Latest News

Friday, February 7, 2014

Haruskah Homili Memberikan Pengajaran yang Sistematis?

oleh Pater Kenneth Baker, SJ

Baru-baru ini seorang rekan imam bertanya kepada saya, �Bagaimana kita bisa mengajarkan iman selama homili pada Misa Minggu?� Dengan pertanyaan itu, ia menunjuk kepada suatu masalah yang telah mengganggu saya selama beberapa waktu: Dalam Liturgi Novus Ordo, bagaimana imam dapat memberikan pengajaran Katolik yang sistematis dan koheren mengenai Aku Percaya (Syahadat), 10 Perintah Allah dan 5 Perintah Gereja, dan Sakramen-sakramen selama perjalanan siklus 3 tahun dari pembacaan Kitab Suci?


Anda sekalian mungkin ingat bahwa sebelum Konsili Vatikan II, banyak uskup memberikan petunjuk rinci tentang masalah khotbah (sermon) untuk setiap hari Minggu. Dengan cara ini, prinsip-prinsip dasar iman dan moral Katolik diungkapkan selama periode tahunan. Sejak Konsili Vatikan II, prosedur ini tampaknya telah ditinggalkan. Mungkin ada beberapa uskup yang masih memberikan petunjuk-petunjuk seperti itu, tetapi saya pribadi belum pernah melihatnya.

Kita memiliki alasan untuk bersukacita atas Misa Novus Ordo yang memberikan bacaan Kitab Suci yang lebih lengkap yang sekarang kita miliki dalam Leksionari selama periode tiga tahun. Ketika Konsili Vatikan II memberikan penekanan besar atas peran Kitab Suci dalam Misa Kudus dan menambah serta memperpanjang bacaan dalam Misa Kudus, kita menyaksikan perpindahan dari �khotbah� (Sermon) tradisional menuju �homili� (Homily). Khotbah cenderung berfokus pada iman, moral, penjelasan atas Syahadat/Credo (Aku Percaya). Sementara itu, Homili sekarang cenderung merupakan �penjelasan� atas bacaan Kitab Suci pada hari itu. Penjelasan itu biasanya dalam bentuk penafsiran yang belum sempurna atau bergerak ke teologi biblis, yaitu sebuah tema dari Kitab Suci yang dikembangkan dan disarankan oleh bacaan-bacaan pada hari itu.

Prosedur tersebut adalah baik. Kita perlu kembali kepada Kitab Suci dan itulah yang kita miliki selama 40-an tahun terakhir. Akan tetapi, dalam pandangan saya, pada saat yang bersamaan telah terjadi pengabaian yang serius terhadap pengajaran iman Katolik fundamental dalam cara sistematis kepada umat beriman di kebanyakan paroki. Juga, hanya ada sedikit atau malah tidak ada sama sekali hubungan atau kesinambungan antara homili-homili pada hari Minggu yang satu ke hari Minggu yang berikutnya. Dan hasilnya adalah lebih banyak dan semakin banyak umat Katolik tidak tahu apa yang Gereja Katolik ajarkan mengenai pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti dosa asal, dosa berat dan dosa ringan, Inkarnasi Firman Allah, Tritunggal Mahakudus, surga, neraka, api penyucian, Kehadiran Nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Ekaristi, kebangkitan badan dan seterusnya.

Jutaan umat Katolik bingung dan kacau pemahamannya dan kebingungan dan kekacauan tersebut membawa kepada perpecahan. Terlihat pada saya bahwa kita sedang menyaksikan Protestantisasi Gereja Katolik yang stabil, dalam artian bahwa setiap orang - berdasarkan prinsip-prinsip Sola Scriptura (Hanya Kitab Suci saja dasar ajaran iman) dan penafsiran pribadi - menentukan dan memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang Kitab Suci dan iman Katolik ajarkan. Sekarang ada sekitar 20.000 bentuk Protestantisme yang berbeda dan kita sekarang terlihat memiliki beberapa bentuk berbeda dari Katolisisme, tidak secara resmi tapi secara de facto.

Tampaknya adalah sebuah ide yang bagus bagi para uskup untuk mengerjakan program pengajaran sistematis yang baru dan komprehensif mengenai Aku Percaya / Credo, 10 Perintah Allah dan 5 Perintah Gereja, Sakramen-sakramen yang akan menjadi kunci untuk Tahun A, B, dan C dari siklus 3 tahun bacaan Kitab Suci. Kami telah menjalankan program seperti itu dalam homili-homili HPR (Homiletic and Pastoral Review) kami sejak tahun 1980. Program sistematis seperti itu direkomendasikan oleh Sinode Para Uskup di Roma pada tahun 2008 tetapi sejauh ini terlihat tidak ada yang dilakukan mengenai hal itu. Homili mengenai Kitab Suci adalah baik, tetapi umat Katolik juga membutuhkan pengajaran yang jelas mengenai hal-hal fundamental dari iman Katolik. 

Pater Kenneth Baker, SJ adalah editor emeritus dari HPR (Homiletic and PastoralReview) yang telah melayani sebagai editor selama lebih dari 30 tahun. Beliau adalah pengarang buku best-selling �Fundamentals of Catholicism� (3 volume) dan buku pengantar Kitab Suci populer, �Inside the Bible�.

Tuesday, February 4, 2014

Homili Santo Yohanes Paulus II pada Pesta Pembaptisan Tuhan

Homili lama ini diterjemahkan oleh Indonesian Papist untuk dimuat pada Buletin Lentera Iman edisi Februari 2014 dengan tema Baptis.

Homili Paus Yohanes Paulus II pada Pesta Pembaptisan Tuhan

Minggu, 12 Januari 1997
 
St. Yohanes Paulus II Membaptis Seorang Bayi


�Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus� (Mat 28:19)

Hari ini Gereja sedang merayakan Pesta Pembaptisan Kristus dan tahun ini juga saya mengalami sukacita memberikan Sakramen Baptis kepada beberapa bayi yang baru lahir; 10 perempuan dan 9 laki-laki, 14 di antaranya adalah orang Italia, 2 Polandia, 1 Spanyol, 1 Meksiko dan 1 India. Selamat datang para orang tua terkasih yang telah datang ke sini bersama dengan anak-anak anda sekalian. Saya juga menyapa para wali baptis serta kalian semua yang hadir di sini.

Saudara-saudari terkasih, sebelum memberikan Sakramen Baptis kepada anak-anak baru lahir ini, saya ingin merenungkan bersama anda mengenai sabda Allah yang baru saja kita dengar. Injil menurut Markus, seperti Injil-injil Sinoptik lainnya, bercerita tentang Pembaptisan Yesus di Sungai Yordan. Liturgi Epifani mengenang peristiwa ini dalam sebuah kesatuan tiga peristiwa (triptych) yang mencakup juga Penyembahan Para Majus dari Timur dan Pernikahan di Kana. Masing-masing dari 3 peristiwa ini dalam kehidupan Yesus dari Nazaret adalah sebuah pewahyuan khusus mengenai keputraan ilahi-Nya. Gereja-gereja Timur memberikan penekanan khusus terhadap pesta hari ini, menyebutnya dengan singkat, �Yordan�. Mereka memandang peristiwa ini sebuah momen dalam manifestasi Kristus yang terhubung dekat dengan Natal. Memang, lebih daripada kelahiran-Nya di Betlehem, Liturgi Timur menyoroti pewahyuan mengenai Kristus sebagai Putera Allah, yang terjadi dengan intensitas yang luar biasa persis selama Pembaptisan-Nya di Sungai Yordan.

Apa yang Yohanes Pembaptis sampaikan di tepi Sungai Yordan adalah pembaptisan penyesalan untuk pertobatan dan pengampunan dosa. Tetapi Yohanes Pembaptis mengatakan: �Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku; membungkuk dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak. Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus.� (Mrk 1:7-8). Yohanes Pembaptis menyatakan ini kepada begitu banyak pentobat yang berbondong-bondong mengikuti dia untuk mengakukan dosa mereka, bertobat dan bersiap untuk memperbaiki hidup mereka.

Pembaptisan yang diperintahkan oleh Yesus sebagaimana yang Gereja dengan setia dan tidak hentinya lakukan hingga saat ini adalah sungguh berbeda dari pembaptisan oleh Yohanes Pembaptis. Pembaptisan yang dilakukan oleh Gereja membebaskan manusia dari dosa asal dan mengampuni dosa-dosanya, menyelamatkan ia dari perbudakan yang jahat dan merupakan tanda kelahiran kembali dalam Roh Kudus; Pembaptisan yang dilakukan oleh Gereja memberikan kepada manusia kehidupan yang baru yaitu partisipasi dalam kehidupan Allah Bapa yang diberikan oleh Putra Tunggal-Nya yang menjadi manusia, wafat dan bangkit kembali.

Setelah Yesus keluar dari air, Roh Kudus turun atas-Nya dalam rupa seekor merpati, surga terbuka dan suara Bapa didengar dari langit: �Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.� Dengan demikian, peristiwa Pembaptisan Kristus bukan hanya pewahyuan akan keputraan ilahi-Nya, tetapi pada saat yang sama merupakan pewahyuan akan seluruh Tritunggal Mahakudus. Bapa � suara dari langit � mengungkapkan Yesus Putra Tunggal-Nya  sehakikat dengan Bapa dan semua ini terjadi oleh keutamaan Roh Kudus yang dalam bentuk burung merpati turun atas Kristus, Tuhan yang diurapi.

Pada Kisah Para Rasul, kita membaca mengenai Pembaptisan yang diberikan oleh Rasul Petrus kepada Kornelius dan keluarganya. Dengan demikian, Petrus melaksanakan perintah Kristus yang bangkit kepada para murid-Nya: �Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.�Pembaptisan adalah sakramen dasar dan pertama dalam Gereja, sakramen kehidupan baru dalam Kristus.

Saudara-saudari terkasih, sesaat lagi anak-anak ini juga akan menerima Pembaptisan dan menjadi anggota hidup Gereja. Mereka pertama akan diurapi dengan Oleum Catechumenorum (Minyak Katekumen) sebagai simbol kekuatan lembut Yesus yang diberikan kepada mereka untuk berjuang melawan kejahatan. Lalu air suci akan dituangkan ke atas mereka sebagai simbol pemurnian batin mereka melalui karunia Roh Kudus, sebagaimana air yang dituangkan oleh Yesus saat Ia wafat di kayu salib. Mereka kemudian langsung diberikan pengurapan yang kedua dan sangat penting dengan �Krisma� untuk menunjukkan bahwa mereka dikonsekrasikan dalam citra Yesus, yang diurapi oleh Bapa. Lalu setiap ayah dari anak-anak tersebut menerima sebuah lilin yang dinyalakan dari lilin Paskah, simbol terang iman yang harus terus dijaga dan dibesarkan bersama rahmat pemberi hidup Roh Kudus oleh para orang tua dan wali baptis.

Para orang tua dan wali baptis yang terkasih, marilah kita mempercayakan anak-anak kecil ini kepada perantaraan kebundaan Perawan Maria. Marilah kita memohon kepada Bunda Maria untuk menyertai anak-anak kecil yang berpakaian putih ini menerima martabat baru mereka sebagai anak-anak Allah, umat Kristen sejati dan saksi-saksi yang berani akan Injil sepanjang hidup mereka.
Amin!

Sumber: Vatican.va