Latest News

Showing posts with label Apologetik. Show all posts
Showing posts with label Apologetik. Show all posts

Wednesday, April 10, 2013

Realita Posisi Uskup Roma pada 6 Abad Pertama � Respon I

St. Vincentius Lerins
Seorang Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia (ROCOR) membuat tulisan mengenai Uskup Roma pada 6 abad pertama di mana ia mencoba untuk menunjukkan bahwa Petrus dan Para Paus Roma tidak memiliki otoritas yang unik, tidak memiliki primasi dan tidak pula memiliki infallibilitas. Tetapi, sayang sekali kutipan-kutipan yang diambil sering keluar konteks dan kadang tidak ada hubungannya dengan primasi dan infallibilitas Paus. Kali ini saya akan menuliskan tanggapan untuk kutipan 3 abad pertama dari artikel tersebut yang bisa diakses di page Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia tersebut. Tulisan Diakon tersebut dalam warna merah sementara respon saya dalam warna hitam.
Kesetaraan Petrus dengan para Rasul lainnya menjadi dasar bagi iman Gereja Orthodox menolak dogma papacy yang diberlakukan oleh Gereja Roma.

Perlulah diketahui bahwa Petrus selalu dipandang sebagai pemimpin sekaligus pelayan bagi para rasul lainnya. Dalam posisinya sebagai seorang pemimpin, Petrus memiliki sejumlah otoritas tertentu dan unik dalam Gereja.

Para Bapa telah berkali-kali dalam surat mereka menyatakan bahwa posisi Petrus tidak lebih tinggi dari para rasul lainnya sekalipun dia yang pertama kali menerima kuasa mengikat dan melepaskan dari Tuhan kita Yesus Kristus.
Lebih tepatnya Para Bapa Gereja telah berkali-kali bahkan sudah menjadi konsensus bahwa Petrus dan Para Paus memiliki otoritas yang unik yang tidak dimiliki para uskup lain sebab kunci Kerajaan Surga pertama-tama diberikan kepada Petrus.
"Jadi Petrus adalah yang pertama menerima kekuasaan untuk mengikat danmelepaskan, dan ia pulalah yang pertama kali membuat banyak orang menjadiberiman dengan kekuatan khotbahnya. Namun, para Rasul lainnya telah dijadikansetara dengan Petrus dalam persekutuan martabat dan kekuasaan. Mereka jugatelah dikirim ke seluruh dunia, memberitakan Injil. Setelah kuasa ini turun keatas para rasul, para uskup (penilik jemaat) telah menjadi penerus bagi mereka,dan ke seluruh dunia mereka telah mendirikan tahta-tahta para rasul." - St. Isidorus Seville (560 - 636M), De Sirakh (tambahan: kadang juga ditulis "De Ecclesiasticus", II.5, MPL, Vol. 83, Kol 781-782
Perlu dilihat konteks pernyataan tersebut, sebab jika maksudnya sederajat dalam artian berada dalam satu golongan yang dihormati dan berkuasa, itu memang benar. Sebab memang semua uskup (penerus Rasul) itu berada dalam suatu golongan yang dihormati dan berkuasa memimpin di daerahnya masing- masing; dalam hal ini mereka �setara�. Namun kesetaraan ini tidak serta merta menghapus kepemimpinan di kalangan para uskup itu, dan peran ini dilakukan oleh Paus.

Mereka setara dalam yurisdiksi lokal masing-masing yang sepertinya tidak dimengerti oleh Diakon tsb. Petrus memiliki yurisdiksi lokal sendiri, Yakobus dan Para rasul lain juga tetapi mereka tidak memberontak melawan primasi Petrus. Kutipan di atas tidak berkata apa-apa tentang yurisdiksi universal melainkan � bila dibaca lengkap � berbicara perihal imamat. Kita perlu melihat bahwa seorang paus dan uskup pasti memiliki otoritas yang sama dalam hal imamat bagi yurisdiksinya masing-masing, contohnya dalam hal sakramen-sakramen di mana setiap Paus dan Para Uskup lainnya memiliki otoritas yang sama untuk memberikan tujuh sakramen yang sama pula di wilayah gerejawi mereka sendiri. Lihat di bab V buku De Ecclesiasticis Officis halaman 71-72 dan baca kutipan lebih awal dari yang dikutipkan oleh Diakon tersebut:
Pada Perjanjian Baru, bagaimanapun juga, setelah Kristus urutan imamat dimulai dengan Petrus. Karena kepadanya pontifikat Gereja Kristus diberikan pertama kali. Demikianlah Tuhan berkata kepadanya: �Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku dan gerbang Hades tidak akan menguasainya.�  
Perlu diketahui bahwa St. Isidorus Sevilla (dalam Etymologiae hlm 168 ) juga mengajarkan bahwa Petrus adalah Kepala Para Rasul:
He was called Cephas because he was established was the head (caput) of the apostles, for safhk[ie. cephas] in Greek means 'head,' and Cephas is the Syrian name for Peter.
Dan dalam Patrologia Latin, St. Isidorus menulis:
�Keputusan Pontiff Roma, berdiri di atas supremasi Tahta Apostolik, adalah tidak dipertanyakan.� (ante A.D. 636) in PL:84
Dan dalam Ep. Ad Claud. Ducem, St. Isidorus menyatakan:
�Kami tahu siapa yang bertanggungjawab dalam Gereja Kristus kepada keberlanjutan yang kita akui dengan hormat dan rendah hati dan dengan devosi lebih terutama untuk memberikan ketaataan dalam segala hal kepada Pontiff Roma sebagai Vikar Allah. Barangsiapa yang dengan bangga menolak prinsip ini, kami putuskan, sama sekali berada di luar persekutuan umat beriman sebagai heretik (sesat).� (Isidore, Ep. ad Claud. ducem)
Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia tersebut lalu melanjutkan:
Demikian pula Gereja mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada satu pun rasul, penggantinya atau pribadi manapun baik di surga maupun di bumi kecuali Allah sendiri yang kebal salah (Infalibil) dalam pengajaran.
Well, benih-benih infallibilitas Paus telah ada sejak abad-abad pertama Gereja berdiri dan para Bapa Gereja mendukungnya.
"Mengapa Rasul Paulus mengatakan "Sekalipunkami"? (Gal 1 : 8) mengapa tidak mengatakan "meskipun aku"? Dia menyatakan bahwa, "Sekalipun itu Petrus, meskipun Andreas, meskipun Yohanes, meskipun itu adalah seluruh rasul, mereka dinyatakan salah dalam pengajaran mereka jika memberitakan kepadamu Pengajaran lain daripada yang kami telah berikan kepadamu, dan maka terkutuklah dia." Dia tidak berkata,"Jika ada orang yang menyampaikan pengajaran lain kepadamu maka terimalah dia, biarkan dia diberkati dan dipuji, sambutlah orang itu,"sekali-kali tidak, tetapi "terkutuklah dia," laknat dia yaitu pisahkan hingga jadi terpisah, kucilkan, jangan sampai penyakit menular yang mengerikan dari domba yang satu mencemari kawanan Kristus dengan percampuran beracun dari mereka... Jika ada orang yang mengkhotbahkan doktrin apapun yang baru,terkutuklah dia." - St. Vinsensius Lerins, Commonitory 22
Marduk, seorang Katolik Koptik eks-Ortodoks, memberikan tanggapan atas kutipan ini kepada orang yang menggunakannya untuk menyerang Katolik:
Kutipan yang indah saudara. Tetapi tidak menyanggah posisi Katolik karena kutipan tidak lebih dan tidak kurang dari posisi Gereja Katolik. Dalam keadaan normatif, SEMUA uskup adalah wakil Kristus dan adalah gembala yang sejati bagi kawanannya. Inilah yang St. Paulus (St. Vinsensius Lerins dengan tafsirkan) sedang katakan. Apakah St. Paulus akan menyampaikan isu mengenai apa yang harus dilakukan ketika ada konflik di Gereja atau ketika ia merasa membutuhkan peneguhan akan imannya? Faktanya, ia melakukannya. Dalam contoh berikut, Paulus mengunjungi Petrus, bukan karena dia tidak mengetahui, tetapi untuk memastikan, sebagaimana Kitab Suci katakan, bahwa ia tidak berjalan sia-sia � yaitu untuk meneguhkan pengetahuan ilahi yang baru saja ia miliki. Dan contoh sebelumnya, kita melihat ia mengajukan banding ke otoritas yang lebih tinggi dari dirinya sendiri � konsili Yerusalem di mana suara seseorang (yaitu Petrus) memberikan keputusan otoritatif dengan konsensus semuanya.
Commonitorium St. Vinsensius Lerins pernah dibahas panjang lebar di Called to Communion dan ternyata bisa dilihat bahwa dalam Commonitorium ini juga  St. Vinsensius Lerins pun mendukung primasi Paus Roma termasuk dalam hal memutuskan ajaran iman. Ini adalah kasus di mana Gereja-gereja Afrika pada saat itu jatuh pada ajaran baru (novelty) yang tidak sesuai Tradisi Apostolik untuk membaptis ulang kaum sesat yang dulu sudah pernah dibaptis dengan valid secara Katolik. Firmillian Uskup Caesarea dan St. Siprianus Uskup Kartago sekali waktu pernah jatuh pada ajaran ini dan menentang Paus St. Stefanus. Dalam hal ini, St. Vinsensius Lerins membela St. Stefanus, menegaskan kebenaran ajaran Paus St. Stefanus terhadap Agripinnus, St. Firmillian dan St. Siprianus. St. Siprianus di kemudian waktu berdamai dengan Paus St. Stefanus.
�... kami akan mengambil satu [contoh], dan yang - dalam preferensi untuk orang lain - berasal dari Tahta Apostolik, sehingga dapat menjadi lebih jelas dari siang kepada setiap orang bahwa denganbetapa energi yang besar, dengan betapa penuh semangat, dengan betapa kesungguhan yang besar, penerus terberkati (Para Paus) dari rasul yang terberkati (yaitu Petrus) telah terus-menerus membela integritas agama yang mereka telah pernah mereka terima.� (Commonitorium 15)

Sekali waktu, Agripinnus, Uskup Kartago (ia adalah pendahulu St. Siprianus di Kartago), mengajarkan ajaran � dia adalah yang pertama mengajarkan ajaran tersebut � bahwa Pembaptisan [terhadap yang sesat] haruslah diulang, bertentangan dengan kanon ilahi, bertentangan dengan aturan Gereja universal, bertentangan dengan kebiasaan dan penetapan dari leluhur kita. Inovasi ini menarik sejumlah kejahatan, yang tidak hanya memberikan contoh sakrilegi kepada segala macam heretik, tetapi juga membuktikan kesalahan kepada umat Katolik tertentu.
Ketika kemudian orang-orang protes melawan hal yang baru [yang diajarkan oleh Agripinnus) dan imamat di mana-mana, masing-masing dengan penuh semangat, - melawannya. Paus Stefanus yang terberkati, Prelatur Tahta Apostolik, dalam hubungannya dengan rekan-rekannya tetapi dialah yang terutama, melawan hal baru tersebut, berpikir perlawanan tersebut benar; saya (St. Vinsensius Lerins) tidak ragu bahwa dia melampaui semua yang lain dalam otoritas tahtanya, sehingga ia juga berada dalam pengabdian akan imannya. Dalam sebuah surat yang dikirim pada saat itu ke Afrika, Paus St. Stefanus menuliskan aturan ini: Hendaknya tidak ada inovasi � tidak ada inovasi tetapi apa telah diteruskan. Karena orang suci dan bijaksana tahu dengan baik bahwa kesalehan sejati mengakui tidak ada aturan lain daripada segala sesuatu yang telah diterima dengan setia dari para bapa kita yang sama dengan yang kita teruskan kepada anak-anak kita dengan setia; dan inilah tugas kita, bukan untuk memimpin agama berdasarkan apa yang kita kehendaki tetapi untuk mengikuti ke mana agama tersebut menuntun. Adalah bagian dari Christian modesty and gravity untuk tidak meneruskan keyakinan atau penemuan kita sendiri kepada mereka yang datang setelah kita tetapi untuk menjaga dan memelihara apa yang kita terima dari mereka yang telah pergi sebelum kita.(Commonitorium 16)
St. Vinsensius Lerins dengan jelas di atas mengajarkan bahwa Paus Roma memiliki otoritas gerejawi melampaui semua uskup lainnya, bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Diakon Ortodoks Rusia Di Luar Rusia  tersebut.

Masih dalam Commonitorium, St. Vinsensius Lerins menunjukkan primasi otoritatif Paus Roma. Berbicara mengenai otoritas yang berkumpul dalam Konsili Efesus, St. Vinsensius Lerins menyatakan:
�And lest Greece or the East should seem to stand alone, to prove that the Western and Latin world also have always held the same belief, there were read in the Council certain Epistles of St. Felix, martyr, and St. Julius, both bishops of Rome. And that not only the Head, but the other parts, of the world also might bear witness to the judgment of the council, there was added from the South the most blessed Cyprian, bishop of Carthage and martyr, and from the North St. Ambrose, bishop of Milan.� (Commonitorium 79)
Perhatikan di sini bahwa St. Vinsensius Lerins menyatakan bahwa Paus St. Feliks I (269-274) dan Paus St. Julius I (337-352) adalah �the Head� � �Kepala� kepada para uskup dari Timur, Afrika dan Italia Utara.

Masih sekali lagi dalam Commonitorium, St. Vinsensius Lerins merujuk kepada otoritas Paus Roma untuk menolak novelty (ajaran baru). Kali ini ia menjelaskan Paus St. Sikstus III dan Paus St. Selestinus.
The foregoing would be enough and very much more than enough, to crush and annihilate every profane novelty. But yet that nothing might be wanting to such completeness of proof, we added, at the close, the twofold authority of the Apostolic See, first, that of holy Pope Sixtus, the venerable prelate who now adorns the Roman Church; and secondly that of his predecessor, Pope Celestine of blessed memory, which same we think it necessary to insert here also. (Commonitorium 84)
Pada Commonitorium 84, St. Vinsensius Lerins menjelaskan pernyataan otoritatif Paus St. Sikstus III terhadap Uskup Antiokia mengenai perkara ajaran sesat Nestorianisme. Sementara pada Commonitorium 85, St. Vinsensius Lerins menjelaskan  Paus St. Selestinus menuliskan keputusan otoritatif atas error dari para imam di wilayah Gaul, Prancis.  Tampaknya Sang Diakon harus membaca keseluruhan tulisan St. Vinsensius Lerins sebelum asal mengutipnya untuk menyerang primasi Paus Roma termasuk juga mempelajari lagi infallibilitas Paus dengan benar.
Ini adalah beberapa realita posisi Paus Roma pada abad ke-dua hingga abad ke-enam, yaitu tidaklah memiliki superioritas dan pula dapat melakukan kesalahan.
Kutipan-kutipannya memang real, tetapi pemaknaannya adalah imajinasi Sang Diakon dan tampak sekali ketidaktahuannya mengenai infallibilitas Paus.
Realita Posisi Paus Roma pada abad ke dua
Kita belajar dari abad ke-2, ketika Paus Victor menyatakan ekskomunikasi bagi Gereja-gereja di Asia yang merayakan Paskah pada tanggal yang berbeda dari apa yang sudah ditetapkan: "Namun, ini tidak menyenangkan semua uskup ... kata-kata mereka yang dengan sangat tajam menegur Victor. Di antaranya adalah Irenaeus, yang,mengirim surat atas nama saudara-saudara di Gaul yang dia pimpin, ... pantas memberi peringatan bagi Victor bahwa ia tidak harus memecah-belah seluruh Gereja Tuhan yang mengikuti suatu tradisi lebih awal... Jadi Irenaeus, yang benar-benar bernama baik, menjadi pembawa damai dalam hal ini, mendesak dan bernegosiasi dengan cara ini atas nama perdamaian gereja. Dan dia yang telahmemberikan surat ini menjadi pertentangan tidak hanya bagi Victor, tetapi juga bagi sebagian besar otoritas Gereja lainnya. "
Sumber : Eusebius, Church History,Bk. 5, Ch.24
Mengenai kutipan ini, saya tampilkan pembanding dari situs Early Christian Writings yang mencantumkan juga tulisan Yunani dari kutipan tersebut. Sedikit koreksi, hendaknya Sang Diakon berhati-hati menerjemahkan sebab Paus St. Viktor, dalam kasus ini, tidak memecah belah, tetapi mengekskomunikasi Gereja-gereja yang tidak mengikuti penetapan Paskah yang ia buat. Dan kalimat �Dan dia yang telah hmemberikan surat ini menjadi pertentangan tidak hanya bagi Victor, tetapi juga bagi sebagian besar otoritas Gereja lainnya. " adalah bias. Tepatnya, St. Ireneus mengirimkan surat yang berbicara tentang permasalahan yang diperdebatkan ini kepada Paus St. Viktor dan otoritas Gereja lainnya. Maknanya berbeda, kalimat pertama menunjukkan bahwa surat itu yang menjadi pertentangan, sementara yang kedua menjelaskan bahwa surat itu berbicara mengenai hal yang diperdebatkan. Lalu "Namun, ini tidak menyenangkan semua uskup ... kata-kata mereka yang dengan sangat tajam menegur Victor.� sayang sekali tidak diterjemahkan lengkap. �But this did not please all the bishops. And they besought him to consider the things of peace, and of neighborly unity and love. Words of theirs are extant, sharply rebuking Victor.�

Perlu diketahui sekali lagi bahwa tulisan ini has nothing to do, tidak ada kaitannya, dengan Infallibilitas Paus atau pun primasi Paus. Kasus ini adalah kasus praksis liturgi sementara Infallibilitas Paus berbicara mengenai ajaran iman dan moral. Sang Diakon ROCOR harus melakukan eksplorasi lebih jauh mengenai maksud dari Infallibiltas Paus supaya tidak salah menduga.

Apa yang dilakukan oleh St. Ireneus adalah menampilkan bukti menguatkan perayaan Paskah sebagian besar Gereja Timur kepada Paus St. Viktor  dan menegur Paus St. Viktor I untuk tidak mengekskomunikasi Gereja-gereja tersebut. Melihat hal ini, sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa St. Ireneus menyadari bahwa St. Viktor I memiliki hak untuk mengekskomunikasi Gereja-gereja lain. Dan melihat bahwa para uskup berusaha meminta Paus St. Viktor untuk mempertimbangkan keputusan ini, kita melihat bahwa mereka tidak mempertanyakan otoritas St. Viktor I.

Apakah St. Ireneus menolak primasi dan otoritas Paus? Faktanya TIDAK. St. Ireneus menuliskan:
�Karena � adalah terlalu panjang untuk dibahas di buku ini, untuk menuliskan suksesi dari semua Gereja- gereja, kami menyalahkan mereka semua yang, dengan cara apapun, entah karena kesenangan diri sendiri yang jahat, karena mencari kemuliaan diri sendiri, atau karena ketidaktahuan dan pendapat yang keliru, bergabung dengan pertemuan- pertemuan yang tidak sah(maksudnya komunitas di luar Katolik); [aku melakukan ini] dengan menunjukkan bahwa tradisi diperoleh dari para rasul, dari Gereja yang sangat besar, sangat tua, sangat luas dikenal sebagai Gereja yang didirikan dan dipimpin di Roma oleh kedua Rasul yang mulia, Petrus dan Paulus; sebagai iman yang dikhotbahkan kepada manusia, yang sampai kepada jaman kita oleh karena suksesi para uskup. Sebab adalah suatu kepastian bahwa setiap Gereja harus setuju dengan Gereja ini [Gereja Roma], oleh karena otoritasnya yang utama (pre-eminent authority), yaitu atas semua umat beriman di manapun berada, sepanjang tradisi apostolik telah dipertahankan oleh mereka [para uskup] yang ada di mana- mana.�
Kutipan ini dapat ditemukan dalam Adversus Haereses Buku III, Chapter III (silahkan klik). Melihat hal ini, dapat dikatakan bahwa St. Ireneus tidak menolak primasi dan otoritas Paus Roma malah menyatakan bahwa Gereja lain harus setuju dengan Gereja Roma dan Gereja memiliki preeminent authority
Realita Posisi Paus Roma pada abad ke tiga

Kembali kita belajar pada abad ke-3 bahwa seorang Paus Roma dapat menjadi seorang yang skismatik dan terekskomunikasi dari Gereja Kristus, yaitu ketika Paus Stephen memutuskan bahwa para bidah tidak bisa dibaptis sekalipun mereka beralih keyakinan dalam Gereja yang benar, dan para uskup di Afrika (yang dipimpin oleh St Siprianus) dan di tempat lain menolak keputusan ini, karena bagi mereka hanya ada satu baptisan-satu Gereja -, Paus Stephen menyatakan mereka yang menentang dikucilkan. Namun St. Firmillian Kaisarea dari Cappodocia menulis tentang ini untuk St Siprianus dari Kartago dan para uskup di Afrika:

"Kami (para uskup dari Asia) menerima hal-hal yang telah Anda tulis seolah-olah milik kami sendiri."namun disisi lain, mereka yang berada di Roma tidak mengamati hal-hal dalam semua kasus yang diteladankan sejak awal, dan dalam kesia-siaan berpura-pura memakai otoritas para rasul." "Tapi kami mengikuti Tradisi yang benar, dan menentang Tradisi Gereja Roma, kami mengikuti Tradisi yang benar, memegang dari awal apa yang telah disampaikan oleh Kristus dan para rasul."

Dia kemudian melanjutkan untuk komentarnya yang sangat anti dengan gaya Kepausan Stephen yang memutuskan untuk mengucilkan mereka yang tidak setuju dengannya.

"Tidakkah Stephen merasa malu untuk memberikan patronase sedemikian(yaitu bidah dan penentang Tuhan) bertentangan dengan Gereja, dan demi mengurus para bidat malah memecah-belah persaudaraan dan di samping itu, untuk memanggil Siprianus 'Kristus palsu, rasul palsu, dan pekerja curang.' Dan dia, sadar bahwa semua karakter ini dalam dirinya, telah menganggap palsu keberatan dengan hal-hal lain yang ia sendiri harusnya patut mendengarkannya. "

St Firmillian melanjutkan tulisannya mengenai Paus Stephen:

"Pertimbangkan dengan apa yang ingin anda hakimi (Stephen), anda berani menyalahkan mereka yang berusaha untuk jujur melawan kepalsuan. Seharusnya anda lebih adil untuk menjadi marah terhadap yang lain?-Apakah dia yang mendukung musuh-musuh Allah, ataukah dia yang bertentangan dengan orang yang mendukung musuh-musuh Allah, bersatu dengan kami atas nama kebenaran Gereja? ... Anda telah membangkitkan percekcokan dan perselisihan di seluruh Gereja di dunia ini! Selain itu, betapa besar dosa yang telah anda tumpuk untuk diri anda sendiri, ketika Anda memecah-belah dari begitu banyak domba! Anda sendirilah yang telah memecah belahnya. Janganlah menipu diri anda sendiri, karena sebenarnya dialah skismatik yang telah membuat dirinya sendiri murtad dari persekutuan kesatuan gerejawi. Untuk sementara Anda berpikir bahwa semua bisa dikucilkan (ekskomunikasi) oleh Anda, Anda telah dikucilkan diri anda sendiri melalui semua, dan bahkan bukankah ajaran rasul yang telah membentuk Anda untuk aturan kebenaran dan perdamaian, meskipun ia memperingatkan, dan berkata,

"Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh,sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua." (Ef 4: 1 - 6)

Gereja kemudian menyetujui tindakan St Siprianus dan St Firmillian (dapat kitalihat kanon 1 dari St. Basil Kaisarea, kanon 1 dari Carthage, kanon 2 dari Konsili Ekumenis Keenam, kanon 1 dari Konsili Ekumenis Ketujuh).

Sumber :
 Firmilian, Bishop of C�sarea in Cappadocia, to Cyprian, Against the Letter of Stephen.  a.d. 256. (http://www.ccel.org/ccel/schaff/anf05.iv.iv.lxxiv.html)
Berdasarkan kutipan St. Vinsensius Lerins sebelumnya, sebenarnya Agripinnus bersama Firmilian dari Caesarea dan St. Siprianus berada dalam posisi yang keliru mengenai pembaptisan ulang atau rebaptism. Kasus ini berawal dari posisi St. Stefanus yang menyatakan bahwa ada baptisan heretik atau skismatik (dalam hal ini baptisan kelompok skismatik Novatian) yang valid sehingga ketika mereka bersatu lagi ke dalam Gereja, mereka tidak perlu dibaptis ulang. Kelompok Novatian membaptis dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus dan menggunakan materia air sebagaimana yang dilakukan oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Sementara posisi Agripinnus yang diadopsi oleh Firmilian dan St. Siprianus menyatakan bahwa SEMUA heretik dan skismatik harus dibaptis ulang agar bisa masuk ke dalam Gereja. Adalah kebiasaan di sejumlah Gereja non-barat untuk membaptis ulang kaum heretik dan ada pula Gereja non-barat yang tidak membaptis ulang heretik. Sementara di Gereja Barat, membaptis ulang heretik yang baptisannya valid dipandang sebagai hal yang menyimpang.

Tampaknya Sang Diakon juga harus menganalisis kondisi Gereja-gereja di Timur yang kerapkali mendapatkan serangan bidaah terhadap ajaran Trinitas di mana kaum heretik tersebut tidak mempercayai Trinitas dan tidak dibaptis dalam forma dan materia yang benar sehingga mereka perlu dibaptis ulang. Telah menjadi tradisi di Kapadokia (termasuk di Caesarea) untuk membaptis ulang kaum montanist, sebuah bidaah terhadap Trinitas. Hal ini berbeda dengan kondisi Gereja Barat yang jarang mendapatkan serangan bidaah terhadap Trinitas. Tampaknya Firmilian dan St. Siprianus terlalu men-stretch up tradisi di wilayahnya agar dipandang sebagai kebiasaan universal.

However, posisi Agripinnus, Firmilian dan St. Siprianus keliru mengenai pembaptisan ulang seluruh kaum heretik ini karena ada baptisan dari kaum heretik atau skismatik yang valid selama dalam forma dan materia yang benar. Beberapa waktu kemudian; St. Siprianus, St. Agustinus, St. Hieronimus dan St. Vinsensius Lerins satu suara dengan Paus St. Stefanus dan memuji keteguhannya. St. Siprianus sendiri pada akhirnya berada dalam persatuan dengan Paus Roma. St. Agustinus dari Hippo menjelaskan bahwa pada akhirnya St. Siprianus percaya pada pengajaran Paus St. Stefanus meski sebelumnya menentang ia.
Seek counsel from the blessed Cyprian himself. See how much he considered to depend upon the blessing of unity, from which he did not sever himself to avoid the communion of those who disagreed with him; how, though he considered that those who were baptized outside the communion of the Church had no true baptism, he was yet willing to believe that, by simple admission into the Church, they might, merely in virtue of the bond of unity, be admitted to a share in pardon. For thus he solved the question which he proposed to himself in writing as follows to Jubaianus: "But some will say, 'What then will become of those who, in times past, coming to the Church from heresy, were admitted without baptism?' The Lord is able of His mercy to grant pardon, and not to sever from the gifts of His Church those who, being out of simplicity admitted to the Church, have in the Church fallen asleep." (Augustine, On Baptism, II.18)
Sementara itu, tidaklah jelas bagaimana posisi Firmilian selanjutnya setelah Paus St. Stefanus mengekskomunikasinya. Penerus Paus St. Stefanus sendiri mengambil kebijakan yang lebih lembut terhadap Firmilian.

Kutipan-kutipan Firmilian di atas sebenarnya tidak dapat digunakan acuan untuk menolak primasi dan infallibilitas Paus sebab ia berada dalam posisi yang keliru. Menggunakannya pernyataan Firmilian sama saja dengan menggunakan pernyataan kelompok Arian (kelompok sesat yang menolak keilahian Kristus) untuk menolak primasi dan infallibilitas Paus. Perlu dicatat saya tidak memandang Firmilian heretik tetapi yang ditekankan di sini adalah tidaklah tepat menggunakan pernyataan seseorang yang berada dalam posisi yang salah untuk menolak primasi dan infallibilitas Paus.

Sang Diakon menjelaskan bahwa St. Basilius Agung menyetujui tindakan St. Siprianus dan Firmilian tetapi apakah Sang Diakon sudah menganalisis apa yang sebenarnya disetujui oleh St. Basilius mengenai pandangan St. Siprianus dan Firmilian?
As for the baptism of schismatics, on the other hand, it appeared to the Synod of Cyprian and of my own Firmilian that it too ought to be disregarded and rejected, seeing that the schismatics�the Novatians, I mean, the Encratites, the Sarcophores, the Aquarians, and others�have separated in principle form the Church, and after separating have not had the grace of the Holy Spirit in them any longer, as the impartation of it has ceased; hence as having become laymen they have had neither the spiritual gift nor the authority to baptize or to ordain, and consequently those who are baptized by them, as being baptized by laymen, have been ordered to be baptized with the true Baptism of the Catholic Church. � St. Basil
St. Basil menjelaskan bahwa St. Siprianus dan Firmilian mengajarkan baptisan semua heretik dan skismatik itu tidak valid. St. Basil juga menjelaskan bahwa St. Siprianus dan Firmilian mengajarkan bahwa skismatik berada di luar Gereja. Tetapi St. Basil mengajarkan hal yang berbeda dari St. Siprianus dan Firmilian mengenai skismatik. Hal ini bisa ditemukan dalam kanon 1 St. Basilius
�So it seemed good to the ancient authorities to reject the baptism of heretics altogether, but to admit that of schismatics, on the ground that they still belonged to the Church.� 
Dari sini kita lihat bahwa St. Basilius berbeda dari St. Siprianus dan Firmilian mengenai kelompok skismatik. St. Siprianus dan Firmilian mengajarkan bahwa skismatik terpisah dari Gereja sementara St. Basilius menyatakan kelompok skismatik tetap berada dalam Gereja.

Sementara itu Konsili Nicea 325 M dan Konsili Kartago Empat 419 M selaras dengan Paus St. Stefanus dan namun bertentangan dengan  St. Siprianus dan Firmilian. Konsili Nicea 325 M kanon 8 menyatakan bahwa kelompok skismatik Cathari yang hendak menjadi Katolik tidak perlu dibaptis tetapi cukup dengan penumpangan tangan. Sementara Konsili Kartago Empat 419 M kanon 55 menyatakan bahwa bayi-bayi yang dibaptis oleh kelompok Donatist tidak perlu dibaptis lagi bila ingin menjadi Katolik. Ini berarti bahwa St. Siprianus dan Firmilian keliru mengenai seorang skismatik harus dibaptis ulang untuk masuk ke dalam Gereja sementara Paus St. Stefanus memiliki posisi yang tepat.

Konsili ekumenis ke-6 yang dimaksud Sang Diakon adalah Konsili Trullo (Ortodoks memandangnya ekumenis, sementara Gereja Katolik tidak) tetapi apa yang diterima oleh konsili ini adalah kanon St. Siprianus hanya memiliki efek atau pengaruh di wilayahnya sendiri bukan terhadap seluruh Gereja Katolik. Di samping itu, saya masih belum menemukan kanon yang dimaksud oleh Diakon ROCOR tersebut dalam Konsili Nicaea II yang adalah konsili ekumenis ke-7 yang diakui baik oleh Katolik maupun Ortodoks.

Pax et Bonum

Tuesday, October 23, 2012

Pajak Gereja di Jerman



Gereja St. Nikolaus di Essen-Stoppenberg, Jerman

Di salah satu grup facebook khusus untuk orang Katolik, seorang anggota grup itu membagikan link dari media Kompas mengenai Dekrit Konferensi Para Uskup Jerman terkait umat Katolik yang menyangkal iman Katolik-nya untuk menghindari Pajak Gereja di Jerman. Sebelumnya, Indonesian Papist sudah membahas mengenai Isu Pajak Gereja di Jerman dalam artikel ini (silahkan klik).

Dalam topik di grup, saya akhirnya memutuskan untuk berpartisipasi dalam diskusi tersebut di kala diskusi itu sudah [hampir] berakhir. Diskusi ini berjalan alot di mana ada beberapa orang Katolik terlibat dalam diskusi ini. Karena tidak ingin hasil diskusi itu hilang sia-sia, saya memutuskan untuk mengarsipkan diskusi tersebut. Yang saya arsipkan adalah diskusi yang benar-benar berkaitan dengan Pajak Gereja sementara yang tidak berkaitan langsung dengan isu ini tidak saya arsipkan. Hingga artikel ini dibuat, diskusi masih belum berhenti. ^_^ .

Komentar saya dalam warna tulisan HITAM dengan nama Papist, komentar dengan warna tulisan BIRU oleh pembuat topik (yang mengepost artikel Kompas tersebut) dengan Starter, komentar lain dengan warna tulisan COKLAT dengan nama Komentator 1,2,3 dst. Diskusi ini lumayan panjang. Namun, saya harap para pembaca bisa mendapatkan manfaat dari diskusi ini. Berikut ini isi diskusinya:

Starter: coba kita ulas baik-baik berita ini http://internasional.kompas.com/read/2012/09/26/09181823/Ancaman.Kematian.Terkait.Pajak. Apakah Abad kegelapan akan coba dimulai lagi?

Starter: (beberapa komentar awal) ini lah alasan saya dulu posting bagaimana jika katholik jadi mayoritas. dan kalo ini terjadi di indonesia, saya akan keluar dari katholik. denger berita ini saja saya jadi kecewa. Benar2 tidak belajar dari pengalaman masa lalu yang juga terjadi di Jerman oleh luther.

Papist: (Setelah beberapa lama diskusi). Ternyata sudah pernah dibahas ya. Ini artikel tentang Pajak Gereja.

Starter: Pak Klement, hal itulah yang coba saya diskusikan kemaren, aturan memang sudah lama, tetapi dilihat perkembangan jamannya berikut ini petikannya Setiap tahun, ada sekitar 150rb-180rb umat Katolik menyatakan kepada negara bahwa mereka tidak lagi seorang Katolik (hal yang sama terjadi pula kepada Protestan walau dalam jumlah yang berbeda). Sedangkan ada 25 juta umat Katolik di Jerman yang tetap Katolik sekalipun harus membayar Pajak Gereja. Bila dibandingkan, maka ada sekitar 0,6% umat Katolik meninggalkan Gereja Katolik terkait masalah Pajak Gereja dan secara presentasi ini adalah jumlah yang kecil. Gembala yang baik itu akan mencari 1 domba yang hilang ( 1 sudah terlalu banyak) jumlah diatas 180 ribu orang yang menyatakan keluar dari Katholik.

Papist: Bukannya mereka udah dicari? Deklarasi atau surat pernyataan dari mereka yang mengaku bukan Katolik diserahkan oleh negara/pemerintah kepada pastor paroki tempat mereka berdomisili. Dekrit terbaru Konferensi Para Uskup Jerman (KPUJ) justru membuat terobosan baru. Bila dulu KPUJ cenderung pasif menanggapi penyangkalan iman besar-besaran, sekarang dekrit terbaru ini mewajibkan pastor paroki mengunjungi mereka-mereka yang mengaku bukan Katolik ini dan memberikan penjelasan dan konsekuensi dari keputusan mereka sambil mencoba membujuk mereka kembali. Tinggal merekanya mau atau tidak kembali lagi.

Starter: Pak Klemens, yang bapak jelaskan itu sudah akibat dari aturan tersebut, yang perlu diperbaiki aturannya, bukan akibat dari aturan itu. berapa persen yang mau kembali itu masih terlalu banyak. akar permasalahan kenapa aturan tersebut diberlakukanlah yang harus dilihat lagi.

Papist: Kalo soal aturannya, silahkan gugat konstitusi Jerman-nya. jangan gugat dekrit Gereja untuk menolak pelayanan sakramen, pemakaman dsb kepada mereka yang SECARA SADAR menghindari pajak dengan menyatakan bahwa mereka bukan Katolik.

Starter: Kasihan juga Orang jerman Ya, udah pajak penghasilan Tinggi, ditambah pajak Gereja, Katolik disana 25jt katanya berarti tinggal 24 juta 820 ribu, masih banyak, karena 180 ribu dibilang kecil. Berarti tinggal menunggu sekitar.......masih lama 137 tahun lagi untuk membuat semua orang jerman pindah agama atau jadi atheis.

Papist: Bapak tidak coba cari tahu kemudahan dan keringanan apa saja yang didapat di Jerman sekalipun pajak penghasilan tinggi? Sekalipun berdasarkan persentase tinggi, tapi dilihat dari jumlah, pendapat per kapita Jerman di atas rata-rata kok. maaf, terlalu berlebihan tanggapan anda ini.

Starter: Loh saya kan melihat hitungan matematis saja, kan sesederhana itu saja hitungannya. pertanyaannya kalo memang tinggi kenapa menolak pajak tersebut apa sebabnya mereka menolak itu jika pendapatannya tinggi?

Papist: hitungan matematis anda mengabaikan aspek pertumbuhan penduduk juga toh dan jumlah konversi ke Katolik di sana, makanya saya bilang terlalu berlebihan.
alasannya krisis ekonomi sekarang, mereka menyangkal iman Katoliknya karena ingin menghindari pajak. Gereja Katolik di sana itu sedang berusaha juga untuk menjelaskan bahwa krisis ekonomi tidak perlu sampai membuat mereka menyangkal iman katoliknya untuk menghindari pajak.
Satu lagi, Bapak mempertimbangkan gak kalo dari ratusan ribu yang ya keluar itu, ada sejumlah orang yang hanya Katolik secara KTP tapi tidak aktif dalam kehidupan menggereja? Kalo sudah begini, mereka lebih memilih menyatakan diri tidak Katolik daripada membayar pajak untuk sesuatu yang tidak mereka imani lagi atau hidupi lagi.
secara itungan matematis, pajak Gereja itu setidaknya mencapai maksimal 5 % dari total penghasilan.

Starter: saran saya sih, tinggal otoritas gereja teringgi Jerman terus terang saja jika tidak dapat membiayai operasionalnya, laporkan ke vatikan kemudian vatikan menyerukan agar setiap minggu ke 2 tiap bulan ada kolekte ke 2 untuk membantu gereja di Jerman yang sedang kesusahan. ini lebih baik daripada mereka menarik pajak dari umat. dan saya bangga dengan umat katolik di Indonesia bisa swadaya membiayai gerejanya, tanpa adanya pemaksaan melalui pajak tersebut, bahkan melalui group ini dapat sukarela mengumpulkan uang 10 ribu perbulan walaupun baru mulai. inti permasalahannya apakah otoritas Gereja katholik jerman bisa atau tidak menggalakan peran serta umat dalam membangun gerejanya. ini yang jadi PR bagi mereka.

Papist: Bapak mencoba menyamakan kultur Jerman dengan kultur di Indonesia? Saya coba mencari tentang hal ini, dan tiga sumber berkata: Pajak Gereja dianggap sebagai bagian integral dari profession of faith bagi orang-orang Jerman, Orang-orang Jerman itu Lazy Donator, dan ada juga yang mengaku menjadi Katolik untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan tertentu. Di sisi lain, memang ada juga yang kontra tentang Pajak Gereja.
kalau mau saya gugat balik kebanggaan Bapak , mengapa mesti ada iuran wajib untuk penerimaan Sakramen-sakramen di banyak paroki? mengapa saya harus membayarkan sekian puluh ribu untuk Sakramen Krisma?

Starter: Kalo saya gak bayar iuran wajib apa saya gak boleh ikut sakramen, kemudian pas meninggal dak diberikan misa. kalo saya gak membayar puluhan ribu untuk krisma apa gak boleh krisma juga, banyak yang bantu pak, itu yang bikin saya bangga.

Komentator 1: lhoo mereka tidak di beri pelayanan sakramen kan karena mereka tidak mengakui dirinya Katolik lagi, bukan berarti karena tidak membayar pajak.

Starter: lah iya kalo gak mau bayar pajak kan harus tidak mengakui jadi katholik.

Papist: jadi, mengapa mesti ada iuran wajib??

Starter: wajib itu istilah saja tidak ada sangsi, coba aja gereja bilang wajib harus bayar kalo gak gak boleh ikut misa dan pengakuan dosa, lihat efeknyalah kadang iuran wajib sama iuran sukarelanya aja gedean sukarelanya, itu menandakan adanya rasa perduli dari umat untuk gerejanya.

Papist: saya cuma tau tanya ke Bapak,mengapa mesti ada iuran wajib di paroki-paroki untuk mendapatkan sakramen? tambahan ya: Orang Katolik miskin di Jerman tidak atau hanya dikenai sedikit pajak Gereja saja, malah uang-uang pajak dipakai untuk membantu mereka yang homeless dsb.

Starter: kan ada biaya operasionalnya pak, tapi toh umat sukarela memberikannya karena tidak ada paksaan. emang ada gitu yang gak mau bayar trus gak boleh ikut sakrament tersebutsaya tau pa severius, yang jadi permaslaahn itu sangsinya itu, untuk yang homeless sepertinya pemerintah udah urus itu dari pajak penghasilan yang besar di jerman.

Papist: lha sama dengan Gereja di Jerman, butuh biaya operasional. di Jerman juga ada yang ngasih secara sukarela kok sekalipun udah dibebani pajak Gereja (sekitar 70% pendapatan Gereja didapat dari pajak Gereja, sisanya karya dan donasi). Di Indonesia, cara untuk tidak terkena iuran itu banyak dan tidak harus mendeklarasikan diri bukan Katolik. Di Jerman, cara untuk tidak terkena iuran itu satu-satunya adalah menyangkal iman Katoliknya dan konsekuensinya jelas toh. Gereja Jerman udah benar dong tidak memberikan sakramen kepada mereka yang bukan Katolik.

Gereja Indonesia juga udah banyak yang membebankan umat kok dengan iuran wajib dan semacamnya untuk kegiatan operasionalnya. Apa bedanya dengan di Jerman? Di Jerman juga orang-orang Katoliknya ada yang memberikan donasi sukarela kepada Gereja, apa bedanya dengan orang-orang di Indonesia?

Yang menjadi beda adalah pada cara menghindarkan diri dari pajak (di jerman) atau iuran (di indonesia). Di Indonesia, ada begitu banyak cara untuk menghindarkan diri dari membayar iuran wajib dan hal ini tidak diatur negara; sedangkan di Jerman satu-satunya cara menghindarkan diri dari membayar pajak menurut aturan negara yang berlaku adalah dengan menyangkal iman Katoliknya di hadapan negara dan Gereja.

Starter: lah iya butuh tapi kan gak perlu pake pemaksaan yang dituangkan dalam pajak yang ada sangsinya pak, lah memang gak perlu dideklarasikan, saya gak perlu mendeklarasikan untuk gak bayar iuran wajib 10 ribu per bulan trus saya keluar dari katholik wong gak ada sangsinya. kalo gitu sekalian saja bapak kardinal minta ke pemerintah indonesia sesuai dengan kanonik 1263, untuk menarik pajak ke umat katholik karena untuk pembiayaan operasional gereja, dan mendesak. gak masalah kalo gitu, tinggal diliat aja efeknya nanti dan kalo gak mau bayar keluar dari katholik.

Papist: Pemerintah Indonesia mengakui KHK sebagai salah satu hukum yang berlaku secara umum di Indonesia? di Indonesia belum ada wacana seperti itu dan belum ada urgensinya juga. Kalau ada, ya saya taat aja. Kalo efeknya ditinggalin umat, berarti iman umatnya lemah.

Starter: wahhh lemah sekali iman saya kalo begitu, itulah salah satu alasan saya ikut group ini, oh ya coba diliat di kanonik 1263 dibahas gak sangsinya.

Papist: tidak dibahas sanksinya dan tidak disebutkan sanksinya. Lalu hubungannya dengan kasus di Jerman??

Starter: kanonik itu juga berlaku di Jerman kan ya?

Papist: iyalah, jelas. Tapi dekrit di Jerman itu tidak berbicara mengenai bayar pajaknya atau gak, melainkan penyangkalan iman dan konsekuensinya. Kan. 1265 � 2 Konferensi para Uskup dapat menetapkan norma-norma untuk mencari dana, yang harus ditaati oleh semua saja, tak terkecuali mereka yang dari kelembagaannya disebut dan adalah mendikan.
KWI-nya punya hak menetapkan norma-norma tuh dan dalam norma bisa didapatkan ketentuan sanksinya juga.

Starter: lah mendingan minta bantuan kita atau gereja negara lain dari pada memaksa umatnya bayar pajak dengan sangsi yang seperti itu, kita pasti iklas membantu kok. Paling juga timbul pertanyaan loh kok Gereja jerman Minta bantuan operasional sama kita, apa yang salah dengan mereka.

Papist: ini solusi Bapak sudah memperhatikan soal kultur Jerman dan semacamnya atau asal muncul saja ya? Terasa enteng banget ngomongnya.

Starter: Pak, penyangkalan iman itu akibat dari gak mau bayar pajak kan. bukan menyangkal iman trus gak mau bayar pajak.

Papist: dua-duanya pak, makanya jangan digeneralisasi dong.
Kondisi 1: menghindari pajak makanya menyangkal iman Katoliknya.
Kondisi 2: Sudah menyangkal iman Katolik, makanya tidak mau bayar pajak atas keanggotaannya di Gereja Katolik padahal ia sudah tidak meyakini iman Katolik lagi.

Starter: solusinya saya dah berikan diatas saya pikir itu bisa diterapkan. Masa mau nunggu kayak peristiwa Luther lagi. mumpung masih 180 ribu yang keluar hehehehhee

Papist: Gini saya coba uraikan mekanismenya:
Saya seorang Katolik, mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Dalam form pendaftaran ada kolom afiliasi religius dan saya isi "Katolik". dan dengan ini saya mendapat tambahan pajak Gereja terhadap pajak penghasilan saya. (Bila penghasilan saya 1000, kena pajak penghasilan 100, maka pajak Gereja itu 9% kali 100 = 9 ).
jadi total pajak yang saya bayar itu 109.
Nah, pengumpulannya dilakukan oleh negara/pemerintah, bukan oleh gereja. Setelah negara kumpulkan, lalu didistribusikan ke Keuskupan-keuskupan. Di sini, gimana saya mau menghindar pajaknya? Bila mengisi kolom afiliasi religius, otomatis uang saya sudah ditarik negara untuk pajak Gereja. Saya gak bisa datang ke Gereja dan berkata: "saya gak mau bayar pajak." Gereja gak bisa berbuat suatu hal agar saya terhindar dari Pajak Gereja yang dikumpulkan oleh pemerintah.
Yang saya lakukan untuk menghindar pajak adalah mau tidak mau (berdasarkan aturan Jerman), menyatakan diri bukan Katolik dan kemudian mengosongkan kolom religius afiliasi saya. Nah, ini berarti saya secara resmi menyatakan diri bukan Katolik. Konsekuensinya saya tidak bisa mendapatkan sakramen, pemakaman Katolik dsb. Konsekuensi ini yang ditegaskan oleh KPUJ atas penyangkalan iman secara massal ini.

Di sana itu, konsep pemisahan Gereja dan negara jelas. Uang dari umat Gereja langsung untuk Gereja. Beda nih dengan sistem pajak Indonesia, biaya untuk support kegiatan agamanya berasal juga dari uang negara yang berasal dari pajak umum.

Papist: saya yakin solusinya adalah pembenahan mekanisme atau aturan pemerintah soal pengumpulan pajak. Harusnya Gereja sendiri yang mengumpulkan pajak Gereja (atau kita katakan saja iuran wajib) dan Gereja juga otonom dalam menerapkan mekanisme untuk menghindari pajaknya (menyediakan alternatif lain jadi tidak perlu sampai menyangkal iman) bagi yang tidak mau atau pelit membayar pajak. Akibat mekanisme pengumpulan seperti sekarang ini, satu-satunya cara menghindari pajak adalah menyangkal iman dan ini memang mengesalkan. Biarkan Gereja mengumpulkan sendiri apa yang menjadi milik Gereja. Bukan Dekrit KPUJ yang harus diprotes tapi aturan hukum di Jerman soal Pajak Gereja yang harus digugat.

Starter: pagi Pak Severus, Jika pendapat saya pribadi, Pajak itu adalah bentuk komitment dari warga negara untuk membiayai penyelenggaraan negara, dan komitment tersebut disertai oleh sangsi yang mengikat, dan jadi aneh jika Gereja melakukan hal tersebut kepada umatnya, bukan masalah pelit ato tidak pelit tapi sangsinya yang menggelikan itu.

Papist: Sanksi Pajak Gereja di Jerman itu setahu saya gak ada wong uangnya udah langsung ditarik sama pemerintah. Sudah tahu kan kalo Protestan dan Yahudi juga bayar Pajak atas keanggotaan religiusnya? Tapi sanksi menyangkal iman itu yang ada dan itu yang diberikan oleh Gereja. Mengapa hal seperti ini tidak bisa dipahami juga?

Starter: mungkin ini bisa membantu : Para Wajib Pajak yang ingin berhenti membayar Pajak Gereja harus mendeklarasikan dalam tulisan atau surat di pengadilan setempat atau kantor pendaftaran bahwa mereka telah meninggalkan gereja atau komunitas religius mereka. Dengan kata lain, seorang Katolik yang ingin berhenti membayar Pajak Gereja harus menyangkal iman Katolik-nya di hadapan negara. Deklarasi para Wajib Pajak - yang menyatakan bahwa mereka bukan lagi Katolik - diteruskan oleh negara kepada paroki tempat mereka terdaftar dan dicatat di dalam surat baptis mereka masing-masing. Berdasarkan dekrit Konferensi Para Uskup Jerman yang dikeluarkan 20 September 2012, pastor paroki kemudian akan mengunjungi orang Katolik yang menyangkal iman Katolik-nya ini dan menjelaskan kepadanya konsekuensi dari tindakannya tersebut dan menyarankannya untuk mempertimbangkan keputusannya.
Keterangan ; Kalo misalnya saya gak mau membayar pajak gereja, tetapi tetap mau ikut misa, apakah langsung diusir. atau gimana? karena saya gak setuju dengan pajaknya saja.

Papist: ikut Misa ya jelas bisa, sama seperti Protestan boleh ikut Misa. Tapi tidak boleh menerima Komuni Kudus sama seperti Protestan tidak boleh menerima Komuni Kudus.

Starter: kalo dianalisa ya pak Severius asal muasal pajak itu akibat Independensi dari Gereja yang tadinya dikuasai oleh para bangsawan, nah di Indonesia Kayaknya juga Independen deh, gak ada bantuan dari Negara, Bener gak, jadi apa bedanya. Zaman Terus berkembang, cara pandang manusia juga berkembang, otoreitas gereja harusnya dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman tersebut

Papist: Sudah saya katakan di atas kalau orang-orang Jerman (seperti kebanyakan orang-orang Eropa) adalah lazy donator. Inilah kultur yang membedakan Jerman dari AS dan Indonesia.
Btw, ada tuh bantuan dari pemerintah Indonesia untuk sekolah-sekolah Katolik dan aktivitas-aktivitas Gereja melalui Bimas Katolik atau Departemen Pendidikan, dan itu asalnya dari pajak umum juga. Hubungan antara Gereja Jerman dengan Pemerintah Jerman rasanya tidak bisa disamakan antara hubungan Gereja Indonesia dengan Pemerintah Indonesia. Wong sistem perundang-undangannya aja beda.

Starter: solusi yang saya sampaikan yang disebut terlalu enteng oleh pak Severius, direvisi ulang atau dicabut pajak gereja itu, kalo memang gereja tidak dapat beroperasi karena pajak itu dihapus, minta bantuan gereja Semesta, termasuk di Indonesia, kita akan dengan senang hati membantu saudara kita yang di Jerman itu. karena saya lebih baik kesulitan keuangan tapi umat tetap solid, dan itu pasti bisa diatasi.

Papist: iya, solusinya terlalu enteng karena menyederhanakan masalah yang kompleks. 70% pemasukan yang diterima Gereja Jerman berasal dari Pajak Gereja. Uang ini untuk keperluan mengurus sekolah Katolik, RS Katolik, aktivitas-aktivitas sosial Katolik bahkan membantu restorasi Gereja-gereja Katolik seperti di Georgia (sebuah Gereja dan biara di sana berhasil direstorasi dan Keuskupan-keuskupan Jerman memiliki andil dana dalam membantu hal ini). Matinya Pajak Gereja akan sangat mungkin mengakibatkan pengambilalihan RS Katolik, Sekolah KAtolik dll oleh negara atau organisasi/komunitas religius lain, matinya bantuan bagi Gereja di negara-negara yang Katolik mengalami kesulitan dsb. Dalam kondisi krisis ekonomi di Eropa sekarang, matinya Pajak Gereja akan membuat karya Gereja tersendat dan kolaps. Sampai anda bisa mengubah kultur Jerman yang lazy donator dan adanya kecenderungan untuk tidak menghidupi iman katoliknya, maka solusi enteng anda itu justru akan menghancurkan.
Indonesia mau bantu? Jangan dulu deh, urusin aja nih Gereja-gereja yang berdiri aja susah karena sulit dapat izin atau urusin gereja-gereja di pelosok yang mau rubuh. Terus kalau bisa turunin deh biaya pendidikan Sekolah Katolik dan RS Katolik.

Komentator 2: Menurut saya harus diulas lagi knapa greja tsb getol bgt soal pajak, saya kira greja harusnya fokus ke pelayanan dan penginjilan. Lebih baik kembalikan smua ke nilai2 Alkitab, cari tau Tuhan mau apa, jangan cuma doktrin greja. Salam damai.

Papist: Gereja Jerman juga sudah fokus dalam pelayanan dan penginjilan dan pajak Gereja itulah salah satu pendukung utama Gereja Jerman dalam melaksanakan pelayanan dan penginjilan. Realistis aja lah. Uang memang bukan tujuan dari Pajak Gereja, tapi Pajak Gereja itu penting bagi keberlangsungan karya pelayanan dan penginjilan Gereja di Jerman. Btw, kita sebagai Katolik tidak cuma berpegang pada Kitab Suci doang, tapi juga pada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Perlu diperhatikan bahwa Dekrit Konferensi Para Uskup Jerman itu adalah reaksi atas sikap orang-orang yang menyangkal imannya di hadapan negara karena ingin menghindari pajak. Jadi poinnya: Siapa yang menyangkal iman katoliknya, tidak berhak untuk menerima Komuni Kudus, pemakaman Katolik dsb seperti hak-hak yang dimiliki oleh orang-orang Katolik.

Komentator 3: pemakaman secara katolik merupakan hak setiap umat. Karena umat adalah komunitas atau gereja itu sendiri. Jika berita Kompas itu benar, maka kebijakan keuskupan di jerman dan persetujuan paus itu harus ditinjau ulang dan gereja katolik dinilai telah mengalami kemunduran atau kembali kepada kegagalan-kegagalan gereja di masa lalu.

Papist: betul, pemakaman secara Katolik merupakan hak setiap umat. nah, berarti yang bukan Katolik tidak berhak mendapatkan hak pemakaman secara Katolik dong, bukan begitu?. Nah, inilah isi dekritnya: mereka yang menyangkal iman Katoliknya, tidak berhak untuk mendapatkan pemakaman Katolik. Berita di kompas itu gak jelas, tidak mengenal konteks berita dan saya pikir terlalu melebih-lebihkan dan mendiskreditkan Gereja.
Dekrit Keuskupan Jerman dan persetujuan Paus atas dekrit tersebut adalah tepat dan sesuai hukum Gereja, tidak ada yang perlu ditinjau ulang: jelas orang yang menyangkal iman Katoliknya tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.
Dekrit ini reaksi, bukan sebab/cause, atas orang-orang yang menyangkal imannya hanya demi menghindari pajak.

Starter: Pak Severus, Jadi solusi itu tidak dapat diterapkan karena masalah kultur, dan pertimbangan Bapa Paus untuk menyetujui juga terkait masalah kultur. Ya mudah2an tidak terjadi di Indonesia, jadi banggalah jadi umat katholik di Indonesia yang mempunyai kultur bagus sehingga Gereja katholik Roma tidak perlu menerapkan Pajak dengan sangsi yang seperti itu di sini.

Papist: Tidak membayar Pajak Gereja itu tidak dikenai sanksi oleh Gereja. Tapi yang menyangkal iman Katolik secara sukarela di hadapan negara itu yang dikenai sanksi tidak boleh menerima sakramen, pemakaman Katolik dsb. Lucu banget menyatakan bahwa sanksi tidak membayar Pajak Gereja adalah ekskomunikasi atau pelarangan pemakaman Katolik dsb. Berarti sudah tergiring oleh media yang memberitakan secara keliru.
Pertimbangan Paus menyetujui karena memang seperti itu hukumnya: yang menyangkal iman Katolik tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.

Papist: Pernyataan yang SALAH: Yang tidak membayar Pajak Gereja, tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.
Mengapa salah? Sebab secara aktual ada juga orang-orang yang tidak membayar Pajak Gereja (yaitu yang penghasilannya kecil dan orang-orang miskin lainnya) tapi tetap mendapatkan hak-haknya sebagai anggota Gereja Katolik.

Starter: Gini aja sepertinya, tidak akan bisa sama karena persepsi berbeda, saya berpandangan dari aturan diatas bahwa gereja melalui negara menerapkan aturan mengenai Pajak Gereja dengan sangsi dicabut hak2nya sebagai umat katholik, yang menyebabkan 180 ribu orang menyangkal. itu pandangan saya, Menurut anda sekalian, bagaimana jika hal tersebut terjadi di Indonesia?

Papist: saya mesti mengoreksi beberapa bagian dari kalimat ini.
1. tidak ada sanksi kepada mereka yang tidak membayar pajak Gereja dari Gereja Jerman. Tolong jangan menggiring opini publik ke arah yang salah ini. Aturan Pajak Gereja itu aturan negara, tercantum dalam konstitusi Jerman.
2. Bukan Pajak Gereja yang menyebabkan 180rb orang itu menyangkal imannya; tetapi (berdasarkan pernyataan seorang warga Jerman dan warga Belanda yang tinggal di Jerman), 180rb orang ini kebanyakan adalah mereka yang SUDAH TIDAK menghidupi atau mempraktekkan iman Katoliknya. Jadi mereka berpikir daripada dibebani pajak Gereja untuk sesuatu yang tidak mereka hidupi lagi, mereka berpikir lebih baik menghindari pajak dengan menyatakan diri bukan Katolik.

Ket: saya gak ngerti mengapa setelah penjelasan panjang lebar dari saya, anda masih berusaha memaparkan penjelasan keliru yang sudah dikoreksi berulang-ulang.

Papist: saya mengutip pernyataan seorang rekan di luar negeri � �alasan orang-orang itu ditolak dari penerimaan sakramen tidak sebatas karena mereka tidak membayar pajak; tetapi karena mereka secara sukarela menyangkal iman mereka. Ketika seseorang tidak peduli mengenai penyangkalan iman mereka, hanya untuk menghindari membayar pajak yang kecil, iman mereka itu berarti sangat dangkal. Mengapa orang-orang itu masih mau menerima sakramen-sakramen ketika iman mereka sudah tidak bermakna lagi bagi mereka?�

Starter: saya mengutip pernyataan Prof Zapp' Zapp beragumentasi, menurut doktrin Katolik, keanggotaan dalam gereja ditetapkan berdasarkan keyakinan seseorang, dan bukan karena hubungan finansial seseorang dengan organisasi gereja. ini saya setuju

Papist: memang betul, tetapi Keanggotaan Gereja Katolik otomatis hilang ketika ia menyangkal imannya. Masalahnya di sini, Zapp menyangkal imannya di hadapan negara dan Gereja tapi masih memaksakan diri untuk menerima Sakramen Gereja, ini kan namanya munafik. Saya mengutip Markus Nolte, teolog dan editor surat kabar Katolik, Kirche+Leben: orang-orang Katolik di Jerman yang menghidupi imannya tidak memiliki masalah dengan hal ini. Dia melihat debat sekarang utamanya adalah antara sejumlah teolog dan pengacara tetapi tidak di antara mayoritas practicing Catholic.

Starter: jangankan untuk 8% untuk 50 persen aja akan diberikan secara sukarela tapi jangan disebut Pajak dengan sangsi yang menggelikan pak. itu naman prinsip bukan munafik. dan karena menghidupi imannya zab menolak itu semua.

Papist: tuh kan, tidak membayar pajak tidak dikenai sanksi oleh Gereja. Hallo, mau sampai kapan terjebak sama pemikiran kayak gitu? Bila tidak membayar pajak Gereja, tidak dikenai sanksi oleh Gereja . Tapi yang mereka yang secara sukarela menyangkal iman mereka tidak berhak mendapatkan apa yang menjadi hak seorang Katolik.
Saya pribadi tidak melihat sumber permasalahannya ada di Pajak Gereja, tapi sumber permasalahannya ada di mekanisme pengumpulan Pajak Gereja berdasarkan aturan negara Jerman yang mengakibatkan hanya ada satu alternatif untuk menghindari Pajak Gereja yaitu menyangkal iman.


Sampai komentar di atas, belum ada penambahan komentar lagi yang berkaitan langsung dengan Pajak Gereja dari thread starter. Secara umum, kesimpulan yang bisa diambil adalah: 

Dekrit Gereja Jerman tidak menyatakan bahwa orang Katolik di Jerman harus membayar Pajak Gereja untuk mendapatkan sakramen-sakramen dan pelayanan gerejawi. Gereja Jerman juga tidak menyatakan bahwa orang-orang yang tidak membayar Pajak Gereja dikenai sanksi ekskomunikasi dan semacamnya. Apa yang dinyatakan Gereja Jerman dalam dekritnya adalah penegasan bahwa mereka yang secara sadar dan sukarela menyangkal iman Katolik-nya di hadapan Gereja dan negara, tidak berhak mendapatkan hak-hak yang dimiliki oleh seorang Katolik. Kondisi Perpajakan di Jerman itu kompleks. Dengan aturan perpajakan Jerman sekarang, satu-satunya mekanisme bagi orang-orang religius (Katolik, Protestan dan Yahudi) menghindari pajak keanggotaan agama mereka adalah dengan menyangkal iman mereka sendiri di hadapan negara dan agama mereka. Kita patut prihatin melihat kondisi. Satu hal, saya mengharapkan anda, umat Katolik sekalian, untuk tidak menyerang dekrit Gereja (yang menurut saya menawarkan terobosan yang baik) sebab dekrit ini mau tidak mau harus dikeluarkan untuk menanggapi mereka yang menyangkal iman Katolik mereka. Juga saya harap tidak menyerang Pajak Gereja di Jerman yang telah banyak berkontribusi kepada Gereja-gereja Katolik di luar Jerman dan karya pelayanan lain; seperti restorasi/pendirian kembali satu gereja dan satu biara di Georgia di mana Keuskupan-keuskupan Jerman ikut membantu secara finansial. Solusi yang dapat ditawarkan adalah Gereja Katolik di Jerman harus berani untuk meminta Negara Jerman berhenti mengumpulkan Pajak Gereja bagi Gereja Katolik. Harus Gereja Katolik Jerman sendiri yang mengumpulkan apa yang menjadi milik Gereja dan Gereja-lah yang mengatur mengenai dispensasi atau mekanisme pembebasan Pajak Gereja (konsepnya sama seperti iuran wajib di banyak paroki di Indonesia yang fleksibel) sehingga orang-orang Katolik tidak perlu sampai menyangkal imannya untuk menghindari beban pajak.


Pax et Bonum