Latest News

Showing posts with label Artikel lain. Show all posts
Showing posts with label Artikel lain. Show all posts

Thursday, March 15, 2012

Cerita Singkat Pengalaman Mengunjungi Seminari Damian

http://www.sscc.org/x_gif/sscc_logo_wrm.gif
Logo SS.CC. (sumber: sscc.org)
Kamis 15 Maret 2012, Indonesian Papist berkesempatan mengunjungi Seminari Damian milik Kongregasi SS.CC. yang lebih dikenal dengan Kongregasi Picpus atau Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria. Ini adalah kunjungan kedua saya ke Seminari Damian setelah sebelumnya saya mengunjungi Seminari tersebut untuk mengajak jalan-jalan Frater Paulus Molina SS.CC. dari Singapura yang sedang berkunjung ke Indonesia.

Dengan mengendarai motor, saya berangkat menuju seminari dan tiba di sana pukul 10.30 dan disambut dengan hangat oleh Frater Feliks, SS.CC. dan dipersilahkan masuk ke ruang tamu seminari. Di sana awalnya saya hendak bertemu Frater Jones SS.CC. yang secara marga batak adalah tulang/paman saya. Kami pun berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Dari pembicaraan tersebut saya mendapatkan info bahwa ada dua orang seminaris yang mengundurkan diri dari SS.CC.  Hal ini sungguh memprihatinkan di tengah peningkatan umat yang lebih cepat ketimbang peningkatan jumlah imam. Saya dan Frater Jones (dan saya yakin banyak dari umat Katolik) menyebut hal ini dengan istilah �Krisis Panggilan�. However, istilah ini kemudian dikoreksi oleh Bruder Hendrik, SS.CC. di suatu sesi dialog yang berbeda. Kemudian, saya pun bertanya apakah Seminari Damian pernah mengadakan live in  hidup di biara bagi kaum muda untuk promosi panggilan. Konsepnya adalah para kaum muda selama 1 minggu atau 2 minggu tinggal, beraktivitas, dan berdoa di sana serta merasakan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para seminaris di Seminari Damian. Frater Jones bilang belum pernah ada yang seperti itu, tetapi ada sekitar 3 orang yang sudah bekerja live in di Seminari Damian selama akhir pekan. Bagi Frater Jones, hal itu bagus dan bisa saja dijalankan tetapi tentu akan ada sejumlah masalah berupa dana dan waktu. Well,  tentang ini kami memang hanya berbicara secara umum dan konsepnya masih kasar sekali tetapi harapan saya melalui kegiatan ini, semakin banyak kaum muda terpanggil menjadi kaum religius. Frater Jones juga memberitahu saya bahwa SS.CC. ini juga memiliki SS.CC. awam bagi siapa saja yang tertarik menghidupi spiritualitas Picpus dan berperan aktif bagi SS.CC.

Biografi Pater Rolf Reichenbach SS.CC (alm)

Sedang asyik berbicara dan sharing bersama Frater Jones, Bruder Hendrik datang dan kami pun saling menyapa dan bersalaman.  Kami berbicara sejenak dan kemudian saya memaparkan bahwa ada teman saya yang hendak membeli buku Biografi Pater Rolf Reichenbach, SS.CC (alm). Di topik ini juga, saya menawarkan blog saya (Indonesian Papist) sebagai tempat untuk promosi buku tersebut sekaligus secara umum memperkenalkan SS.CC dan secara khusus Pater Rolf Reichenbach sendiri. Sekadar info, saya sudah memiliki buku biografi tersebut dan saya membaca bahwa jenazah Pastor Rolf Reichenbach itu inkorup / utuh / tidak membusuk. Bruder Hendrik menyetujui sembari memberikan saran-saran untuk promosi buku tersebut dan menyarankan saya untuk mempromosikannya juga kepada kaum muda Katolik. Singkatnya, Bruder Hendrik setuju memberikan Indonesian Papist privilege  untuk mempromosikan buku tersebut.

Setelah perbincangan tersebut, kami mengikuti Ibadat Siang yang diadakan pukul 12.45. Ibadat Siang diadakan di Kapel Seminari di lantai dua (Seminari Damian memiliki dua lantai). Ibadat Siang tentunya merupakan hal yang menjadi �makanan sehari-hari� bagi para seminaris. Kata Frater Jones, karena hari ini hari Kamis yaitu �hari berbahasa inggris�, maka Ibadat Siang tadi menggunakan teks-teks ibadat berbahasa Inggris. Semua doa, antifon, bacaan dsb dibawakan dalam bahasa Inggris. Menarik walau membuat saya sedikit bingung. Ibadat Siang berjalan dengan hening dan khidmat. Kondisi seperti ini membantu saya untuk lebih dekat dengan Tuhan. Ibadat Siang pun selesai dan berlanjut dengan jam makan siang. Kami pun turun ke bawah dan menuju ruang makan. Tentunya sebelum makan, kami berdoa dulu. Hidangan yang kami makan adalah hasil masakan salah seorang frater. Syukur atas makan siang tersebut. Sembari makan, para frater berbincang-bincang satu sama lain dengan menggunakan bahasa Inggris. Di sini saya cenderung diam menikmati makanan dan hanya memperhatikan mereka berbicara ketimbang ikut terlibat langsung karena topik yang mereka angkat cukup asing dan tidak terlalu umum. Sesekali para frater tersebut bertanya mengenai latar belakang saya. Makan siang pun selesai tetapi sebelum doa penutup makan siang, saya diminta memperkenalkan diri saya. Setelah doa penutup, kami pun menuju ke dapur membawa piring dan gelas masing-masing. Sembari mencuci, tiga orang Frater termasuk Frater Jones berbincang-bincang dengan saya. Setelah itu, saya kembali menuju ruang tamu dan bertemu dengan Bruder Hendrik (lagi).  Kami berbicara berbagai hal dan sampailah kami pada suatu topik yang menurut saya menarik untuk didokumentasikan. 

Foto bersama Bruder Hendrik, SS.CC. Foto diambil pada saat kunjungan pertama ke Seminari Damian (Foto oleh Frater Paulus Molina)

Saya: �Bruder, SS.CC. lagi mengalami krisis panggilan ya?�

Bruder Hendrik: �Tidak, tidak sama sekali. Tidak pernah ada Krisis Panggilan.�

Saya: �Lho? Kok gak ada?� (terkejut)

Bruder Hendrik: �Iya, tidak pernah ada krisis panggilan. Allah tidak pernah mengalami krisis dalam memanggil umat-umat-Nya. �Jangan mencuri�, �Tinggalkanlah dosa itu�, �Jadilah imam-imam-Ku� adalah bentuk panggilan Allah kepada manusia. Di setiap saat, Allah terus memanggil kita untuk berbuat benar tidak hanya soal panggilan hidup religius tetapi juga dalam berbagai hal di hidup kita. Kamu datang ke sini dapat merupakan panggilan dari Allah buat kamu dan dapat pula panggilan dari Allah buat kami. Kedatangan kamu di sini bisa membuat kamu diteguhkan oleh kami dan bisa pula membuat kami diteguhkan oleh kamu. Allah memanggil kami melalui kamu, dan Allah memanggil kamu melalui kami. Nah, krisis yang sebenarnya terjadi adalah KRISIS TANGGAPAN TERHADAP PANGGILAN ALLAH. Kita menghadapi krisis ini sekarang. Allah telah memanggil kita, tetapi apakah kita mau menanggapi panggilan itu? Allah memanggil dan meneguhkan kami melalui kamu, tetapi apakah kami kemudian menanggapinya atau tidak, itulah pertanyaan utamanya.�

Saya: �Jadi terminologi �Krisis Panggilan� itu keliru ya, Der?�

Bruder Hendrik: �Iya, keliru. Ada ibu-ibu bilang seperti itu dan langsung saya koreksi bahwa kita tidak mengalami krisis panggilan tetapi krisis tanggapan terhadap panggilan. Nah, kamu setelah mendengar hal ini, bisa kamu beritahukan teman-teman kamu sebagai koreksi buat mereka supaya tidak keliru soal hal ini.�

Ya, saya menuliskan pengalaman singkat ini juga untuk meneruskan koreksi dari Bruder Hendrik kepada siapapun yang masih terjebak dalam istilah �Krisis Panggilan�.

Dari Kiri Ke Kanan: Frater Paulus Molina, SS.CC., Pater Ludvinus van Dongen, SS.CC., Frater Jones Nadeak, SS.CC. (Foto oleh Frater Paulus Molina)
Setelah berbincang dengan Bruder Hendrik, Beliau menawarkan saya untuk bertemu dengan Pater Ludvinus van Dongen SS.CC. yang sudah berusia lebih dari 90 tahun (saya tidak menanyakan angka pastinya). Opa van Dongen (Beliau dipanggil �Opa� oleh para penghuni Seminari Damian) di mata saya sama sekali tidak terlihat sebagai orang tua berumur 90 tahun. Kondisi fisiknya masih kuat, matanya masih melihat dengan jelas dan responnya terhadap orang di sekitar juga bagus. Tetapi Pater van Dongen agak sulit menangkap inti pertanyaan dan komentar saya saja jadi tanggapannya sering tidak sesuai dengan maksud pertanyaan dan komentar saya itu. Ingatan Pater van Dongen masih baik, ia masih bisa menceritakan bagaimana karya misinya di Indonesia, kapan ia datang ke Indonesia, sudah berapa lama di Seminari Damian, dll. Ya, intinya Beliau tidak terlihat sebagai seorang tua berumur 90 tahun. Bagi saya, Beliau itu seperti orang berumur 50-60 tahun.  Di samping itu, Frater Jones juga berkata untuk urusan �hati�, Pater van Dongen itu benar-benar baik. Ia menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Pater van Dongen, �Opa, makanan opa boleh tidak saya berikan ke orang miskin?� Segera Pater van Dongen menanggapi, �Oh, iya, silahkan. Berikan kepada mereka karena mereka lebih butuh. Saya masih bisa makan lagi besok.� Perbincangan terhenti karena Pater van Dongen hendak beristirahat siang. Beliau kemudian memberi berkat kepada saya dan bergerak dari tempat duduk menuju kamar dengan dipapah oleh Frater Feliks. Menerima berkat dari seorang  Pater SS.CC. berusia lebih dari 90 tahun adalah sesuatu yang lebih dari sekadar �sesuatu banget�. Deo Gratias untuk berkat ini. Segera sesudah Pater van Dongen masuk kamar, saya pamit pulang kepada Bruder Hendrik dan Frater Feliks. Sekian cerita singkat pengalaman saya berkunjung ke Seminari Damian.  Kunjungan kali ini adalah kunjungan kedua tetapi tidak akan menjadi kunjungan yang terakhir saya ke Seminari Damian.

Artikel ini saya tulis sebagai wujud terimakasih saya kepada para penghuni Seminari Damian atas sambutan dan segala bentuk kebaikan yang saya terima dari mereka. Pax et bonum

Thursday, February 23, 2012

Menikah Beda Agama? Nanti dulu!

http://www.archbalt.org/family-life/marriage-family/marriage-preparation/images/Catholic-wedding_1.jpg
Catholic Wedding (sumber: Situs Keuskupan Agung Baltimore)
Saya membaca sebuah artikel mengenai pernikahan beda agama dalam sebuah edisi Buletin Lentera Iman yang ditulis oleh seorang awam bernama Donny Verdian. Opini dari si penulis menarik sekali dan bagus serta mencerahkan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mempublikasikan ulang tersebut di blog saya dengan seizin pemimpin redaksi Buletin Lentera Iman. Setelah membaca artikel ini, mungkin ada pembaca Katolik yang kurang atau tidak setuju dengan opini dan argumen dari si penulis. Tetapi, saya sangat menganjurkan anda untuk memperhatikan opini dan argumen tersebut sebagai bahan pertimbangan kelak bila seandainya anda akan memilih menikah beda agama.


Menikah Beda Agama? Nanti dulu!


Apa yang barusan terjadi pada seorang teman dekat ketika kuliah dulu, sebut saja namanya Yoga, masih kerap membuatku tak percaya, kenapa hal itu bisa terjadi dan kenapa ia memilih untuk melakukan hal itu. Ah, kalian tentu bingung kenapa tiba-tiba aku bicara soal sesuatu yang tak kalian ketahui sejak awal tulisan ini. Baiklah, sebelum membahas �ini� dan �itu� nya, kuperkenalkan dulu, Yoga temanku tadi. Aku pertama kali mengenal Yoga tepat di hari pertama kuliahku di sebuah universitas Kristen di Yogyakarta, 15 tahun silam. Dan sejak saat itu, ia jadi teman dekat karena selain berasal dari satu kota asal, Klaten, aku dan dia di kemudian hari sama-sama aktif terjun di komunitas mahasiwa Katolik kampus. Sejak saat itu sebenarnya aku tak bisa menyembunyikan rasa hormatku padanya dalam totalitasnya menjaga iman Katolik. Sedikit banyak, ia ikut membangun pondasi imanku karena ketaatannya, idealismenya terhadap iman dan sikap hidup yang selalu dibawakan yang boleh dibilang lumayan �lurus� itu.

Nasib lalu memisahkan kami. Selepas kuliah ia pindah ke Kalimantan sementara aku tetap berada di Jogja hingga akhirnya pada 2008 silam aku memutuskan untuk menikah lalu pindah domisili ke Sydney, Australia hingga sekarang. Melalui Facebook, akhirnya aku dan Yoga �bertemu� lagi tahun lalu dan aku bersyukur karena melalui teknologi itu aku dipertemukan lagi dengan sahabatku itu. Namun melalui Facebook pula aku dibuatnya terkejut ketika kutahu kabar bahwa ia, saat itu, memutuskan hendak menikah dengan seorang gadis yang berbeda keyakinan daripadanya. Yang lantas membuat keterkejutanku memuncak adalah ketika ia dengan bangga menyiarkan kabar bahwa ia telah menikah dengan tata cara agama yang dianut istri, lengkap dengan pengumuman bahwa ia telah resmi pindah agama.

Terus terang sulit untuk dipercaya, orang se- �kuat� Yoga pada akhirnya membuat keputusan radikal dalam hidupnya, meninggalkan iman Katoliknya �hanya� demi sebuah pernikahan yang ia langsungkan.

Hidup Dalam Masyarakat Majemuk

Teman-teman, kisah tentang Yoga di atas bukanlah karangan belaka meski ada beberapa bagian ku-edit demi sebuah pemaparan kasus yang kalian harus juga akui semakin lama semakin kerap terjadi di sekitar kita. Kita hidup dalam masyarakat majemuk yang tak hanya memuat perbedaan suku dan ras namun juga agama yang pada akhirnya membuat kita harus pandai-pandai beradaptasi menerima perbedaan yang ada.

Namun bagiku, sepandai-pandai dan sefleksibel apapun kita menyikapi perbedaan, tetap harus ada hal-hal yang dijadikan pakem untuk dipertahankan, justru demi menjaga supaya kita tetap berbeda dari yang lain. Pakem itu salah satunya adalah agama. Kita boleh memiliki banyak kawan berlainan agama dan kita boleh begitu menikmati pergaulan dengan mereka, namun identitas kita sebagai seorang pemeluk Katolik adalah sesuatu yang tetap harus dipegang teguh. Memang tak mudah, terutama kalau sudah menyangkut perasaan mengasihi lawan jenis, di usia kita yang muda, harus membatasi diri untuk berpikir bahwa sebagai orang Katolik kita harus mencari pasangan hidup yang juga berasal dari seorang dari iman yang sama.

Aku pernah mengutarakan hal ini ke seorang kawan yang mulai mencoba pacaran dengan orang yang berbeda iman dan jawaban mereka cukup spontan, �Tapi kan di kitab suci tidak ditulis bahwa kita tak boleh menikah dengan orang yang beda agama, Don!� Terkadang mereka memang selalu menggunakan dalih demikian.

Mau dengar yang lain lagi? Biasanya begini, �Bukankah ada dibilang bahwa kasih itu lemah lembut, murah hati, sabar dan sederhana� jadi tak perlu dibatasi agama kan?� Setiap aku mendengar alasan-alasan demikian, jawabanku selalu seragam, �Katolik tak hanya didasarkan pada kitab suci. Kalau semua harus tertulis dalam kitab suci, bahkan Tuhan tak menuliskan larangan kalau kita menggunakan narkoba, lho!�

Lalu untuk alasan yang kedua, aku selalu menjawab demikian �Memang benar, itulah sifat-sifat kasih� tapi kamu tak bisa mencomot ayat itu hanya begitu saja...... kamu harus memahaminya dalam rangka karya penyelamatan Kristus yang utuh� dan itu hanya bisa dihayati melalui iman Katolik!�

Setelah mendengar jawabku biasanya mereka hanya manggut-manggut lalu pergi. Keputusan untuk tetap �nekat� melanjutkan hubungan atau tidak tentu bukan urusanku lagi, setidaknya aku sudah merasa melakukan apa yang harus kuutarakan yang mungkin tak mereka ketahui, kan?

Lalu kenapa pernikahan seiman itu penting setidaknya menurutku dan menurut mereka dan kita yang menikah seiman?

Alasan paling mudahnya adalah, jangankan beda keyakinan, menikah dengan sesama pemeluk Katolik pun kadang tak jadi jaminan bahwa keluarganya akan damai dan sentosa sepanjang hidup.

Alasan kedua, pernikahan adalah sesuatu yang suci. Bukannya aku berpendapat bahwa pasangan beragama lain itu tak suci, tapi justru karena batasan suci itu sangat sulit untuk didefinisikan oleh karena kemanusiawian kita, maka untuk apa kita ambil resiko yang �tidak-tidak�?

Lalu yang ketiga, pernikahan beda agama tak jarang ujung-ujungnya membuat salah satu dari pasangan itu mengalah untuk ikut memeluk agama yang dipeluk pasangannya. Belum lagi kalau pasangan itu lalu dikaruniai anak, peluang orang tua untuk mendidik anak dalam ajaran Katolik pun tak lagi 100% namun setidaknya fifty-fifty antara Katolik atau agama yang dipeluk pasangan kita. Nah, bayangkan kalau ada orang Katolik menikah dengan orang dari agama lain lantas ke depannya, si Katolik memutuskan untuk memeluk agama yang sama. Kalau ada sepuluh kasus seperti itu dalam setiap paroki dalam setahun, maka bisa dibayangkan akan ada berapa banyak orang Katolik yang pindah agama gara-gara pernikahan?

Kita memang sering terjebak pada pendapat umum �Yang penting kualitas bukan kuantitas� namun bagiku, keduanya penting, kualitas dan kuantitas harus dimajukan bersama selagi bisa! Sebagus-bagusnya kualitas orang Katolik, kalau jumlah kian menyusut, tentu tak lantas menjadi baik lagi adanya.
Iman Proaktif

Kupikir, kunci untuk meredam naiknya angka pernikahan beda agama yang berujung dengan berpalingnya seseorang dari gereja Katolik lalu ikut agama yang dianut pasangannya, adalah perlunya menanamkan sikap iman yang proaktif dari pihak kaum muda Katolik.

Iman proaktif yang kumaksud adalah iman yang tak hanya sebatas �berangkat misa mingguan� tapi lebih dari itu, bagaimana kaum muda harus membawa iman dalam kehidupan sehari-hari dalam pergaulannya, di studi maupun pekerjaannya.

Logikanya, orang muda yang mau membawa identitas Katolik, setidaknya ia memiliki niat untuk lebih dalam lagi mendalami iman bukan sebagai suatu pajangan semata tapi sesuatu yang patut didalami melalui keseharian hidup.

Sikap proaktif juga perlu diwujudkan dalam membuat dan berperan aktif dalam komunitas muda-mudi Katolik di lingkungan gereja/paroki kita. Peran aktif komunitas tak jarang membuat kita memiliki �rumah� yang menyenangkan ketika komunitas tersebut bertumbuh tak hanya jadi tempat �doa� dan ngurus event �Natal� dan �Paskah� tapi menjadi komunitas yang peduli pada pertumbuhan anggota-anggotanya. Sehingga, meski tidak wajib dijadikan aras dasar komunitas, namun siapa yang tak senang kalau akhirnya banyak jiwa muda Katolik yang menemukan �jodoh� dari komunitas itu pula?

Ketika kita sudah terkondisikan demikian, memiliki identitas dan bergaul dengan muda-mudi Katolik lainnya, dalam pemeliharaan Roh Kudus, kita percaya bahwa kita akan semakin dikuatkan ketika kita harus mengambil sikap untuk menikah termasuk berani mengatakan �Tidak� ketika dihadapkan pilihan menikah beda agama terlebih ketika kita tahu bahwa ke depannya ada kecenderungan bahwa kita yang harus pindah agama dan bukannya pasangan kita ke Gereja Katolik.

Orang boleh bilang menikah berlandaskan cinta, namun untuk apa kita berani ngomong cinta kalau kita harus meninggalkan iman kepercayaan kita terhadap Sang Maha Raja Cinta, Yesus Kristus yang kita permuliakan dalam Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik?


Sumber:
Buletin Lentera Iman edisi 32.
Dipublikasikan dengan izin Pemimpin Redaksi Buletin Lentera Iman. Buletin Lentera Iman adalah Buletin Katolik milik Komisi Sosial Keuskupan Agung Makassar. Indonesian Papist menjadi salah seorang anggota redaksinya. Pax et Bonum

Artikel terkait:

Saturday, February 18, 2012

22 Kardinal Baru Gereja Katolik (Konsistori 18 Februari 2012)

Paus Benediktus XVI pada tanggal 18 Februari 2012 mengangkat 22 nama menjadi Kardinal Gereja Katolik yang terdiri dari 18 kardinal di bawah usia 80 tahun dan 4 kardinal yang berusia di atas 80 tahun. Para kardinal ini diangkat pada Konsistori (Peristiwa di mana para calon secara resmi masuk ke dalam kolese para kardinal) tanggal 18 Februari 2012 di Roma. Nama-nama Kardinal Baru Gereja Katolik tersebut adalah:

Kardinal di bawah 80 tahun (Kardinal yang berusia di bawah 80 tahun memiliki hak memilih dalam konklaf)

1. Kardinal Fernando Filoni (65) dari Italia: Uskup Agung Tituler Volturno, Kepala/Prefek Kongregasi untuk Evangelisasi Orang Banyak dan Kanselir Tertinggi Universitas Kepausan Urbaniana. Kardinal-Diakon Nostro Signora di Coromoto in S. Giovanni di Dio.
2. Kardinal Manuel Monteiro de Castro (73) dari Portugal: Uskup Agung Tituler Beneventum, Penitensiaris Utama dari Penitensiariat Apostolik (sebuah badan dalam Kuria Roma). Kardinal-Diakon S. Ponziano.
3. Kardinal Santos Abril y Castell� (76) dari Spanyol: Uskup Agung Tituler Tamada, Imam Agung Basilika St. Maria Mayor. Kardinal-Diakon S. Teodoro.
4. Kardinal Antonio Maria Vegli� (73) dari Italia: Uskup Agung Eclano, Presiden Komisi Kepausan untuk Reksa Pastoral Para Migran dan Para Pelancong. Kardinal-Diakon S. Cesario in Palatio.
5. Kardinal Giuseppe Bertello (69) dari Italia: Uskup Agung Urbisaglia, Presiden Komisi Kepausan untuk Negara Kota Vatikan, Presiden Pemerintahan Negara Kota Vatikan. Kardinal-Diakon Ss. Vito, Modesto e Crescenzia.
6. Kardinal Francesco Coccopalmerio (73) dari Italia: Uskup Agung Tituler C�liana, Presiden Komisi Kepausan untuk Teks-teks Legislatif. Kardinal-Diakon S. Giuseppe dei Falegnami.
7. Kardinal Jo�o Br�z de Aviz (64) dari Brazil: Kepala/Prefek untuk urusan Hidup Bakti dan Serikat Kehidupan Apostolik, Uskup Agung Metropolitan Emeritus Brasilia. Kardinal-Diakon S. Elena fuori Porta Prenestina.
8. Kardinal Edwin Frederick O�Brien (72) dari Amerika Serikat:  Pro-Grand Master Ordo Equestrian dari Makam Suci Yerusalem, Adminstrator Apostolik Keuskupan Agung Baltimore, Uskup Agung Metropolitan Emeritus Baltimore. Kardinal-Diakon S. Sebastiano al Palatino.
9. Kardinal Domenico Calcagno (68) dari Italia: Presiden Administrasi Kerasulan Tahta Apostolik, Uskup Agung ad personam, Uskup Agung Emeritus Savona-Noli. Kardinal-Diakon Ss. Annunciazone della Beata Virgine Maria a Via Ardeatina.
10. Kardinal Giuseppe Versaldi (68) dari Italia: Presiden Prefektur untuk urusan ekonomi Tahta Suci, Administrator Apostolik dari Alessandria (Italia), Uskup Agung ad personam, Uskup Emeritus Alessandria (Italia). Kardinal-Diakon S. Cuore di Ges� a Castro Pretorio.
11. Kardinal Utama George Alencherry (66) dari India: Uskup Agung Utama Ernakulam-Angamaly dari Gereja Katolik Syro-Malabar (India)*, Presiden Sinode Gereja Syro-Malabar. Kardinal-Imam S. Bernardo alle Terme.
12. Kardinal Thomas Christopher Collins (64) dari Kanada: Uskup Agung Metropolitan Toronto (Kanada). Kardinal-Imam S. Patrizio.
13. Kardinal Dominik Duka, O.P. (68) dari Republik Ceska: Uskup Agung Metropolitan Praha, Presiden Konferensi Para Uskup Republik Ceska. Kardinal-Imam Ss. Marcellino e Pietro.
14. Kardinal Willem Jacobus Eijk (58) dari Belanda: Uskup Agung Metropolitan Utrecht, Presiden Konferensi Para Uskup Belanda. Kardinal-Imam S. Callisto.
15. Kardinal Giuseppe Betori (64) dari Italia: Uskup Agung Metropolitan Firenze. Kardinal-Imam S. Marcello.
16. Kardinal Timothy Michael Dolan (61) dari Amerika Serikat: Uskup Agung Metropolitan New York, Presiden Konferensi Para Uskup Amerika Serikat. Kardinal-Imam Nostra Signora di Guadalupe a Monte Mario
17. Kardinal Rainer Maria Woelki (55) dari Jerman: Uskup Agung Metropolitan Berlin. Kardinal-Imam S. Giovanni Maria Vianney.
18. Kardinal John Tong Hon (??) (72) dari Hongkong: Uskup Hongkong. Kardinal-Imam Regina Apostolorum.

Kardinal di atas 80 tahun (Kardinal yang berusia di atas 80 tahun tidak memiliki hak memilih dalam konklaf. Mereka, dalam konsistori 18 Februari 2012 ini, diangkat menjadi kardinal sebagai penghormatan dari Gereja Katolik terhadap kontribusi mereka yang besar bagi Gereja Katolik)

19. Kardinal Lucian Muresan (80) dari Rumania: Uskup Agung Utama Fagaras si Alba Iulia dari Gereja Katolik Yunani-Rumania**, Presiden Konferensi Para Uskup Rumania, Presiden Sinode Gereja Rumania. Kardinal-Imam S. Atanasio.
20. Kardinal Julien Ries (91) dari Belgia (non-Uskup): Imam Keuskupan Namur (Belgia), Professor Emeritus Sejarah Agama-agama Universitas Katolik, Louvain (Belgia). Kardinal-Diakon S. Antonia da Padova a Via Salaria.
21. Kardinal Prosper Grech, O.S.A. (86) dari Malta (non-Uskup): Professor Emeritus berbagai universitas di Roma, Konsultan bagi Kongregasi Doktrin Iman. Kardinal-Diakon S. Maria Goretti.
22. Kardinal Karl Josef Becker, S.J. (83) dari Jerman (non-Uskup): Professor Emeritus Universitas Kepausan Gregoriana, Konsultan bagi Kongregasi Doktrin Iman. Kardinal-Diakon S. Giuliano.

* Gereja Katolik Syro-Malabar adalah salah satu dari 22 Gereja Timur yang bersatu dengan Paus Roma.
** Gereja Katolik Yunani-Rumania adalah salah satu dari 22 Gereja Timur yang bersatu dengan Paus Roma.

Sumber:

Tuesday, January 24, 2012

St. Valentinus dan Hari Valentine



Tentang St. Valentinus

Dalam berbagai martirologi kuno, ada dua orang Santo bernama Valentinus yang pestanya sama-sama dirayakan pada tanggal 14 Februari. St. Valentinus yang pertama adalah St. Valentinus dari Roma, imam dan dokter. St. Valentinus yang kedua adalah St. Valentinus, Uskup Terni. 

St. Valentinus dari Roma
St. Valentinus yang pertama adalah seorang Imam Katolik dan dokter di Roma. Ia bersama seorang awam berkeluarga bernama St. Marius menolak dekrit Kaisar Klaudius II yang melarang pernikahan di Romawi selama peperangan. Mereka pun diam-diam menikahkan banyak pasangan. Mereka kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Selama di penjara, mereka menguatkan para tahanan lain. Mereka selanjutnya dijatuhi hukuman mati dengan disiksa, dipentungi hingga akhirnya dipenggal pada tanggal 24 Februari 269 di Via Flaminia. Paus St. Julius I dilaporkan membangun sebuah gereja dekat Ponte Mole untuk mengenang St. Valentinus dari Roma. Relikui terbesar St. Valentinus dari Roma saat ini berada di Gereja Santo Praxedes di dekat Basilika St. Maria Mayor di Roma. Relikui lainnya berada di Shrine of St. Valentine di Irlandia. 
http://saints.sqpn.com/wp-content/gallery/saint-valentine-of-terni/saint-valentine-of-terni-01.jpg
St. Valentinus dari Terni
St. Valentinus yang kedua adalah Uskup kota Terni yang terletak sekitar 60 mil dari Roma. Ia ditahbiskan menjadi Uskup Terni oleh Paus St. Viktor I sekitar tahun 197 M. Atas perintah Prefek Plasidus, ia juga ditangkap, didera, dan dipenggal kepalanya, dalam masa penganiayaan Kaisar Claudius II. Di Terni sendiri, terdapat sebuah Basilika bernama Basilika St. Valentinus untuk mengenang St. Valentinus, Uskup Terni.

Paus Gelasius I (496 M) adalah orang pertama yang menetapkan Pesta St. Valentinus pada tanggal 14 Februari walau tidak terlalu jelas siapa St. Valentinus yang dimaksudkan oleh Paus Gelasius I. Pandangan umum menyatakan bahwa St. Valentinus dari Roma dan St. Valentinus dari Terni adalah orang yang sama. Hal ini karena keduanya hidup pada era yang bersamaan, pada masa pemerintahan Kaisar Klaudius II dan mengalami kemartiran di tempat yang sama, Via Flaminia. Cara mereka dimartir juga sama yaitu dipenjara dan disiksa lalu dipenggal. Kemudian, St. Valentinus dari Roma tampaknya bukan hanya sekadar Imam, melainkan sudah ditahbiskan menjadi Uskup. Hal ini karena adanya sejumlah penggambaran tradisional St. Valentinus dari Roma sebagai seorang Uskup yang sedang menikahkan sebuah pasangan pria-wanita. Jarak Terni dan Roma yang dekat juga menunjukkan bahwa sangat mungkin St. Valentinus dari Roma ditahbiskan menjadi Uskup Terni. Tampaknya satu martir bernama St. Valentinus, dikisahkan dalam dua versi baik versi Roma maupun versi Terni.

http://saints.sqpn.com/saintv06.jpg
St. Valentinus dari Roma sedang menikahkan sebuah pasangan muda-mudi
Pesta St. Valentinus menjadi populer dan berbagai gereja dibangun untuk didedikasikan kepadanya. Tetapi pada tahun 1969, Gereja Katolik mengeluarkan tanggal pestanya dari Kalender Gereja Universal sebagai usaha untuk mengeluarkan pesta-pesta Santo-santa yang riwayatnya kurang jelas atau hanya memiliki sedikit informasi yang diketahui. Hal ini tidak berarti St. Valentinus bukan lagi seorang Santo. Santo Valentinus adalah seorang Santo yang benar-benar ada hanya saja kisahnya kurang jelas dan cenderung terpengaruh oleh legenda-legenda. Video ini berisi penjelasan mengenai Katakombe St. Valentinus yang menegaskan bahwa St. Valentinus adalah tokoh yang historis bukan fiktif. Tetapi, sejumlah Keuskupan atau Paroki Katolik masih merayakan Pesta St. Valentinus secara liturgis pada tanggal 14 Februari seperti yang dilakukan di Balzan, Malta, Katedral St. Yosef Pontianak, Basilika St. Valentinus dan lain-lain. Di samping St. Valentinus, sejumlah santo-santa terkenal juga dirayakan pada tanggal 14 Februari seperti St. Sirillus dan St. Metodius (Keduanya Rasul Bangsa Slavia) serta St. Dionisius dari Alexandria.

St. Valentinus dan Hari Valentine

Sejumlah orang mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara St. Valentinus dengan Hari Valentine kecuali fakta bahwa St. Valentinus yang hidup pada abad ke-3 menjadi martir pada tanggal 14 Februari. Bagaimana pun juga, tampaknya ada sesuatu yang lebih dari sekadar tanggal kemartiran St. Valentinus. Kita dapat mengatakan bahwa kemartiran St. Valentinus adalah suatu bentuk cinta. Dalam cinta manusia memberikan dirinya seutuhnya. Sama seperti dalam kemartiran, manusia juga memberikan dirinya seutuhnya.

Pada tanggal 14 Februari di Romawi kuno, ada sebuah kebiasaan di mana para laki-laki menarik undian dari sebuah wadah besar yang berisi nama para perempuan yang akan menjadi partner mereka dalam berbagai bentuk perayaan pada tanggal tersebut. Misalnya, laki-laki bernama Aries menarik undi nama perempuan Gemini, maka Aries dan Gemini akan menjadi partner dalam seluruh festival untuk menghormati dewi cinta Romawi yang bernama Februata Juno. Kebiasaan ini merupakan kencan buta skala besar dan menunjukkan tidak bermoralnya kebanyakan orang-orang Romawi pada masa itu. Imam-imam Katolik pada masa itu mengutuk dan menolak kebiasaan itu sebagai kebiasaan yang membawa manusia pada dosa besar. Mereka mencoba mengkristenkan kebiasaan tersebut. Para imam mencoba untuk mengajarkan pandangan Kristen mengenai kencan dan pernikahan yang bersih dan sehat. Salah satu Imam Katolik yang terlibat dalam hal ini adalah St. Valentinus.

Pada masa itu pula, Romawi sedang terlibat dalam banyak peperangan, yang menarik begitu banyak pria-pria Romawi ke dalam medan pertempuran. Banyak dari pria-pria ini tidak mau meninggalkan keluarga mereka. Pria-pria yang bertunangan banyak yang menolak meninggalkan tunangan mereka. Hal ini membuat Kekaisaran Romawi sulit untuk merekrut tentara.

Mendengar hal ini, Kaisar Klaudius mendekritkan keputusan bahwa tidak boleh ada lagi upacara pernikahan selama peperangan. Tidak hanya itu, mereka yang bertunangan juga harus memutuskan ikatan pertunangan mereka. St. Valentinus merasa kasihan dengan orang-orang muda itu. Dia secara khusus merasa sedih bahwa dekrit kaisar ini akan membawa kemerosotan moral di antara banyak orang muda ini. Bila mereka tidak dapat menikah secara resmi, mereka akan hidup layaknya suami istri dengan pasangan mereka tanpa adanya pernikahan, tanpa adanya janji suci bahwa mereka akan menjadi satu sama lainnya. Suatu hari, St. Valentinus dengan diam-diam menyatukan sebuah pasangan dalam pernikahan kudus karena pasangan tersebut menginginkannya. Pasangan-pasangan yang lain mendengar dan meminta St. Valentinus menikahkan mereka. Orang-orang muda hendak melakukan sesuatu yang benar; mereka hendak memiliki berkat dari Allah yang Mahakuasa untuk persatuan mereka dalam pernikahan. Mereka menghendaki masuk dalam sebuah ikatan yang agung yang menyatukan mereka dengan pasangan mereka. Segera terjadi banyak pernikahan di Roma seolah-olah dekrit kaisar di atas tidak pernah dikeluarkan.

Hal ini diketahui otoritas romawi. St. Valentinus lalu dijatuhi hukuman mati. Ia dipenjara, dipukul beramai-ramai, kemudian dilempari batu lalu dipenggal di Via Flaminian. Dia menjadi martir pada tanggal 14 Februari tahun 269.

Hari Valentine sekarang ini memang menjadi hari yang dirayakan secara universal. Tetapi, Hari Valentine yang awal mulanya merupakan perayaan religius Katolik, kini telah dinodai dengan berbagai tindakan cemar seperti free-sex, pesta-sex, dan lain-lain. Bukan Hari Valentine ini yang harus kita salahkan. Akan tetapi, nafsu kedagingan yang harus kita hilangkan. Nafsu kedagingan mencederai kasih yang merupakan anugerah dari Allah. Hendaknya kita meneladani St. Valentinus yang mendorong para orang muda di Roma untuk saling memberi cinta kasih secara murni tanpa tercemar nafsu kedagingan. Hendaknya kita pula meneladani St. Valentinus yang memberikan cintanya yang besar kepada Allah sebab Allah telah lebih dahulu mencintai kita.

Sebuah hal yang perlu diperhatikan juga adalah mengasihi dan memberikan cinta jangan hanya di momen Hari Valentine, tetapi lakukanlah setiap hari kepada Allah dan sesama.

Referensi:
4. Newsletter of Pope John Paul II Society of Evangelists, February 2007

pax et bonum

Sunday, January 22, 2012

Anak-anak dan Ekaristi: Suatu Kerinduan Belaka atau Suatu Tantangan bagi Orang Tua?


Oleh: Ling-ling (Ibu Rumah Tangga berdomisili di Bandung)

Membawa anak-anak untuk mengikuti Misa Ekaristi di hari Minggu sungguh merupakan satu kerinduan yang besar bagi kebanyakan orang tua, tetapi sekaligus membutuhkan perhatian yang tak kenal lelah, tak kenal malu, dan tenaga ekstra karena tidak semua anak-anak bisa duduk manis dan diam selama Misa berlangsung.

Kebanyakan Misa memang dikhususkan bagi orang dewasa atau yang kita kenal dengan istilah Misa untuk umum. Anak-anak yang hadir dalam Misa untuk umum itu kadang kala dianggap sebagai gangguan. Banyak umat yang merasa terusik dengan kehadiran anak-anak kecil di tengah berlangsungnya Ekaristi. Anak-anak kecil yang mondar-mandir berlarian di dalam Gereja, menimbulkan bunyi-bunyian atau rengekan meminta mainan, makanan, minuman, dan lain-lain. 

Keberadaan mereka itu dirasa merecoki perayaan yang tengah berlangsung. Pandangan umat yang merasa terganggu kadang sudah cukup membuat para orang tua tersebut, berjingkat, dan segera mengangkat anaknya keluar dari dalam gereja dan membiarkan mereka bermain di halaman gereja atau mungkin meninggalkan anak-anak mereka di Sekolah Minggu selama Misa berlangsung. Atau cara lainnya membawa aneka permainan dan gambar sehingga anak-anak tersebut bisa disibukkan selama Misa berlangsung atau yang paling mudah dan tidak merepotkan yaitu meninggalkan anak-anak tersebut di rumah saja.

Kenyataan tersebut di atas menimbulkan pergumulan tersendiri di hati para orang tua. Di satu sisi, mereka merindukan anak-anak terbiasa berada di �rumah� Tuhannya, mengenal liturgi dan tentu saja dengan harapan nantinya si anak menghayati dan mencintai makna misteri Ekaristi tersebut. Akan tetapi, di sisi lain, harus menerima kenyataan bahwa kehadiran anak-anak memang mengusik keheningan yang seharusnya tercipta pada saat umat berusaha berdoa dan mengikuti Misa yang sedang berlangsung.

Lalu bagaimana agar anak-anak itu bisa menghayati dan mencintai Liturgi? Bagaimana mereka bisa tumbuh dalam persatuan dengan Kristus dan dengan saudara-saudara seiman, di mana tanda dan jaminan persatuan itu adalah keikutsertaan dalam Perjamuan Ekaristi, jikalau mereka tidak mendapat kesempatan untuk mengambil bagian di dalamnya?

Jawaban dari pertanyaan di atas membutuhkan kerjasama berbagai pihak, baik dari pihak gereja; paroki sebagai tempat terselenggaranya Misa anak-anak, dari pembina Sekolah Minggu dan yang paling utama dan memegang peranan penting adalah keluarga.

Peran Keluarga

Keluargalah yang memainkan peranan pertama dan terpenting dalam usaha menanamkan nilai-nilai manusiawi dan Kristen itu dalam hati anak-anak mulai sejak dini. Maka sangat perlu bahwa pendidikan Kristen yang diberikan oleh orang tua dan anggota lain dalam keluarga dibantu serta diarahkan kepada pembinaan liturgi.

Ketika anak-anak dibaptis, orang tua dengan bebas menerima tanggungjawab untuk mengajar anaknya setiap hari dan wajib pula membimbing mereka agar dapat berdoa sendiri. Selain itu, orang tua harus mengupayakan agar anak-anak berkembang sesuai dengan taraf pertumbuhannya, bukan hanya dalam menghayati hal-hal ilahi pada umumnya, melainkan juga dalam mengalami nilai-nilai manusiawi yang terdapat dalam perayaan Ekaristi.

Yang dimaksudkan dengan nilai-nilai manusiawi itu misalnya kebersamaan, memberikan salam, kemampuan untuk menyimak, kemampuan untuk minta ampun, dan mengampuni, mengungkapkan rasa terimakasih, penghayatan lambang-lambang, jamuan persahabatan, perayaan dan lain sebagainya. (PMBA 9)

Inilah tugas katekese Ekaristi, yaitu memperkenalkan nilai-nilai manusiawi tersebut kepada anak-anak, sehingga tahap demi tahap jiwa mereka terbuka untuk menangkap nilai-nilai Kristen dan untuk merayakan misteri Kristus sesuai dengan umur dan keadaan psikologis maupun sosial.

Tentu saja selain orang tua, katekese Ekaristi ini dapat diperdalam melalui pelajaran agama di sekolah, di Bina Iman Sekolah Minggu, dan juga menjelang persiapan komuni pertama (PMBA 12). Di situlah orang-orang tertentu yang cakap dan terlatih dalam pendidikan religius anak berperan besar (katekis, guru agama, wali baptis, pastor dsb).

Kalau anak-anak dari kecil dipersiapkan demikian, dan selalu diajak menghadiri Misa bersama dengan keluarga, maka mereka akan lebih mudah ikut bernyanyi dan berdoa bersama dengan umat bahkan sedikit banyak menghayati makna misteri Ekaristi.

Catatan Praktis untuk Orang Tua

Kehadiran anak dalam Misa untuk orang dewasa seperti dikatakan di atas, sering mengganggu umat yang lain. Tetapi, wahai para orang tua, janganlah itu sampai memupuskan kerinduan kita agar anak-anak tersebut mengenal Liturgi Ekaristi tersebut.

Ingatlah selalu di tangan orang tua-lah, anak-anak tersebut mengenal dan mencintai Allah. Jadi janganlah lelah dan putus asa mengusahakan sesuatu yang maksimal untuk pertumbuhan kerohanian anak-anak kita.

Beberapa saran berikut diharapkan bisa membantu para orang tua membawa kehidupan Kristus dan Gereja-Nya menjadi bagian dari kehidupan anak-anak.

*. Kehidupan doa pribadi anak dimulai dari orang tua. Keluarga yang tidak berdoa membuat anak-anaknya tidak memiliki budaya doa, budaya cinta, dan takut akan Tuhan. Maka ketika dibawa ke gereja, anak-anak mengamuk, anak-anak tidak mampu bertahan dalam suasana doa. Sebaliknya keluarga yang memiliki kebiasaan doa tidak banyak menemukan kesulitan dalam membesarkan anak-anaknya dalam kedekatan akan Tuhan, dalam doa dan ekaristi. Ada kalimat bagus yang bisa menjadi pemacu semangat untuk orang tua dalam memiliki hidup doa. �Bahwa sungguh, hai orang tua, di matamu, di tangan terkatupmu, di doamu, di bibirmu, anak-anakmu mengenal Allah, anak-anakmu mencintai doa.� Sungguh indah, bukan?

*. Mengusahakan minimal satu bulan satu kali mencari paroki yang mengadakan Misa untuk anak-anak. Dengan demikian, anak-anak dapat mengikuti Misa Kudus dari awal hingga berkat penutup bersama teman-teman sebayanya. Sedangkan di minggu-minggu lain, bisa bergabung dengan paroki yang memperbolehkan anak-anak tersebut mengikuti Misa umum dari awal dan keluar saat homili untuk bergabung dengan Sekolah Minggu dan masuk kembali untuk mendapatkan berkat. [Tambahan dari Indonesian Papist: Di Paroki saya di Bandung, Paroki St. Melania, anak-anak Sekolah Minggu masuk kembali ke Gereja saat penerimaan Komuni. Mereka kemudian mengantri menerima berkat dari imam setelah antrian penerimaan Komuni selesai.]

*. Umumnya, Anak-anak menyukai rutinitas dan persiapan. Segala yang mendadak membuat mereka tidak nyaman. Maka sejak Sabtu sore, mulailah mengingatkan anak-anak bahwa kita semua akan beribadah besok, merayakan hari Tuhan bersama-sama. Kita akan berdoa, akan menyalakan lilin di gereja. �Ayo, apa intensi atau ujud doamu besok? Pakaian mana yang hendak kamu kenakan?�. Dengan demikian mereka merindukan dan mempersiapkan diri secara rohani dan jasmani untuk Misa besok.

*. Datang lebih awal Misalnya 15 menit sebelum Misa Kudus dapat menghindari keributan dan gangguan pada ibadah yang berjalan.

*. Pastikan sebelum Misa Kudus dimulai, mereka telah diberi uang untuk kolekte.

*.  Sebelum ke gereja, ajaklah anak-anak pergi ke WC, atau minum secukupnya.

*. Miliki selalu lembaran lagu atau teks bacaan bahkan Kitab Suci dan buku lagu untuk digunakan bersama anak jika mereka telah dapat membaca.

*. Ajarkan mereka memegang buku doa atau lagu dengan baik dan benar.

*. Jika usia sudah mencukupi, anjurkanlah mereka untuk menjadi misdinar, atau mengambil peran dalam Misa Kudus. Biasakanlah anak-anak kita tumbuh dekat dengan altar Tuhan.

*. Melatih anak-anak menghafal dialog-dialog dalam Misa agar mereka terlibat mengikuti perayaan dengan baik.

*. Perhatikan dengan seksama apakah mereka bisa membuat simbol-simbol dan gerakan liturgis dengan baik, berlutut dengan benar, membuat tanda salib, dan lain-lain.

*. Sesudah Perayaan Ekaristi, tanyakanlah kepada anak-anak apa yang mereka sukai atau kurang sukai selama Misa tadi. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, mereka terbantu mengenal Perayaan Misa.

*. Sebelum Misa, ingatkan ujud pribadi, keluarga dan apa yang didoakan saat menerima Yesus.

*. Seringkali saat ibadah, mereka bertanya tentang sesuatu hal. Jangan bentak dan suruh diam. Usahakan jawab singkat atau dengan lembut katakanlah nanti sesudah Misa diterangkan secara panjang lebar. Dan tentu, jangan lupa memenuhi janji kita tersebut.

Tetaplah Berharap

Marilah para orang tua, kita tetap memiliki harapan yang besar untuk anak-anak kita. Benar memang, mungkin pada saat kita mencoba mempraktekkannya, tidak akan semudah seperti apa yang tertulis di atas. Kita akan jatuh bangun. Semua butuh waktu dan proses. Mungkin anak-anak kita akan tetap berteriak atau tak bertahan lama tinggal di dalam gereja, tetapi kembali lagi kepada kerinduan yang ada di lubuk hati terdalam dari setiap orang tua untuk pertumbuhan kerohanian anak-anaknya. Tiada anak yang serupa sama, tiap anak adalah unik adanya dengan karakter yang berbeda. Jadi, wahai para orang tua, janganlah jemu dan lelah untuk terus mencoba dengan berbagai pendekatan, nasihat dan tentu saja tak lupa segudang kasih sayang dan doa tiada henti!


Sumber Inspirasi: Rm. Terry TH Ponomban, Pr
Pedoman Misa Bersama Anak-Anak (PMBA atau Directorium de Missis cum Pueris, Roma, 1 November 1973)
Artikel ini dipublikasikan di Buletin Fraternite No. 10, April 2010.

Pax et Bonum