Latest News

Showing posts with label Apologetik. Show all posts
Showing posts with label Apologetik. Show all posts

Friday, August 24, 2012

Respon Singkat Atas Artikel Mengenai Kejatuhan Konstantinopel


Kaisar Constantine XII - Pengepungan Konstantinopel oleh Sultan Mehmet II
Seorang teman menanyakan kebenaran cerita mengenai kejatuhan Konstantinopel yang dijelaskan secara singkat dalam teks berikut ini terutama pada bagian bahwa syarat untuk mendapatkan bantuan dari Kristen di barat adalah menundukkan diri kepada Paus Roma.
Pada tahun 1453 Konstantinopel ibukota negeri Kristen di Timur yang gereja-gerejanya bertaburan indah ditaklukkan tentara Muslim Turki di bawah pimpinan Sultan Mehmet II. Kaisar Byzantium semula sudah berusaha meminta bantuan pasukan Kristen dari Eropa Barat. Tetapi syarat menundukkan diri ke Roma dalam hirarki Paus di Roma (Uskup Roma) terlalu berat dirasakan umat Kristen Ortodoks Timur di Konstantinopel. Uskup Konstantinopel waktu itu akhirnya berkata, "Lebih baik kota ini diperintah Sultan Turki berserban itu daripada topi uskup Roma!" Sejarah akhirnya meninggalkan kepada kita warisan menyedihkan dalam dunia kekristenan kita; hanya oleh karena saling klaim sebagai bigbos, gereja hancur. Sultan Mehmet II begitu bergembira pada waktu pasukan tempurnya berhasil menghancurkan pasukan yang masih setia kepada Kaisar Byzantium.

Sultan begitu kota itu berhasil takluk, turun dari kudanya dan bersujud; memerintahkan hari itu juga untuk mengubah Kathedral Agung Hagia Sophia menjadi Masjid Aya Sofia; merusak patung-patung, ikon, altar, lonceng dan mimbar gereja yang sudah berusia ribuan tahun itu. Pada hari Jumat, Mei 1453 Sholat Jumat langsung diadakan di dalam bekas Katedral yang sudah diubah menjadi masjid itu. Menara masjid kemudian dibangun di samping kiri kanan bekas Gereja. Tahun 1923 Kemal Ataturk merubah masjid menjadi museum sampai sekarang! Kota itu kemudian diubah nama menjadi Istanbul (Kota Islam).
Respon Indonesian Papist:
Penjelasan di atas kurang tepat. Kekristenan Barat tidak mensyaratkan umat Kristen di Timur tunduk pada Paus Roma agar diberi bantuan karena faktanya Konsili Florence yang diadakan tahun 1439 sebelum penaklukan Konstantinopel telah lebih dulu membawa Ortodoks Timur (Konstantinopel dkk) bersatu [sementara waktu] dengan Roma. 2 Patriark Konstantinopel dari tahun 1439-1443 (Joseph II dan Metrophanes II) meninggal dalam status seorang Katolik (atau kalau mau disebut, Ortodoks dalam Persatuan dengan Roma). Kaisarnya juga, Constantine XII (1448-1453), meninggal dalam persatuan dengan Katolik.

Barulah sesudah kejatuhan Konstantinopel, penguasa Islam Turki (dalam usaha memuluskan niat mencegah/merusak persatuan antara barat dan timur yang telah dicapai dalam Konsili Florence) mengangkat Scholarius, kemungkinan seorang awam, untuk menjadi Patriark Konstantinopel (terhitung sejak kejatuhan Konstantinopel - 1456). Scholarius inilah yang dihormati oleh Ortodoks Timur sekarang sebagai Gennadius Scholarius. Scholarius ini anti-Roma. Hasil Konsili Florence baru secara resmi ditolak oleh Ortodoks Timur pada Sinode Konstantinopel 1472.

Faktanya, sebelum kejatuhan Konstantinopel tahun 1453, Paus Eugenius IV (yang memimpin Konsili Florence) melakukan apa yang dulu pernah dilakukan Beato Urbanus II pada permulaan Perang Salib pertama, yaitu menulis pesan dan meminta bantuan kepada para raja-raja dan pangeran-pangeran Eropa untuk membantu mempertahankan Konstantinopel, tapi sayangnya tidak diindahkan oleh para penguasa ini. Paus Eugenius IV sendiri akhirnya, dengan inisiatifnya sendiri, mengirimkan 2 kapal dan 300 tentara yang kalau dibandingkan dengan tentara Turki yang jumlahnya begitu banyak jelas gak ada apa-apanya.

Sementara itu, pengganti Paus Eugenius IV, yaitu Paus Nikolaus V (1447-1455), juga masih berusaha membujuk penguasa-penguasa di barat untuk mengirimkan bantuan, tetapi gagal. Hal ini karena penguasa-penguasa ini merasa Konstantinopel tidak akan jatuh, mereka juga kurang peduli sama Konstantinopel. Di samping itu Eropa sedang berada dalam proses pemulihan setelah diserang wabah penyakit besar-besaran. Di buku Fall of Constantinople hlm. 82-87 diceritakan kalau Paus Nikolaus V mengeluarkan dana untuk membeli tentara dan makanan lalu mengirimkannya ke Konstantinopel dalam 3 kapal. 5 April 1453, Roma mencoba mengirimkan 5 kapal lagi tapi tertunda karena utang Roma kepada Venezia dan juga karena kekurangan makanan untuk berangkat.

Meskipun banyak para penguasa Eropa tidak dapat membantu, Republik kecil Genoa memilih mengirim bantuan kepada Konstantinopel. Republik ini punya hubungan yang baik dengn Konstantinopel. Mereka mengirimkan satu armada dengan kekuatan 5 kapal perang dan 700 tentara (Ensiklopedia Katolik bilang 2000 tentara) di bawah pimpinan Kapten Laut Yohanes Yustinianus. Pada saat sampai di sekitar wilayah laut Konstantinopel, mereka menemukan bahwa jalur masuk ke Konstantinopel diblokade sama 150 kapal. Susah payah bertarung, mereka berhasil tembus, tapi kekuatan perang sudah berkurang.

Dan selanjutnya penyerangan terhadap Konstantinopel oleh Islam Turki berlangsung. Hasilnya kejatuhan Konstantinopel. jumlah tentara Turki 258.000 vs Pasukan yang ada di Konstantinopel 4973 (belum termasuk pasukan dari Genoa). Pnduduk Konstantinopel sendiri sekitar 100an ribu orang.


Referensi:
Adrian Fortesque, The Orthodox Eastern Church
Steven Runciman, The Fall of Constantinople

Pax et Bonum

Saturday, March 17, 2012

Apologi: Ketika Plagiator Indonesian Papist balik menuduh Indonesian Papist adalah Plagiator



Saya pikir masalah soal plagiarisasi terhadap Indonesian Papist ini bisa segera selesai dan saya pikir Gerhand Wang bisa berubah lebih baik, tapi ternyata tidak. Gerhand Wang, pemilik blog Indonesian Catholicism (blog ini sendiri tidak mendapat izin dari uskup setempat untuk menggunakan nama Katolik) di balik layar ternyata malah menuduh Indonesian Papist banyak hal. Saya tidak habis pikir, memakai nama Katolik di blognya tapi malah memplagiarisasi artikel Indonesian Papist dan mengklaimnya sebagai miliknya sendiri serta sekarang menuduh bahwa  Indonesian Papist sebagai seorang plagiator. Oleh karena itu, saya putuskan untuk sekali lagi memberikan teguran secara terbuka di blog saya sendiri karena saya sudah diblokir oleh dia di facebook sehingga saya tidak bisa memberikan teguran langsung. Teguran ini silahkan diteruskan atau dicopas dan disampaikan kepada Gerhand Wang supaya ia berhenti dan berbalik dari dosa plagiarisasi dan berbohongnya serta fitnahannya. Teguran ini diberikan atas dasar kasih supaya ia tidak terus menerus tenggelam dalam dosa:


1. Ia menuduh saya mem-ban akun dia dari page Gereja Katolik, Iman Katolik, dan Tradisi Katolik.

Klik untuk memperbesar.

Untuk hal ini saya klarifikasi bahwa saya, Indonesian Papist, SAMA SEKALI TIDAK memban akun dia dari page Gereja Katolik dan Iman Katolik melainkan rekan admin lain yang memutuskan untuk memban dia terutama karena Gerhand Wang secara sengaja membuka identitas asli salah satu admin di wallpostnya di page Gereja Katolik. (Bila ragu, silahkan tanyakan sendiri ke page Gereja Katolik). Kemudian, Indonesian Papist tidak pernah menjadi admin atau berkarya sebagai admin di page Tradisi Katolik. Yang memban akun Gerhand Wang di Tradisi Katolik adalah admin Tradisi Katolik sendiri, bukan Indonesian Papist. Jadi tuduhannya bahwa saya yang memban dia dari page-page tersebut tidaklah benar. Justru sekarang Gerhand Wang yang memblokir akun facebook milik saya sehingga saya tidak bisa melihat aktivitas dia di facebook.

2. Dia menghina Indonesian Papist dengan sebutan Iblis.

Untuk hal ini saya tidak habis pikir bagaimana bisa ia malah menghina saya sebagai iblis padahal saya sendiri dulu yang membantu dia membuat blog yang sekarang ia namai Indonesian Catholicism. Setelah memplagiarisasi sejumlah artikel Indonesian Papist sekarang ia malah menghina Indonesian Papist sebagai iblis. Ini hinaan yang seharusnya tidak boleh keluar dari seorang yang memiliki blog dengan nama Katolik. Di samping itu, dia malah memaki blog Indonesian Papist sebagai blog Setan. 

Klik gambar untuk memperbesar

3. Dia menuduh Indonesian Papist memplagiarisasi artikel di situs Senatus Jakarta

Tuduhan tanpa dasar dan tanpa mengetahui fakta sebenarnya. Indonesian Papist JUGA ADALAH ADMINISTRATOR Situs Senatus Jakarta sendiri. Justru Indonesian Papist yang mempublikasikan ulang artikel Indonesian Papist di situs tersebut. Kenapa saya tidak mencantumkan "sumber: Indonesian Papist" di artikel di situs Senatus Jakarta tersebut? Karena memang saya merasa hal itu tidak perlu. Di samping percakapan di atas, saya juga yakin bahwa seorang dengan nickname Hilarius adalah Gerhand Wang sendiri. Hilarius dengan terang-terangan menyerang saya di artikel ini mengatakan saya memplagiarisasi artikel dari situs Senatus Jakarta sembari memberikan pembelaan terhadap Gerhand Wang. Berikut skrinsutnya:



4. Dan satu lagi, Gerhand Wang ternyata memplagiarisasi artikel Indonesian Papist lagi dan lagi.

Plagiarisasi terbaru adalah artikel mengenai St. Perawan Maria:
Artikel di Indonesian Papist:

Artikel hasil plagiarisasi di IC:  

Plagiariasasi lainnya:
1. Tentang Doa Komuni Spiritual
Artikel di Indonesian Papist:

plagiarisasi di IC:

tentang artikel ini, ia mengklaim bahwa ia lebih dulu menulis artikel ini ketimbang Indonesian Papist namun ia mengaku baru dipublikasikan belakangan ini. Skrinsut ini berisi klaim dia tersebut.




2. Mengenai Petrus dan Para Paus sebagai Wakil Kristus
Indonesian Papist:

Plagiarisasi di IC:

3. Artikel mengenai Mengapa Wanita Sebaiknya Memakai Kerudung Misa
Artikel di Indonesian Papist:

Plagiarisasi di IC: 

4. Katekese Mengenai Kitab Suci dalam KKGK:
Artikel di Indonesian Papist:

Plagiarisasi di IC:

5. Tentang Pelanggaran Liturgi Misa Valentine:
Artikel di Indonesian Papist:

Plagiarisasi di IC:

6. Tips menerima Komuni di Lidah
Artikel di Indonesian Papist:

Plagiarisasi di IC:

Di samping itu ada sejumlah artikel lain yang saya ketik ulang dari buku tua yang dengan entengnya dia copas dan dia klaim ketik sendiri, misalnya tentang Bunda Maria Perawan Selamanya.

ini dia ambil dari Bunda Maria Perawan Selamanya

Dia mengklaim dia memiliki buku tersebut dan menolak mengaku bahwa dia telah mengcopy paste dari blog Indonesian Papist. Dia bilang buku tersebut berwarna cokelat. Ketika saya minta dia mengupload sebagai bukti foto buku tersebut, dia sampai sekarang belum melakukannya. Btw, saya tahu bagaimana warna bukunya dan apa penerbitnya. List di atas hanya sebagian dari sekian banyak. IC juga tidak hanya memplagiarisasi Indonesian Papist tetapi juga sejumlah artikel dari situs atau blog lain.

Iseng-iseng, saya sengaja menaruh sebuah huruf tersembunyi dalam suatu artikel untuk mengetahui apakah dia akan mengambil artikel tersebut lagi dan kemudian mempublikasikan di blognya atau tidak. Ada 5 huruf yang saya cantumkan secara tersembunyi yaitu b,o,n,u,m yang bila dirangkai menjadi �bonum�. Bonum ini adalah salah satu kata dari kalimat yang menjadi signature Indonesian Papist, "pax et bonum".  Ternyata memang benar bahwa dia sekali lagi mengambil artikel di Indonesian Papist lalu mempublikasikannya di blognya sendiri, tetapi ia mengklaim bahwa ia tidak mengambilnya dari Indonesian Papist. 


Artikel di Indonesian Papist:  
Artikel di IC:  

Silahkan CTRL+F pada browser dengan keyword bb, oo, nn, uu, mm dan para pembaca bisa menemukan huruf-huruf ini di blog Indonesian Papist dan blog Gerhand Wang (Indonesian Catholicism) sehingga hal ini menunjukkan bahwa ia memang mengambil artikel tersebut dari Indonesian Papist. Untuk mengantisipasi dia mengedit artikel di blognya, saya skrinsut dulu bukti tersebut dan saya publikasikan di artikel ini.
Berikut ini skrinsut gambarnya:

bB
oo

nn

uu

mm
Saya pikir bukti skrinsut di atas sudah sangat jelas menunjukkan bahwa Gerhand Wang memang mengambil artikel dari blog Indonesian Papist lalu mempublikasikannya di blog dia.

Saya harap artikel ini adalah artikel terakhir yang saya tulis terkait plagiarisasi (dan sekarang tuduhan) oleh Gerhand Wang alias Indonesian Catholicism. Di masa Prapaskah ini di mana kita harusnya bertobat tetapi ia malah menyerang dan menuduh Indonesian Papist.

Semoga berakhir dan semoga berakhir dan semoga Gerhand Wang berhenti dan berbalik dari tindakan plagiarisasi dan tuduhan serta kebohongannya. Saya pun lelah untuk terus membela diri saya dan blog Indonesian Papist dari tuduhan dan serangan Gerhand Wang.

pax et bonum. Terimakasih kepada Osk Smansa atas info ini semua.

Monday, March 12, 2012

Apologi Kontra Admin Page Ortodoks Indonesia - Mengenai St. Dionysius dari Roma

http://saints.sqpn.com/saintd62.jpg
Pope St. Dionysius of Rome (sumber: SQPN)
Artikel ini sudah lama saya tulis (18 Oktober 2011) tetapi baru sekarang saya putuskan untuk dipublikasikan. Artikel ini ditulis untuk menanggapi pernyataan admin sebuah page Ortodoks Timur yang tidak tepat mengenai Paus St. Dionysius. Kata-kata admin tersebut dalam huruf biru dan tanggapan saya dalam huruf hitam.
FAQ :
Berikut Surat Uskup Roma Clement kepada umat Korintus mengenai skisma yang terjadi di Korintus. Jelas hal tersebut menunjukkan wewenang Uskup Roma yang melampaui wilayah Keuskupan Roma, bahkan Kepatriarkhatan Roma. http://ww.newadvent.org/fathers/1010.htm
Ini menunjukkan pemahaman Gereja Orthodox tentang kanon 6 Koncili Nikea adalah keliru.

_____________________________________________

Answer :
Saudara kita menyatakan bahwa ada masanya komando Uskup Roma diterima oleh Jemaat di luar wilayah yuridiksinya yaitu di wilayah Korintus, ini membuktikan bahwa pandangan Gereja Orthodox salah karena sebenarnya Paus Roma sesuai dengan data di atas memiliki komando yang berlaku juga di luar wilayah yuridiksinya dan ini membuktikan Kekuasaan Paus Roma mutlak di seluruh dunia. manakah yang benar? apakah memang benar seabsolut itu kekuasaan Paus Roma??
Catatan pertama dalam sejarah dari gelar "Paus" sendiri diberikan kepada Paus Heraclas dari Alexandria dalam surat yang ditulis oleh Uskup Roma (waktu itu Uskup Roma belum memakai gelar Paus), Sang Uskup Roma yang bernama Uskup Dionysius, memberikan surat kepada Filemon:
t??t?? ??? t?? ?a???a ?a? t?? t?p?? pa?? t?? �a?a???? p?pa ?�?? ??a??? pa???a�??.
Yang diterjemahkan menjadi:
"Saya menerima peraturan dan komando dari yang terberkati Paus kita, Heraclas." 
Uskup Roma saat belum bergelar Paus mendengarkan komando dan peraturan dari Paus Alexandria. Lalu apakah ini membuktikan Paus Alexandria juga memiliki kekuasaan mutlak atas seluruh yuridiksi di dunia, karena Paus Alexandria bisa memberikan komando dan perintah untuk Paus Roma?
Tidak demikian jika kita kembali ke kitab suci
Saling mendengarkan nasehat dan komando antar keuskupan memang terjadi di masa lalu, bukan hanya Uskup Roma ke Korintus. tapi ada juga masa Uskup-uskup lainnya memberikan komando ke uskup roma, dan uskup roma menyatakan ketersediaannya untuk mematuhi peraturan dari uskup lainnya.
Tak ada satu yang tinggi dari yang lainnya, dan semuanya saling menasehati.
Ibrani 3 : 13 Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan "hari ini", supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa.
Titus 3 : 10 Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi.

Demikianlah seluruh tulisan dari admin Ortodoks tersebut yang sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat untuk menyatakan bahwa Paus Roma juga menerima otoritas atau perintah dari Patriark Alexandria atau Patriark lainnya.

Mengapa saya katakan tidak kuat? alasan utamanya adalah, si admin tidak melihat keadaan St. Dionysius dari Roma saat menulis surat kepada Imam bernama Filemon di Roma. 
Kita cek daftar Uskup Roma dan Uskup Alexandria.

Mark the Evangelist (68)
Anianus (68-85)
Avilius (85-98)
Kedron (98-109)
Primus (109-121)
Justus (121-131)
Eumenes (131-141)
Markianos (142-152)
Celadion (152-166)
Agrippinus (167-178)
Julian (178-189)
Demetrius I (189-232)
HERACLAS (232-248)
Dionysius (248-264)

St. Peter (32-67)
St. Linus (67-76)
St. Anacletus (Cletus) (76-88)
St. Clement I (88-97)
St. Evaristus (97-105)
St. Alexander I (105-115)
St. Sixtus I (115-125) Also called Xystus I
St. Telesphorus (125-136)
St. Hyginus (136-140)
St. Pius I (140-155)
St. Anicetus (155-166)
St. Soter (166-175)
St. Eleutherius (175-189)
St. Victor I (189-199)
St. Zephyrinus (199-217)
St. Callistus I (217-22) Callistus and the following three popes were opposed by St. Hippolytus, antipope (217-236)
St. Urban I (222-30)
St. Pontain (230-35)
St. Anterus (235-36)
St. Fabian (236-50)
St. Cornelius (251-53) Opposed by Novatian, antipope (251)
St. Lucius I (253-54)
St. Stephen I (254-257)
St. Sixtus II (257-258)
St. DIONYSIUS (260-268)
St. Felix I (269-274)

St. Dionysius menjadi Uskup Roma dari tahun 260-268, sedangkan Heraclas menjadi Uskup Alexandria dari tahun 232-248. Lalu bagaimana bisa dibilang kalau Dionisius berbicara dalam kapasitasnya sebagai Uskup Roma? sedangkan saat menulis di sini dia masih belum menjadi uskup.

Dan dari Ensiklopedia Katolik, ketahuan bahwa St. Dionisius dari Roma baru muncul sejak masa Pontifikat Paus St. Stefanus.
During the pontificate of Pope Stephen (254-57) Dionysius appears as a presbyter of the Roman Church and as such took part in the controversy concerning the validity of heretical baptism. (dari sini pun bisa kita ketahui bahwa St. Dionisius baru muncul sebagai imam beberapa tahun setelah Uskup Heraclas dari Alexandria meninggal) 
Jadi, pernyataan admin Ortodoks bahwa:
"Uskup Roma saat belum bergelar Paus mendengarkan komando dan peraturan dari Paus Alexandria. Lalu apakah ini membuktikan Paus Alexandria juga memiliki kekuasaan mutlak atas seluruh yuridiksi di dunia, karena Paus Alexandria bisa memberikan komando dan perintah untuk Paus Roma???

Tidak demikian jika kita kembali ke kitab suci

Saling mendengarkan nasehat dan komando antar keuskupan memang terjadi di masa lalu, bukan hanya Uskup Roma ke Korintus. tapi ada juga masa Uskup-uskup lainnya memberikan komando ke uskup roma, dan uskup roma menyatakan ketersediaannya untuk mematuhi peraturan dari uskup lainnya."
sama sekali tidak tepat karena St. Dionysius berbicara tidak dalam kapasitasnya sebagai Uskup Roma melainkan sekadar imam biasa yang menceritakan sesuatu kepada Imam lain bernama Filemon. Mengenai penggunaan gelar �Paus� oleh Uskup Alexandria sebelum oleh Uskup Roma tidak memberikan signifikansi apa-apa di sini. Sekalipun Uskup Alexandria menggunakan titel �Paus� yang artinya �Bapa� lebih dulu dari Uskup Roma, hal ini tidak berarti Uskup Alexandria memiliki keutamaan yang lebih dari Uskup Roma. Uskup Roma selalu memiliki keutamaan yang lebih dari pada Uskup-uskup lainnya.

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist untuk membela keutamaan Paus Roma. pax et bonum

Friday, March 2, 2012

Krisis Liturgi adalah Krisis Utama Gereja Saat Ini


His Holiness Benedict XVI
Sejak 2 tahun lalu terjun dalam bidang apologetika dan katekese dunia maya, saya kerapkali melihat laporan terjadinya Pelecehan Liturgi dalam Ekaristi dari teman-teman atau dari para anggota fanspage Katolik berbahasa Indonesia yang ada di facebook. Tidak jarang akhirnya muncul perdebatan-perdebatan antara yang menghendaki Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja dengan yang tidak terlalu mempedulikan Liturgi berjalan sesuai aturan Gereja. Di samping itu, sejumlah blog dan situs luar yang concern terhadap Pelecehan Liturgi seperti Rorate Caeli, New Liturgical Movement, dan What Do The Prayer Really Says juga sering mempublikasikan Pelecehan-Pelecehan Liturgi yang terjadi di luar Indonesia, mulai dari pelecehan ringan hingga pelecehan berat.

Ironisnya, sejumlah denominasi-denominasi Protestan yang liturginya berakar pada Katolisitas justru ternyata lebih setia dan taat pada aturan liturgi mereka, sebut saja denominasi Grace Lutheran Church, denominasi Anglican Church dan Episcopalian Church. Akhirnya muncullah kalimat-kalimat dari sejumlah orang Katolik yang peduli Liturgi bahwa denominasi-denominasi ini �lebih Katolik daripada Gereja Katolik sendiri.�


Apakah terlalu jauh mengatakan bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja saat ini? Tidak sama sekali. Paus Benediktus XVI, para kardinal dan uskup justru mengamini pernyataan ini. Mari kita lihat:
A young priest recently told me: "Today we need a new liturgical movement". He was expressing a desire, these days, only deliberately superficial souls would ignore. What matters to that priest is not the conquest of new, bolder liberties. For, where is the liberty that we have yet to arrogate ourselves? That priest understood that we need a new beginning born from deep within the liturgy, as liturgical movement intended. In its practical materialization, liturgical reform has moved further away from this origin. The result was not re-animation but devastation. [1]
Di sini Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa pembaharuan Liturgi di era modern ini berjalan terlalu jauh dari yang aslinya. Akibatnya adalah sebuah penghancuran.
A renewal of liturgical awareness, a liturgical reconciliation that again recognises the unity of the history of the liturgy and that understands Vatican II, not as a breach, but as a stage of development: these things are urgently needed for the life of the Church. I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council. [2]
Di sini Kardinal Ratzinger (Bapa Suci Benediktus XVI) menyatakan bahwa krisis di dalam Gereja yang dialami sekarang sebagian besar disebabkan oleh disintegrasi Liturgi.

Selain pernyataan Bapa Suci Benediktus XVI di atas, Msgr. Georg Ratzinger, saudara tua Paus Benediktus XVI juga melihat bahwa fokus dari Bapa Suci Benediktus XVI yang paling utama adalah Liturgi. Dalam wawancaranya dengan Catholic News Service, Beliau memaparkan:
Tapi dia (Benediktus XVI), tentu saja, sangat peduli bahwa Liturgi harus dirayakan dengan layak dan dirayakan dengan benar. Memang, itu adalah masalah sejati. Music director keuskupan kami baru-baru ini mengatakan bahwa tidak mudah saat ini untuk menemukan sebuah gereja di mana sang imam merayakan Misa-nya sesuai dengan peraturan gereja. Ada begitu banyak imam yang berpikir mereka harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana. Jadi saudara saya (Benediktus XVI) menginginkan keteraturan, Liturgi yang baik yang menggugah orang-orang secara batiniah dan dipahami sebagai panggilan dari Allah. [3]
Selanjutnya, Kardinal Koch, Presiden Komisi Pontifikal untuk Promosi Persatuan Kristen menyatakan demikian:
Present day liturgical practice does not always have any real basis in the Council. For example, celebration versus populum was never mandated by the Council, says the Cardinal. A renewal of the form of divine worship is necessary for the interior renewal of the Church: Since the crisis of the Church today is above all a crisis of the liturgy, it is necessary to begin the renewal of the Church today with a renewal of the Liturgy. [4]
Kardinal Koch malah memberikan pernyataan yang eksplisit bahwa krisis Gereja sekarang di atas semuanya adalah Krisis Liturgi dan pembaharuan Gereja sekarang perlu dimulai dari pembaharuan Liturgi. Kardinal Koch mengatakan hal ini di fakultas teologi Universitas Freiburg, sebuah universitas dengan teologi yang �progresif�.

Di samping Paus Benediktus XVI dan Kardinal Koch, pejabat tinggi Vatikan lainnya, Kongregasi untuk Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen mengeluarkan instruksi Redemptionis Sacramentum pada 25 Maret 2004 yang dilatarbelakangi oleh maraknya Pelecehan Liturgi. Hal ini menegaskan bahwa Gereja memang mengalami Krisis Liturgi:
�Dalam hal ini tidaklah mungkin untuk diam mengenai pelecehan-pelecehan [liturgi], bahkan [pelecehan] yang sungguh serius, terhadap kodrat liturgi dan sakramen-sakramen serta tradisi dan otoritas Gereja, yang di masa kita tak jarang mengganggu perayaan liturgi di satu lingkungan gerejani atau yang lainnya. Di beberapa tempat perbuatan Pelecehan Liturgis hampir telah menjadi kebiasaan, suatu fakta yang jelas tidak dapat dibiarkan dan harus berhenti.� (Redemptionis Sacramentum 4)
Sungguh tepat bahwa Krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Universal saat ini. Krisis Liturgi ini dimanifestasikan dalam bentuk Pelecehan Liturgi selama Perayaan Ekaristi. Sebenarnya mengapa Liturgi ini begitu penting dan suci sehingga pelecehan terhadapnya menjadi sebuah krisis utama Gereja?  Mari kita melihat hal ini berdasarkan pengajaran Gereja:

Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; disitu pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; disitu pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama. (Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium 7).

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Liturgi pertama-tama merupakan karya imamat Yesus Kristus serta tindakan Gereja. Sacrosanctum Concilium 6 juga mengatakan bahwa karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja dilaksanakan dalam Liturgi. Nah, dengan demikian pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan terhadap karya imamat Kristus dan tindakan Gereja. Di samping itu, karena Liturgi tidak bisa terpisahkan dari Ekaristi, maka setiap pelecehan terhadap Liturgi merupakan pelecehan juga terhadap jantung Gereja Katolik, yaitu Kurban Ilahi Ekaristi (Divine Sacrifice of Eucharist). [5] Apa yang seringkali tidak disadari oleh umat Katolik sekarang ini adalah Kurban Kristus dan Kurban Ilahi Ekaristi adalah satu kurban. Ekaristi itu satu kurban Kudus dan Ilahi yang menghadirkan kembali kurban Kristus di salib (bdk. KGK 1330 dan KGK 1366). Oleh karena itu, sungguh sangat tepat mengatakan bahwa Krisis Liturgi merupakan krisis utama dan terbesar Gereja karena Krisis Liturgi ini juga menyerang kurban Kristus di salib.

Adalah sesuatu yang menyedihkan dan memprihatinkan melihat kondisi Perayaan Ekaristi dengan Pelecehan Liturgi yang terjadi di banyak negara termasuk di Indonesia.  Pelecehan Liturgi telah menjadi hal umum yang dijumpai hampir setiap Minggu dan begitu banyak orang tidak terlalu peduli akan hal ini. Lebih tragisnya, pelecehan yang terus-menerus ini kemudian dianggap sebuah kebiasaan dan dibenarkan. Apa yang terjadi di masa sekarang adalah Liturgi menjadi milik Para Imam dan Umat. Liturgi yang sudah dipromulgasikan oleh Gereja Katolik dengan berdasar pada Kitab Suci dan Tradisi Apostolik kemudian dinodai oleh berbagai bentuk Pelecehan Liturgi baik yang dilakukan oleh kaum tertahbis maupun oleh awam.

Apa saja penyebab terjadi begitu banyak Pelecehan Liturgi? Ada banyak penyebabnya dan bisa jadi begitu kompleks. Berdasarkan pengalaman saya, penyebab-penyebabnya antara lain:

1. Selebran Perayaan Ekaristi (Uskup atau Imam) melupakan tugas mereka sebagai Pelayan Liturgi bukan Pemilik Liturgi. Seperti kata Monsinyur Georg Ratzinger di atas, mereka merasa harus menambahkan sesuatu di sini dan mengubah sesuatu di sana dalam Perayaan Ekaristi. Apa yang terjadi tidak lain adalah improvisasi dan inkulturasi Liturgi yang seringkali sangat parah dan kebablasan. Nuncio Vatikan untuk Indonesia, Monsinyur Antonio Guido Filipazzi mengatakan:
�Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.� [6]
Sang Uskup dan Imam pun harus berani menegur dan bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi di sekitar mereka. Membiarkan Pelecehan Liturgi terjadi tanpa ada teguran dan koreksi akan menjerumuskan umat. �Romo gak marah, gak ngelarang tuh, Romo juga gak bilang ini salah, lalu mengapa kamu sok tahu bilang ini salah itu salah?� Kalimat seperti ini akan sering terdengar dari umat atau tim liturgi kala ditegur akibat kekeliruan mereka bila Uskup atau Imam tidak bersikap tegas terhadap Pelecehan Liturgi yang terjadi. Ingat, menjadi pelayan Liturgi berarti juga melindungi Liturgi dari pelecehan.

2. Kurangnya Katekese mengenai Liturgi. Ini merupakan problem mendasar yang dialami umat. Ketidaktahuan akan Liturgi serta terjadi pembenaran kebiasaan yang keliru membuat umat tidak menyadari batasan-batasan dalam Liturgi. Tim Liturgi Paroki yang terkadang kurang kompeten juga menjadi salah satu penyebab terjadinya Pelecehan Liturgi. Sebenarnya, melalui homili, imam atau uskup pun bisa menyisipkan berbagai materi katekese mengenai Liturgi yang dapat menambah wawasan umat. Tidak hanya umat yang mengalami minimnya katekese mengenai Liturgi, sejumlah imam pun mengakui bahwa mereka baru mengetahui Pedoman Umum Missale Romanum (Pedoman Gereja Katolik untuk Perayaan Ekaristi, red) setelah beberapa tahun menjadi imam. Kualitas pendidikan mengenai Liturgi di seminari pun harus ditingkatkan kualitasnya bila tidak mau Liturgi terus-menerus dilecehkan.

3. Prinsip �Yang Penting Hati�. Banyak Kaum Tertahbis dan awam senang sekali membenarkan Pelecehan Liturgi dengan kata-kata �yang penting hatinya�. �Gak apa-apa toh, yang penting hatinya.� �Ya sudah, gak usah diributkan, yang penting hatinya. Jangan saklek soal Liturgi.� Prinsip �yang penting hatinya� ini tidak pernah menjadi prinsip Gereja apalagi diajarkan oleh Gereja dan Kitab Suci. Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan Gereja adalah �Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (emosional) dan dengan segenap jiwamu (spiritual) dan dengan segenap akal budimu (rasional) dan dengan segenap kekuatanmu (fisikal).� (Mrk 12:30). Inilah empat pilar pondasi kasih sejati dalam mengasihi Allah: emosional, rasional, spiritual, fisikal. Prinsip �Yang penting hati� mereduksi cinta yang seharusnya utuh diberikan kepada Allah dalam Liturgi. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang menghindari prinsip �yang penting hati� dan berusaha memberikan yang terbaik kepada Allah karena Allah telah lebih dulu memberikan yang terbaik buat kita.

4. Ego manusia. �Misa itu membosankan.� �Lagunya gitu-gitu aja, gak berubah.�  �Gimana kalau Homili diganti drama aja biar gak ngantuk?� Banyak tim Liturgi akhirnya menyerah pada ego manusia dan kemudian memasukkan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Liturgi. Atau malah Imamnya sendiri ditodong menjelang Perayaan Ekaristi, �Mo, ntar lagunya pop rohani begini-begini begitu ya, Mo. Ntar ada tambahan ini dan itu.�, dll. Akhirnya, Perayaan Ekaristi pun berjalan sesuai keinginan umat, bukan seturut kehendak Gereja. Akhirnya, Perayaan Ekaristi diadakan sesuai dengan selera umat, bukan seturut aturan Gereja. Pelecehan Liturgi pun terjadi. Uskup Agung Vincent Nichols dari Inggris berkata:
�Liturgi adalah tidak pernah menjadi milik saya sendiri, atau ciptaan saya. Ini adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada kita dari Allah Bapa. Maka dari itu, selera saya sendiri, kecondongan saya sendiri, kepribadian saya, pandangan saya sendiri mengenai eklesiologi, [perlu] dikesampingkan dan tidak penting. ... [Liturgi] tidak pernah digunakan sebagai bentuk ekspresi diri.Yang benar adalah sebaliknya, � Misa adalah tindakan Gereja. Itu yang penting, [dan] bukan pendapat saya.� [7]
Dalam pernyataan ini, Uskup Agung Nichols menekankan bahwa siapapun, baik kaum tertahbis maupun awam, harus meninggalkan  ke-aku-an mereka di dalam Perayaan Ekaristi. Ego-ego seperti ini harus dibuang jauh-jauh. Ingatlah bahwa ego pribadi bisa menjadi berhala yang menjauhkan kita dari Allah. Contohnya: Karena merasa bosan ikut Perayaan Ekaristi, banyak orang Katolik �jajan� ke kebaktian Protestan yang lebih meriah dan asyik. Tanpa disadari, karena ego mereka ini, mereka telah menjauh dari Allah. Mereka lebih memilih hadir di kebaktian Protestan ketimbang menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri dalam Perayaan Ekaristi.

Pelecehan Liturgi di samping merupakan pelecehan terhadap karya keselamatan Kristus, juga menyebabkan melemahnya iman. Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat liturgi, Misa [yang dilaksanakan] akan mengakibatkan hilangnya iman,� demikian kata Kardinal asal AS Raymond L. Burke, Ketua Mahkamah Agung Vatikan. Kardinal Canizares, Kepala Kongregasi Penyembahan Ilahi dan Disiplin Sakramen Gereja Katolik, mengatakan hal senada dengan Kardinal Burke, �Berpartisipasi dalam Ekaristi dapat membuat iman kita lemah atau hilang jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar dan jika liturgi tidak dirayakan menurut norma-norma gereja.� [8]

Bagaimana bisa Pelecehan Liturgi menyebabkan melemahnya iman? Saya pernah membahasnya di artikel ini. Berikut pemaparannya:
Tetapi, seperti kata Kardinal Burke dan Kardinal Canizares, "Misa yang buruk melemahkan iman." Benih-benih kemurtadan akan muncul dan tumbuh subur kelak. Mereka yang terbiasa dengan Pelecehan Liturgi akan membenarkan pelecehan tersebut sebagai kebiasaan. Mereka akan membenarkan kebiasaan yang salah daripada membiasakan hal yang benar. Misa yang buruk yang diselenggarakan "menurut selera umat" perlahan tapi pasti semakin membuat umat merasa bahwa Misa-lah yang harus memenuhi selera mereka. Umat akan semakin berorientasi pada diri sendiri, mencari hal yang sesuai dengan selera mereka sendiri. Padahal dalam Misa, seluruh ke-aku-an kita haruslah kita tanggalkan. Dalam Misa semuanya berpusat kepada Allah, untuk menyenangkan hati Allah, bukan memenuhi selera umat. Ketika umat merasa Misa tidak memenuhi selera mereka, maka mereka akan jajan ke ibadat Protestan, terus seperti itu dan lama kelamaan murtad dari Gereja Katolik. Kita kelak akan menuai segala keburukan akibat terlalu sering membiasakan Perayaan Ekaristi diutak-atik untuk memenuhi selera umat.

Nah, Misa yang buruk ini juga akan membuat umat lain yang lebih taat dalam Liturgi meninggalkan Gereja. Salah seorang teman saya pindah, keluar dari Gereja Katolik dan menjadi Ortodoks Timur. Salah satu alasannya karena kerap melihat kekacauan Liturgi ketimbang Liturgi yang benar. Dia pun akhirnya melirik ke Ortodoks Timur yang lebih kaku dan tegas soal Liturgi. Hal lain lagi, umat yang tradisionalis pun bisa keluar dari Gereja Katolik dan memilih menjadi anggota SSPX karena di SSPX mereka bisa menemukan penyelenggaraan Misa yang setia dan tegas. Misa yang buruk jelas melemahkan iman umat, baik yang taat maupun yang tidak taat.
Kesimpulannya, Krisis Liturgi sungguh merupakan krisis utama Gereja Katolik saat ini. Krisis ini mempengaruhi Gereja secara luas dan perlu dihentikan. Peran serta kaum tertahbis maupun awam sangat diperlukan untuk meredakan Krisis Liturgi ini. Di samping itu, baik kaum tertahbis maupun awam memanglah harus kaku, taat, disiplin dan setia terhadap aturan-aturan Liturgi itu sendiri. Hendaklah kekakuan, ketaatan, kedisiplinan dan kesetiaan ini dipandang sebagai bentuk kasih kepada Allah dalam Ekaristi dan juga kasih kepada Gereja. Tanamkanlah dalam pikiran kita bahwa Ekaristi adalah Kurban untuk pereda kemarahan Allah dan pendamai hubungan kita dengan Allah yang rusak karena dosa-dosa kita. Dengan melecehkan Liturgi dan Ekaristi yang adalah anugerah Allah, bukankah kita justru telah menyakiti hati Allah?

Sementara kita harus memaklumi sulitnya menerapkan Liturgi yang baik dan benar di daerah pedalaman Indonesia karena sulitnya akses informasi, kita tetap harus mendorong pembaharuan Liturgi di daerah-daerah kota yang sudah memiliki akses informasi yang jauh lebih baik. Dengan begini, akan tercapai sebuah Perayaan Ekaristi yang indah dan berkenan di hati Allah. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.� (Luk 16:10)


Referensi dan Sumber:
[1]. Cardinal Ratzinger (kemudian Paus Benediktus XVI), Condensed from the 30 Days printing of Cardinal Ratzinger's preface to La Reforme liturgique en question, by Klaus Gamber, Editions Sainte-Madeleine.
[2]. Cardinal Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927 � 1977 The Regensburg Years
[5]. Istilah �Kurban Ilahi Ekaristi� diambil berdasarkan Sacrosanctum Concilium 2.

Artikel ini ditulis oleh Indonesian Papist sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap Paus Benediktus XVI, Paus Liturgi. Pax et Bonum