Latest News

Friday, March 29, 2013

Homili Tua Sabtu Suci dari Abad Kedua


Yesus turun ke tempat penantian
Dimanakah Kristus setelah kematian-Nya pada hari Jumat dan sebelum Ia bangkit pada Minggu Paskah? Sebagaimana yang kita ucapkan pada Syahadat (Credo), Ia turun ke tempat penantian. Pater Embuiru, SVD sekali waktu pernah memberikan katekese mengenai Kristus Turun Ke Tempat Penantian, silahkan klik link ini

Baik Kitab Suci dan Tradisi Suci juga menegaskan bahwa Kristus turun ke tempat penantian sebelum Ia bangkit. Kitab Suci menyatakan:
Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara. ... Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka, sama seperti semua manusia, dihakimi secara badani; tetapi oleh roh dapat hidup menurut kehendak Allah.�(1 Pet 3:18-19, 4:6)
Sementara itu, Katekismus Gereja Katolik menjelaskan pula bahwa Kristus �turun ke tempat ini sebagai Penyelamat dan memaklumkan warta gembira kepada jiwa-jiwa yang tertahan di sana (KGK 632) agar orang-orang mati mendengar suara Anak Allah... dan mereka yang mendengar-Nya, akan hidup.�(KGK 635). Penjelasan dari Katekismus Gereja Katolik dapat dilihat di artikel ini.

Terdapat pula homili tua dari abad ke-2 mengenai Kristus yang turun ke tempat penantian untuk membebaskan jiwa-jiwa yang tertawan. Berikut ini terjemahannya oleh admin:
Sesuatu yang aneh sedang terjadi - Hari ini kesunyian besar meraja di bumi, kesunyian besar dan keheningan besar. Kesunyian besar karena Sang Raja sedang tertidur. Dunia gemetar dan ia menjadi bisu karena Allah telah jatuh tertidur dalam daging dan Ia telah membangkitkan semua orang yang telah tidur sejak dunia dijadikan. Allah telah meninggal dalam daging dan neraka gemetar ketakutan.

Ia telah pergi mencari Adam, leluhur kita, layaknya mencari domba yang hilang. Ia hendak mengunjungi mereka yang hidup dalam kegelapan dan dalam bayangan maut. Ia datang supaya membebaskan Adam yang tertawan dan Hawa yang turut tertangkap itu dari dukacitanya. Tuhan mendekati mereka menggunakan Salib, senjata yang telah memberikan kemenangan. Di hadapan-Nya; Adam, manusia pertama yang Ia ciptakan, memukul dadanya dalam ketakutan dan berteriak kepada semua orang: �Tuhanku bersamamu semuanya.� Kristus menjawab Adam: �Dan bersama rohmu.� Kristus memegang tangannya dan mengangkat dia, sembari berkata: �Bangunlah, oh yang tertidur, dan bangkitlah dari kematian dan Kristus akan memberikan engkau terang.�

�Akulah Allahmu yang demi kamu telah menjadi anakmu. Oleh cinta untukmu dan keturunanmu, Aku sekarang dengan otoritas-Ku memerintahkan semua yang dalam perbudakan untuk maju, semua yang dapat kegelapan untuk dicerahkan, semua yang sedang tidur untuk bangkit. Aku memerintahkan kamu, oh yang tertidur, untuk bangun. Aku tidak menciptakan engkau untuk menjadi tahanan di neraka. Bangkitlah dari kematian karena Akulah kehidupan orang mati. Bangkitlah, raihlah tangan-Ku, wahai engkau yang diciptakan dalam citra-Ku. Bangkitlah, marilah kita tinggalkan tempat ini, karena engkau di dalam Aku dan Aku di dalam engkau; bersama kita menjadi satu dan tak terpisahkan.

Oleh karena kamu, Aku Allahmu menjadi anakmu; Aku Tuhanmu mengambil rupa seorang hamba; Aku, yang tinggal di atas surga, turun ke bumi dan ke bawah bumi. Oleh karena kamu, oleh karena manusia, Aku menjadi seorang manusia tanpa pertolongan, bebas dari antara orang mati. Oleh karena kamu yang telah meninggalkan taman,  aku diserahkan kepada orang Yahudi di sebuah taman, dan aku disalibkan di sebuah taman.

Lihatlah wajah-Ku ludah-ludah yang Aku terima untuk mengembalikanmu kepada hidup yang pernah saya hembuskan kepadamu. Lihatlah di wajah-Ku tanda-tanda pukulan yang Aku terima untuk membentuk kembali kodratmu yang rusak dalam citra-Ku. Di punggung-Ku lihatlah tanda-tanda cambukan yang Aku terima untuk menghapus beban dosa yang membebani punggungmu. Lihatlah tangan-Ku, dipaku kuat kepada kayu pohon demi engkau yang yang pernah dengan jahat mengulurkan tanganmu ke sebuah pohon.

Aku tertidur di kayu salib dan sebuah pedang menikam lambung-ku bagi engkau yang tertidur di firdaus dan melahirkan Hawa dari dadamu. Lambung-Ku telah menyembuhkan luka di dadamu. Tidurku telah membangkitkan engkau dari tidurmu di neraka. Pedang yang menikam-Ku telah menyelubungi pedang yang berbalik melawan engkau.

Bangkitlah. Marilah kita tinggalkan tempat ini. Musuh memimpinmu keluar dari firdaus duniawi. Aku tidak akan mengembalikan engkau ke firdaus itu tetapi  akan mentahtakan engkau di surga. Aku melarang engkau [mengambil buah] pohon yang hanyalah sebuah simbol kehidupan, tetapi lihatlah Aku yang adalah hidup itu sendiri sekarang bersamamu. Aku mengangkat kerubim untuk melindungi engkau layaknya hamba yang dilindungi, tetapi sekarang aku membuat mereka menyembah kepada-Mu sebagai yang ilahi. Tahta yang dibentuk oleh kerubim menunggumu, pembawa tahtanya cepat dan bersemangat. Kamar mempelai telah dihiasi, perjamuan sudah siap dan tempat tinggal yang kekal telah disiapkan, rumah harta karun dari segala sesuatu yang baik telah terbuka. Kerajaan Surga telah disiapkan untukmu dari segala keabadian.�
Demikianlah homili dan katekese Sabtu Suci ini, semoga bermanfaat dan membantu kita memaknai Triduum Paskah ini.
Pax et Bonum 

Thursday, March 28, 2013

Sharing Pengalaman Misa Kamis Putih di Kampung



Sejak tanggal 27 Maret 2013 lalu, saya berada di kampung oppung (kakek) saya di Kampung Ambarita, Tanah Jawa. Daerah ini menjadi bagian dari wilayah Stasi Negeri Asih, Paroki St. Antonius Padua Tigadolok, Keuskupan Agung Medan. Pada tanggal 28 Maret 2013 pukul 20.00 WIB diadakan Misa Kamis Putih di Gereja St. Fransiskus Stasi Negeri Asih ini. Misa dipimpin oleh Pastor Paroki St. Antonius Padua, Pater Laurentius Sihaloho, OFM. Conv.


Saya dan ibu saya datang ke Gereja St. Fransiskus setengah jam sebelum Misa Kamis Putih dimulai. Tidak lama kemudian, pastor paroki datang dan mulai mempersiapkan Misa. Sebelum pukul 20.00 WIB, pastor paroki memanfaatkan waktu untuk melatih umat bernyanyi sejumlah lagu yang akan digunakan dalam Misa Kamis Putih. Pastor Paroki bisa bernyanyi dengan benar sehingga bisa mengarahkan umat untuk bernyanyi dengan benar pula. Di samping itu, sebelum Misa ini pula Pater Laurentius membagikan katekese mengenai liturgi yaitu mengenai pembunyian lonceng. Dikatakan bahwa setelah Kamis Putih, lonceng tidak lagi dibunyikan hingga nanti pada saat menyanyikan Kemuliaan di Malam Paskah.

Masih sebelum Misa dimulai, Buku panduan Liturgi Triduum Paskah Keuskupan Agung Medan dibagikan. Ketika saya membuka buku tersebut, hal yang terlintas di pikiran saya adalah �Say the black, do the red!�. Apakah ini? Ini adalah ungkapan khas Liturgi Gereja Katolik. Dalam buku liturgi terdapat 2 warna tulisan, hitam dan merah. Tulisan berwarna hitam adalah kata-kata yang diucapkan sementara tulisan berwarna merah adalah tindakan yang dilakukan atau arahan yang harus diperhatikan pada saat pengucapan kata-kata liturgi. Saya pribadi selama di Pontianak, Bandung dan Jakarta tidak pernah sekalipun melihat buku liturgi dalam bentuk demikian, terkecuali saat Misa Latin Tradisional di Bandung. Di buku liturgi yang saya pernah gunakan semua tulisan berwarna hitam, dan untuk tindakan liturgisnya dicetak dalam tulisan hitam miring. Mungkin tidak terlalu penting bagi sebagian orang, tetapi bagi saya pribadi ini menunjukkan keunggulan buku liturgi ini yang menggemakan lagi ungkapan �Say the black, do the red!�. Ungkapan ini menegaskan bahwa liturgi hendaknya dirayakan seturut apa yang tertulis, yang harus diucapkan, yang harus diperhatikan dan yang harus dilakukan. Prinsip ini adalah salah satu hal mendasar yang wajib ada untuk merayakan liturgi yang setia dan taat.

Sungguh senang sekali ketika melihat bahwa tulisan-tulisan berwarna merah tersebut juga mengandung katekese liturgi yang harus diperhatikan. Sebagai contoh untuk Misa Kamis Putih ini bisa dibaca pernyataan: �Missale Romanum tidak menyebut jumlah pria yang dibasuh kakinya. Ini bisa dimengerti karena simbol utama adalah pembasuhan kaki dan bukan rekonstruksi sejarah. Tidak juga disebut bisa wanita, anak-anak atau remaja melainkan pria dewasa. Secara implisit, Missale Romanum mengutamakan pria dewasa. Kesimpulan yang bisa dipedomani: pria dan tidak harus dua belas orang.�

Sementara untuk Misa Jumat Agung terdapat katekese: �Dramatisasi Kisah Sengsara seperti dipraktekkan di beberapa tempat untuk menggantikan Kisah Sengsara adalah usaha yang pantas dihargai, namun tindakan ini membuat liturgi sebagai sarana rekonstruksi sejarah. Selain itu, sangat mungkin menjadi tontonan padahal pembaharuan liturgi menandaskan agar tak seorang pun jemaat liturgis hadir sebagai penonton. Kemungkinan dramatisasi dapat menolong meditasi tetapi juga dapat mengganggu kontemplasi. Untuk menghindari kebosanan, liturgi Romawi telah menganjurkan kisah sengsara dibawakan oleh sekelompok orang tanpa melakonkan.�

Masih banyak lagi katekese-katekese liturgi yang bisa ditemukan dalam buku liturgi ini yang berguna untuk merayakan Liturgi Triduum Paskah dengan benar.


Lalu bagaimana dengan Misa Kamis Putih ini sendiri? Ok, saya lanjutkan.
Misa Kamis Putih dimulai tepat pukul 20.00 WIB diawali dengan nyanyian pembukaan. Sungguh menyejukkan ketika suara yang terdengar begitu lantang dan jelas; hampir semua umat bernyanyi. Sepertiga umat yang hadir adalah orang muda, anak-anak dan ibu-ibu dalam jumlah yang banyak sementara bapak-bapak [sayangnya] hanya belasan orang. Misa berjalan dengan khusuk dan �Say the black, do the red!� bisa terlihat dengan jelas. Pakaian umat semuanya sopan dan rapi, menunjukkan penghargaan terhadap Kristus yang hadir dalam Ekaristi. Selain itu, lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu liturgi dari Puji Syukur; tidak menggunakan lagu pop rohani atau lagu non-rohani seperti yang terjadi dalam Misa  sejumlah kelompok kategorial atau kebanyakan Ekaristi Kaum Muda.

Pater Laurentius memimpin Misa dengan baik dan benar, Beliau terlihat begitu berwibawa dan sangat kebapaan. Dalam homilinya (sesuai yang mampu diingat saya), Beliau menjelaskan bahwa setiap orang baik Islam, Protestan, Hindu dll dapat saja menghadiri Ekaristi tetapi mereka tidak bisa menerima Komuni Kudus karena mereka bukan anggota Gereja. Beliau juga menjelaskan bahwa hanya orang Katolik yang sudah menerima Komuni pertama dan telah mengakukan dosa beratnya yang boleh dan berhak menerima Komuni Kudus. Ok, terlihat seperti katekese biasa umumnya tetapi syarat �dan telah mengakukan dosa berat�jarang sekali diberitahukan dalam Perayaan Ekaristi. Seringkali kita sekadar mendengar syarat �yang telah menerima Komuni pertama� saja tetapi syarat �telah mengakukan dosa berat� jarang terdengar atau malah tidak pernah sama sekali (saya pribadi baru pertama kali mendengar seorang imam menyampaikan hal seperti ini). Memang benar bahwa seorang Katolik yang berada dalam keadaan berdosa berat tidak boleh menerima Komuni Kudus sampai ia mengakukan dosanya kepada imam atau uskup. Pater Laurentius melanjutkan homili dengan menyampaikan bahwa saling melayani sebagaimana yang Yesus lakukan dapat dilakukan kembali dalam rupa yang sederhana seperti seorang anak membantu ibunya mempersiapkan makanan atau membantu ayahnya bekerja di ladang. Pater Laurentius mengarahkan teladan pelayanan Yesus untuk diterapkan terlebih dahulu di dalam keluarga melalui hal-hal yang kecil sekalipun. Pater Laurentius menyampaikan homili-homilinya dengan sesekali menggunakan bahasa batak untuk membantu umat lebih mengerti (hampir seluruh umat Katolik di stasi ini adalah orang batak).

Misa berjalan dengan lancar hingga penghujung Misa. Pada bagian pengumuman, setelah mendengarkan seorang umat membacakan pengumuman, Pater Laurentius melanjutkan dengan memberikan katekese liturgi. Senang sekali mendengarkan katekese liturgi dari Beliau. Beliau menyampaikan kembali soal pembunyian lonceng, mengenai tuguran, menjelaskan bahwa sejak Kamis Putih altar tidak boleh ditutupi taplak atau kain hingga Malam Paskah dimulai yang menggambarkan Kristus ditelanjangi karena dosa kita. Beliau juga menjelaskan bahwa Jumat Agung bukan Misa melainkan ibadah karena tidak adanya konsekrasi serta menjelaskan bahwa umat harus berlutut menghadap Tabernakel kala ada Sakramen Ekaristi didalamnya. Semua katekese liturgi ditutupi dengan kalimat �... supaya kita mengenal liturgi kita yang sesungguhnya.�, sebuah tujuan yang indah dari katekese-katekese liturgi yang diberikannya. Beliau betul-betul memanfaatkan bagian pengumuman untuk memberikan katekese. Hal ini kontras sekali dengan sejumlah imam yang justru membiarkan dan mengizinkan bahkan mengusulkan improvisasi dan kreativitas yang melanggar liturgi Gereja Katolik dan mencederai identitasnya. Memang seharusnyalah seorang gembala mengarahkan domba ke arah yang benar meskipun harus dengan �memukul�. Katekese-katekese adalah alat pemukulnya, alat pemukul yang tidak menyakitkan tetapi menyelamatkan.

Inilah sharing pengalaman saya menghadiri Misa Kamis Putih di kampung ini. Semoga sharing ini berguna dan dapat memberikan inspirasi bagi anda para pembacanya. Selamat menjalankan Triduum Paskah.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter

Thursday, March 21, 2013

Paus Fransiskus Akan Merayakan Misa Kamis Putih di Penjara


Pada Kamis Putih, tanggal 28 Maret 2013, Bapa Suci Fransiskus akan merayakan Misa Krisma di Basilika St. Petrus pada pagi hari dan kemudian pada pukul 17.30 waktu Roma merayakan Misa Kamis Putih di Penjara Orang Muda Casal del Marmo. Paus Fransiskus dikabarkan akan membasuh kaki 12 orang penghuni penjara tersebut. Sementara itu, Perayaan Pekan Suci lainnya akan dirayakan seturut tradisi.

Pada masa pelayanannya sebagai Uskup Agung Buenos Aires, Kardinal Bergoglio (Paus Fransiskus) terbiasa merayakan Misa di penjara, rumah sakit atau rumah sakit khusus kaum miskin dan terpinggirkan. Dengan merayakan Misa Kamis Putih di Casal del Marmo, Paus Fransiskus akan melanjutkan kebiasaannya yang dicirikan dengan kesederhanaan.

Menurut tradisi, Misa Kamis Putih dirayakan di Basilika St. Yohanes Lateran yang merupakan tahta katedral Paus Roma. Berdasarkan tradisi pula, para paus sebelumnya membasuh 12 imam pensiun / tua di Keuskupan Roma pada Misa Kamis Putih.

Selain karena kebiasaannya yang seperti itu, tampaknya Paus Fransiskus memilih merayakan Misa Kamis Putih di penjara karena konklaf yang �terlambat� sehingga belum sempat melaksanakan ritus khusus pengambilan tahta Basilika St. Yohanes Lateran. Dengan kata lain, Beliau belum �menduduki� tahta katedralnya. 

Paus Emeritus Benediktus XVI kala merayakan Misa Minggu Prapaskah ke-4 di Casal del Marmo
Sebagai informasi tambahan, pada tanggal 18 Maret 2007, pada Minggu Prapaskah ke-4 (Laetare Sunday � Minggu Sukacita), Paus [Em.] Benediktus XVI juga merayakan Misa di Kapel Bapa Maharahim di Penjara Orang Muda Casal del Marmo. Silahkan lihat foto-foto Paus Benediktus XVI mengunjungi Casal del Marmo di artikel ini.
 



Pax et Bonum

Mengubah Liturgi dan Mengubah Ajaran Gereja


Dalam berbagai diskusi internal Gereja Katolik yang saya alami, seringkali saat berbicara mengenai Liturgi atau ajaran-ajaran Gereja, orang-orang Katolik dengan mudah memotong: �Ah, itu kan cuma buatan manusia!� �Aturan Gereja itu kan cuma buatan manusia!�. Apa yang hendak mereka sampaikan adalah bahwa  karena itu semua adalah buatan manusia, maka mereka berhak mengubahnya menyesuaikan dengan kebutuhan mereka atau bahkan lebih parah lagi, menyesuaikan dengan selera mereka. Liturgi yang sudah baku telah ditambah dan dikreativisasi sana sini sehingga malah kelihatan sebagai ibadat saudara terpisah Protestan, malah lebih parah lagi seperti konser dalam Gereja. Sedangkan dalam hal hukum atau ajaran-ajaran Gereja, sejumlah poin ditolak karena tidak sesuai dengan yang mereka inginkan dan yang lain direduksi, dikurang-kurangi  sehingga bisa mereka terima.


Tentu saja, gagasan �Liturgi dan ajaran Gereja adalah buatan manusia sehingga boleh diubah sesuka hati kita� adalah gagasan yang salah. Sebagai perbandingan, bolehkah kita seenaknya mempreteli pintu rumah orang lain atau mengganti pintu rumah orang tersebut? Tentu saja kita akan berkata itu tidak boleh. Tapi pertanyaannya muncul: mengapa tidak boleh? Itu kan buatan manusia juga.

Mengenai pintu rumah ini, kita bisa melihat beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Hak Mengubah.Apakah kita memiliki hak untuk mengubah pintu rumah orang sesuai keinginan kita?

2. Estetika.Apakah perubahan pada pintu yang kita lakukan itu matching dengan bentuk rumah? Apakah perubahan tersebut tidak malah menjadikan rumah itu terlihat aneh? Apakah perubahan itu tidak merusak keindahan rumah tersebut?

3. Identitas.Apakah perubahan yang kita lakukan itu tidak merusak identitas rumah tersebut? Bukankah ketika mengganti pintu rumah dengan ukiran salib menjadi pintu rumah dengan ukiran kaligrafi Islam telah mengubah identitas rumah tersebut di mata orang luar?
Poin pertama adalah poin yang paling fundamental. Bila kita tidak memiliki hak, maka kita tidak bisa mempreteli pintu rumah orang lain tersebut. Akan tetapi, sekalipun memiliki hak, kita juga tidak bisa seenaknya mempreteli pintu rumah orang tersebut. Ada hal-hal lain yang harus diperhatikan dan ada juga batasan-batasan atas hak tersebut.

Kembali ke Liturgi dan Ajaran Gereja, kita dapat menerapkan hal yang sama yaitu:
1. Hak Mengubah. Pada dasarnya, sebagai umat kita tidak memiliki hak-hak apapun untuk mengubah Liturgi selain mengikuti pakemnya. Imam dan Uskup sendiri memiliki wewenang yang terbatas untuk menyesuaikan Liturgi. Sedangkan mengenai ajaran Gereja, seorang Paus dan bahkan sebuah konsili besar pun tidak berhak mengubah ajaran iman dan moral yang sudah dideklarasikan, sementara ajaran sosial Gereja masih mungkin untuk disesuaikan tetapi tetap harus sejalan selaras dengan ajaran iman dan moral Gereja.

2. Estetika. Perubahan, improvisasi dan kreativisasi yang dilakukan justru sering tidak matching dengan Liturgi itu sendiri. Seringkali malah merusak dan melecehkan Liturgi itu sendiri. Pada akhirnya, kita tidak dapat melihat keindahan Liturgi kita yang berasal dari tradisi apostolik karena perubahan, improvisasi dan kreativisasi telah menutupinya. Hal yang sama terjadi terhadap ajaran iman dan moral Gereja yang keindahannya tertutupi oleh modernisme. Modernisme menganggap ajaran iman dan moral Gereja sebagai ajaran usang dan harus diganti mengikuti perkembangan zaman. Modernisme ini menjadi prinsip bagi orang-orang Katolik yang ingin mengubah atau menyesuaikan ajaran iman dan moral Gereja seturut kondisi zaman dan kehendak mereka sendiri.

3. Identitas. Perubahan, improvisasi dan kreativisasi dalam Liturgi seperti menambah drama dan mengganti lagu-lagu liturgis dengan lagu populer, menampilkan tari-tarian non-peribadatan jelas dapat merusak identitas Liturgi. Masuknya band ke dalam Misa menjadikan Misa terlihat sebagai ibadat Protestan Pentakostal.  �Kita sedang berada dalam Ekaristi atau dalam sebuah konser bertajuk �Ekaristi�?� Apa yang terlihat pada akhirnya adalah sebuah konser atau pentas seni rohani dan bukan lagi sebuah Misa. Sementara itu, sikap orang-orang Katolik yang mereduksi ajaran iman dan moral Katolik membuat identitas Katolik itu tergambarkan secara berbeda. Kita lihat Amerika Serikat; wakil Presiden Joe Biden adalah seorang Katolik tetapi ia mendukung aborsi dan kontrasepsi buatan. Tidak sedikit orang Katolik yang menolak ajaran Katolik yang anti-aborsi dan anti-kontrasepsi sehingga menggantikannya dengan pandangan mereka sendiri yang pro-aborsi dan pro-kontrasepsi. Apa yang terlihat akhirnya sebuah kekacauan identitas, sebenarnya Katolik itu anti-aborsi atau pro-aborsi? Katolik itu anti-kontrasepsi atau pro-kontrasepsi? Jelas Gereja anti-aborsi dan anti-kontrasepsi tetapi identitas ini tertutupi oleh pengajaran sejumlah Katolik yang pro-aborsi dan pro-kontrasepsi.
Memang benar bahwa ekspresi lahiriah berupa rumusan ajaran iman dan moral serta peribadatan melibatkan dan memuat unsur-unsur budaya, pola pikir dan harapan manusiawi. Tetapi apakah bisa disimpulkan "Kalau begitu boleh seenaknya diubah"? Jawabannya pasti: �TIDAK� sama seperti kita tidak bisa mempreteli pintu rumah orang seenaknya.

Marilah kita sekarang membentuk pola pikir yang benar mengenai rumusan ajaran iman dan moral serta peribadatan Gereja supaya kita tidak menyesatkan diri sendiri dan tidak menyesatkan orang lain. Ini adalah ajakan pertobatan untuk berpaling dari sebuah pandangan yang salah ke pandangan yang benar untuk kebaikan bersama.

Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter