaran Diri-Nya dalam diri mereka; Dia menyinari mereka dengan sinar-Nya dan kemudian menampakkan Diri-Nya kepada mereka. Dia sekaligus makanan dan Dia yang memberi makan. Dialah yang memberikan roti kehidupan dan yang Dia berikan itu Diri-Nya, kehidupan dari segala yang hidup, keharuman bagi yang menghirup, pakaian bagi mereka yang akan memakainya. Sekali lagi, Dialah yang membuat kita mampu berjalan dan Dialah jalan dan juga tempat istirahat, dan tujuan akhir. Kita adalah anggota-anggota-Nya, Dia adalah Kepala. Apakah perlu bertempur? Dia bertempur bersama dengan kita, dan Dialah yang memaklumkan kemenangan kepada mereka yang layak menerima kehormatan. Apakah kita menang? Lihatlah, Dialah mahkota kemenangan. Jadi dari setiap arah, Dia membimbing pikiran kita kembali kepada-Nya, dan Dia tidak akan membiarkan kita berpaling kepada hal-hal lain ataupun ditangkap oleh cinta akan sesuatu yang lain. ... Dari apa yang sudah kita katakan seharusnya menjadi jelas bahwa hidup dalam Kristus tidak hanya berkenaan dengan masa yang akan datang, tetapi Dia sungguh sudah hadir bagi para Kudus yang hidup dan berkarya di dalamnya� (N. Cabasilas, Hidup dalam Kristus, 1, 13-15).

Sumber: Kompendium Katekismus Gereja Katolik hal 121-122

Pax et Bonum

Friday, March 2, 2012

Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja Saat Ini


His Holiness Benedict XVI
Sejak 2 tahun lalu terjun dalam bidang apologetika dan katekese dunia maya, saya kerapkali melihat laporan terjadinya Pelecehan Liturgi dalam Ekaristi dari teman-teman atau dari para anggota fanspage Katolik berbahasa Indonesia yang ada di facebook. Tidak jarang akhirnya muncul perdebatan-perdebatan antara yang menghendaki Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja dengan yang tidak terlalu mempedulikan Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja. Di samping itu, sejumlah blog dan situs luar yang concern terhadap Pelecehan Liturgi seperti Rorate Caeli, New Liturgical Movement, dan What Do The Prayer Really Says juga sering mempublikasikan Pelecehan-Pelecehan Liturgi yang terjadi di luar Indonesia, mulai dari pelecehan ringan hingga pelecehan berat.

Ironisnya, sejumlah denominasi-denominasi Protestan yang liturginya berakar pada Katolisitas justru ternyata lebih setia dan taat pada aturan liturgi mereka, sebut saja denominasi Grace Lutheran Church, denominasi Anglican Church dan Episcopalian Church. Akhirnya muncullah kalimat-kalimat dari sejumlah orang Katolik yang peduli Liturgi bahwa denominasi-denominasi ini �lebih Katolik daripada Gereja Katolik sendiri.�


Apakah terlalu jauh mengatakan bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja saat ini? Tidak sama sekali. Paus Benediktus XVI, para kardinal dan uskup justru mengamini pernyataan ini. Mari kita lihat:
A young priest recently told me: "Today we need a new liturgical movement". He was expressing a desire, these days, only deliberately superficial souls would ignore. What matters to that priest is not the conquest of new, bolder liberties. For, where is the liberty that we have yet to arrogate ourselves? That priest understood that we need a new beginning born from deep within the liturgy, as liturgical movement intended. In its practical materialization, liturgical reform has moved further away from this origin. The result was not re-animation but devastation. [1]
Di sini Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa pembaharuan Liturgi di era modern ini berjalan terlalu jauh dari yang aslinya. Akibatnya adalah sebuah penghancuran.
A renewal of liturgical awareness, a liturgical reconciliation that again recognises the unity of the history of the liturgy and that understands Vatican II, not as a breach, but as a stage of development: these things are urgently needed for the life of the Church. I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council. [2]
Di sini Kardinal Ratzinger (Bapa Suci Benediktus XVI) menyatakan bahwa krisis di dalam Gereja yang dialami sekarang sebagian besar disebabkan oleh disintegrasi Liturgi.

Selain pernyataan Bapa Suci Benediktus XVI di atas, Msgr. Georg Ratzinger, saudara tua Paus Benediktus XVI juga melihat bahwa fokus dari Bapa Suci Benediktus XVI yang paling utama adalah Liturgi. Dalam wawancaranya dengan Catholic News Service, Beliau memaparkan:
Tapi dia (Benediktus XVI), tentu saja, sangat peduli bahwa Liturgi harus dirayakan dengan layak dan dirayakan dengan benar. Memang, itu adalah masalah sejati. Music director keuskupan kami baru-baru ini mengatakan bahwa tidak mudah saat ini untuk menemukan sebuah gereja di mana sang imam merayakan Misa-nya sesuai dengan peraturan gereja. Ada begitu banyak imam yang berpikir mereka harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana. Jadi saudara saya (Benediktus XVI) menginginkan keteraturan, Liturgi yang baik yang menggugah orang-orang secara batiniah dan dipahami sebagai panggilan dari Allah. [3]
Selanjutnya, Kardinal Koch, Presiden Komisi Pontifikal untuk Promosi Persatuan Kristen menyatakan demikian:
Present day liturgical practice does not always have any real basis in the Council. For example, celebration versus populum was never mandated by the Council, says the Cardinal. A renewal of the form of divine worship is necessary for the interior renewal of the Church: Since the crisis of the Church today is above all a crisis of the liturgy, it is necessary to begin the renewal of the Church today with a renewal of the Liturgy. [4]
Kardinal Koch malah memberikan pernyataan yang eksplisit bahwa krisis Gereja sekarang di atas semuanya adalah Krisis Liturgi dan pembaharuan Gereja sekarang perlu dimulai dari pembaharuan Liturgi. Kardinal Koch mengatakan hal ini di fakultas teologi Universitas Freiburg, sebuah universitas dengan teologi yang �progresif�.

Di samping Paus Benediktus XVI dan Kardinal Koch, pejabat tinggi Vatikan lainnya, Kongregasi untuk Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen mengeluarkan instruksi Redemptionis Sacramentum pada 25 Maret 2004 yang dilatarbelakangi oleh maraknya Pelecehan Liturgi. Hal ini menegaskan bahwa Gereja memang mengalami Krisis Liturgi:
�Dalam hal ini tidaklah mungkin untuk diam mengenai pelecehan-pelecehan [liturgi], bahkan [pelecehan] yang sungguh serius, terhadap kodrat liturgi dan sakramen-sakramen serta tradisi dan otoritas Gereja, yang di masa kita tak jarang mengganggu perayaan liturgi di satu lingkungan gerejani atau yang lainnya. Di beberapa tempat perbuatan Pelecehan Liturgis hampir telah menjadi kebiasaan, suatu fakta yang jelas tidak dapat dibiarkan dan harus berhenti.� (Redemptionis Sacramentum 4)
Sungguh tepat bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Universal saat ini. Krisis Liturgi ini dimanifestasikan dalam bentuk Pelecehan Liturgi selama Perayaan Ekaristi. Sebenarnya mengapa Liturgi ini begitu penting dan suci sehingga pelecehan terhadapnya menjadi sebuah krisis utama Gereja?  Mari kita melihat hal ini berdasarkan pengajaran Gereja:

Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama. (Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium 7).

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Liturgi pertama-tama merupakan karya imamat Yesus Kristus serta tindakan Gereja. Sacrosanctum Concilium 6 juga mengatakan bahwa karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja dilaksanakan dalam Liturgi. Nah, dengan demikian pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan terhadap karya imamat Kristus dan tindakan Gereja. Di samping itu, karena Liturgi tidak bisa terpisahkan dari Ekaristi, maka setiap pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan juga terhadap jantung Gereja Katolik, yaitu Kurban Ilahi Ekaristi (Divine Sacrifice of Eucharist). [5] Apa yang seringkali tidak disadari oleh umat Katolik sekarang ini adalah Kurban Kristus dan Kurban Ilahi Ekaristi adalah satu kurban. Ekaristi itu satu kurban Kudus dan Ilahi yang menghadirkan kembali kurban Kristus di salib (bdk. KGK 1330 dan KGK 1366). Oleh karena itu, sungguh sangat tepat mengatakan bahwa Krisis Liturgi merupakan krisis utama dan terbesar Gereja karena Krisis Liturgi ini juga menyerang kurban Kristus di salib.

Adalah sesuatu yang menyedihkan dan memprihatinkan melihat kondisi Perayaan Ekaristi dengan Pelecehan Liturgi yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia.  Pelecehan Liturgi telah menjadi hal umum yang dijumpai hampir setiap Minggu dan begitu banyak orang tidak terlalu peduli akan hal ini. Lebih tragisnya, pelecehan yang terus-menerus ini kemudian dianggap sebuah kebiasaan dan dibenarkan. Apa yang terjadi di masa sekarang adalah Liturgi menjadi milik Para Imam dan Umat. Liturgi yang sudah dipromulgasikan oleh Gereja Katolik dengan berdasar pada Kitab Suci dan Tradisi Apostolik kemudian dinodai oleh berbagai bentuk Pelecehan Liturgi baik yang dilakukan oleh kaum tertahbis maupun oleh awam.

Apa saja penyebab terjadi begitu banyak Pelecehan Liturgi? Ada banyak penyebabnya dan bisa jadi begitu kompleks. Berdasarkan pengalaman saya, penyebab-penyebabnya antara lain:

1. Selebran Perayaan Ekaristi (Uskup atau Imam) melupakan tugas mereka sebagai Pelayan Liturgi bukan Pemilik Liturgi. Seperti kata Monsinyur Georg Ratzinger di atas, mereka merasa harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang terjadi tidak lain adalah improvisasi dan inkulturasi Liturgi yang seringkali sangat parah dan kebablasan. Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Monsinyur Antonio Guido Filipazzi mengatakan:
�Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.� [6]
Sang Uskup dan Imam pun harus berani menegur dan bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi di sekitar mereka. Membiarkan Pelecehan Liturgi terjadi tanpa ada teguran dan koreksi akan menjerumuskan umat. �Romo gak marah, gak ngelarang tuh, Romo juga gak bilang ini salah, lalu mengapa kamu sok tahu bilang ini salah itu salah?� Kalimat seperti ini akan sering terdengar dari umat atau tim liturgi kala ditegur akibat kekeliruan mereka bila Uskup atau Imam tidak bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi. Ingat, menjadi pelayan Liturgi berarti juga melindungi Liturgi dari pelecehan.

2. Kurangnya Katekese mengenai Liturgi. Ini merupakan problem mendasar yang dialami umat. Ketidaktahuan akan Liturgi serta terjadi pembenaran kebiasaan yang keliru membuat umat tidak menyadari batasan-batasan dalam Liturgi. Tim Liturgi Paroki yang terkadang kurang kompeten juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Pelecehan Liturgi. Sebenarnya, melalui homili, imam atau uskup pun bisa menyisipkan berbagai materi katekese mengenai Liturgi yang dapat menambah wawasan umat. Tidak hanya umat yang mengalami minimnya katekese mengenai Liturgi, sejumlah imam pun mengakui bahwa mereka baru mengetahui Pedoman Umum Missale Romanum (Pedoman Gereja Katolik untuk Perayaan Ekaristi, red) setelah beberapa tahun menjadi imam. Kualitas pendidikan mengenai Liturgi di seminari pun harus ditingkatkan kualitasnya bila tidak mau Liturgi terus-menerus dilecehkan.

3. Prinsip �Yang Penting Hati�. Banyak Kaum Tertahbis dan awam senang sekali membenarkan Pelecehan Liturgi dengan kata-kata �yang penting hatinya�. �Gak apa-apa toh, yang penting hatinya.� �Ya sudah, gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.� Prinsip �yang penting hatinya� ini tidak pernah menjadi prinsip Gereja apalagi diajarkan oleh Gereja dan Kitab Suci. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah �Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (emosional) dan dengan segenap jiwamu (spiritual) dan dengan segenap akal budimu (rasional) dan dengan segenap kekuatanmu (fisikal).� (Mrk 12:30). Inilah empat pilar pondasi kasih sejati dalam mengasihi Allah: emosional, rasional, spiritual, fisikal. Prinsip �Yang penting hati� mereduksi cinta yang seharusnya utuh diberikan kepada Allah dalam Liturgi. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang menghindari prinsip �yang penting hati� dan berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah karena Allah telah lebih dulu memberikan yang terbaik buat kita.

4. Ego manusia. �Misa itu membosankan.� �Lagunya gitu-gitu aja, gak berubah.�  �Gimana kalau Homili diganti drama aja biar gak ngantuk?� Banyak tim Liturgi akhirnya menyerah pada ego manusia dan kemudian memasukkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Liturgi. Atau malah Imamnya sendiri ditodong menjelang Perayaan Ekaristi, �Mo, ntar lagunya pop rohani begini-begini begitu ya, Mo. Ntar ada tambahan ini dan itu.�, dll. Akhirnya, Perayaan Ekaristi pun berjalan sesuai keinginan umat, bukan seturut kehendak Gereja. Akhirnya, Perayaan Ekaristi diadakan sesuai dengan selera umat, bukan seturut aturan Gereja. Pelecehan Liturgi pun terjadi. Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris berkata:
�Liturgi adalah tidak pernah menjadi milik saya sendiri, atau ciptaan saya. Ini adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita dari Allah Bapa. Maka dari itu, selera saya sendiri, kecondongan saya sendiri, kepribadian saya, pandangan saya sendiri mengenai eklesiologi, [perlu] dikesampingkan dan tidak penting. ... [Liturgi] tidak pernah digunakan sebagai bentuk ekspresi diri.Yang benar adalah sebaliknya, � Misa adalah tindakan Gereja. Itu yang penting, [dan] bukan pendapat saya.� [7]
Dalam pernyataan ini, Uskup Agung Nichols menekankan bahwa siapapun, baik kaum tertahbis maupun awam, harus meninggalkan  ke-aku-an mereka di dalam Perayaan Ekaristi. Ego-ego seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Ingatlah bahwa ego pribadi bisa menjadi berhala yang menjauhkan kita dari Allah. Contohnya: Karena merasa bosan ikut Perayaan Ekaristi, banyak orang Katolik �jajan� ke kebaktian Protestan yang lebih meriah dan asyik. Tanpa disadari, karena ego mereka ini, mereka telah menjauh dari Allah. Mereka lebih memilih hadir di kebaktian Protestan ketimbang menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri dalam Perayaan Ekaristi.

Pelecehan Liturgi di samping merupakan pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus, juga menyebabkan melemahnya iman. Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat liturgi, Misa [yang dilaksanakan] akan mengakibatkan hilangnya iman,� demikian kata Kardinal asal AS Raymond L. Burke, Ketua Mahkamah Agung Vatikan. Kardinal Canizares, Kepala Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen Gereja Katolik, mengatakan hal senada dengan Kardinal Burke, �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� [8]

Bagaimana bisa Pelecehan Liturgi menyebabkan melemahnya iman? Saya pernah membahasnya di artikel ini. Berikut pemaparannya:
Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan Pelecehan Liturgi akan membenarkan pelecehan tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera umat" perlahan tapi pasti semakin membuat umat merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Umat akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika umat merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat.

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat umat lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, umat yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas. Misa yang buruk jelas melemahkan iman umat, baik yang taat maupun yang tidak taat.
Kesimpulannya, Krisis Liturgi sungguh merupakan krisis utama Gereja Katolik saat ini. Krisis ini mempengaruhi Gereja secara luas dan perlu dihentikan. Peran serta kaum tertahbis maupun awam sangat diperlukan untuk meredakan Krisis Liturgi ini. Di samping itu, baik kaum tertahbis maupun awam memanglah harus kaku, taat, disiplin dan setia terhadap aturan-aturan Liturgi itu sendiri. Hendaklah kekakuan, ketaatan, kedisiplinan dan kesetiaan ini dipandang sebagai bentuk kasih kepada Allah dalam Ekaristi dan juga kasih kepada Gereja. Tanamkanlah dalam pikiran kita bahwa Ekaristi adalah Kurban untuk pereda kemarahan Allah dan pendamai hubungan kita dengan Allah yang rusak karena dosa-dosa kita. Dengan melecehkan Liturgi dan Ekaristi yang adalah anugerah Allah, bukankah kita justru telah menyakiti hati Allah?

Sementara kita harus memaklumi sulitnya menerapkan Liturgi yang baik dan benar di daerah pedalaman Indonesia karena sulitnya akses informasi, kita tetap harus mendorong pembaharuan Liturgi di daerah-daerah kota yang sudah memiliki akses informasi yang jauh lebih baik. Dengan begini, akan tercapai sebuah Perayaan Ekaristi yang indah dan berkenan di hati Allah. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.� (Luk 16:10)


Referensi dan Sumber:
[1]. Cardinal Ratzinger (kemudian Paus Benediktus XVI), Condensed from the 30 Days printing of Cardinal Ratzinger's preface to La Reforme liturgique en question, by Klaus Gamber, Editions Sainte-Madeleine.
[2]. Cardinal Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927 � 1977 The Regensburg Years
[5]. Istilah �Kurban Ilahi Ekaristi� diambil berdasarkan Sacrosanctum Concilium 2.

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap Paus Benediktus XVI, Paus Liturgi. Pax et Bonum

Saturday, February 18, 2012

Respon terhadap Pelanggaran Liturgi dalam Misa Valentine 2012

Salah satu foto dokumentasi Misa Valentine 14 Februari 2012 di Paroki St. Antonius Purbayan
Misa Valentine yang dirayakan pada tanggal 14 Februari 2012 di Gereja St. Antonius Purbayan, Solo, membuat geger dan prihatin banyak umat Katolik yang peduli terhadap Liturgi dan Ekaristi. Foto-foto dalam album Misa Valentine yang diselenggarakan di paroki ini menunjukkan sejumlah pelanggaran Liturgi yang serius antara lain:

1. Umat diizinkan menyambut Komuni Kudus dengan cara �Oreo� atau mencelup sendiri Tubuh ke dalam Darah Kristus. Hal ini melanggar aturan Gereja mengenai Ekaristi dalam dokumen Redemptionis Sacramentum 104: �Umat yang menyambut, tidak boleh diberi izin untuk sendiri mencelupkan Hosti ke dalam Piala; tidak boleh juga ia menerima Hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya. Hosti yang dipergunakan untuk pencelupan itu harus dikerjakan dari bahan sah dan harus sudah dikonsekrir; untuk itu dilarang memakai roti yang belum dikonsekrir atau yang terbuat dari bahan lain.


2. Imam memimpin Misa tidak menggunakan Busana Liturgi yang lengkap. Dalam berbagai foto di album tersebut, Imam yang memimpin Misa hanya menggunakan stola. Hal ini melanggar aturan Gereja mengenai Ekaristi dalam dokumen Redemptionis Sacramentum 126: �Tidak dapat disetujui bahwa para petugas suci merayakan Misa Kudus atau cara-cara liturgi lain tanpa busana suci atau dengan hanya stola di atas busana rahib atau biara atau di atas pakaian biasa. Hal ini berlawanan dengan apa yang ditentukan dalam buku-buku liturgi. Hal ini berlaku juga bila satu pelayan mengabil bagian. Demi memperbaiki penyewengan-penyelewengan itu secepat mungkin, para ordinasi hendaknya memperhatikan agar di semua gereja dan kapela yang berada di bawah yurisdiksi mereka, tersedialah busana liturgis yang secukupnya coraknya sesuai dengan norma-norma.

Album ini pun langsung menjadi medan diskusi baik yang membela pelanggaran Liturgi tersebut maupun yang menegaskan aturan Liturgi sembari menolak pelanggaran Liturgi tersebut. Well, saya pun akhirnya memberi sejumlah tanggapan di sana. Dalam artikel ini, saya hendak mengarsipkan sebuah tanggapan saya terhadap pertanyaan salah seorang yang berdiskusi di sana. Pertanyaannya dalam tulisan MERAH, dan tanggapan saya dalam tulisan Hitam dengan sejumlah perbaikan kata.

PERTANYAAN: Tapi tetap saja saya belum bisa memahami apakah tindakan OMK Purbayan salah di mata Allah. Pertanyaan dalam hati saya, apakah setelah perayaan ekaristi itu anak-anak mudanya langsung murtad dan meninggalkan Gereja Katolik? Atau malah justru mereka semakin mencintai Kristus dan Gerejanya?

TANGGAPAN: Kurban Kudus Misa (Perayaan Ekaristi) adalah untuk mendamaikan Allah dengan manusia, untuk meredakan kemarahan Allah atas dosa-dosa manusia. Liturgi untuk merayakan Kurban Kudus Misa adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada Gereja untuk diajarkan kepada kita supaya kita tahu bagaimana menyenangkan hati Allah, berdamai dengan Allah. Ingat, Liturgi tidak diserahkan Allah kepada masing-masing pribadi manusia, tetapi hanya kepada Gereja saja. Gereja lebih tahu mana yang menyenangkan hati Allah ketimbang kita masing-masing. Pelanggaran terhadap Liturgi merupakan suatu kesalahan, tidak hanya di mata Gereja yang diserahi tanggungjawab untuk mengajarkannya, tetapi juga suatu kesalahan di mata Allah sebagai penganugerah Liturgi tersebut.

Setelah Perayaan Ekaristi tersebut, memang mereka tidak langsung murtad dan meninggalkan Gereja. Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan pelanggaran liturgi akan membenarkan pelanggaran tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera kaum muda" perlahan tapi pasti semakin membuat kaum muda merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Kaum muda akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika kaum muda merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat (kaum muda khususnya).

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat kaum muda lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, kaum muda yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas (well, saya nyaris seperti ini, melirik kelompok ultra-tradisionalis).  Misa yang buruk jelas melemahkan iman kaum muda, baik yang taat maupun yang tidak taat.

Saya sering membaca artikel-artikel luar negeri dan di sana dipaparkan dengan jelas bahwa krisis Liturgi menurut Paus, banyak Kardinal dan Uskup adalah krisis terbesar yang dihadapi Gereja saat ini. Ini contohnya, dari Kardinal Koch: �The Crisis of the Church is Above All a Crisis of the Liturgy�. Paus Benediktus XVI malah sudah menulis buku "The Spirit of Liturgy" untuk menjelaskan Liturgi yang benar.

Saya juga kaum muda, dan syukur kepada Allah, saya semakin sadar pentingnya ketaatan dalam Perayaan Ekaristi. Anyway, jawaban saya sudah kepanjangan, nanti semakin dicap sebagai "orang farisi" lagi. Tapi, tidak apa-apa dicap demikian daripada membiarkan yang salah terus terjadi tanpa berbuat apa-apa. Pax et Bonum