Latest News

Showing posts with label Artikel Seputar Ajaran Katolik. Show all posts
Showing posts with label Artikel Seputar Ajaran Katolik. Show all posts

Monday, August 15, 2011

St. Josemaria Escriva: "...Satu-satunya Kebebasan-yang dapat menyelamatkan manusia adalah kebebasan Kristen"


Tidaklah benar bahwa menjadi seorang Katolik yang baik berarti bertentangan dengan melayani masyarakat dengan tulus. Dengan cara yang sama tidak ada alasan mengapa Gereja dan Negara harus berbenturan ketika mereka melaksanakan otoritas masing-masing, dalam pemenuhan misi Allah yang telah dipercayakan kepada mereka. 
Mereka yang menegaskan sebaliknya (bahwa menjadi Katolik yang baik berarti tidak bisa melayani masyarakat dgn tulus, atau Gereja dan Negara pasti berbenturan, terj) adalah pembohong, ya, pembohong! 
Mereka adalah orang-orang yang sama yang menghormati kebebasan palsu, dan meminta kita umat Katolik untuk melakukan kemauan mereka, kembali ke katakombe. (Furrow, 301) 


Kita [tetap] akan menjadi 'budak' bagaimanapun. Karena kita harus melayani, terlepas apakah kita suka atau tidak, ini kodrat kita sebagai manusia; maka tidak ada hal yang lebih baik daripada menyadari bahwa Cinta telah membuat kita menjadi budak Allah. 
Saat kita menyadari hal ini, kita berhenti menjadi budak dan menjadi teman, anak-anak [Allah]. 
Kemudian kita akan melihat perbedaannya: kita menemukan diri kita menangani pekerjaan jujur dari dunia dengan penuh semangat dan antusias, sama seperti orang lain, tetapi dengan rasa damai di kedalaman hati kita. 
Kita senang dan tenang, bahkan di tengah kesulitan, karena kita tidak meletakkan kepercayaan kita pada hal yang akan berakhir, tetapi pada apa yang kekal. Kami bukan anak-anak budak, tetapi (anak-anak) dari wanita merdeka. [Gal 4:31]. 



Dari mana kebebasan kita berasal? Itu berasal dari Kristus Tuhan kita. 
Ini adalah kebebasan yang Ia tebus bagi kita [Gal 4:31]. 
Itulah mengapa ia mengajarkan, "Apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu akan benar-benar merdeka" [Yoh 8:36]. 
Kita, orang Kristen, tidak perlu meminta orang lain untuk memberitahu kita arti sesungguhnya dari anugerah ini, karena satu-satunya kebebasan yang dapat menyelamatkan manusia adalah kebebasan Kristen. 


Saya ingin berbicara tentang petualangan kebebasan, karena itu menunjukkan bagaimana kehidupan Anda dan saya terungkap. Saya bersikeras bahwa adalah bebas -sebagai anak-anak dan bukan sebagai budak- bahwa kita mengikuti jalan yang telah Tuhan kita tandai untuk masing-masing dari kita. Kita menjalani kebebasan tindakan kita sebagai karunia dari Allah ... 


Kita bertanggung jawab kepada Allah atas semua tindakan yang kita lakukan dengan bebas. Tidak ada ruang di sini untuk anonimitas. Masing-masing menemukan dirinya berhadapan dengan Tuhan, dan mereka dapat memutuskan untuk hidup sebagai teman Tuhan atau sebagai musuh-Nya. 
Ini adalah awal dari jalur perjuangan batin yang merupakan tanggung jawab seumur hidup karena, selama kita berada di bumi ini, kita tidak akan pernah mencapai kebebasan penuh. (Friends of God, 35-36) 

St. Josemaria Escriva: "Keselamatan di dalam Gereja"


Kita tidak bisa melupakan bahwa Gereja bukan hanya sekedar jalan keselamatan, melainkan dialah satu-satunya jalan. Ini bukan pendapat manusia, tetapi kehendak yang diungkapkan Kristus: Dia yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. [23]

Itulah sebabnya kami menegaskan bahwa Gereja merupakan sarana yang diperlukan untuk [menuju] keselamatan. Sekitar abad kedua, Origenes menulis: Jika ada yang ingin diselamatkan, biarkan dia datang ke rumah ini sehingga ia dapat memperoleh keselamatan. . . Janganlah biarkan seorangpun menyesatkan dirinya sendiri: di luar rumah ini, yakni di luar Gereja, tidak akan ada yang diselamatkan. [24] Mengenai air bah tersebut, Santo Siprianus mengatakan: Jika seseorang selamat dengan berada di luar bahtera Nuh maka kita akan bisa mengakui bahwa orang yang meninggalkan Gereja bisa menghindarkan diri dari petaka. [25]


Extra ecclesiam, nulla salus. [Kalimat] ini adalah peringatan terus-menerus dari para Bapa Gereja.
Di luar Gereja Katolik Anda dapat menemukan semuanya kecuali keselamatan, demikian kata Santo Agustinus. Anda dapat memiliki kehormatan dan sakramen: Anda bisa menyanyi "Haleluya" dan menjawab "Amin" Anda dapat mengabarkan Injil, mengimani Bapa, Putera, dan Roh Kudus, dan memberitakan bahwa iman Tapi tidak pernah, kecuali dalam Gereja Katolik, Anda bisa menemukan keselamatan. [26]

Meskipun demikian, seperti disesalkan oleh Paus Pius XII sekitar dua puluh tahun lalu, beberapa [orang] mereduksi  ke kata-kata kosong mengenai perlunya untuk terhubung dengan Gereja yang sejati untuk mendapatkan keselamatan kekal. [27]

Dogma iman ini adalah akar karya co-redemptive Gereja (partisipasi unik Gereja dalam karya penebusan Kristus, terj). Dogma ini memerintahkan tanggung jawab apostolik yang berat bagi setiap orang Kristen. Di antara perintah-perintah Kristus, terungkap salah satunya perintah untuk menggabungkan diri dalam Tubuh Mistik-Nya melalui Pembaptisan.  
Dan Juruselamat kita tidak hanya memerintahkan supaya setiap orang masuk Gereja, tetapi juga menetapkan bahwa Gereja menjadi sarana keselamatan, yang tanpanya tidak ada yang dapat mencapai kerajaan surgawi yang mulia. [28]

Adalah masalah iman bahwa siapapun yang tidak di dalam Gereja tidak akan diselamatkan, dan siapa yang tidak dibaptis tidak masuk Gereja. Pembenaran (Justification) tidak dapat dilakukan setelah berlakunya Injil, tanpa adanya Baptisan atau keinginan untuk itu, demikian diputuskan oleh Konsili Trente. [29]

Ini merupakan permintaan terus-menerus dari Gereja yang di satu sisi merangsang kita kepada semangat kerasulan yang lebih besar, dan di sisi lain mewujudkan dengan jelas belas kasihan Allah yang tak terbatas kepada ciptaan-Nya. 

Beginilah penjelasan Santo Thomas [Aquinas]:
Sakramen Pembaptisan mungkin kurang / tidak lengkap (wanting) pada seseorang dengan dua cara.
Pertama, [kurang] dalam kenyataan dan keinginan, seperti halnya orang-orang yang tidak dibaptis atau tidak ingin dibaptis: yang jelas menunjukkan penghinaan terhadap sakramen bagi mereka yang sudah bisa menggunakan akal.
Akibatnya mereka yang  kekurangan Baptisan demikian adalah tidak dapat memperoleh keselamatan: karena baik secara sakramen maupun spiritual mereka tidak tergabung ke dalam Kristus, yang hanya melalui Dia keselamatan dapat diperoleh.
Kedua, sakramen Baptisan mungkin kurang lengkap pada seseorang pada kenyataannya, tetapi tidak dalam keinginan: misalnya, ketika seseorang ingin dibaptis, tetapi karena kurang beruntung dia dihentikan oleh kematian sebelum menerima Baptisan. Orang seperti itu dapat memperoleh keselamatan tanpa benar-benar dibaptis, karena [memiliki] keinginan untuk Baptisan, keinginan yang merupakan hasil dari "iman yang bekerja oleh kasih" dimana Allah, yang kekuasaan-Nya tidak terbatas dengan sakramen yang terlihat, menguduskan dalam hati manusia. [30]

Tuhan Allah kita tidak menghalangi seseorang untuk kebahagiaan supranatural dan abadi, meskipun ini adalah hadiah gratis, tidak ada seorang pun yang berhak, terutama setelah [terjadinya] dosa. Kemurahan-Nya tak terbatas.
Ini adalah masalah pengetahuan umum bahwa mereka yang menderita ketidaktahuan tak teratasi (invincible ignorance) terhadap agama kita yang paling suci, tapi dengan hati-hati menjalani semua ajaran Hukum Alam yang dipatrikan oleh Allah dalam hati semua orang, dan ingin mematuhi Allah dan menjalani kehidupan yang lurus, dapat memperoleh hidup kekal melalui karya berkhasiat cahaya ilahi dan rahmat. [31]

Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di dalam hati setiap orang, dan ia tidak berurusan dengan jiwa secara massal, tapi satu demi satu. Tak seorang pun di bumi ini bisa membuat penilaian tentang keselamatan kekal atau penghukuman dari setiap individu.

Janganlah kita lupa bahwa hati nurani bisa salah dan makin  keras hati akibat dosa, menolak tindakan Allah yang menyelamatkan. Itulah mengapa perlu untuk menyebarkan ajaran Kristus, kebenaran iman dan norma-norma moralitas Kristen. Itulah juga mengapa kita perlu sakramen-sakramen, yang semuanya diberikan oleh Yesus Kristus sebagai sumber kasih karunia-Nya [32] dan obat untuk kelemahan yang timbul dari sifat alami kita yang [gampang] jatuh. [33] Akhirnya, itu sebabnya kita perlu sering menerima sakramen Tobat dan Ekaristi.

Tanggung jawab yang mengagumkan dari semua anggota Gereja dan terutama gembala diperjelas dalam nasihat Santo Paulus:
"Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. [34]


=================
Catatan kaki:
23 Mark 16:16
24 Origen, In Iesu nave homilia, 5, 3; PG 12, 841
25 St Cyprian, De catholicae Ecclesiae unitate, 6; PL 4, 503
26 St Augustine, Sermo ad Cassariensis ecclesiae plebem, 6, PL 43, 456
27 Pius XII, Encyclical, Humani generis, AAS 42, p 570
28 Pius XII, Letter from the Holy Office to the Archbishop of Boston, Dz-Sch 3868
29 Council of Trent, De iustificatione, ch 4, Dz-Sch 1524
30 St Thomas, S. Th. III, q68 a2
31 Pius IX, Encyclical, Quanto conficiamur moerore, 10 August 1863, Dz-Sch 1677 (2866)
32 cf St Thomas, S. Th. III, q62 a1
33 cf ibid, q61 a2
34 2 Tim 4:1-4


sumber artikel terjemahan: Page Katolik Indonesia

Tuesday, July 26, 2011

Mengapa Wanita Tidak Dapat Menjadi Imam?



Argumen paling umum yang sering ditampilkan adalah bahwa Yesus tidak pernah memilih wanita dalam pelayanan imamat. Argumen ini sungguh benar dan tepat. Tetapi argumen ini bukanlah argumen yang kuat dan argumen ini sendiri bukanlah argumen yang lengkap. Pertama-tama perlu diketahui bahwa argumen kaum feminis (mereka yang menghendaki adanya Imam wanita) didasarkan pada gagasan akan martabat dan kesetaraan derajat manusia dalam fungsi dan tugas. Hal ini seringkali jarang dibicarakan ketika isu penahbisan wanita dan kesetaraan dimunculkan.

Bagi kaum feminis, martabat dan kesetaraan tergantung pada bisa atau tidaknya dan boleh atau tidaknya seorang wanita untuk melakukan segala sesuatu yang sama dengan yang pria lakukan. Mereka menyatakan bahwa hanya dengan melakukan segala sesuatu yang sama ini atau setidaknya memiliki kemampuan untuk melakukan segala sesuatu yang sama tersebut, kedua gender ini akan menjadi setara dalam martabat. Menolak bahwa wanita mempunyai fungsi dan tugas yang sama dengan pria sama dengan menolak kesetaraan dan martabat wanita. Hubungannya mungkin terlihat logis tetapi dasar argumen ini sendiri error sekali.

Bertentangan dengan hal ini, pandangan Katolik tidak mengaitkan martabat dan kesetaraan gender dengan fungsi dan tugas yang dapat dilakukan oleh kedua gender. Pribadi manusia tidak ada yang kurang bermartabat atau tidak setara dengan pribadi manusia lainnya berdasarkan apa yang dapat dilakukan atau yang tidak dapat dilakukannya. Melakukan sebuah fungsi spesifik tidak membuat seseorang menjadi lebih layak atau bermartabat daripada seseorang lain yang tidak dapat melakukan fungsi tersebut. Inilah mengapa Gereja menghargai setiap manusia itu setara, lepas dari kriteria penilaian masyarakat terutama kaum feminis. Gereja menilai setiap manusia itu setara termasuk mereka yang terbaring lemah karena sakit parah.

Munculnya budaya euthanasia dan etika �kualitas hidup� juga didasari pada prinsip kaum feminis di atas. Dengan berdasarkan pada prinsip error ini, seseorang dapat memutuskan dan menilai seseorang lainnya yang tidak memenuhi standar �kualitas hidup� dan kemudian menilai orang tersebut untuk di-euthanasia ketimbang merawatnya dengan penuh penghargaan akan kehidupan. Prinsip error di atas mengabaikan intrinsic dignity (martabat instrinsik) manusia yang dianugerahkan Allah. Prinsip-prinsip tersebut sungguh bertentangan dengan kehendak Allah dan martabat manusia itu sendiri.

KGK 369 Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. �Kepriaan� dan �kewanitaan� adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22). Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama �menurut citra Allah�. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.
KGK 2334 2334. �Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas� (Familiaris Consortio 22, Bdk. Gaudium et Spes 49,2).
Dalam diskusi dengan kaum feminis, seorang Katolik sejati harus berani menegaskan kepada mereka bahwa konsepsi/pemahaman Katolik mengenai kesetaraan dan martabat manusia berbeda dengan kaum feminis secara fundamental. Sungguh tidak tepat jika mengatakan kedua pihak, Katolik dan feminis, memandang kesetaraan dan martabat dengan cara yang sama. Feminis meyakini bahwa wanita tidak memiliki kesetaraan dengan pria dalam Gereja karena mereka ditolak oleh Gereja untuk melakukan suatu fungsi, yaitu fungsi imamat. Sedangkan Katolik meyakini bahwa wanita memiliki kesetaraan karena martabat intrinsik mereka  sebagai seorang pribadi manusia. Wanita melengkapi pria tetapi wanita tidak sama dengan pria. Sekalipun tidak sama, tetapi pria dan wanita setara.

Lalu, mengapa hanya pria yang dapat menjadi imam? Perlu dipahami oleh kaum feminis adalah tindakan liturgis dalam Misa merupakan suatu tindakan pernikahan. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus Kristus disebut sebagai mempelai pria dan Gereja sebagai mempelai wanita-Nya. Kitab Suci memberikan gambaran mengenai hal ini:

(Mrk 2:19-20)
2:19 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.
2:20 Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

(Why 19:7-8)
19:7 Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari pernikahan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia.
19:8 Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.)

(Why 21:1-2)
21:1. Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi.
21:2 Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru (Gereja), turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.
Yesus Kristus, Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus, menggambarkan dirinya sebagai seorang mempelai pria bagi Gereja yang dikasihi-Nya, para pengikut-Nya. Karena hal ini, kita kerap memanggil Gereja dengan kata ganti �dia� dalam bentuk perempuan atau �she�, bukan �he�. Penggunaan kata ganti tersebut memang tidak terlihat dalam bahasa Indonesia tetapi apabila kita merujuk ke bahasa Inggris maka akan terlihat dengan jelas.

Imam berdiri dalam pribadi Kristus, persona Christi. Bukanlah imam itu sendiri yang terutama bertindak, tetapi Pribadi Kristus sendiri yang bertindak melalui penampilan gerakan, sikap tubuh, dan pernyataan-pernyataan Imam selama Misa. Dan karena Kristus adalah pria, Imam yang bertindak dalam pribadi Kristus jugalah harus seorang pria dengan dasar tujuan untuk merefleksikan Inkarnasi dalam kepenuhannya.

Ketika roti dan anggur dikonsekrasi oleh imam, sang imam tersebut yang berada dalam pribadi Kristus kemudian menunjukkan Tubuh dan Darah Kristus kepada mempelai-Nya, umat Allah (Gereja). Di sinilah persatuan satu tubuh antara mempelai pria, Yesus Kristus (melalui imam sebagai instrumennya) dengan mempelai wanita, Gereja-Nya, disempurnakan. Persatuan supranatural antara Allah dan umat-Nya ini adalah refleksi mistik dan paling pokok dari pernikahan alami antara seorang pria dan wanita. Oleh karena itu Gereja sebagai mempelai wanita selalu feminin sedangkan Imam dalam Pribadi Kristus selalu maskulin. Misa mencerminkan pesta pernikahan ilahi antara Sang Mempelai Pria dengan Sang Mempelai Wanita.

Dalam masyarakat pada umumnya sekarang ini, imamat Gereja Katolik sedang direduksi dan digoyahkan oleh permainan dan usaha yang dilakukan oleh kaum feminis. Bukanlah kebetulan bahwa dorongan kaum feminis untuk terwujudnya penahbisan wanita dalam Gereja Katolik datang di saat yang sama dengan dorongan kaum homoseksual untuk melegalkan pernikahan sejenis dalam Gereja Katolik. Karena tindakan liturgis adalah cermin dari realitas pernikahan, maka �pernikahan� seorang imam wanita dengan Gereja sebagai mempelai wanita tentunya akan menunjukkan penerimaan kultural homoseksualitas secara umum dan �pernikahan� sejenis secara khusus. Ya ya ya, sekali lagi terbukti iblis sedang berusaha merongrong Gereja lagi.

Pax et Bonum 

Diadaptasi dari tulisan John Pacheco di situs catholic-legate.com

Monday, July 18, 2011

Katekese tentang Pengampunan Dosa oleh Pater H. Embruiru SVD


1. Kekuasaan Gereja

I. Kerinduan akan Penebusan. Di dalam tiap manusia, hidup suatu hasrat untuk menemukan kebahagiaan. Hasrat ini tidak dapat diberantas. Tetapi ada banyak halangan yang melintang di jalan. Dan halangan yang sangat dirasakan ialah dosa. Memiliki Tuhan adalah kebaikan yang paling tinggi dan dosa adalah kejahatan yang satu-satunya. Dosa memisahkan kita dari Tuhan dan selama kita berada dalam dosa kita tidak dapat mencapai kebahagiaan. Banyak yang mengerti masalah ini dengan jelas, tetapi ada juga yang hanya samar-samar. Bagaimana pun juga, di dalam sebagian besar umat manusia, hidup suatu hasrat untuk penghapusan kesalahan, pengampunan dosa, dan pengangkatan dari lembah kecemaran. Demikianlah suara dari kodrat yang telah jatuh, yang tidak dapat melupakan Tuhan. Suara itu ditujukan kepada Tuhan. Umat manusia merindukan penghapusan kesalahan; ia mau agar hubungan dengan Tuhan diperbaiki lagi; agar Tuhan berbelaskasih dan mengampuninya lagi, karena hanya dengan jalan ini manusia dapat menemukan Tuhan lagi; hanya dengan jalan ini kebahagiaan dapat mengalir lagi di dalam kehidupannya.


II. Penebusan oleh Kristus. Manusia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari kesalahan yang membebaninya. Tetapi dari iman dan kepercayaan kita tahu bahwa Tuhan  berkuasa dan bahwa Tuhan selalu siap untuk mengampuni melalui Putera yang telah diutus-Nya ke dunia. Allah telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri oleh Kristus (2 Kor 5:19). Kedatangan Penebus diberitakan sebagai waktu pengampunan. Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa (Mat 1:21). Karena itu Santo Yohanes Pembabtis memperkenalkan-Nya kepada umat sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Yoh 1:29. Dan Kristus sendiri menjelaskan: Aku datang bukan untuk memanggil orang saleh, melainkan orang berdosa. (Mat 9:13). Pada permulaan pengkhotbahan Yesus, terdengarlah panggilan untuk bertobat; Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil (Mrk 1:15). Kita memperoleh pengampunan melalui salib Kristus, karena darah Kristus, Putera Allah. Membersihkan kita dari segala dosa. Ada juga tertulis bahwa Kristus harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga dan bahwa dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa (Luk 24:46-47).

III. Pengampunan dosa di dalam Gereja. Allah mau mendamaikan diri dengan kita melalui darah Putera-Nya yang telah menjadi manusia. Tetapi Allah juga mau bahwa hal itu terjadi melalui Yesus Kristus yang hidup di dalam Gereja-Nya (Gereja Katolik). Pengampunan dosa diberikan dalam dan melalui Gereja sebagai alat pembagian rahmat sakramental. Tetapi rahasia pengampunan dosa merupakan juga satu segi dari rahasia Roh Kudus. Dalam hubungan ini Kristus telah berkata dengan jelas sekali: Terimalah Roh Kudus, jikalau kamu mengampuni dosa orang maka dosanya diampuni (Yoh 20:23). Untuk itulah Yesus menganugerahkan Roh Kudus kepada Para Rasul dan kepada Gereja-Nya. Bertobatlah dan hendaklah kamu memberikan dirimu dibabtis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus (Kis 2:38).
Di dalam Gereja terdapat sumber kekudusan dan pengampunan, oleh karena itu Roh Kudus yang diberikan oleh Kristus kepada Gereja, tidak pernah meninggalkan Gereja-Nya. Memang, bukan semua anggota Gereja itu orang suci. Banyak juga yang penuh cemar dan dosa; semua mereka adalah manusia lemah yang sering jatuh. Tetapi kita dihibur oleh kenyataan bahwa di dalam Gereja ada tempat pembersihan.
IV. Tidak ada batas. Tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni oleh kewibawaan Gereja kecuali ketidakinginan bertobat. Tanpa pembatasan apapun, dapat kita ketahui bahwa apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga (Mat 18:18). Di seluruh dunia terdapat suatu banjir kekotoran yang mencemari manusia dan yang mengancam kekudusan Gereja. Tetapi sumber pengampunan dan kekudusan yang terdapat di dalam Gereja, mampu mengatasinya. Mereka yang membuat jubah mereka menjadi putih di dalam darah Anak Domba, menerima kembali kemurnian asal, karena darah Yesus Putera Allah membersihkan kita dari segala dosa (Why 7:14).
Kekuatan ilahi Roh Kudus tidak habis-habisnya. Manusia tidak berdaya untuk membuat rusak sumber-sumber pengampunan. Dosa manusia tidak boleh dinyatakan terlampau besar atau terlampau banyak oleh karena belaskasihan Tuhan begitu besar dan begitu luas, sehingga tidak ada sebab bagi kita untuk berputus asa. Sadarlah dan bertobatlah supaya dosamu dihapuskan (Kis 3:19). Juga bagian terakhir ini termasuk dalam rahasia pengampunan dosa. Dosa dihapus, dihilangkan; dosa tidak ada lagi. Hubungan antara Tuhan dan manusia menjadi baik lagi. Tuhan tidak menaruh dendam; Tuhan tidak mengutik-ngutik yang telah lewat. Nama baiknya telah dipulihkan kembali di mata Allah; rasanya seakan-akan manusia tidak pernah berdosa. Tuhan seakan-akan melupakan dosa itu. Inilah suatu hal yang tidak kita lihat dalam hubungan manusiawi. Di dunia ini seorang dapat kehilangan nama baiknya dan tidak dapat diperbaiki lagi walaupun kejahatan itu sudah lama ditebus. Seorang yang pernah mencuri, tetap bernama pencuri dalam mata manusia; seorang gadis yang telah jatuh harus menahan malu seluruh hidupnya. Hal yang demikian tidak ditemukan di dalam Allah. Apabila Allah mengampuni, maka pengampunan itu sifatnya radikal dan total.
Tetapi ada satu persyaratan, ialah penyesalan. Pengampunan sakramentil tidak terjadi secara otomatis. Rahmat Tuhan harus diterima oleh hati yang sudah melepaskan diri dari kejahatan dan berpaling kepada Tuhan; hati itu sudah diubah secara menyeluruh dan harus siap menerima kehidupan baru.

2. Jalan Pengampunan Dosa

Pengampunan dosa seperti kita saksikan di dalam dan oleh Gereja merupakan bagian dari pencurahan rahmat dan sifatnya sakramental. Ini berarti bahwa Gereja sendiri serta sekalian jalan yang diberikan kepadanya adalah alat di dalam tangan Tuhan. Kita dapat berkata bahwa Gerejalah yang mengampuni. Pejabat pembabtisan berkata, �Aku membabtis engkau...�. Imam yang memberi pengakuan dosa berkata, �Aku mengampuni engkau dari semua dosamu.� Memang mereka mempunyai kuasa untuk itu. Tetapi kekuasaan itu tidak datang dari dirinya sendiri. Pejabat tidak memintanya dari kesucian pribadi untuk memberikan pengampunan kepada subyek yang menerimanya. Apa yang ia lakukan, ia lakukan dalam nama Kristus, bukan sebagai wakil dalam susunan yuridis, tetapi sebagai instrumen. Jika imam membabtis, Kristuslah yang membabtis; jika imam mengampuni, Kristuslah yang mengampuni. Manusia-imam adalah alat semata-mata, sehingga ketidaklayakan yang mungkin melekat pada dirinya sendiri, tidak dapat mengurangi suatu apapun dari kekudusan yang berasal dari Kristus. Sakramen pembabtisan menghapus segala dosa dan siksa dosa; sakramen pengakuan menghapus segala dosa yang dilakukan setelah pembabtisan. Juga Sakramen yang lain dapat menghapus dosa, apabila kita menerimanya dengan hati yang penuh sesal. Rahasia pengampunan dosa sangat penting bagi kita. Rahasia ini adalah suatu anugerah Allah bagi kita masing-masing. Semua kita membutuhkan pengampunan secara terus-menerus; pertama sekali pengampunan dari dosa asal, lalu pengampunan dari dosa pribadi.

Sumber: RP H. Embruiru, SVD. Aku Percaya hlm 160-163.

Pax et Bonum

Artikel Lain: Mengapa Mengaku dosa di hadapan manusia?

Thursday, July 14, 2011

Apakah Konsili Vatikan II menganulir Dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus?


Apa itu dogma?

"Dogma adalah pengajaran Gereja yang diwahyukan secara implisit atau eksplisit oleh Kitab Suci atau Tradisi Suci, untuk diyakini oleh umat beriman berdasarkan definisi khidmat atau kuasa mengajar biasa Gereja. ... Sebagai tambahan, dogma harus diajukan sebagai [pengajaran] yang mengikat umat beriman. Oleh karena itu,  penerimaan terhadap dogma adalah perlu untuk keselamatan [umat beriman].(Reverend Peter M.J. Stravinskas, Ph.D., S.T.L. Our Sunday Visitor�s Catholic Encyclopedia. Copyright � 1994, Our Sunday Visitor.)


Ensiklopedia Katolik memberi kita informasi bahwa Dogma itu tetap atau tidak berubah. Katekismus Gereja Katolik 88 dan 89 memberikan pernyataan sebagai berikut: 

"Wewenang Mengajar Gereja menggunakan secara penuh otoritas yang diterimanya dari Kristus, apabila ia mendefinisikan dogma-dogma, artinya apabila dalam satu bentuk yang mewajibkan umat Kristen dalam iman dan yang tidak dapat ditarik kembali, ia mengajukan kebenaran-kebenaran yang tercantum di dalam wahyu ilahi atau secara mutlak berhubungan dengan kebenaran-kebenaran demikian. Kehidupan rohani kita dan dogma-dogma itu mempunyai hubungan organis. Dogma-dogma adalah cahaya di jalan kepercayaan kita, mereka menerangi dan mengamankannya. Sebaliknya melalui cara hidup yang tepat, pikiran dan hati kita dibuka, untuk menerima cahaya dogma iman itu."

Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah Dogma

Pada tanggal 8 Agustus 1949, Kongregasi Holy Office yang sekarang bernama Kongregasi Doktrin Iman mengeluarkan sebuah dokumen berjudul Suprema Haec Sacra (silahkan klik) untuk menanggapi pernyataan  Pater Leonard Feeney (alm) * mengenai dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus. Extra Ecclesiam Nulla Salus itu berarti Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Dalam tulisan ini, Gereja melalui Kongregasi Holy Office menegaskan bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah Dogma dengan memberi pernyataan demikian:
Kita terikat oleh iman yang ilahi dan Katolik untuk mempercayai semua hal yang terkandung dalam sabda Allah, apakah itu di Kitab Suci atau Tradisi, dan [semua hal] yang diajukan oleh Gereja untuk dipercayai sebagai sesuatu yang diwahyukan secara ilahi, bukan hanya melalui keputusan meriah tapi juga melalui kuasa [ie. "office"] mengajar biasa dan universal (Denzinger, n. 1792). Sekarang, diantara perkara-perkara yang selalu dikhotbahkan Gereja dan tidak akan pernah berhenti untuk dikhotbahkan, terkandung juga pernyataan tak bisa salah (dogma) yang mana kita diajarkan bahwa tidak ada keselamatan diluar Gereja. Namun dogma ini harus dimengerti dalam artian yang dimengerti Gereja sendiri. Karena, bukanlah kepada keputusan pribadi, Penebus Kita memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkandung dalam deposito iman, tapi kepada otoritas mengajar Gereja.
Monsinyur Joseph Clifford Fenton memberi tanggapan sekaligus penjelasan mengenai dokumen ini:
Porsi doktrinal yang spesifik dari surat Kantor Kudus dimulai dengan sebuah paragraf yang mengulangi apa yang diajarkan oleh Konsili Vatikan [Pertama] mengenai kebenaran yang mana kita terikat untuk mempercayai dengan kepatuhan iman yang Katolik dan ilahi. Surat tersebut mengatakan kepada kita bahwa "Kami terikat oleh iman yang ilahi dan Katolik untuk mempercayai semua hal yang terkandung dalam sabda Allah, apakah itu di Kitab Suci atau Tradisi (quae in verbo Dei scripto vel tradito continentur), dan [semua hal] yang diajukan oleh Gereja untuk dipercayai sebagai sesuatu yang diwahyukan secara ilahi."[2]

Nah, ajaran-ajaran yang kita wajib percayai dengan kepatuhan iman yang Katolik dan ilahi adalah kebenaran-kebenaran yang kita kenal sebagai dogma-dogma Gereja Katolik. Dogma-dogma ini adalah kebenaran-kebenaran yang dikhotbahkan rasul-rasul Yesus Kristus kepada GerejaNya sebagai pernyataan-pernyataan yang telah dikomunikasikan secara adikodrati [supernatural] atau diwahyukan oleh Allah sendiri. [Dogma-dogma tersebut] mendasari obyek terpusatan atau terutama dari aktivitas mengajar takdapatsalah Gereja. 

Adalah penting untuk dicatat bahwa surat Kantor Kudus kita itu mendeskripsikan doktrin "bahwa tidak ada keselamatan diluar Gereja," tidak hanya sebagai suatu ajaran yang takdapatsalah, tapi juga sebagai suatu dogma. Surat itu bersikeras, dengan kata lain, bahwa ajaran ini tidak hanya sesuatu yang [sekedar] berhubungan dengan pesan Allah yang umum dan adikorati [supernatural], tapi [doktrin tersebut] termasuk dalam pesan yang diwahyukan itu sendiri.  Doktrin tersebut dihadirkan sebagai sebuah kebenaran yang diberikan para rasul sendiri kepada Gereja sebagai sebuah pernyataan yang diwahyukan Allah secara adikodrati [supernatural] kepada manusia melalui Tuhan Kita [ie. Yesus Kristus]. [Doktrin tersebut] adalah salah satu dari kebenaran-kebenaran yang mana Gereja berkepentingan secara utama dan esensial. 
....
Nah ada kecenderungan lama diantara beberapa penulis Katolik untuk membayangkan bahwa beberapa dogma Gereja cenderung menjadi kadaluarsa, dan bahwa, atas kepentingan kemajuannya sendiri, Gereja tidak bersikeras dengan ketat atas ajaran-ajaran yang dianggap tidak selaras dengan kondisi-kondisi modern. Paus Leo XIII mengkritik dengan keras salah satu aspek dari kecenderungan ini dalam suratnya Testem benovolentiae.[5] Sudahlah sangat jelas bahwa salah satu dogma Gereja yang oleh musuh-musuhnya [ie. musuh-musuh Gereja] paling tidak sejalan dengan pemikiran modern saat ini adalah ajaran bahwa tidak ada keselamatan diluar Gereja sejati. Secara bersamaan sebuah mentalitas seperti yang dimiliki kelompok Pusat St. Benediktus cenderung berkeyakinan bahwa, paling tidak dijaman kita, Gereja universal sedang tidak mengajarkan dogma mengenai perlunya Gereja bagi keselamatan manusia secara efektif.

Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah Dogma. Dogma itu adalah pernyataan iman yang tidak dapat salah sehingga tentu tidak dapat dianulir/diganti/diubah oleh Konsili Ekumenis atau Infallibilitas Paus sekalipun.
"Oleh karena itu, saya sepenuhnya menolak penggambaran keliru yang sesat bahwa dogma berkembang dan berubah dari suatu pengertian ke [pengertian] lain yang berbeda dari sesuatu yang Gereja pegang sebelumnya." Paus Santo Pius X, The Oath Against Modernism, 1 September 1910.
"Oleh karena itu, juga, bahwa pemahaman mengenai dogma-dogma kudus yang Bunda Gereja Kudus pernah nyatakan harus terus-menerus dipertahankan ... " Paus Beato Pius IX, Konsili Vatikan I Sesi 3 Chapter 2 mengenai Pewahyuan, 1870.

Konsili Vatikan II tidak menganulir/mengubah/mengganti dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus

Kecenderungan yang Gereja temui saat ini adalah banyak anggota Gereja  baik Uskup, Imam dan awam (religius atau non-religius) menyatakan bahwa dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus telah dihapus oleh Konsili Vatikan II. Terutama di Indonesia, Kecenderungan ini diperparah dengan adanya materi pelajaran agama Katolik yang menyatakan bahwa dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus telah diganti. Mereka menganggap bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah  ajaran Gereja pra-Vatikan II, sedangkan dalam Gereja paska-Vatikan II dogma ini telah digantikan dengan ajaran "di luar Gereja ada keselamatan". Pertama-tama perlu kita pahami bahwa pembagian menjadi Gereja pra-Vatikan II dan Gereja paska-Vatikan II adalah sebuah dikotomi palsu yang sungguh parah sekali. Pembagian ini akan memberi efek bahwa Gereja itu mengubah ajarannya seturut perkembangan zaman, padahal tidak sama sekali. Gereja memang dinamis tetapi Gereja tidak pernah mengkompromikan ajaran iman dan moralnya sendiri. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) menolak dengan tegas pandangan bahwa Konsili Vatikan II mengganti dogma-dogma Gereja lainnya. Beliau menyampaikan pernyataan berikut di hadapan Para Uskup Chile: (dokumen asli) dan (sebagian terjemahan):

" ... Memang ada mentalitas pandangan sempit yang mengisolasi Vatican II dan yang telah mem-provokasi pertentangan ini. Ada banyak hal darinya yang memberikan kesan bahwa, sejak Vatikan II dan sesudahnya, semuanya telah berubah, dan apa yang mendahuluinya (Vatikan II) tidak mempunyai nilai atau, paling tidak, hanya mempunyai nilai dalam terang Vatikan II.

"Konsili Vatikan II tidak diperlakukan sebagai bagian dari seluruh Tradisi yang hidup dari Gereja., tapi sebagai akhir dari tradisi, sebuah awal dari nol. Padahal sebenarnya adalah konsili ini tidak mendefinisikan dogma apapun, dan secara sengaja memilih untuk tetap berada pada level yang sederhana, hanya sebagai konsili pastoral; namun banyak yang memperlakukannya (Vatikan II) seakan-akan [Vatikan II] sendiri membuat dirinya (Vatikan II) menjadi suatu superdogma yang menghilangkan pentingnya semua [Tradisi hidup Gereja] yang lain.

"Gagasan ini diperkuat oleh hal-hal yang terjadi sekarang ini. Apa yang sebelumnya dipandang paling kudus � [misalnya] bentuk dari liturgi yang telah diturunkan � tiba-tiba tampak sebagai sesuatu yang paling terlarang dari segalanya, satu-satunya yang bisa dengan aman dilarang.Sangatlah tidak ditoleransi untuk mengkritik keputusan-keputusan yang telah diambil sejak Konsili [Vatikan II]; di sisi lain, jika orang-orang membuat pertanyaan mengenai aturan-aturan kuno, atau bahkan kebenaran-kebenaran agung Imani � contohnya, keperawanan korporal Maria, kebangkitan tubuh Yesus, keabadian jiwa, dll. � tidak ada yang mengeluh atau hanya [menyampaikan keluhan] dengan sangat moderat. Aku sendiri, ketika aku adalah seorang profesor, telah melihat bagaimana uskup yang sama yang, sebelum konsili, telah memecat seorang guru yang benar-benar tidak dapat diperingatkan lagi, karena perkataan-perkataan kasar tertentu, ternyata [sang uskup tersebut] tidak siap, setelah Konsili Vatikan II, untuk melepas seorang profesor yang secara terbuka menyangkal kebenaran Iman fundamental tertentu.

"Semua ini mengarah kepada sejumlah besar orang untuk bertanya pada diri sendiri apakah Gereja sekarang ini benar-benar sama dengan Gereja yang kemarin, atau kalau-kalau mereka [ie. pihak tertentu] telah mengubahnya (Gereja) menjadi sesuatu yang lain tanpa memberitahukan orang-orang. Satu-satunya cara yang mana untuk membuat Vatikan II masuk akal adalah untuk menyajikannya (Vatikan II) sebagai apa adanya; [yaitu sebagai] satu bagian dari ketidakterputusan, keunikan Tradisi dari Gereja dan dari imannya (Gereja).

"Dalam gerakan-geraka spiritual dari era post-konsilar [ie. setelah Konsili Vatikan II], tidak ada keraguan sedikitpun bahwa telah ada ketidaktahuan, atau bahkan pengekangan, dari issu kebenaran: mungkin disini kita berhadapan dengan masalah krusial bagi teologi dan bagi karya pastoral saat ini.

"'Kebenaran' dipandang sebagai suatu klaim yang terlalu mengagung-agungkan, sebuah 'triumphalisme' yang tidak dapat diijinkan lagi. Anda lihat sikap ini secara gamblang dalam krisis yang menyulitkan idealisme misionaris dan praktek misionaris. Jika kita tidak menunjuk kepada kebenaran dalam mengumumkan iman kita, dan bila kebenaran ini tidak lagi esensial bagi keselamatan Manusia, maka misi-misi kehilangan maknanya. Bahkan sebuah kesimpulan telah ditarik, dan telah ditarik hari ini, bahwa di masa depan kita hanya perlu untuk [berusaha] agar umat-umat Kristen menjadi umat-umat Kristen yang baik, umat-umat Moslem menjadi umat-umat Moslem yang baik, umat-umat Hindu menjadi umat-umat Hindu yang baik, dan seterusnya. Kalau sudah seperti itu, bagaimana kita bisa tahu kalau seseorang adalah umat Kristen yang 'baik', atau seorang umat Moslem yang 'baik'?

"Gagasan bahwa semua agama � jika engkau berbicara secara serius � hanya simbol-simbol dari apa yang pada akhirnya tidak bisa dimengerti [adalah gagasan yang] secara cepat mendapat tempat dalam teologi, dan telah menembus kedalam praktek liturgi. Ketika sudah sampai ketitik tersebut, iman menjadi tertinggal
, karena iman [pada titik tersebut] sebenarnya terdiri dari fakta bahwa aku mengikat diriku kepada kebenaran sejauh kebenaran itu diketahui. Jadi dalam masalah ini juga ada banyak motivasi untuk kembali ke jalan yang benar.

Dari sebagian pernyataan Cardinal Ratzinger di atas, kita ketahui bahwa Konsili Vatikan II bukan superdogma yang menganulir/mengubah/mengganti dogma-dogma yang ada termasuk dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus.


PERTANYAAN PERTAMA
Apakah Konsili Vatikan II mengubah doktrin Katolik mengenai Gereja?

TANGGAPAN

Konsili Vatikan II tidak mengubah atau bahkan bermaksud untuk mengubah doktrin ini, melainkan mengembangkan, memperdalam dan menjelaskan secara lebih mendalam mengenainya.
Hal ini secara persis dikatakan oleh Yohanes XXIII pada saat pembukaan Konsili. (1) Paulus VI menetapkannya (2) dan memberikan komentar dalam penetapan promulgasi Konstitusi Lumen Gentium: �Tidak ada komentar yang lebih baik daripada menyatakan bahwa promulgasi ini sama sekali tidak merubah doktrin tradisi. Apa yang Kristus kehendaki, kami juga kehendaki. Apa yang ada, tetaplah seperti itu. Apa yang Gereja ajarkan selama berabad-abad, itu pula yang kami ajarkan. Dalam istilah yang lebih sederhana yaitu apa yang dahulu diasumsikan, kini menjadi eksplisit; bahwa yang dahulu tidak jelas, kini telah menjadi jelas; apa yang dahulu direnungkan, didiskusikan dan terkadang diperdebatkan, kini telah diletakkan bersama dalam satu rumusan yang jelas�.(3) Para Uskup telah berulangkali menyatakan dan memenuhi tujuan ini. (4)

Dari dua teks ini (Pernyataan Cardinal Ratzinger dan Dokumen dari Kongregasi Doktrin Iman), dapat kita simpulkan bahwa Konsili Vatikan II tidak menganulir/mengganti/mengubah dogma-dogma apapun mengenai Gereja termasuk dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus.

Sekarang bagaimana tanggapan umat Katolik terhadap dogma ini? 

Setelah mengetahui bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah ajaran iman yang wajib diiimani, maka sudah sepantasnya dan sewajibnya dogma ini umat Katolik yakini dan pertahankan. Janganlah terlampau berpikir negatif terlebih dahulu mengenai dogma ini tetapi kenalilah dulu dogma ini. Sebagai seorang Katolik saya mengimani seluruh ajaran iman dan moral Gereja Katolik. Kata St. Agustinus dari Hippo "Saya percaya supaya saya mengerti dan saya mengerti supaya percaya lebih baik." Dengan demikian janganlah kita umat Katolik langsung segera menolak dogma ini. Jangan pula bermental "atau" sehingga kita menjebak diri kita sendiri dalam dikotomi palsu. Bentuk mentalitas "atau" itu tercermin dari pertanyaan "Apakah Kristus ATAU Gereja yang menyelamatkan?" . Padahal Gereja dan Para Bapa Gereja mengimani bahwa Kristus DAN Gereja adalah satu dan tak terpisahkan. Dokumen Suprema Haec Sacra di atas menyatakan bahwa "... dogma ini harus dimengerti dalam artian yang dimengerti Gereja sendiri."

Untuk mengerti dogma ini dalam artian yang dimengerti oleh Gereja sendiri, saya berikan link penjelasan Beato Yohanes Paulus II mengenai dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus ini. Dan untuk menambah penjelasan, saya juga berikan juga link penjelasan mengenai dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus ini dari seorang awam yang mana tulisan ini sendiri sudah diperiksa oleh seorang Imam Katolik. Kemudian, silahkan baca juga tanya jawab mengenai EENS ini dalam situs katolisitas dot org. Akhir kata, semoga tidak ada lagi anggota Gereja baik kaum tertahbis maupun non-tertahbis yang menyatakan bahwa "Di luar Gereja ada keselamatan". Melainkan, semoga semakin banyak anggota Gereja menyatakan bahwa "Di luar Gereja tidak ada keselamatan dan dogma ini harus dimengerti dalam artian yang dimengerti oleh Gereja". Pernyataan terakhir ini sekaligus menolak dua posisi ekstrim yang keliru. Ekstrim pertama yaitu yang menyatakan bahwa dogma ini telah dihapus. Ekstrim kedua yaitu yang memegang teguh dogma ini tetapi memahaminya tidak dalam artian Gereja memahaminya seperti yang dilakukan oleh Pater Leonard Feeney.

* Pater Leonard Feeney sungguh benar ketika menyatakan bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus adalah dogma resmi Gereja. Sayangnya beliau memahaminya terlalu ekstrim dan keliru serta gagal memahaminya seturut Gereja memahaminya. Beliau mengajarkan bahwa semua orang yang tidak secara resmi dan eksplisit masuk ke dalam Gereja Katolik akan masuk neraka. Dia juga berkata bahwa bayi-bayi yang tidak dibabtis akan langsung masuk neraka. Juga, orang dewasa yang tidak memasuki Gereja Katolik sekalipun orang-orang tersebut tidak pernah mendengar pewartaan akan Kristus dan Gereja, akan masuk neraka (hal ini bertentangan dengan KGK 847). Fr. Feeney menyatakan bahwa hanya baptisan air yang memberi rahmat keselamatan. Beliau menolak ajaran Gereja bahwa baptisan rindu dan baptisan darah memberi rahmat yang menyelamatkan dan membawa orang masuk ke dalam Gereja Katolik (secara implisit). Silahkan baca penjelasan mengenai Pater Leonard Feeney yang ditulis oleh Pater William Most di situs ewtn.com. Silahkan baca artikel ini dan artikel ini.

Perlu dipertegas bahwa Gereja yang dimaksud di sini adalah Gereja Katolik, bukan yang lain.
Pax et Bonum, Extra Ecclesiam Nulla Salus