Latest News

Wednesday, August 28, 2013

Kelesuan Para Penjaga Iman

Indonesian Papist kali ini membagikan terjemahan tulisan Dietrich von Hildebrand dari bukunya berjudul �The Devastated Vineyard� bab 1 yang ia beri judul �Kelesuan Para Penjaga�. Bab ini berisi keprihatinan besar Hildebrand mengenai kondisi Gereja setelah Konsili Vatikan II dan kekurangan yang nyata dari kepemimpinan gerejawi para uskup yang memiliki kewajiban untuk mendukung dan membela iman yang benar. Indonesian Papist turut mengambil keprihatinan yang sama dengan menerjemahkan tulisan Hildebrand. Dietrich von Hildebrand adalah seorang awam, baru menjadi Katolik pada usia 25 tahun, penulis banyak buku mengenai filosofi dan kekristenan. Ia dijuluki �Doktor Gereja era modern� oleh Paus Ven. Pius XII dan disebut sebagai seorang filsuf utama abad ke-20 oleh Paus Benediktus XVI. Pemikiran Hildebrand memberikan pengaruh dari beberapa karya terbaik Konsili Vatikan II termasuk mengenai apresiasi yang mendalam akan misteri perkawinan dan seksualitas. Paus Beato Yohanes Paulus II juga adalah salah seorang yang dipengaruhi oleh pemikiran Hildebrand mengenai perkawinan dan seksualitas. Dietrich von Hildebrand memiliki seorang istri bernama Alice von Hildebrand yang juga adalah teolog, professor dan filsuf terkemuka. Dietrich von Hildebrand meninggal pada 26 Januari 1977. Berikut ini terjemahannya:

Dietrich dan Alice von Hildebrand
Salah satu dari penyakit yang paling mengerikan dan menyebar luas dalam Gereja saat ini adalah kelesuan para penjaga Iman Gereja (lethargy of the guardians of the Faith of the Church). Di sini saya sedang tidak berpikir tentang para uskup yang adalah anggota �kolom kelima� yang ingin menghancurkan Gereja dari dalam, atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Saya sedang berpikir mengenai lebih banyak para uskup yang tidak punya niat seperti itu (niat seperti itu = menghancurkan Gereja atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda), tapi tidak menggunakan apapun dari otoritas mereka ketika datang untuk melakukan intervensi melawan para imam atau teolog sesat (heretical theologians or priests) atau melawan penampilan-penampilan menghujat dalam ibadah publik (liturgi). Mereka juga menutup mata dan mencoba ostrich-style (gaya burung unta) untuk mengabaikan pelanggaran-pelanggaran pedih yang meminta kewajiban mereka untuk campur tangan; dan mereka takut diserang oleh pers atau media massa dan [takut] difitnah sebagai reaksioner, berpikiran sempit atau orang abad pertengahan. Mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah. Kata-kata St. Yohanes Bosco diterapkan kepada mereka: �Kekuatan yang jahat dari manusia berada pada kepengecutan (cowardice) akan yang baik.�

Memang benar bahwa kelesuan mereka yang berada pada posisi berwenang (position of authority) adalah penyakit zaman kita yang menyebar luas di luar Gereja. Penyakit itu ditemukan di antara para orang tua, rektor-rektor perguruan tinggi dan universitas, kepala-kepala berbagai organisasi lainnya, para hakim, para kepala negara, dan lain-lain. Tetapi fakta bahwa penyakit ini bahkan telah masuk ke dalam Gereja adalah sebuah indikasi jelas bahwa perjuangan melawan semangat duniawi telah digantikan dengan berenang bersama semangat zaman dalam nama �aggiornamento�. Seseorang akan terpaksa untuk berpikir mengenai orang-orang upahan yang meninggalkan domba-dombanya kepada serigala-serigala ketika berefleksi mengenai kelesuan dari begitu banyak uskup dan superior yang, meskipun mereka sendiri masih ortodoks {1}, [tetapi] tidak memiliki keberanian untuk campur tangan melawan ajaran-ajaran sesat yang paling mencolok dan segala macam pelanggaran-pelanggaran dalam keuskupan mereka atau tarekat (ordo) mereka.

Tetapi hal yang terutama paling menyebalkan adalah ketika uskup-uskup tertentu, yang diri mereka sendiri menunjukkan kelesuan terhadap kaum sesat (bidat), [tetapi] mengambil sikap otoriter yang keras kepada kaum beriman yang berjuang untuk ortodoksi (kelurusan ajaran) dan mereka yang sedang melakukan apa yang seharusnya uskup-uskup itu sendiri lakukan. Saya pernah diizinkan membaca sebuah surat yang ditulis oleh seorang pria di posisi yang tinggi dalam Gereja, [surat itu] ditujukan kepada sebuah kelompok yang telah secara heroik berjuang untuk iman yang benar, iman yang murni, ajaran Gereja yang sejati dan Paus. Kelompok ini telah mengatasi �kepengecutan dari orang baik� (cowardice of good men) yang St. Yohanes Bosco katakan, dan dengan demikan seharusnya menjadi sukacita terbesar para uskup. [Tetapi] surat itu berkata: �Sebagai Katolik yang baik, kalian hanya perlu melakukan satu hal; cukuplah menjadi taat kepada semua ketetapan uskup kalian.�

Konsepsi mengenai Katolik �yang baik� secara khusus mengejutkan pada masa di mana kedatangan era orang-orang awam modern secara terus-menerus ditekankan. Tetapi [konsepsi Katolik �yang baik�] adalah sepenuhnya salah untuk alasan ini:  apa yang sesuai dengan masa di mana tidak ada ajaran-ajaran sesat terjadi dalam Gereja yang tidak secara langsung dikutuk oleh Roma, menjadi tidak sesuai dan tidak terjadi pada masa ketika ajaran-ajaran sesat yang belum dikutuk menjadi malapetaka dalam Gereja, bahkan menginfeksi beberapa uskup tertentu yang tetap berada pada jabatannya [sebagai uskup]. Sebagai contoh, haruskah kaum beriman pada masa ajaran sesat Arianisme - di mana mayoritas uskup adalah penganut Arianisme � membatasi diri mereka untuk menjadi baik dan taat kepada ketetapan-ketetapan para uskup [arian] ini ketimbang melawan ajaran sesat tersebut? Bukankah kesetiaan kepada ajaran Gereja yang benar diberikan prioritas di atas ketaatan kepada uskup? Bukankah justru berdasarkan kebajikan ketaatan mereka kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan yang mereka terima dari Magisterium Gereja sehingga kaum beriman memberikan perlawanan? Apakah kaum beriman tidak seharusnya khawatir ketika hal-hal yang diwartakan dari mimbar adalah sepenuhnya tidak sesuai dengan ajaran Gereja? Atau ketika teolog-teolog tetap sebagai guru yang mengklaim bahwa Gereja harus menerima pluralisme dalam filosofi dan teologi {2}, atau bahwa tidak ada kehidupan seseorang setelah kematian, atau mereka yang menolak percabulan sebagai sebuah dosa, atau bahkan menoleransi tampilan-tampilan immoralitas di publik, sehingga menyingkapkan kekurangpahaman yang menyedihkan akan dalamnya kebajikan Kristiani mengenai kemurnian.

Omong kosong dari para kaum sesat, baik para imam maupun awam, ditoleransi; [dengan demikian] para uskup dengan diam-diam menyetujui pemberian racun kepada kaum beriman. Tetapi para uskup ingin membungkam kaum beriman yang berjuang demi ortodoksi, orang-orang yang seharusnya dengan segala hak menjadi sukacita hati para uskup, penghiburan mereka, sumber kekuatan untuk mengatasi kelesuan mereka sendiri. Sebaliknya, orang-orang ini dianggap sebagai pengganggu perdamaian. Dan kemudian terjadi bahwa kaum beriman yang terbawa dalam semangat mereka dan mengekspresikan diri mereka sendiri bahkan ditangguhkan [oleh para uskupnya] dengan cara yang kurang bijaksana atau dibesar-besarkan. Hal ini dengan jelas menunjukkan kepengecutan yang tersembunyi di balik kegagalan para uskup untuk menggunakan otoritas mereka. Oleh karena mereka (para uskup) tidak memiliki apapun untuk ditakutkan dari orang-orang yang ortodoks; oleh karena orang-orang ortodoks tidak mengontrol media massa atau pers; maka orang-orang ortodoks ini bukan representasi opini publik. Dan karena ketaatan mereka kepada otoritas gerejawi, para pejuang untuk ortodoksi ini tidak akan pernah seagresif orang-orang yang disebut progresif. Oleh karena itulah, bila mereka (para pejuang ortodoksi ini) yang diperingatkan atau didisiplinkan, maka para uskup mereka tidak diserang oleh pers liberal dan difitnah sebagai reaksioner.

Kegagalan para uskup untuk menggunakan otoritas mereka yang diberikan Allah mungkin adalah, dalam konsekuensi praktis, kekacauan terburuk dalam Gereja saat ini. Karena kegagalan ini tidak hanya tidak menghentikan penyakit-penyakit spiritual, ajaran-ajaran sesat dan kehancuran kebun anggur Tuhan yang nyata dan berbahaya; kegagalan ini bahkan memberikan kendali kebebasan bagi kejahatan-kejahatan ini. Kegagalan menggunakan otoritas suci untuk melindungi iman yang kudus secara jelas membawa kepada disintegrasi Gereja.

Di sini, sebagaimana dengan kemunculan seluruh bahaya, kita harus berkata. �principiis obsta� (�hentikan kejahatan pada sumbernya�). Semakin lama seseorang membiarkan sebuah kejahatan berkembang, akan semakin sulit kejahatan itu dicabut lagi. Hal ini berlaku untuk membesarkan anak-anak, untuk kehidupan bernegara dan dalam sebuah cara yang spesial untuk kehidupan moral individu. Tapi adalah sungguh benar dalam cara yang sama sekali baru untuk intervensi dari otoritas gerejawi demi kebaikan umat beriman. Sebagaimana Plato katakan, �ketika kejahatan telah maju jauh, ... tidak pernah menyenangkan untuk menghilangkannya.�{3}

Tidak ada yang lebih salah daripada membayangkan bahwa banyak hal harus dibiarkan membabi buta dan melakukan yang paling buruk, dan bahwa seseorang harus menunggu dengan sabar sampai hal-hal itu mereda dengan sendirinya.  Teori ini terkadang mungkin benar berkaitan dengan pemuda yang sedang melalui masa pubertas, tetapi teori ini sepenuhnya salah dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai bonum commune (kebaikan bersama). Teori palsu ini terutama berbahaya ketika diterapkan kepada bonum commune Gereja yang kudus, melibatkan hujatan-hujatan dalam ibadah umum (Liturgi) dan ajaran-ajaran sesat yang bila tidak dikutuk akan meracuni jiwa-jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Di sini,  adalah keliru untuk menerapkan perumpamaan tentang gandum dan ilalang.

Catatan:

1. Istilah �ortodoks� berarti keyakinan pada ajaran resmi Gereja Katolik yang kudus yang menyatakan kebenaran yang otentik dan diwahyukan serta dijamin dan dibimbing oleh Roh Kudus. Ekspresi �ortodoks� tidak merujuk kepada keanggotaan dalam Gereja Ortodoks yang belum bersatu dengan Katolik.

2. Istilah �pluralisme� adalah paham bahwa seseorang dapat memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda terkait dengan kebenaran iman yang sudah didefinisikan dan dideklarasikan secara tak dapat salah atau bahwa setiap filosofi memiliki tempat dalam Gereja yang kudus � menjadi sebuah relativisme yang absolut. Tentu saja selama tidak ada pendefinisian dan pendeklarasian ajaran yang diberikan mengenai pertanyaan akan iman, pendapat berbeda boleh diajukan oleh umat yang ortodoks. Sebagai contoh, mengenai Dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, Santo Thomas Aquinas dan Beato Duns Scotus memiliki pandangan yang berbeda. Ini terjadi pada abad pertengahan. Tetapi setelah pendeklarasian dogma ini secara definitif pada tahun 1854, umat Katolik tidak lagi dapat memegang pandangan yang berbeda atau kontra dogma ini.

3. Plato, Laws, no. 660.

pax et bonum

Sunday, August 25, 2013

Homili Minggu Biasa Ke-21 (25 Agustus 2013) oleh Pater Phil Bloom

Engkau Tidak Harus Pergi ke Neraka
 
Sekali waktu seseorang bertanya kepada pengkhotbah evangelikal apakah dia boleh tetap mengunyah tembakau dan masuk ke surga. Pengkhotbah tersebut berpikir sejenak dan berkata, �Ya, tetapi untuk meludah kunyahan tembakau tersebut, anda harus pergi ke tempat yang lain.�
 
 
Cerita humor di atas menggambarkan sebuah poin penting: Beberapa hal tidak sesuai dengan surga. Mengunyah tembakau tentu adalah contoh yang agak konyol. Tetapi, bagian pentingnya adalah bahwa ada hal-hal yang harus kita tolak untuk dapat masuk ke dalam surga. Tujuh dosa pokok meringkas apa saja yang harus kita tinggalkan: hawa nafsu, kemarahan, kerakusan, kemalasan, kecemburuan, ketamakan dan di atas semuanya, kesombongan. Dosa-dosa tersebut tidak memiliki tempat di surga. Jika mereka masuk, pastilah mereka merusak. Persekutuan Para Kudus adalah seperti simfoni dengan setiap anggotanya memainkan bagian spesifik masing-masing. Bila seseorang membawa kemarahan ke dalam Persekutuan Para Kudus, kerusakan yang ditimbulkan dapat dibandingkan dengan seseorang yang menggaruk atau mencakar jari-jari mereka ke papan tulis sembari sebuah grup para ahli musik sedang memainkan lagu-lagu Mozart.

Yesus menyatakannya secara langsung: Allah akan berkata kepada sejumlah orang, �enyahlah dari hadapan-Ku.� Hal itu sungguh mengerikan, kata-kata menakutkan yang harus kita pandang serius. Kata-kata itu tidak datang dari seorang teolog abad pertengahan. Kata-kata ini datang dari mulut Yesus sendiri: �Enyahlah dari hadapan-Ku.  Aku tidak tahu dari mana kamu datang.�

Neraka itu sungguh nyata. Engkau atau aku dapat berakhir di sana. Ini adalah kabar buruk. Sekarang, saya juga memiliki beberapa kabar gembira: Tidak seorang pun dari kita harus pergi ke sana. Cerita ini berisi tentang Calvin Coolidge ketika ia adalah wakil presiden. Suatu hari ketika ia sedang memimpin senat, sebuah argumentasi sengit pecah di antara dua senator. Salah satu dari kedua senator itu sangat marah dan memberitahu lawannya bahwa lawannya itu dapat langsung masuk ke neraka. Senator yang diserang seperti itu mendekat kepada Wakil Presiden Coolidge. �Tidakkah kau mendengar apa yang ia katakan kepadaku?� Tanyanya. Coolidge membuka bukunya dan berkata dengan tenang: �Kau tahu, aku telah membaca seluruh buku aturan ini. Kau tidak harus pergi.�

Tidak seorang pun dari kita harus masuk ke neraka. Hal itu tergantung pada pilihan kita masing-masing. Katekismus Gereja Katolik menyatakan:
Mati dalam dosa berat, tanpa menyesalkannya dan tanpa menerima cinta Allah yang berbelas-kasihan, berarti tinggal terpisah dari-Nya untuk selama-lamanya oleh keputusan sendiri secara bebas. Keadaan pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah dan dengan para kudus ini dinamakan "neraka". (KGK 1033) Tidak ada seorang pun ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan supaya masuk ke dalam neraka; hanya pengingkaran secara sukarela terhadap Tuhan (dosa berat), di mana orang bertahan sampai akhir, mengantarnya ke sana. (KGK 1037)

Sekarang, seseorang mungkin berpikir, �Tak masalah. Bila neraka sekadar sebuah keadaan memisahkan diri dari Allah, aku tidak akan pernah memisahkan diriku.� Jangan terlalu yakin. Ambillah contoh yang umum seperti hawa nafsu. Hawa nafsu adalah sebuah bentuk berhala. Hawa nafsu dapat dengan mudah menggantikan Allah dari kehidupan seseorang. Lebih lanjut, hawa nafsu mendistorsi sesama manusia lainnya, menjadikan mereka sebuah objek pelampiasan hawa nafsu. Hawa nafsu mengambil sesuatu yang sangat baik � keinginan untuk bersatu dan mendukung kehidupan dalam pernikahan � dan membuangnya lalu menggantikannya menjadi sesuatu yang menghancurkan (destruktif). Seseorang tidak dapat terikat pada hawa nafsu dan masuk ke surga. Ketika Santa Perawan Maria muncul pada 3 anak di Fatima, ia memberitahu mereka, �Lebih banyak jiwa masuk ke neraka karena dosa kedagingan daripada alasan yang lain.�

Setelah Santa Perawan Maria memperingatkan anak-anak tersebut betapa mudahnya untuk jatuh ke dalam neraka, ia juga mengajarkan mereka sebuah doa yang penting. Doa tersebut adalah: �Oh Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami, selamatkanlah kami dari apa neraka dan antarlah jiwa-jiwa ke dalam surga, terutama mereka yang paling membutuhkan kerahiman-Mu.� Mereka yang berdoa Rosario umumnya akan mendoakan doa ini juga. Kita harus sungguh-sungguh berdoa bagi keselamatan semua orang supaya tidak ada yang menderita keterpisahan abadi dari Allah. Bahkan, jika seseorang telah membuat hidupmu menderita, engkau harus berdoa bagi keselamatannya. Keselamatan kita sendiri berkaitan dengan keinginan kita akan keselamatan orang lain. Pada Injil hari ini, orang-orang ditolak justru karena keinginan mereka untuk mengecualikan orang lain.

Yesus sekali lagi menghadapkan kita dengan isu fundamental: bahwa engkau dan aku harus membuat sebuah pilihan. Kita sedang membuat pilihan setiap saat: apakah kita selalu berelasi dengan Allah atau melarikan diri dari Dia; apakah kita tumbuh terbiasa dalam dosa atau bertobat dari dosa itu. Yesus berkata, �sesungguhnya ada orang yang terakhir yang akan menjadi orang yang terdahulu dan ada orang yang terdahulu yang akan menjadi orang yang terakhir.� Dan untuk mendorong kita ke jalan yang sempit, Ia berkata: �orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah.� Semoga engkau dan aku menjadi bagian dari bilangan orang yang duduk makan di dalam Kerajaan Allah.

Pater Phil Bloom adalah Pastor Paroki St. Mary of the Valley, Monroe
Homili di atas diterjemahkan dari situs resmiparoki tersebut.
pax et bonum

Thursday, August 15, 2013

Orang Katolik Harus Cinta Tanah Air



Di Indonesia ini, ada yang menyebut kecintaan terhadap tanah air sebagai Patriotisme, ada juga yang menyebutnya Nasionalisme. Ada juga yang menyebutkan perasaan cinta yang timbul dari perasaan satu keturunan, senasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah airnya sebagai Nasionalisme. Sementara itu, jiwa dan semangat cinta tanah air berupa sikap rela berkorban bagi bangsa dan tanah air disebut Patriotisme.


Kemudian muncul juga pembedaan dalam istilah Nasionalisme itu, yaitu Nasionalisme dalam arti sempit dan Nasionalisme dalam arti luas. Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sedangkan dalam arti luas, Nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.

Menurut Gereja Katolik, terdapat perbedaan yang tegas antara Patriotisme dengan Nasionalisme. Tahun lalu, sehari sesudah 17 Agustus 2012, saya membuat artikel tentang Patriotisme dan Nasionalisme Menurut Gereja Katolik. Saya kutipkan 5 pernyataan mengenai Patriotisme dan Nasionalisme.

�Cintai negaramu sendiri: adalah kebajikan Kristiani untuk menjadi patriotik. Tetapi bila patriotisme menjadi nasionalisme yang membawamu melihat kepada orang lain, kepada negara lain dengan acuh tak acuh, cemoohan tanpa kemurahan hati dan keadilan Kristiani, maka itu adalah dosa.� � St. Josemaria Escriva

�Negara kita, salah atau benar! Ketika [negara kita] benar, jagalah agar tetap benar; ketika[negara kita] salah, jadikanlah supayabenar! Itu adalah suara patriotisme yang merupakan sebuah kebajikan Kristiani. Nasionalisme, yang adalah kesombongan dalam skala publik, adalah tidak sesuai dengan iman Katolik.� � Romo John Jay Hughes

�Sebagai seorang Katolik, kita dipanggil untuk menjadi patriot sejati, bukan nasionalis. Gereja Katolik adalah universal, dan dengan demikian meliputi semua negara. Demikian, orang Katolik mencintai negaranya tetapi tahu bahwa warga negara lain juga adalah anak-anak terkasih dari satu Allah kita.� � Our Sunday Visitor, Majalah Katolik

�Patriotisme, sebagai salah satu jenis cinta, adalah sesuatu yang baik. Patriotisme harus dikontraskan dengan nasionalisme yang timbul bukan dari cinta melainkan dari kesombongan. Seorang patriotik mencintai negara apa adanya negara itu, sementara nasionalis berpikir bahwa negaranya adalah "yang terbaik" dari pada yang lain. Sebagai seorang Katolik, kita hendaknya mengembangkan patriotisme dan menghindari nasionalisme sama seperti kita mengembangkan cinta kasih dan menghindari kesombongan.� � Karl Keating, apologet Katolik dan penulis buku �Katolik dan Fundamentalisme�.

�Nasionalisme melibatkan pengakuan dan pengejaran kebaikan bangsa sendiri saja tanpa menghormati hak-hak orang lain; patriotisme di sisi lain adalah cinta terhadap tanah airnya yang memberikan hak-hak yang sama dengan hak-hak yang diklaim bagi dirinya sendiri kepada bangsa lain.� � Paus Beato Yohanes Paulus II

Terlihat bahwa Gereja Katolik memandang patriotisme sebagai kecintaan terhadap tanah air yang sehat sementara memandang nasionalisme sebagai sikap cinta tanah air yang salah.

Terlepas adanya perbedaan pemaknaan kata dan penggunaan istilah �Patriotisme� dan �Nasionalisme� antara menurut Gereja Katolik dengan pandangan umum di Indonesia, ada satu poin penting yang harus dilihat yaitu: Sebagai seorang Katolik dan sebagai seorang Indonesia, kita harus mencintai bangsa dan tanah air Indonesia kita ini dengan tetap menghormati dan menghargai bangsa lain.

Alm. Uskup Agung Soegijapranata berkata demikian:
Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati. - Soegijapranatadikutip dalam Subanar (2005, p. 82)

Perhatikan, ada satu hal penting lagi yang harus ditekankan. Cinta kepada tanah air merupakan kebajikan Kristiani, suatu kewajiban bagi seorang Katolik.

�Kewajiban warga negara ialah bersama para pejabat mengembangkan kesejahteraan umum masyarakat dalam semangat kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Cinta kepada tanah air dan pengabdian untuk tanah air adalah kewajiban terima kasih (duty of gratitude) dan sesuai dengan tata cinta kasih. Ketaatan kepada wewenang yang sah dan kesiagaan untuk kesejahteraan umum menghendaki agar para warga negara memenuhi tugasnya dalam kehidupan persekutuan negara.� � Katekismus Gereja Katolik 2239

Dengan kata lain, mencintai tanah air bukanlah sebuah pilihan, bukan sesuatu yang opsional. Mencintai tanah air adalah kewajiban, sebuah kewajiban yang mengalir berasal dari syukur dan terima kasih. Gereja Katolik mengajarkan bahwa mencintai tanah air merupakan salah satu wujud dari perintah ke-4 dari 10 Perintah Allah. Umat Katolik memiliki kewajiban untuk melayani dan mencintai orang tuanya, yang telah memberikannya kehidupan dan membesarkannya. Demikian juga, sebagai �rahim� peradaban dan masyarakat tempat di mana kita dibesarkan, tanah air kita layak untuk mendapatkan pelayanan dan cinta kita. Sebagai seorang Katolik, kita terikat oleh cinta kasih untuk melayani dan berkarya bagi kebaikan tanah air Indonesia kita.


Merenungkan Para Pahlawan

Bagaimana cara untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air? Tentu umat sekalian bisa memikirkan cara masing-masing untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air selama cara-cara tersebut tidak bertentangan dengan iman dan moral Gereja Katolik. Saya coba mengajukan satu cara, merenungkan para pahlawan, secara khusus para pahlawan Katolik. Sebagaimana cinta terhadap Kristus dan Gereja dapat ditumbuhkan melalui membaca, mengenang, merenungkan para martir Katolik serta dengan menjadikannya teladan dalam mencintai Kristus dan Gereja; maka cinta terhadap tanah air dapat ditumbuhkan dengan cara yang sama tetapi objek yang berbeda yaitu para pahlawan.

Kita memiliki Brigadir Jendral (Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dari Angkatan Darat, Laksamana Madya (Anumerta) Yosaphat Soedarso dari Angkatan Laut, dan Marsekal Muda (Anumerta) Agustinus Adisutjipto dari Angkatan Udara. Kita juga memiliki Mgr. Soegijapranata dan Ignatius Joseph Kasimo yang perjuangan tanpa senjata mereka telah berdampak besar bagi NKRI. Kita juga memiliki Wage Rudolf Supratman yang menciptakan Lagu Indonesia Raya dan Cornel Simanjuntak yang menciptakan lagu �Maju Tak Gentar� yang membakar semangat para Tentara Pelajar Yogyakarta. Semuanya ini menggambarkan bahwa setiap umat Katolik dapat mencintai tanah airnya dengan cara khas mereka masing-masing, seturut talenta dan profesi mereka masing-masing. Seorang dokter mencintai tanah air dengan melayani orang-orang miskin di Indonesia, seorang Katolik mencintai tanah air dengan mencerdaskan para muridnya, seorang pemain bola timnas mencintai tanah air dengan bermain sebaik mungkin untuk mengharumkan nama Indonesia. Seorang seniman mencintai tanah air dengan melestarikan seni khas Indonesia. Secara khusus, jangan remehkan para pencipta lagu-lagu perjuangan. Kontribusi mereka sangat besar, moral para pejuang teguh karena pesan, semangat, keyakinan dan sebagainya yang disampaikan dalam lagu-lagu perjuangan tersebut. Pertanyaan menariknya: Apakah kita sudah menempatkan porsi waktu khusus untuk mendengarkan lagu-lagu perjuangan? Jangan-jangan saking seringnya kita mendengarkan musik-musik modern, kita sudah lupa lagu-lagu perjuangan yang dulu pernah kita nyanyikan atau bahkan kita sudah tidak tahu lagi apa saja lagu-lagu perjuangan itu. Silahkan berkontemplasi masing-masing. 

Ada langkah konkrit yang bisa diambil Gereja untuk menumbuhkan cinta tanah air kepada Orang-orang muda Katolik. Mengapa paroki setempat atau keuskupan setempat tidak menjamu para veteran perang yang masih hidup dalam acara kumpul bersama dengan Orang-orang muda Katolik? Sederhananya, mengapa tidak membuat sebuah acara yang mempertemukan Orang muda Katolik dengan para veteran perang yang tersisa? Sungguh disayangkan di mana para veteran perang semakin menghilang; semangat mereka, kisah perjuangan mereka, pesan-pesan mereka tidak diteruskan kepada Orang-orang muda Katolik. Orang-orang muda Katolik bisa menarik inspirasi, pesan, saran dan koreksi yang begitu banyak dari para veteran perang ini. Tentu saja pertemuan-pertemuan tidak harus terbatas pada para veteran perang. Pertemuan dengan para veteran, para pahlawan di bidang-bidang lain pun akan menjadi sangat bermanfaat, sangat berbuah dan inspiratif. Mengulang pernyataan Bung Karno pada Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961: �Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.� Menjaga cinta, semangat, dan segala yang baik dari para pahlawan kepada tanah air supaya tetap hidup di dalam umat Katolik masa sekarang (secara khusus kepada orang muda Katolik) adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap para pahlawan.

Penutup

Pesan inti yang saya sampaikan adalah bahwa seorang Katolik harus mencintai tanah airnya tanpa memandang rendah bangsa lain. Gereja Katolik pun mengajarkan demikian. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan cinta kepada tanah air di dalam diri umat Katolik. Merenungkan Para Pahlawan adalah salah satunya. Semoga artikel sederhana ini bermanfaat bagi umat Katolik sekalian. Selamat Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia. MERDEKA!
pax et bonum